MASFUFAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Konvergensi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesenjangan Pendapatan Daerah di Enam Koridor Ekonomi Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis.
Bogor, Juli 2013
Masfufah
Level in Indonesia. Under the Supervision of MUHAMMAD FIRDAUS and EKA INTAN KUMALA PUTRI.
Areas development is a sub system of economic corridors and province development, also as part of national development that could not be separated. The implication of economic development at each district level has been gave different achievement. The Implication of fiscal decentralization policy on 2001, gave an important roles to the region government on areas growth. Aims of this research are to analyze dynamics of areas disparity and facilities development, to examine the income convergence by Gross Regional Domestic Product (GRDP) and household expenditures of district level areas and comparing between economic corridor in Indonesia, and to analyze the influence factors of areas disparity between economic corridor in Indonesia for five years period on 2006-2010. The conclusion of analysis result shows when used GRDP, there were no income convergence of district level in Indonesia, while when used household expenditures by FD-GMM estimation technique, there were a number of convergence process. Further, there were convergences in every economic corridor, both with GRDP or household expenditures. The fastest convergence exists at Java Economic Corridor by household expenditures.
Pendapatan Daerah di Enam Koridor Ekonomi Indonesia. Dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS dan EKA INTAN KUMALA PUTRI.
Pertumbuhan ekonomi suatu negara menentukan standar hidup negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam pelaksanaan pembangunan merupakan salah satu sasaran bagi negara-negara berkembang. Perkembangan perekonomian yang dicapai bangsa Indonesia sampai saat ini ternyata masih harus menghadapi permasalahan yang mungkin juga dialami negara lain khususnya negara sedang berkembang. Realitas pembangunan ekonomi di Indonesia yang diakibatkan oleh adanya perbedaan laju pertumbuhan adalah terciptanya disparitas antar wilayah. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh perbedaan faktor endownment dari masing-masing wilayah.
Fenomena disparitas antar wilayah yang terjadi, diantaranya dapat disebabkan oleh perbedaan ketersediaan fasilitas infrastruktur (pendidikan, kesehatan, jalan, listrik, air bersih, dan telepon). Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi, dan sebaliknya apabila mengabaikannya akan menurunkan produktivitas. Dalam implementasi MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) dialkukan untuk mengembangkan 8 program utama yang terdiri dari 22 kegiatan ekonomi utama sesuai dengan potensi dan nilai strategis kegiatan utama tersebut di koridor yang bersangkutan. Dimana salah satu strateginya diantaranya adalah mengembangkan potensi ekonomi wilayah di 6 koridor ekonomi yaitu koridor ekonomi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Papua-Kep. Maluku dimana masing koridor ekonomi tersebut diposisikan strategi yang berbeda-beda.
Beranjak dari fenomena tersebut, bahwa karakteristik potensi wilayah koridor, baik yang bersifat alami maupun buatan merupakan salah satu unsur yang menarik dikaji dalam kaitannya dengan upaya pengurangan disparitas pembangunan antar wilayah koridor ekonomi dan kabupaten/kota yang ada. Dengan demikian diharapkam akan tercipta pemerataan (equity), pertumbuhan (efficiency), dan keberlanjutan (sustainability) dalam pembangunan wilayah.
Dinamika pendapatan antar wilayah selama ini dianalisis dengan menggunakan data PDRB per kapita yang menunjukkan potensi wilayah dalam proses produksi. Data ini kurang dapat mempresentasikan kemampuan masyarakatnya dalam mencapai kesejahteraan. Analisis konvergensi wilayah berdasarkan data tersebut prlu dibandingkan dengan melihat pendapatan masyarakat, yang diproksi dengan menggunakan pendekatan pengeluaran rumah tangga.
share sector pertanian terhadap PDRB, share manufaktur terhadap PDRB, share tenaga kerja yang berpendidikan SMA keatas, persentase rumah tangga yang pengguna listrik, persentase rumah tangga pengguna air bersih, persentase rumah tangga pengguna telepon, panjang jalan yang kondisinya baik dan sedang, baik jalan negara, jalan provinsi, maupun jalan kabupaten/kota yang berada pada masing-masing provinsi, serta rasio jumlah puskesmas terhadap jumlah penduduk dari beberapa provinsi di masing-masing koridor ekonomi di Indonesia dengan menggunakan model data panel statis.
Tren dinamika disparitas kabupaten/kota di Indonesia hasil penghitungan koefisien variasi Williamson selama periode 2006-2010 mengalami kecenderungan menurun, baik dihitung dengan pendekatan PDRB maupun pengeluaran rumah tangga. Namun disparitas wilayah kabupaten/kota di Indonesia masih tinggi berada pada kisaran 0,75 sampai dengan 0,77 selama periode penelitian., dimana disparitas di dalam koridor ekonomi lebih tinggi dibandingkan disparitas antar koridor ekonomi. Tren disparitas kabupaten/kota di masing-masing koridor juga mengalami kecenderungan menurun sama halnya dengan Indonesia, dimana disparitas kabupaten/kota yang terjadi koridor Jawa, serta koridor Papua-Kep Maluku lebih tinggi dibandingkan koridor Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali-Nusa Tenggara.
Dinamika pembangunan infrastruktur antar koridor ekonomi di Indonesia selama periode tahun 2006-2010 secara umum terus mengalami peningkatan . Peningkatan fasilitas infrastruktur yang terjadi masih belum sesuai dengan yang diharapkan, karena peningkatan terhadap kebutuhan infrastruktur secara umum juga terus meningkat. Indeks infrastruktur yang tertinggi terjadi di koridor Jawa dan Sumatera, sedangkan yang terendah terjadi di koridor Papua-Kep. Maluku.
Estimasi konvergensi Indonesia dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan pada variable dependennya, yaitu pendekatan PDRB dan pengeluaran rumah tangga. Koefisien yt-1 pada estimasi konvergensi PDRB per kapita lebih dari 1, yang menunjukkan bahwa konvergensi tidak terjadi di Indonesia (pendapatan kabupaten/kota di Indonesia divergen) dengan metode panel dinamis FD-GMM.
Estimasi konvergensi kabupaten/kota di koridor-koridor ekonomi di Indonesia dengan menggunakan data pengeluaran semuanya konvergen, dengan tingkat konvegensi tertinggi di koridor Jawa dan terendah di koridor Sulawesi. Tingkat konvergensi pengeluaran rumah tangga mencapai nilai yang tinggi karena pendekatan ini hanya melihat konvergensi dari pelaku ekonomi rumah tangga, berbeda dengan konvergensi PDRB yang melibatkan semua pelaku ekonomi, baik rumah tangga, swasta, maupun pemerintah. Aktivitas ekonomi yang dilakukan juga berbeda, tidak hanya konsumsi seperti pendekatan pengeluaran rumah tangga, namun juga investasi, baik yang dilakukan perusahaan swasta maupun pemerintah. Perbandingan tingkat konvergensi ini menunjukkan bahwa tingkat pembangunan wilayah yang sama akan dicapai dalam kurun waktu yang lebih lama dibandingkan dengan kesamaan daya beli masyarakat.
Indonesia pendekatan PDRB per kapita adalah share tenaga kerja berpendidikan SMA keatas, dan infrastruktur telepon secara negatif. Disparitas pengeluran rumah tangga dipengaruhi oleh infrastruktur air bersih dan telepon secara negatif. Koridor Sumatera pendekatan PDRB dan pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh infrastruktur telepon secara negatif. Koridor Jawa pendekatan PDRB dipengaruhi oleh share sektor manufaktur secara positif, dan infrastruktur jalan secara positif, sedangkan pendekatan pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh infrastruktur jalan secara positif. Koridor Kalimantan pendekatan PDRB dan pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh infrastruktur listrik secara positif. Koridor Sulawesi pendekatan PDRB dipengaruhi oleh shate tenaga kerja berpendidikan SMA keatas secara negatife, sedangkan pendekatan pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh infrastruktur telepon secara negatif. Koridor Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Kep.Maluku pendekatan PDRB pe kapita dan pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh share pengeluaran rutin pemerintah secara negatif.
