• Tidak ada hasil yang ditemukan

Convergence and the Factors that Influence Regional of District Level in Indonesia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Convergence and the Factors that Influence Regional of District Level in Indonesia."

Copied!
357
0
0

Teks penuh

(1)

MASFUFAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Konvergensi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesenjangan Pendapatan Daerah di Enam Koridor Ekonomi Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis.

Bogor, Juli 2013

Masfufah

(3)

Level in Indonesia. Under the Supervision of MUHAMMAD FIRDAUS and EKA INTAN KUMALA PUTRI.

Areas development is a sub system of economic corridors and province development, also as part of national development that could not be separated. The implication of economic development at each district level has been gave different achievement. The Implication of fiscal decentralization policy on 2001, gave an important roles to the region government on areas growth. Aims of this research are to analyze dynamics of areas disparity and facilities development, to examine the income convergence by Gross Regional Domestic Product (GRDP) and household expenditures of district level areas and comparing between economic corridor in Indonesia, and to analyze the influence factors of areas disparity between economic corridor in Indonesia for five years period on 2006-2010. The conclusion of analysis result shows when used GRDP, there were no income convergence of district level in Indonesia, while when used household expenditures by FD-GMM estimation technique, there were a number of convergence process. Further, there were convergences in every economic corridor, both with GRDP or household expenditures. The fastest convergence exists at Java Economic Corridor by household expenditures.

(4)

Pendapatan Daerah di Enam Koridor Ekonomi Indonesia. Dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS dan EKA INTAN KUMALA PUTRI.

Pertumbuhan ekonomi suatu negara menentukan standar hidup negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam pelaksanaan pembangunan merupakan salah satu sasaran bagi negara-negara berkembang. Perkembangan perekonomian yang dicapai bangsa Indonesia sampai saat ini ternyata masih harus menghadapi permasalahan yang mungkin juga dialami negara lain khususnya negara sedang berkembang. Realitas pembangunan ekonomi di Indonesia yang diakibatkan oleh adanya perbedaan laju pertumbuhan adalah terciptanya disparitas antar wilayah. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh perbedaan faktor endownment dari masing-masing wilayah.

Fenomena disparitas antar wilayah yang terjadi, diantaranya dapat disebabkan oleh perbedaan ketersediaan fasilitas infrastruktur (pendidikan, kesehatan, jalan, listrik, air bersih, dan telepon). Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi, dan sebaliknya apabila mengabaikannya akan menurunkan produktivitas. Dalam implementasi MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) dialkukan untuk mengembangkan 8 program utama yang terdiri dari 22 kegiatan ekonomi utama sesuai dengan potensi dan nilai strategis kegiatan utama tersebut di koridor yang bersangkutan. Dimana salah satu strateginya diantaranya adalah mengembangkan potensi ekonomi wilayah di 6 koridor ekonomi yaitu koridor ekonomi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Papua-Kep. Maluku dimana masing koridor ekonomi tersebut diposisikan strategi yang berbeda-beda.

Beranjak dari fenomena tersebut, bahwa karakteristik potensi wilayah koridor, baik yang bersifat alami maupun buatan merupakan salah satu unsur yang menarik dikaji dalam kaitannya dengan upaya pengurangan disparitas pembangunan antar wilayah koridor ekonomi dan kabupaten/kota yang ada. Dengan demikian diharapkam akan tercipta pemerataan (equity), pertumbuhan (efficiency), dan keberlanjutan (sustainability) dalam pembangunan wilayah.

Dinamika pendapatan antar wilayah selama ini dianalisis dengan menggunakan data PDRB per kapita yang menunjukkan potensi wilayah dalam proses produksi. Data ini kurang dapat mempresentasikan kemampuan masyarakatnya dalam mencapai kesejahteraan. Analisis konvergensi wilayah berdasarkan data tersebut prlu dibandingkan dengan melihat pendapatan masyarakat, yang diproksi dengan menggunakan pendekatan pengeluaran rumah tangga.