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang dirumuskan, maka beberapa saran yang dapat diberikan yaitu sebagai berikut: (1) Pembangunan infrastruktur sebagai bagian dari investasi menempati posisi penting dalam upaya mengurangi tingkat disparitas antar koridor ekonomi di Indonesia. Dengan adanya pemerataan dalam pembangunan infrastruktur antara enam koridor ekonomi di Indonesia dalam MP3EI diharapkan dapat mengurangi disparitas wilayah antar koridor ekonomi maupun disparitas wilayah dibawahnya yang lebih kecil lagi. Sehingga diharapkan tercipta pertumbuhan ekonomi yang diimbangi dengan pemerataan (growth with equity) sesuai dengan potensi wilayahnya. Dalam rangka pemerataan pembangunan maka perlu adanya pemerataan fasilitas infrastruktur dan penciptaan pembangunan di wilayah-wilayah yang memiliki potensi. Dalam jangka panjang interkoneksi berbagai infrastruktur tersebut secara meluas akan memberikan potensi pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan jika terpusat. (2) Pemerintah hendaknya memperhatikan aspek peningkatan sumber daya manusia. Karena sumber daya manusia merupakan variabel penting dan terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan terciptanya konsentrasi kegiatan ekonomi. Perlu adanya reposisi kebijakan pendidikan di Indonesia, dengan memandang bahwa pendidikan merupakan investasi. Konsekuensi dari reposisi yaitu perlu ditetapkan dan disosialisasikan standar pelayanan minimum pendidikan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan di Indonesia, yang mencakup aspek equity, efisiensi, partisipasi, kualitas dan sustaiability sehingga dapat mengurangi disparitas wilayah. (3) Untuk penelitian lebih lanjut, perlu disempurnakan dengan menggunakan series data yang lebih panjang sehingga bisa terlihat trennya dan hasil penelitian bias lebih baik lagi. Sedangkan varibel infrastruktur perlu penyempurnaan dengan memasukkan beberapa variabel infrastruktur lainnya. Selain itu perlu dilakukan kajian lebih mendalam mengenai kebijakan-kebijakan dan program yang telah dilaksanakan oleh pemerintah terkait dengan pembangunan infrastruktur, konvergensi dan disparitas.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
MASFUFAH
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan
Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Masfufah
NRP : H152090101
Program Studi : Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D Ketua
Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.Sc Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Asc. Agr
Puji syukur di panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Konvergensi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesenjangan Pendapatan Daerah di Enam Koridor Ekonomi Indonesia, dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjeng pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan di Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih dapat meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS atas kesediannya menjadi penguji luar komisi, dan Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.Sc selalu perwakilan Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Demikian juga terima kasih dan penghargaan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada Ibu yang tercinta, atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan. Ucapan terima kasih juga penulis persembahkan kepada yang penuh kesabaran, ketabahan, dan kesetiaan selalu memberi motivasi dan semangat, Agus Kadaryanto suamiku tersayang, semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan. Melalui kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua anakku Puput dan Fadil atas kesabarannya karena perhatian dari penulis berkurang selama waktu perkuliahan dan penulisan tesis ini.
Ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada pengelola Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS selaku Ketua Program Studi dan Bapak Dr. Setia Hadi, MS selaku sekretaris Program Studi yang lama dan Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.Sc selaku sekretaris Program Studi yang baru. Penulis juga menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada teman-teman dan Badan Pusat Statistik yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dalam melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Akhir kata penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya Allah SWT yang Yang Maha Kuasa yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis.
Bogor, Juli 2013
Penulis bernama Masfufah lahir pada tanggal 15 Desember 1974 di DKI Jakarta. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara, dari pasangan Bapak Muchson (almarhum) dan Ibu Ngadawiyah.
Penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN 01 Cipinang Muara Jakarta pada tahun 1987, selanjutnya menamatkan jenjang SLTP pada SMPN 52 Cipinang Elok Jakarta pada tahun 1990. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMAN 54 Rawa Bunga Jakarta dan lulus pada tahun 1993.
Setelah tamat SMA, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, lulus pada tahun 2001 (tugas belajar) yang sebelumnya telah bekerja terlebih dahulu di Badan Pusat Statistik (BPS) RI.
DAFTAR ISI ... xv
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 19
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 21
2.1. Pendapatan Regional dan Pertumbuhan Ekonomi ... 21
2.2. Konvergensi ... 27
2.3. Disparitas Wilayah ... 28
2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disparitas Wilayah ... 31
2.4.1. Peranan Pemerintah dalam Perekonomian ... 33
4.2. Dinamika Pembangunan Infrastruktur ... 91
4.2.1. Infrastruktur Listrik ... 91
4.2.2. Infrastruktur Air Bersih ... 92
4.2.3. Infrastruktur Telepon ... 94
4.2.4. Infrastruktur Jalan ... 95
4.2.5. Penghitungan Indeks Infrastruktur ... 96
V. KONVERGENSI WILAYAH ANTAR KORIDOR DI INDONESIA 101 5.1. Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Indonesia ... 101
5.2. Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Koridor Ekonomi Sumatera ... 103
5.3. Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Koridor Ekonomi Jawa 105 5.4. Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Koridor Ekonomi Kalimantan ... 107
5.5. Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Koridor Ekonomi Sulawesi ... 109
5.6. Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Koridor Ekonomi Bali-Nusa Tenggara ... 111
5.7. Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Maluku ... 112
5.8. Perbandingan Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Beberapa Koridor di Indonesia ... 114
VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DISPARITAS WILAYAH ... 117
6.1. Disparitas antar Provinsi di Indonesia ... 117
6.2. Disparitas antar Provinsi di Koridor Ekonomi Sumatera ... 120
6.3. Disparitas antar Provinsi di Koridor Ekonomi Jawa ... 123
6.4. Disparitas antar Provinsi di Koridor Ekonomi Kalimantan ... 125
6.5. Disparitas antar Provinsi di Koridor Ekonomi Sulawesi ... 127
6.6. Disparitas antar Provinsi di Koridor Ekonomi Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Kep. Maluku ... 129
6.7. Perbandingan Disparitas antar Provinsi di Beberapa Koridor di Indonesia ... 131
6.8. Pengembangan Potensi Wilayah Koridor Ekonomi Dalam MP3EI ... 134
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 137
7.1. Kesimpulan ... 137
7.2. Saran ... 138
DAFTAR PUSTAKA ... 141
LAMPIRAN ... 145
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Indeks Gini Indonesia Menurut Daerah, Tahun 2002-2010 ... 10
2. Persentase Rumahtangga yang Menggunakan Sumber Penerangan
Listrik menurut Koridor di Indonesia, 2000-2009 ... 14
3. Definisi Operasiponal Variabel ... 54
4. Matriks Pendekatan Penelitian ... 55
5. Disparitas dengan KV Williamson Wilayah-wilayah Koridor
Ekonomi Pendekatan PDRB per Kapita di Indonesia, 2006-2010 ... 82
5.1 Perkembangan PDRB per Kapita Antar Wilayah Koridor
Ekonomi di Indonesia, 2006-2010 (Ribu Rupiah) ... 83
6. Disparitas Wilayah-wilayah Koridor Ekonomi Pendekatan
Pengeluaan Rumah Tangga di Indonesia, 2006-2010 ... 85
7. Panjang Jalan dengan Kondisi Baik dan Sedang menurut Koridor
Ekonomi di Indonesia, 2006-2010 ... 95
8. Indeks Infrastruktur menurut Jenis Infrastruktur dan Koridor
Ekonomi di Indonesia, 2010 ... 98
9. Hasil Penghitungan Indeks Infrastruktur dan Peringkatnya antar
Koridor Ekonomi di Indonesia, 2006 dan 2010 ... 99
10. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per kapita di Indonesia dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ... 102
11. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Indonesia dengan Metode Data Panel Dinamis
FD-GMM ... 102
12. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per Kapita di Koridor Sumatera dengan Metode Data Panel
Dinamis FD-GMM ... 104
13. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Sumatera dengan Metode Data Panel
Dinamis FD-GMM ... 105
14. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per
Kapita di Korido Jawa dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM 106
15. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Jawa dengan Metode Data Panel Dinamis
FD-GMM ... 107
16. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per Kapita di Koridor Kalimantan dengan Metode Data Panel
Dinamis FD-GMM ... 108
17. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Kalimantan dengan Metode Data Panel
Dinamis FD-GMM ... 108
18. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per Kapita di Koridor Sulawesi dengan Metode Data Panel Dinamis
FD-GMM ... 109
19. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota PendekatanPengeluaran Rumah Tangga di Koridor Sulawesi dengan Metode Data Panel
Dinamis FD-GMM ... 110
20. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per Kapita di koridor Bali-Nusa Tenggara dengan Metode Data Panel
Dinamis FD-GMM ... 111
21. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Bali-Nusa Tenggara dengan Metode
Data Panel Dinamis FD-GMM ... 112
22. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per Kapita di Koridor Papua-Kep. Maluku dengan Metode Data Panel
Dinamis FD-GMM ... 113
23. Estimas Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Papua-Kep. Maluku dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ... 114
24. Pengujian Validitas Instrumen dan Konsistensi Model Data Panel Dinamis FD-GMM dalam Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota
di Indonesia ... 115
25. Estimasi Tingkat Konvergensi Wilayah-wilayah Koridor Ekonomi
Indonesia dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ... 116
26. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB per
Kapita di Indonesia, 2006-2010 ... 118
27. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disparitas
Tingkat Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran
Rumah Tangga di Indonesia, 2006-2010 ... 119
28. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB per Kapita
di Koridor Sumatera, 2006-2010... 121
29. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran
Rumah Tangga di Koridor Sumatera, 2006-2010 ... 122
30. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB per Kapita
di Koridor Jawa, 2006-2010 ... 124
31. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran
Rumah Tangga di Koridor Jawa, 2006-2010 ... 124
32. Hasil Estimasin Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat
Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB per Kapita di
Koridor Kalimantan, 2006-2010 ... 126
33. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran
Rumah Tangga di Koridor Kalimantan, 2006-2010 ... 126
34. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wi;layah antar Provinsi Pendekatan PDRB per Kapita
di Koridor Sulawesi, 2006-2010 ... 128
35. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Wilayah
antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor
Sulawesi, 2006-2010 ... 128
36. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat
Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB per Kapita di Koridor Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Kep. Maluku, 2006-2010 . 129
37. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Bali-Nusa Tenggara dan
Papua-Kep.Maluku, 2006-2010 ... 130
38. Perbandingan Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi di Beberapa Koridor di
Indonesia Pendekatan PDRB per Kapita, 2006-2010 ... 132
39. Perbandingan Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi di Beberapa Koridor di
Indonesia Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga, 2006-2010 ... 133
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Pertumbuhan ekonomi Indonesia, tahun 1990-2008 ... 2
2. Peta tematik PDRB provinsi dan kontribusi PDRB KBI-KTI Terhadap PDB di Indonesia tahun 2007 ... 5
3. Kontribusi PDRB adhk 2000 di 6 Koridor dalam MP3EI terhadap PDB Nasional, Tahun 2003-2007 ... 6
4. Persentase Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah di 6 Koridor dalam MP3EI, Tahun 2010 (Persen) ... 7
5. Persentase Investasi di 6 Koridor dalam MP3EI terhadap Investasi Nasional, Tahun 2010 (Persen) ... 8
6. Jumlah Penduduk Miskin di 6 Koridor dalam MP3EI dan Indonesia, 2002-2010 (Ribu Jiwa) ... 9
7. Kontribusi Sektor Pertanian, Manufaktur dan Sektor Jasa di Indonesia, Tahun 2006-2009 ... 11
8. Kontribusi Tenaga Kerja Sektor Pertanian, Manufaktur dan Sektor Jasa, Tahun 2008 ... 12
9. Tingkat Disparitas di Indonesia Tahun 1991-2010 ... 13
10. DAU, DAK, DBH dan Dana Perimbangan di Indonesia, Tahun 2000-2010 ... 16
11. Investasi Aktual dan Break-even ... 23
12. Konvergensi Bersyarat/Kondisional (Conditional Convergence) .... 28
13. Kurva Kuznets tentang Hubungan Pendapatan dan Ketimpangan ... 30
14. Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi ... 39
15. Diagram Alur Kerangka Pemikiran Penelitian ... 49
16. Diagram Alur Kerangka Analisis ... 77
17. Disparitas Antar dan Intra Koridor di Indonesia, 2006-2010 ... 80
18. Tren Kontribusi Sektor Pertanian antar Wilayah-wilayah Koridor
xxii
Ekonomi di Indonesia, 2006-2010 (Persen) ... 84
19. Tren Disparitas antar Wilayah Koridor Ekonomi di Indonesia dengan KV Williamson, 2006-2010 ... 84
20. Disparitas antar Kabupaten/Kota di Indonesia Pendekatan
PDRB per Kapita dan Pengeluaran Rumah Tangga, 2006-2010 ... 86
21. Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor Sumatera dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran
Rumah Tangga, 2006-2010 ... 87
22. Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor Jawa dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran
Rumah Tangga, 2006-2010 ... 88
23. Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor
Kalimantan dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran
Rumah Tangga, 2006-2010 ... 89
24. Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor Sulawesi dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran
Rumah Tangga, 2006-2010 ... 89
25. Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor Bali-Nusa Tenggara dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan
Pengeluaran Rumah Tangga, 2006-2010 ... 90
26. Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor Papua-Kep. Maluku dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan
Pengeluaran Rumah Tangga, 2006-2010 ... 90
27. Persentase Rumah Tangga yang Menggunakan Listrik menurut
Koridor Ekonomi di Indonesia, 2006-2010 ... 91
28. Persentase Rumah Tangga yang Menggunakan Air Bersih menurut
Koridor Ekonomi di Indonesia, 2006-2010 ... 93
29. Persentase Rumah Tangga yang Menggunakan Telepon menurut
Koridor Ekonomi di Indonesia, 2006-2010 ... 94
30. Indeks Infrastruktur menurut Koridor Ekonomi di Indonesia,
1.1. Latar Belakang
Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang meliputi
berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan
institusi-institusi nasional. Disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan
ekonomi, penanganan disparitas pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Pada
hakekatnya, pembangunan harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat
untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik,
secara material maupun spiritual (Todaro dan Smith, 2009). Sedangkan UNDP
mendefinisikan pembangunan dan khususnya pembangunan manusia sebagai
proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk (a process of enlarging people’s choise). Dalam konsep tersebut, penduduk ditempatkan sebagai tujuan akhir (the ultimate end), bukan alat, cara atau instrumen pembangunan sebagaimana yang dilihat oleh model formasi modal manusia (human capital formation). Sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu.
Tujuan dari pembangunan ekonomi pada prinsipnya dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu: meningkatkan pendapatan per kapita penduduk dalam jangka
panjang dan meningkatkan produktivitas. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi
tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi (economic growth). Pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan
ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi.
Sejak tahun 1969, bangsa Indonesia sebagai negara berkembang telah
melaksanakan pembangunan ekonomi secara berencana dan bertahap, tanpa
mengabaikan usaha pemerataan dan kestabilan. Perkembangan pertumbuhan
ekonomi di Indonesia, dapat dilihat pada Gambar 1 yang menerangkan bahwa
pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang fluktuatif dari tahun
7,20 8,22
-13,13 4,92
6,32 6,06
Sumber: PDB 1990-2008, BPS (diolah)
Gambar 1 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, tahun 1990-2008
Perekonomian Indonesia sejak awal pembangunan menunjukkan kinerja
yang cukup baik hingga awal tahun 1997 yang ditandai oleh menguatnya beberapa
indikator makro ekonomi. Tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai 7,8% pada
tahun 1996 dan investasi langsung luar negeri mencapai $6,5 juta pada tahun
fiskal 1996/1997. Cadangan devisa resmi pemerintah pada bulan Maret 1997
mencapai $20 juta dan tingkat depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika masih
terpelihara pada kisaran 3-5% (BI, 1997).
Krisis moneter dan krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun
1997, yang berlanjut menjadi krisis multidimensi, membawa dampak pada kondisi
perekonomian di Indonesia. Akibat dari krisis tersebut perekonomian Indonesia
mengalami masa yang sulit, inflasi tinggi, dan rupiah terdepresiasi. Kondisi ini
mengakibatkan hampir seluruh kegiatan ekonomi terhenti (stagnan) dan laju pertumbuhan ekonomi mengalami konstraksi hingga negatif 13,13 persen.