(5)

share sector pertanian terhadap PDRB, share manufaktur terhadap PDRB, share tenaga kerja yang berpendidikan SMA keatas, persentase rumah tangga yang pengguna listrik, persentase rumah tangga pengguna air bersih, persentase rumah tangga pengguna telepon, panjang jalan yang kondisinya baik dan sedang, baik jalan negara, jalan provinsi, maupun jalan kabupaten/kota yang berada pada masing-masing provinsi, serta rasio jumlah puskesmas terhadap jumlah penduduk dari beberapa provinsi di masing-masing koridor ekonomi di Indonesia dengan menggunakan model data panel statis.

Tren dinamika disparitas kabupaten/kota di Indonesia hasil penghitungan koefisien variasi Williamson selama periode 2006-2010 mengalami kecenderungan menurun, baik dihitung dengan pendekatan PDRB maupun pengeluaran rumah tangga. Namun disparitas wilayah kabupaten/kota di Indonesia masih tinggi berada pada kisaran 0,75 sampai dengan 0,77 selama periode penelitian., dimana disparitas di dalam koridor ekonomi lebih tinggi dibandingkan disparitas antar koridor ekonomi. Tren disparitas kabupaten/kota di masing-masing koridor juga mengalami kecenderungan menurun sama halnya dengan Indonesia, dimana disparitas kabupaten/kota yang terjadi koridor Jawa, serta koridor Papua-Kep Maluku lebih tinggi dibandingkan koridor Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali-Nusa Tenggara.

Dinamika pembangunan infrastruktur antar koridor ekonomi di Indonesia selama periode tahun 2006-2010 secara umum terus mengalami peningkatan . Peningkatan fasilitas infrastruktur yang terjadi masih belum sesuai dengan yang diharapkan, karena peningkatan terhadap kebutuhan infrastruktur secara umum juga terus meningkat. Indeks infrastruktur yang tertinggi terjadi di koridor Jawa dan Sumatera, sedangkan yang terendah terjadi di koridor Papua-Kep. Maluku.

Estimasi konvergensi Indonesia dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan pada variable dependennya, yaitu pendekatan PDRB dan pengeluaran rumah tangga. Koefisien yt-1 pada estimasi konvergensi PDRB per kapita lebih dari 1, yang menunjukkan bahwa konvergensi tidak terjadi di Indonesia (pendapatan kabupaten/kota di Indonesia divergen) dengan metode panel dinamis FD-GMM.

Estimasi konvergensi kabupaten/kota di koridor-koridor ekonomi di Indonesia dengan menggunakan data pengeluaran semuanya konvergen, dengan tingkat konvegensi tertinggi di koridor Jawa dan terendah di koridor Sulawesi. Tingkat konvergensi pengeluaran rumah tangga mencapai nilai yang tinggi karena pendekatan ini hanya melihat konvergensi dari pelaku ekonomi rumah tangga, berbeda dengan konvergensi PDRB yang melibatkan semua pelaku ekonomi, baik rumah tangga, swasta, maupun pemerintah. Aktivitas ekonomi yang dilakukan juga berbeda, tidak hanya konsumsi seperti pendekatan pengeluaran rumah tangga, namun juga investasi, baik yang dilakukan perusahaan swasta maupun pemerintah. Perbandingan tingkat konvergensi ini menunjukkan bahwa tingkat pembangunan wilayah yang sama akan dicapai dalam kurun waktu yang lebih lama dibandingkan dengan kesamaan daya beli masyarakat.

(6)

Indonesia pendekatan PDRB per kapita adalah share tenaga kerja berpendidikan SMA keatas, dan infrastruktur telepon secara negatif. Disparitas pengeluran rumah tangga dipengaruhi oleh infrastruktur air bersih dan telepon secara negatif. Koridor Sumatera pendekatan PDRB dan pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh infrastruktur telepon secara negatif. Koridor Jawa pendekatan PDRB dipengaruhi oleh share sektor manufaktur secara positif, dan infrastruktur jalan secara positif, sedangkan pendekatan pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh infrastruktur jalan secara positif. Koridor Kalimantan pendekatan PDRB dan pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh infrastruktur listrik secara positif. Koridor Sulawesi pendekatan PDRB dipengaruhi oleh shate tenaga kerja berpendidikan SMA keatas secara negatife, sedangkan pendekatan pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh infrastruktur telepon secara negatif. Koridor Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Kep.Maluku pendekatan PDRB pe kapita dan pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh share pengeluaran rutin pemerintah secara negatif.

Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang dirumuskan, maka beberapa saran yang dapat diberikan yaitu sebagai berikut: (1) Pembangunan infrastruktur sebagai bagian dari investasi menempati posisi penting dalam upaya mengurangi tingkat disparitas antar koridor ekonomi di Indonesia. Dengan adanya pemerataan dalam pembangunan infrastruktur antara enam koridor ekonomi di Indonesia dalam MP3EI diharapkan dapat mengurangi disparitas wilayah antar koridor ekonomi maupun disparitas wilayah dibawahnya yang lebih kecil lagi. Sehingga diharapkan tercipta pertumbuhan ekonomi yang diimbangi dengan pemerataan (growth with equity) sesuai dengan potensi wilayahnya. Dalam rangka pemerataan pembangunan maka perlu adanya pemerataan fasilitas infrastruktur dan penciptaan pembangunan di wilayah-wilayah yang memiliki potensi. Dalam jangka panjang interkoneksi berbagai infrastruktur tersebut secara meluas akan memberikan potensi pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan jika terpusat. (2) Pemerintah hendaknya memperhatikan aspek peningkatan sumber daya manusia. Karena sumber daya manusia merupakan variabel penting dan terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan terciptanya konsentrasi kegiatan ekonomi. Perlu adanya reposisi kebijakan pendidikan di Indonesia, dengan memandang bahwa pendidikan merupakan investasi. Konsekuensi dari reposisi yaitu perlu ditetapkan dan disosialisasikan standar pelayanan minimum pendidikan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan di Indonesia, yang mencakup aspek equity, efisiensi, partisipasi, kualitas dan sustaiability sehingga dapat mengurangi disparitas wilayah. (3) Untuk penelitian lebih lanjut, perlu disempurnakan dengan menggunakan series data yang lebih panjang sehingga bisa terlihat trennya dan hasil penelitian bias lebih baik lagi. Sedangkan varibel infrastruktur perlu penyempurnaan dengan memasukkan beberapa variabel infrastruktur lainnya. Selain itu perlu dilakukan kajian lebih mendalam mengenai kebijakan-kebijakan dan program yang telah dilaksanakan oleh pemerintah terkait dengan pembangunan infrastruktur, konvergensi dan disparitas.

(7)

               

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

MASFUFAH

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan

Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Nama : Masfufah

NRP : H152090101

Program Studi : Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D Ketua

Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.Sc Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi

Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Asc. Agr

(11)

Puji syukur di panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Konvergensi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesenjangan Pendapatan Daerah di Enam Koridor Ekonomi Indonesia, dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjeng pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan di Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih dapat meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS atas kesediannya menjadi penguji luar komisi, dan Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.Sc selalu perwakilan Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Demikian juga terima kasih dan penghargaan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada Ibu yang tercinta, atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan. Ucapan terima kasih juga penulis persembahkan kepada yang penuh kesabaran, ketabahan, dan kesetiaan selalu memberi motivasi dan semangat, Agus Kadaryanto suamiku tersayang, semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan. Melalui kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua anakku Puput dan Fadil atas kesabarannya karena perhatian dari penulis berkurang selama waktu perkuliahan dan penulisan tesis ini.

Ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada pengelola Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS selaku Ketua Program Studi dan Bapak Dr. Setia Hadi, MS selaku sekretaris Program Studi yang lama dan Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.Sc selaku sekretaris Program Studi yang baru. Penulis juga menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada teman-teman dan Badan Pusat Statistik yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dalam melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Akhir kata penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya Allah SWT yang Yang Maha Kuasa yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis.

Bogor, Juli 2013

(12)

Penulis bernama Masfufah lahir pada tanggal 15 Desember 1974 di DKI Jakarta. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara, dari pasangan Bapak Muchson (almarhum) dan Ibu Ngadawiyah.

Penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN 01 Cipinang Muara Jakarta pada tahun 1987, selanjutnya menamatkan jenjang SLTP pada SMPN 52 Cipinang Elok Jakarta pada tahun 1990. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMAN 54 Rawa Bunga Jakarta dan lulus pada tahun 1993.

Setelah tamat SMA, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, lulus pada tahun 2001 (tugas belajar) yang sebelumnya telah bekerja terlebih dahulu di Badan Pusat Statistik (BPS) RI.

(13)

DAFTAR ISI ... xv

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 19

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 21

2.1. Pendapatan Regional dan Pertumbuhan Ekonomi ... 21

2.2. Konvergensi ... 27

2.3. Disparitas Wilayah ... 28

2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disparitas Wilayah ... 31

2.4.1. Peranan Pemerintah dalam Perekonomian ... 33

4.2. Dinamika Pembangunan Infrastruktur ... 91

4.2.1. Infrastruktur Listrik ... 91

4.2.2. Infrastruktur Air Bersih ... 92

(14)

4.2.3. Infrastruktur Telepon ... 94

4.2.4. Infrastruktur Jalan ... 95

4.2.5. Penghitungan Indeks Infrastruktur ... 96

V. KONVERGENSI WILAYAH ANTAR KORIDOR DI INDONESIA 101 5.1. Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Indonesia ... 101

5.2. Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Koridor Ekonomi Sumatera ... 103

5.3. Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Koridor Ekonomi Jawa 105 5.4. Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Koridor Ekonomi Kalimantan ... 107

5.5. Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Koridor Ekonomi Sulawesi ... 109

5.6. Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Koridor Ekonomi Bali-Nusa Tenggara ... 111

5.7. Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Maluku ... 112

5.8. Perbandingan Konvergensi antar Kabupaten/Kota di Beberapa Koridor di Indonesia ... 114

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DISPARITAS WILAYAH ... 117

6.1. Disparitas antar Provinsi di Indonesia ... 117

6.2. Disparitas antar Provinsi di Koridor Ekonomi Sumatera ... 120

6.3. Disparitas antar Provinsi di Koridor Ekonomi Jawa ... 123

6.4. Disparitas antar Provinsi di Koridor Ekonomi Kalimantan ... 125

6.5. Disparitas antar Provinsi di Koridor Ekonomi Sulawesi ... 127

6.6. Disparitas antar Provinsi di Koridor Ekonomi Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Kep. Maluku ... 129

6.7. Perbandingan Disparitas antar Provinsi di Beberapa Koridor di Indonesia ... 131

6.8. Pengembangan Potensi Wilayah Koridor Ekonomi Dalam MP3EI ... 134

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 137

7.1. Kesimpulan ... 137

7.2. Saran ... 138

DAFTAR PUSTAKA ... 141

LAMPIRAN ... 145

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Indeks Gini Indonesia Menurut Daerah, Tahun 2002-2010 ... 10

2. Persentase Rumahtangga yang Menggunakan Sumber Penerangan

Listrik menurut Koridor di Indonesia, 2000-2009 ... 14

3. Definisi Operasiponal Variabel ... 54

4. Matriks Pendekatan Penelitian ... 55

5. Disparitas dengan KV Williamson Wilayah-wilayah Koridor

Ekonomi Pendekatan PDRB per Kapita di Indonesia, 2006-2010 ... 82

5.1 Perkembangan PDRB per Kapita Antar Wilayah Koridor

Ekonomi di Indonesia, 2006-2010 (Ribu Rupiah) ... 83

6. Disparitas Wilayah-wilayah Koridor Ekonomi Pendekatan

Pengeluaan Rumah Tangga di Indonesia, 2006-2010 ... 85

7. Panjang Jalan dengan Kondisi Baik dan Sedang menurut Koridor

Ekonomi di Indonesia, 2006-2010 ... 95

8. Indeks Infrastruktur menurut Jenis Infrastruktur dan Koridor

Ekonomi di Indonesia, 2010 ... 98

9. Hasil Penghitungan Indeks Infrastruktur dan Peringkatnya antar

Koridor Ekonomi di Indonesia, 2006 dan 2010 ... 99

10. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per kapita di Indonesia dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ... 102

11. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Indonesia dengan Metode Data Panel Dinamis

FD-GMM ... 102

12. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per Kapita di Koridor Sumatera dengan Metode Data Panel

Dinamis FD-GMM ... 104

13. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Sumatera dengan Metode Data Panel

Dinamis FD-GMM ... 105

14. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per

Kapita di Korido Jawa dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM 106

(16)

15. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Jawa dengan Metode Data Panel Dinamis

FD-GMM ... 107

16. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per Kapita di Koridor Kalimantan dengan Metode Data Panel