Berbagai usaha dilakukan pemerintah melalui kebijakan-kebijakan untuk
mengatasi perekonomian yang terpuruk pada saat itu.
Tahun-tahun berikutnya setelah masa krisis, perekonomian Indonesia
mengalami pemulihan (recovery). Pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada kisaran 4 persen sampai dengan 6 persen. Perekonomian Indonesia mulai
membaik, aktivitas ekonomi mulai berjalan dengan baik sehingga pertumbuhan
tersebut ditunjang oleh membaiknya infrastuktur yang ada serta
kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah baik fiskal maupun moneter (Lestari,
2008).
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 cenderung melambat
menjadi 6,06 persen. Hal ini disebabkan oleh adanya tekanan dari krisis global
yang cukup berat. Terimbas oleh ketidakpastian pasar finansial global yang
meningkat, proses perlambatan ekonomi dunia yang signifikan, dan perubahan
harga komoditas global yang sangat drastis. Namun demikian, perkembangan
ekonomi Indonesia tidaklah terlampau buruk dibandingkan negara lain (Gambar
1).
Perkembangan perekonomian yang dicapai Indonesia sampai saat ini
ternyata masih harus menghadapi permasalahan yang mungkin juga dialami
negara lain, khususnya negara sedang berkembang. Salah satu realitas
pembangunan ekonomi di Indonesia yang diakibatkan oleh adanya perbedaan laju
pertumbuhan adalah terciptanya ketimpangan/disparitas antar wilayah. Hal
tersebut salah satunya disebabkan oleh perbedaan faktor endowment dari masing-masing daerah. Fakta adanya disparitas tersebut tercermin dalam kesenjangan
kinerja pembangunan perekonomian antara provinsi satu dan lainnya, antara
perkotaan dan perdesaan, antara Pulau Jawa dan luar Jawa, serta antara Kawasan
Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI).
Sehubungan dengan permasalahan ketimpangan/disparitas antar wilayah
khususnya antar pulau di Indonesia, pemerintah meluncurkan program MP3EI
yang tujuannya diantaranya untuk mengurangi disparitas. Khususnya ketimpangan
dalam hal pembangunan infrastruktur. Dalam implementasi MP3EI1 dilakukan
untuk mempercepat dan memperluas pembangunan ekonomi melalui
pengembangan 8 program utama (pertanian, pertambangan, energi, industri,
1
kelautan, pariwisata, telematika, dan pengembangan kawasan strategis) yang
terdiri dari 22 kegiatan ekonomi utama sesuai dengan potensi dan nilai strategis
kegitan utama tersebut di koridor yang bersangkutan. Strategi pelaksanaan MP3EI
dilakukan dengan mengintegrasikan 3 elemen utama yaitu:
1. mengembangkan potensi ekonomi wilayah di 6 Koridor Ekonomi
Indonesia, yaitu:
Koridor Ekonomi Sumatera, diposisikan sebagai “sentra produksi dan
pengolahan hasil bumi dan lumbung energi nasional”.
Koridor Ekonomi Jawa, diposisikan sebagai “pendorong industry dan
jasa nasional”.
Koridor Ekonomi Kalimantan, diposisikan sebagai “pusat produksi
dan pengolahan hasil tambang dan lumbung energi nasional”.
Koridor Ekonomi Sulawesi, diposisikan sebagai “pusat produksi dan
pengolahan hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan nasional”.
Koridor Ekonomi Bali-Nusa Tenggara, diposisikan sebagai “pintu
gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional”.
Koridor Ekonomi Papua dan Kepulauan Maluku, diposisikan sebagai
“pusat pengembangan pangan, perikanan, energy, dan pertambangan
nasional”.
2. memperkuat konektivitas nasional yang terintegrasi secara lokal dan
terhubung secara global (locally integrated, globally connected)
3. memperkuat kemampuan SDM dan IPTEK nasional untuk mendukung
pengembangan program utama di setiap koridor ekonomi.
Berkaitan dengan program MP3EI tersebut, maka perlu dikaji lebih dalam
bagaimana perekonomian antar koridor tersebut terkait dengan disparitas antar
wilayah koridor ekonomi. Indikasi disparitas antar wilayah dapat dilihat dari
perbedaan tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi antar wilayah. Data
BPS tahun 2007 mengenai PDRB dan laju pertumbuhan ekonomi seluruh provinsi
menunjukkan bahwa terjadi pemusatan produksi barang dan jasa di Pulau Jawa.
Pulau yang luasnya hanya mencapai 7 persen dari luas Indonesia ini mendominasi
sekitar 60,20 persen dari seluruh PDRB, sedangkan provinsi di Sumatera
menguasai 4,09 persen, dan provinsi di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua hanya
3,61 persen. Sementara itu, rata-rata laju pertumbuhan ekonomi provinsi di Jawa
dan Bali pada tahun 2007 sebesar 6,17 persen, provinsi di Sumatera sebesar 4,96
persen, Kalimantan sebesar 3,14 persen, Sulawesi sebesar 6,88 persen, provinsi di
Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua sebesar 5,04 persen. Kecenderungan
persebaran penguasaan PDRB dan laju pertumbuhan yang tidak sama akan
menyebabkan semakin timpangnya pembangunan antar wilayah.
Disparitas yang ditunjukkan melalui data PDRB juga terjadi antara KBI
dan KTI (lihat Gambar 2). KBI dengan luas wilayah 31,25 persen dari luas
Indonesia mendominasi pendapatan nasional sebesar 83,55 persen pada tahun
2007. Pada Gambar 2 juga terlihat bahwa disparitas bukan hanya terjadi antar
pulau dan antar kawasan, melainkan juga terjadi antar provinsi di Indonesia.
1000 0 1000 2000 3000 Kilometers
N
Persentase Terhadap PDB KTI 16,45 %
KBI 83,55 % Legenda:
Nilai PDRB
Gambar 2 Peta tematik PDRB provinsi dan kontribusi PDRB KBI-KTI terhadap PDB di Indonesia tahun 2007
Fenomena disparitas antar wilayah yang terjadi, diantaranya disebabkan
oleh perbedaan ketersediaan fasilitas infrastruktur, seperti: pendidikan, kesehatan,
jalan, listrik dan air bersih. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan
ekonomi. Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan
produktivitas bagi faktor-faktor produksi, dan sebaliknya apabila mengabaikannya
Sumber: BPS, 2003-2007 (diolah)
Gambar 3 Kontribusi PDRB adhk 2000 di 6 Koridor dalam MP3EI terhadap PDB Nasional, Tahun 2003-2007
Pesatnya perkembangan perekonomian di Indonesia disebabkan besarnya
investasi baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman
Modal Asing (PMA). Investasi merupakan salah satu faktor yang krusial bagi
proses kemajuan pembangunan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi jangka
panjang yang melibatkan kegiatan-kegiatan produksi di semua sektor ekonomi.
Investasi di Indonesia bervariasi antar wilayah koridor ekonomi, dimana Koridor
Jawa mendominasi dibanding koridor lainnya yaitu sebesar 60 persen. Investasi
yang paling sedikit terdapat di Koridor Papua-Kep Maluku hanya 1 persen saja
(Gambar 5). Hal ini sangat timpang jika dibandingkan dengan persentase jumlah
penduduk dan luas wilayah di 6 koridor, ternyata Jawa yang persentase penduduk
terbesar dan luas wilayah terkecil namun investasi di Koridor Jawa lebih besar
dibanding Koridor Papua-Kep Maluku dengan persentase penduduk terkecil dan
luas wilayah terbesar (Gambar 4). Demikian pula jika dibandingkan dengan
kontribusi PDRB di 6 koridor terhadap PDB Nasional dimana Koridor Jawa
masih mendominasi dibandingkan koridor lainnya (Gambar 3). Beberapa masalah
tersebut memicu ketimpangan wilayah di Indonesia, khususnya ketimpangan antar
Sumber: BPS, 2010 (diolah)
Gambar 4 Persentase Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah di 6 Koridor dalam MP3EI, Tahun 2010 (Persen)
Fenomena disparitas wilayah memang sudah menjadi hal yang biasa dalam
perkembangan suatu wilayah karena berbagai alasan. Disparitas tersebut tidak
hanya terjadi pada lingkup negara, bahkan sampai pada wilayah provinsi atau unit
yang lebih rendah sekalipun. Sering kali disparitas menjadi permasalahan yang
serius bagi setiap wilayah karena berpotensi menimbulkan konflik finansial,
sosial, atau hubungan yang saling memperlemah antar wilayah. Wilayah
hinterland akan menjadi lemah karena eksploitasi sumber daya yang berlebihan, sementara wilayah inti juga dapat menjadi lemah karena faktor urbanisasi yang
tinggi.
Penyebab disparitas menurut Anwar (2005), terdiri dari beberapa hal yaitu
1) Perbedaan karakteristik limpahan sumberdaya alam (resource endowment); 2) Perbedaan demografi; 3) Perbedaan kemampuan sumberdaya manusia (human capital); 4) Perbedaan potensi lokasi; 5) Perbedaan dari aspek aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan; dan 6) Perbedaan dari aspek potensi
pasar. Berdasarkan faktor tersebut maka dalam suatu wilayah akan terdapat
beberapa macam karakteristik wilayah ditinjau dari aspek kemajuannya, yaitu: 1)
Wilayah maju; 2) Wilayah sedang berkembang; 3) Wilayah belum berkembang;
Sumber: BKPM, 2010
Gambar 5 Persentase Investasi di 6 Koridor dalam MP3EI terhadap Investasi Nasional, Tahun 2010 (Persen)
Perbedaan perkembangan wilayah akan membentuk suatu struktur wilayah
yang berhirarki, dimana wilayah yang telah maju cenderung akan cepat
berkembang menjadi pusat aktifitas baik perekonomian maupun pemerintahan.
Wilayah yang sumber daya alamnya kurang mendukung akan relatif kurang
berkembang dan cenderung menjadi wilayah hinterland. Keadaan ini dapat menjadi faktor pendorong bagi sumber daya manusia untuk bekerja ke wilayah
yang lebih berkembang dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya sehingga akan
semakin sulit bagi wilayah ini untuk berkembang karena telah mengalami
kekurangan sumberdaya manusia.
Evaluasi keberhasilan pembangunan antar wilayah koridor ekonomi di
Indonesia perlu dikaji secara simultan dengan sisi pemerataan sesuai dengan
potensi wilayahnya, yang dikaitkan dengan besarnya jumlah penduduk miskin.
Data kemiskinan yang diolah dari hasil survey Susenas BPS, 2002-2010
menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia secara absolut telah mengalami
penurunan sebesar 19,2 persen, yaitu dari 38,39 juta jiwa pada tahun 2002
menjadi 31,02 juta jiwa pada tahun 2010. Dari jumlah tersebut, lebih dari 50
persen penduduk miskin berada di koridor Jawa (55,83 persen) yang merupakan
(21,44 persen), Sulawesi (7,57 persen), Bali-Nusa Tenggara (7,09 persen),
Papua-Kep. Maluku (4,79 persen), dan terakhir koridor Kalimantan hanya 3,28 persen
penduduk miskinnya seperti ditunjukkan pada Gambar 6.
Peningkatan persentase penduduk miskin terjadi selama tahun 2005-2006
yang disebabkan karena harga barang-barang kebutuhan pokok selama periode
tersebut naik tinggi, yang digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17,95 persen.
Kenaikan inflasi ini dipicu adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)
rata-rata sebesar 126 persen yang ditetapkan oleh pemerintah pada tahun 2005.
Kenaikan ini dilakukan untuk mengurangi beban subsidi BBM akibat
meningkatnya harga minyak mentah dunia. Peningkatan inflasi akan
menyebabkan daya beli penduduk menjadi merosot, dan menyebabkan penduduk
yang penghasilannya berada sedikit di atas garis kemiskinan banyak yang
bergeser posisinya menjadi miskin sehingga tingkat kemiskinan mengalami
peningkatan.
Sumber: BPS, 2002-2010 (diolah)
Gambar 6 Jumlah Penduduk Miskin di 6 Koridor dalam MP3EI dan Indonesia, 2002-2010 (Ribu Jiwa)
Menurut status daerah, distribusi pemerataan menunjukkan pola yang
berbeda. Distribusi pendapatan merupakan porsi pendapatan yang diterima oleh
setiap individu atau rumahtangga, tergantung pada tingkat produktivitas dan
peranannya dalam perekonomian. Salah satu ukuran yang sering digunakan untuk
mengukur ketidakmerataan distribusi pendapatan adalah rasio gini. Ternyata rasio
Tabel 1 bahwa daerah perkotaan mempunyai ketimpangan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan daerah perdesaan.
Nilai gini rasio di atas 0,3 dapat ditunjukkan bahwa ketimpangan masih
terus terjadi di Indonesia. Wilayah perkotaan yang terus mengejar pertumbuhan
ekonomi justru terbentur pada masalah ketimpangan yang semakin melebar antar
golongan masyarakat, antar pelaku ekonomi serta antar wilayah. Data-data
tersebut memberikan gambaran bahwa upaya penanggulangan kemiskinan yang
dilakukan pemerintah masih belum bersinergi dengan kebijakan percepatan
pertumbuhan ekonomi sehingga dapat menyebabkan disintegritas dan
ketidakstabilan sosial yang meluas sehingga pembangunan yang berbasis
kerakyatan dan berkeadilan sosial belum bisa tercapai.
Jika Indeks Gini pada tabel 1 dibandingkan dengan Indeks Williamson
pada gambar 9, maka penghitungan untuk menggambarkan kesenjangan
pendapatan dengan menggunakan Indeks Gini (IG) hasilnya relatif lebih rendah.
Hal ini dapat menjadi kurang akurat jika dihitung dengan Indeks Gini, karena IG
tidak secara simultan dapat mengukur kesenjangan kekayaan di satu sisi dan
kesenjangan pendapatan di sisi lain. Seringkali negara yang mempunyai
kesenjangan kekayaan sangat ekstrim, namu IG justru justru rendah. IG juga bias
terhadap sampel. Indeks Gini bias pada jumlah sampel, IG cenderung meninggi
pada populasi yang rendah dan cenderung redah pada populasi yang tinggi.
Tabel 1 Indeks Gini Indonesia Menurut Daerah, Tahun 2002-2010
Tahun Indeks Gini
Perkotaan Perdesaan Total
(1) (2) (3) (4)
2002 0,33 0,24 0,33
2003 0,32 0,25 0,32
2004 0,31 0,24 0,32
2005 0,32 0,25 0,33
2006 0,32 0,27 0,33
2007 0,36 0,26 0,36
2008 0,37 0,29 0,37
2009 2010
0,37 0,38
0,29 0,32
Disparitas antar wilayah pada awal pembangunan ekonomi merupakan hal
yang wajar dalam konsep pembangunan nasional. Williamson (1965) menemukan
bahwa pada awal pembangunan ekonomi ketimpangan pendapatan akan
membesar dan terkonsentrasi pada wilayah-wilayah tertentu yang sudah relatif
maju, misalnya dalam pembangunan industri, infrastruktur dan sumber daya
manusia. Kemudian dalam tahap pertumbuhan ekonomi yang lebih besar, terjadi
konvergensi dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan akan mengalami
penurunan. Hal ini sejalan dengan penelitian Ernan et al (2010) bahwa dengan menggunakan Indeks Theil Entropi, ketimpangan di Pulau Jawa mempunyai nilai
yang lebih tinggi dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya.
Sumber: BPS, 2006-2009 (diolah)
Gambar 7 Kontribusi Sektor Pertanian, Manufaktur dan Sektor Jasa di Indonesia, Tahun 2006-2009
Fenomena disparitas wilayah di Indonesia menjadi masalah dengan adanya
perbedaan faktor produksi dan transformasi perekonomian struktural yang telah
terjadi. Pola perubahan struktur perekonomian di Indonesia dilihat dari share
sektor manufaktur lebih tinggi dibandingkan sektor pertanian dan jasa yaitu
sekitar 63 persen dan 21 persen di tahun 2009, namun pangsa tenaga kerja sektor
pertanian masih lebih tinggi dibandingkan sektor manufaktur yaitu sebesar 40
persen. Hal ini menandakan masih adanya disparitas antar wilayah di Indonesia
Sumber: BPS, 2008 (diolah)
Gambar 8 Kontribusi Tenaga Kerja Sektor Pertanian, Manufaktur dan Sektor Jasa, Tahun 2008
Strategi pengembangan wilayah yang mempertimbangkan keterkaitan
antara kondisi sosial ekonomi, potensi sumberdaya alam, dan ketersediaan
prasarana, serta kondisi fisik wilayah diharapkan mampu mengatasi permasalahan
disparitas antar wilayah koridor ekonomi dalam MP3EI tersebut. Dengan
demikian diharapkan akan tercipta pemerataan (equity), pertumbuhan (eficiency), dan keberlanjutan (sustainability) dalam pembangunan wilayah. Strategi yang tepat dalam pengembangan wilayah diharapkan mampu untuk mengurangi
disparitas yang terjadi antar wilayah koridor ekonomi di Indonesia.
1.2. Perumusan Masalah
Ketimpangan dalam pembangunan ekonomi masih terjadi di Indonesia.
Hal ini dapat dilihat dari perbedaan pertumbuhan ekonomi dan nilai PDRB antar
koridor ekonomi dan provinsi yang bervariasi. Perbedaan ketersediaan fasilitas
infrastuktur dan tidak meratanya konsentrasi kegiatan ekonomi menambah
semakin melebarnya disparitas regional. Hal ini menunjukkan bahwa
pembangunan ekonomi Indonesia masih belum merata. Fakta dan indikasi ini
perlu mendapat perhatian agar upaya pembangunan ekonomi di Indonesia terus
mengalami peningkatan dan merata di seluruh wilayah koridor ekonomi sesuai
dengan potesinya.
tinggi, yang antara lain disebabkan oleh keberadaan migas di daerah tersebut
menyebabkan terjadinya disparitas ekonomi antar provinsi di Indonesia. Indeks
Williamson dapat digunakan untuk melihat disparitas regional. Hasil
perhitungan indeks Williamson di Indonesia pada kurun waktu 1991 sampai
2010 dapat dilihat pada Gambar 9.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari nilai indeks Williamson atau
koefisien variasi Williamson menunjukkan disparitas antar provinsi di
Indonesia dari tahun 1991-2010 cukup besar, yaitu berada pada kisaran 0,6
sampai 0,8. Berdasarkan hal tersebut, dapat diartikan bahwa antar provinsi di
Indonesia terjadi disparitas pendapatan yang cukup besar. Hal ini tidak terlepas
dari perbedaan kemampuan fiskal tiap daerah yang berimplikasi terhadap nilai
tambah bruto (PDRB) dalam perekonomian antar wilayah.
0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90
1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 0,63 0,63 0,61 0,66 0,66 0,66 0,67
0,68 0,69 0,70
0,79 0,79 0,79 0,79 0,80 0,80 0,79 0,82 0,82 0,82
Indeks Williamson
Sumber: BPS (diolah)
Gambar 9 Tingkat disparitas di Indonesia tahun 1991-2010
Pada tahun 1991-2010, indeks Williamson terbesar terjadi pada tahun
2008 dan 2010 yaitu 0,82. Akan tetapi peningkatan yang terbesar terjadi pada
tahun 2008. Pada tahun tersebut mulai diberlakukan Undang-undang Otonomi
Daerah. Dengan adanya otonomi daerah, setiap wilayah mempunyai
kewenangan untuk mengatur daerahnya masing-masing. Wilayah yang
berkembang dibandingkan daerah lainnya. Masing-masing daerah bersaing
untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial.
Kurva Williamson berlaku di Indonesia, pada periode 1993 sampai
2010. Pada awal pelaksanaan otonomi daerah ketimpangan wilayah meningkat,
hal ini disebabkan perbedaan kesiapan dari masing-masing daerah dalam
menghadapi otonomi daerah. Pada tahun-tahun selanjutnya, setiap wilayah
mulai dapat mengembangkan daerahnya masing-masing dalam rangka
mendorong proses pembangunan ekonomi di era otonomi daerah. Walaupun
demikian tingkat disparitas pada tahun-tahun berikutnya sampai pada tahun
2010 relatif konstan.
Fenomena disparitas antar daerah yang terjadi dapat disebabkan oleh
perbedaan ketersediaan fasilitas infrastruktur, seperti: pendidikan, kesehatan,
jalan, listrik dan air bersih. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan
ekonomi. Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan
produktivitas bagi faktor-faktor produksi, dan sebaliknya apabila mengabaikannya
akan menurunkan produktivitas.
Tabel 2. Persentase Rumahtangga yang Menggunakan Sumber Penerangan Listrik menurut Koridor di Indonesia, 2000-2009
Koridor 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
1. Sumatera 67,80 70,10 71,36 74,48 77,64 77,97 82,30 85,48 87,43 90,67 2. Jawa 95,74 95,39 96,03 96,55 97,25 94,21 97,84 97,34 98,36 98,88 3. Kalimantan 72,97 74,22 75,73 77,64 79,41 77,88 81,48 83,37 85,21 86,16 4. Sulawesi 70,24 68,35 68,21 70,04 72,19 72,73 74,35 78,93 82,15 85,45 5. Bali-Nusa Tenggara 72,89 69,73 70,95 70,06 71,90 69,84 72,84 73,78 75,24 78,67 6. Papua-Kep. Maluku 35,49 67,08 62,57 58,06 56,88 60,26 58,44 65,34 65,05 64,93 Sumber: BPS, 2000-2009 (diolah)
Salah satu sarana infrastruktur yang digunakan dalam penelitian ini adalah
infrastruktur listrik yang diproksi dengan persentase rumahtangga pengguna
listrik. Secara umum perkembangan infrastruktur listrik di semua koridor relatif
mengalami peningkatan sejak tahun 2000 hingga 2009, namun masih terlihat
adanya disparitas dalam hal pembangunan infrastruktur listrik ini di beberapa
koridor. Koridor Jawa dan Sumatera persentase rumahtangga pengguna listrik
dimana Koridor Papua-Kep.Maluku persentase paling kecil yaitu sebesar 64,93
persen saja. Hal ini mengindikasikan adanya disparitas pembangunan infrastruktur
terutama listrik antara koridor di Indonesia, dan dirasakan pembangunan
infrastruktur masih bias Jawa atau bias KBI dibandingkan dengan luar Jawa atau
KTI.
Beberapa studi menunjukkan bahwa ketersediaan infrastruktur dengan
PDB ternyata mempunyai hubungan yang erat. Elastisitas PDB terhadap
infrastruktur, yaitu perubahan persentase pertumbuhan PDB sebagai akibat dari
naiknya 1 persen ketersediaan infrastruktur, di berbagai negara bervariasi antara
0,07 sampai 0,44 (World Bank, 1994). Hal ini berarti dengan kenaikan‚ 1 persen
saja ketersediaan infrastruktur akan menyebabkan pertumbuhan PDB sebesar 0,07
persen sampai dengan 0,44 persen. Studi dari Calderon dan Serven (2002)
menyebutkan elastisitas PDB pertenaga kerja terhadap infrastruktur di Amerika
Latin untuk telepon sebesar 0,15; listrik 0,16; dan jalan 0,18. Di sisi lain berbagai
studi menunjukkan bahwa economic rate of return dari investasi infrastruktur berada disekitar 19-117 persen, jauh di atas biaya hutang yang mungkin berkisar
10 persen (Easterly dan Serven, 2002). Infrastruktur merupakan faktor produksi
(input) dalam menghasilkan output. Terdapat hubungan yang signifikan antara
infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi, maka dapat disimpulkan bahwa
keterbatasan ketersediaan infrastruktur akan menjadi penghambat (constraint) bagi pertumbuhan ekonomi, dan besarnya perbedaan ketersediaan infrastruktur
antar wilayah akan menimbulkan disparitas antar wilayah yang semakin melebar.
Kebijakan pemerintah dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi
dan mengurangi disparitas antar daerah perlu mendapatkan perhatian yang lebih.
Trade off yang terjadi antara disparitas dan pertumbuhan ekonomi membuat penentuan kebijakan harus tepat sasaran.
Upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi dapat ditempuh dengan
meningkatkan efisensi dalam kegiatan ekonomi. Efisiensi memerlukan dukungan
dari modal infrastruktur yang memadai sehingga mendorong peningkatan potensi
daerah masing-masing secara berkesinambungan. Infrastruktur yang tersedia akan
mendorong proses pertukaran sesuai dengan potensi dan kebutuhan
produksi. Perekonomian kemudian secara bersama-sama menuju proses
pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin meningkat sesuai dengan
kemampuannya yang optimal.
Peranan pemerintah dalam upaya meningkatkan pemerataan adalah dengan
mentransfer dana perimbangan, yang berupa DAU (Dana Alokasi Umum ), DAK
(Dana Alokasi Khusus), dan DBH (Dana Bagi Hasil). DAU merupakan transfer
yang bersifat umum yang diberikan kepada semua kabupaten/kota untuk tujuan
mengisi kesenjangan antara kapasitas dan kebutuhan fiskalnya dan didistribusikan
dengan formula berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang secara umum
mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih
banyak dari pada daerah kaya. Dengan kata lain tujuan alokasi DAU adalah dalam
rangka pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan publik antar daerah di
Indonesia. Namun, dengan fakta meningkatkan ketimpangan wilayah-wilayah di
Indonesia bahkan sejak adanya DAU, dapat dikatakan bahwa implementasi DAU
dirasakan masih kurang efektif.
Sumber: BPS, 2000-2010 (diolah)
Gambar 10 DAU, DAK, DBH dan Dana Perimbangan di Indonesia, Tahun 2000-2010 (Juta Rupiah)
Gambar 10 menunjukkan bahwa dana perimbangan yang didominasi oleh
DAU yang diberikan oleh pemerintah mengalami peningkatan sejak tahun 2000
memeratakan pembangunan wilayah masih belum tercapai jika dihubungkan
dengan ketimpangan di Indonesia. Ketimpangan antar wilayah di Indonesia
ternyata cenderung mengalami peningkatan, bahkan ketimpangannya masih tinggi
hingga mencapai 0,8 di tahun 2007. Ketimpangan yang tinggi dapat berdampak
negatif dan menjadi masalah dalam pembangunan dan dalam menciptakan
kesejahteraan di suatu wilayah.
Melihat kondisi di atas, serta dalam upaya mengurangi disparitas
pembangunan antar wilayah koridor ekonomi dan menciptakan pemerataan di
Indonesia, maka perlu dilakukan analisis dan identifikasi tingkat disparitas
pembangunan antar wilayah koridor ekonomi dan faktor-faktor penyebab
terjadinya disparitas tersebut.
Disparitas pendapatan antar wilayah menjadi fenomena yang penting dan
masih terus dikaji dan diteliti serta dianaisis karena sangat menentukan kebijakan
yang dapat diambil pemerintah dalam upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Penelitian ini tidak hanya berusaha mengkaji masalah ketimpangan
dari besaran ketimpangannya, tapi juga mengkaji bagaimana wilayah-wilayah
saling mendukung dalam mengurangi ketimpangan yang terjadi, sehingga
perekonomian menuju kepada tingkat tertentu (konvergen). Kekuatan yang
dimiliki suatu wilayah tidak hanya dapat meningkatkan perekonomian wilayah
sekitarnya, tetapi juga bisa sebaliknya. Adanya pusat pertumbuhan dapat menjadi
rangsangan pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya, namun dapat juga menjadi
penyebab pengurasan sumber daya ekonomi terutama tenaga kerja.
Analisis dinamika pendapatan antar wilayah selama ini dilakukan dengan
menggunakan PDRB yang mencerminkan seluruh produksi barang dan jasa yang
dihasilkan oleh wilayah tersebut. Angka ini menunjukkan potensi daerah dalam
proses dalam proses produksi, namun kurang dapat mempresentasikan
kemampuan masyarakatnya dalam mencapai kesejahteraan karena data PDRB
juga mencakup kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perusahaan luar yang
berada di wilayah tersebut. Kegiatan produksi dengan menggunakan modal yang
dimiliki oleh penduduk dari luar daerah juga dihitung sebagai produksi bruto
daerah tersebut sehingga penggunaan data PDRB untuk analisis kesejahteraan
wilayah berdasarkan data PDRB tersebut perlu dibandingkan dengan melihat
pendapatan masyarakat. Data mengenai pendapatan masyarakat di suatu wilayah
sulit diperoleh, sehingga diproksi dengan menggunakan pendekatan pengeluaran
rumah tangga. Permasalahan utama yang akan dianalisis dalam penelitian ini yaitu
bagaimana konvergensi antar wilayah koridor ekonomi di Indonesia dan
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya.
1.3. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis konvergensi dan
faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas antar wilayah koridor ekonomi di
Indonesia. Secara lebih rinci, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis dinamika disparitas pendapatan dan pembangunan
infrastruktur antar wilayah koridor ekonomi di Indonesia.
2. Menguji konvergensi wilayah dan membandingkan fenomena tingkat
konvergensi antar wilayah koridor ekonomi di Indonesia dikaji dari
pendekatan pendapatan PDRB dan pendekatan pengeluaran rumahtangga.
3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas wilayah antar
koridor ekonomi di Indonesia.
1.4. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan bahan dalam
perumusan atau penyusunan kebijakan perencanaan pembangunan wilayah bagi
pemerintah dalam hal untuk mengurangi tingkat disparitas wilayah antar koridor
ekonomi di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi para
investor yang untuk menanamkan modalnya di Indonesia, khususnya di wilayah
koridor ekonomi yang pembangunannya dan pertumbuhan ekonominya masih
kurang atau lambat misalnya dalam pembangunan infrastuktur agar terciptanya
kesejahteraan dan mengurangi ketimpangan atau disparitas. Selain itu, penelitian
ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan informasi tambahan bagi
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini menggunakan unit analisis seluruh kabupaten/kota dan
provinsi antar koridor ekonomi di Indonesia dengan menggunakan data hanya
tahun 2006-2010. Variabel infrastruktur yang digunakan dalam penelitian ini
hanya menggunakan infrastruktur sosial dan ekonomi yaitu infrastruktur jalan,
listrik, telepon, dan air bersih. Model yang dibangun berdasarkan ketersediaan
data dan informasi. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
analisis koefisien variasi Williamson, Indeks Theil, Regresi data panel statis, dan
regresi data panel dinamis. Dalam menggunakan model regresi data panel statis
menggunakan data di level provinsi untuk enam model untuk enam koridor
ekonomi, sedangkan untuk model regresi data panel dinamis menggunakan data di
2.1. Pendapatan Regional dan Pertumbuhan Ekonomi
Tingkat pertumbuhan perekonomian adalah kondisi dimana nilai riil Produk
Domestik Bruto (PDB) mengalami peningkatan output (Dornbusch et al., 2008). Penyebab utama dari pertumbuhan ekonomi adalah tersedianya sejumlah sumber
daya dan peningkatan efisiensi penggunaan faktor produksi. Konsep PDB
digunakan pada tingkat nasional, sedangkan untuk tingkat provinsi dan
kabupaten/kota digunakan konsep PDRB. PDB atau PDRB dapat diukur dengan
tiga macam pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan
pendekatan pengeluaran (Tambunan, 2001). Pendekatan produksi dan pendekatan
pendapatan adalah pendekatan dari sisi penawaran agregat (Aggregate Supply - AS) sedangkan pendekatan pengeluaran adalah pendekatan dari sisi permintaan agregat (Aggregate Demand - AD) (Blanchard, 2006).
Teori pertumbuhan ekonomi semakin berkembang dari masa ke masa.
Beberapa teori pertumbuhan ekonomi yang menonjol sebagaimana diuraikan
Todaro dan Smith (2006) adalah model pertumbuhan neoklasik dan model
pertumbuhan endogen. Teori pertumbuhan neo-klasik dimotori oleh Harrod
Domar dan Robert Solow.
Model pertumbuhan Harrod dan Domar dalam Jhingan (2008) atau lebih
dikenal dengan model pertumbuhan Harrod-Domar merupakan model
pertumbuhan Keynesian yang secara luas telah banyak diaplikasikan pada
negara-negara sedang berkembang. Domar mengkonstruksi teorinya dengan menekankan
peran ganda investasi dalam proses pertumbuhan ekonomi. Investasi
mempengaruhi permintaan agregat melalui proses investment multiplier dan dalam jangka panjang merupakan proses akumulasi modal yang akan menambah stok
kapital dan meningkatkan kapasitas produksi sehingga investasi juga
memengaruhi penawaran agregat. Domar hendak menjawab tingkat investasi yang
diperlukan agar peningkatan permintaan agregat setara dengan kapasitas produksi
sehingga pemanfaatan kapasitas penuh dapat dipertahankan.
dengan investasi (I) dikalikan dengan besaran multiplier (1/s). Sedangkan
pertumbuhan kapasitas produksi (penawaran agregat) sama dengan investasi (I)
dibagi rasio kapital output (k). Melalui manipulasi matematis diperoleh laju
pertumbuhan investasi yang diperlukan agar dapat menyamakan laju pertumbuhan
permintaan agregat dengan laju pertumbuhan penawaran, yaitu sebesar rasio MPS (Marjinal Propensity to Save = s) terhadap COR (Capital Output Rasio = k) atau dapat dinyatakan dengan persamaan berikut:
k s I
I K
K Y
Y = Δ = Δ =
Δ
………(2.1)
Dimana:
ΔY/Y = laju pertumbuhan permintaan agregat atau output
ΔK/K = laju peningkatan stok capital
ΔI/I = laju peningkatan investasi
Menurut Harrod dalam Jhingan (2008), pertumbuhan ekonomi dapat
dibedakan atas pertumbuhan aktual, pertumbuhan yang diinginkan, dan
pertumbuhan alamiah. Pertumbuhan aktual (the actual growth = ΔY/Y) adalah laju pertumbuhan sesungguhnya yang besarnya ditentukan oleh rasio tabungan-output
(S/Y) dan rasio tambahan kapitaloutput (ΔK/ΔY). Kedua besaran ini dianggap konstan dan melalui manipulasi matematis akan sama dengan tabungan. Pada
tingkat laju pertumbuhan aktual, output aktual tidak selalu sama dengan output
potensial.
Solow berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian
kegiatan yang bersumber pada manusia, akumulasi modal, pemakaian teknologi
modern dan output, guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan (sustain). Model Solow diformulasikan dengan menganggap input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala yang terus berkurang
(diminishing returns) jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan memakai asumsi skala hasil tetap (constant returns to scale) (Todaro dan Smith, 2009). Secara ekonomi, model pertumbuhan Solow dirancang untuk menunjukkan bagaimana pertumbuhan persediaan modal,
perekonomian, serta bagaimana pengaruhnya terhadap output barang dan jasa
suatu negara secara keseluruhan (Mankiw, 2007).
Mankiw (2007) menyatakan bahwa asumsi fungsi produksi bersifat constant returns to scale output akan meningkat dengan proporsi yang sama apabila kapital dan tenaga kerja digandakan dan input-output yang baru digunakan sepenting
input yang telah ada. Input selain kapital, tenaga kerja dan pengetahuan
diasumsikan tidak penting. Dari anggapan tersebut model Solow diformulasikan
sebagai suatu hubungan fungsional dimana output per tenaga kerja efektif sebagai
fungsi dari kapital per tenaga kerja efektif, yaitu:
y = f(k) ……….(2.2)
Dimana:
y = output per tenaga kerja efektif (Y/AL)
k = kapital per tenaga kerja efektif (K/AL)
Y = output
K = kapital
L = tenaga kerja
A = efektivitas tenaga kerja (pengetahuan)
AL = tenaga kerja efektif (labor augmented)
Investasi break even, (δ+n+g)k Investasiaktual
dan Investasi break even,
Investasi aktual, sf(k)
k* 0
Sumber: Mankiw (2007)
Gambar 11 Investasi Aktual dan Break-even
konsumsi dan investasi. Bagian output yang digunakan untuk tujuan investasi
bersumber dari tabungan. Sebagai proses akumulasi modal, satu unit investasi
menghasilkan satu unit tambahan kapital baru, sedangkan kapital yang lama
mengalami penyusutan. Tingkat perubahan stok kapital per unit tenaga kerja
efektif merupakan selisih antara perubahan investasi aktual dengan perubahan
investasi break-even (yaitu investasi yang diperlukan untuk mengimbangi pertumbuhan tenaga kerja dan ilmu pengetahuan serta menggantikan penyusutan
kapital yang lama sehingga jumlah stok kapital per tenaga kerja efektif yang ada
tetap terpelihara).
Stok kapital per tenaga kerja efektif akan berada pada posisi jalur
pertumbuhan ekonomi yang berimbang (the balance growth path) ketika perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even.
Sebagaimana ditunjukkan Gambar 11, apabila tingkat stok kapital per tenaga kerja
efektif rendah, investasi aktual per unit tenaga kerja efektif lebih besar dari
investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif sangat tinggi sehingga jumlahnya meningkat ke posisi stok kapital per tenaga
kerja efektif keseimbangan atau laju pertumbuhannya positif. Sebaliknya pada
tingkat stok kapital per tenaga kerja efektif yang tinggi, investasi aktual per unit
tenaga kerja lebih kecil dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif sangat rendah sehingga jumlahnya menurun ke
posisi stok kapital per tenaga kerja keseimbangan atau laju pertumbuhannya
negatif. Dengan demikian stok kapital per tenaga kerja efektif selalu konvergen ke
posisi keseimbangannya di titik k*.
Setelah konvergensi tercapai, laju pertumbuhan stok kapital per tenaga kerja
efektif mencapai nol karena pada posisi keseimbangan perubahan investasi aktual
sama dengan perubahan investasi break-even. Pada posisi ini stok kapital total, tenaga kerja efektif dan output total tumbuh pada tingkat yang sama yaitu sebesar
jumlah pertumbuhan tenaga kerja efektif dan pertumbuhan ilmu pengetahuan.
Stok kapital per tenaga kerja dan total output per tenaga kerja tumbuh sebesar
pertumbuhan ilmu pengetahuan.
Pemikiran Solow di atas menunjukkan bahwa perekonomian senantiasa
suatu situasi dimana setiap peubah tumbuh pada tingkat yang konstan. Pada
pertumbuhan yang berimbang, pertumbuhan output per tenaga kerja hanya
ditentukan oleh tingkat kemajuan teknologi. Di sinilah peran penting kemajuan
teknologi dalam proses pertumbuhan ekonomi menurut pandangan Solow.
Selanjutnya model pertumbuhan endogen dikembangkan untuk
memperbaiki teori pertumbuhan ekonomi klasik. Model pertumbuhan
neo-klasik berargumen bahwa pertumbuhan output didorong oleh tingkat
perkembangan teknologi. Tanpa perkembangan teknologi, tidak akan ada
pertumbuhan jangka panjang. Tetapi karena penyebab perkembangan teknologi
tidak diidentifikasikan dalam model Solow, maka hal yang mendasari
pertumbuhan tidak dijelaskan. Solow menganggap teknologi sebagai faktor
eksogen dalam proses proses pertumbuhan (Capello, 2007). Dengan demikian
model Solow tidak memperdulikan bagaimana mendorong kemajuan teknologi
melalui proses belajar (learning by doing), investasi dalam penelitian dan akumulasi pengetahuan.
Teori pertumbuhan endogen pada awalnya berkembang dalam dua cabang
pemikiran yang bertumpu pada pentingnya sumber daya manusia sebagai kunci
utama dalam perekonomian, yaitu:
1. Pemikiran yang percaya bahwa knowledge stock adalah sumber utama
bagi peningkatan produktivitas ekonomi.
2. Pemikiran yang menekankan pada pentingnya learning by doing dan
human capital dengan introduksi hal-hal baru (yang bersifat eksternal)
dalam perekonomian merupakan factor pendorong bagi peningkatan
produktivitas perekonomian.
Pemikiran yang pertama diangkat dan dikembangkan oleh Romer, yang
menempatkan stok pengetahuan sebagai salah satu faktor produksi yang semakin
meningkat. Sehingga tingkat pertumbuhan dapat terus ditingkatkan sesuai dengan
kemampuan masing-masing negara untuk meningkatkan dan menciptakan stok
pengetahuan. Oleh karena itu negara maju dengan kemampuan menciptakan
pengetahuan yang lebih cepat dibandingkan dengan negara miskin akan
mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibanding dengan negara