Dinamis FD-GMM ... 108

17. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Kalimantan dengan Metode Data Panel

Dinamis FD-GMM ... 108

18. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per Kapita di Koridor Sulawesi dengan Metode Data Panel Dinamis

FD-GMM ... 109

19. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota PendekatanPengeluaran Rumah Tangga di Koridor Sulawesi dengan Metode Data Panel

Dinamis FD-GMM ... 110

20. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per Kapita di koridor Bali-Nusa Tenggara dengan Metode Data Panel

Dinamis FD-GMM ... 111

21. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Bali-Nusa Tenggara dengan Metode

Data Panel Dinamis FD-GMM ... 112

22. Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB per Kapita di Koridor Papua-Kep. Maluku dengan Metode Data Panel

Dinamis FD-GMM ... 113

23. Estimas Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Papua-Kep. Maluku dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ... 114

24. Pengujian Validitas Instrumen dan Konsistensi Model Data Panel Dinamis FD-GMM dalam Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota

di Indonesia ... 115

25. Estimasi Tingkat Konvergensi Wilayah-wilayah Koridor Ekonomi

Indonesia dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ... 116

26. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB per

Kapita di Indonesia, 2006-2010 ... 118

27. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disparitas

(17)

Tingkat Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran

Rumah Tangga di Indonesia, 2006-2010 ... 119

28. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB per Kapita

di Koridor Sumatera, 2006-2010... 121

29. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran

Rumah Tangga di Koridor Sumatera, 2006-2010 ... 122

30. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB per Kapita

di Koridor Jawa, 2006-2010 ... 124

31. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran

Rumah Tangga di Koridor Jawa, 2006-2010 ... 124

32. Hasil Estimasin Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat

Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB per Kapita di

Koridor Kalimantan, 2006-2010 ... 126

33. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran

Rumah Tangga di Koridor Kalimantan, 2006-2010 ... 126

34. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wi;layah antar Provinsi Pendekatan PDRB per Kapita

di Koridor Sulawesi, 2006-2010 ... 128

35. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Wilayah

antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor

Sulawesi, 2006-2010 ... 128

36. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat

Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan PDRB per Kapita di Koridor Bali-Nusa Tenggara dan Papua-Kep. Maluku, 2006-2010 . 129

37. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Koridor Bali-Nusa Tenggara dan

Papua-Kep.Maluku, 2006-2010 ... 130

38. Perbandingan Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi di Beberapa Koridor di

Indonesia Pendekatan PDRB per Kapita, 2006-2010 ... 132

(18)

39. Perbandingan Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Disparitas Wilayah antar Provinsi di Beberapa Koridor di

Indonesia Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga, 2006-2010 ... 133

(19)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Pertumbuhan ekonomi Indonesia, tahun 1990-2008 ... 2

2. Peta tematik PDRB provinsi dan kontribusi PDRB KBI-KTI Terhadap PDB di Indonesia tahun 2007 ... 5

3. Kontribusi PDRB adhk 2000 di 6 Koridor dalam MP3EI terhadap PDB Nasional, Tahun 2003-2007 ... 6

4. Persentase Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah di 6 Koridor dalam MP3EI, Tahun 2010 (Persen) ... 7

5. Persentase Investasi di 6 Koridor dalam MP3EI terhadap Investasi Nasional, Tahun 2010 (Persen) ... 8

6. Jumlah Penduduk Miskin di 6 Koridor dalam MP3EI dan Indonesia, 2002-2010 (Ribu Jiwa) ... 9

7. Kontribusi Sektor Pertanian, Manufaktur dan Sektor Jasa di Indonesia, Tahun 2006-2009 ... 11

8. Kontribusi Tenaga Kerja Sektor Pertanian, Manufaktur dan Sektor Jasa, Tahun 2008 ... 12

9. Tingkat Disparitas di Indonesia Tahun 1991-2010 ... 13

10. DAU, DAK, DBH dan Dana Perimbangan di Indonesia, Tahun 2000-2010 ... 16

11. Investasi Aktual dan Break-even ... 23

12. Konvergensi Bersyarat/Kondisional (Conditional Convergence) .... 28

13. Kurva Kuznets tentang Hubungan Pendapatan dan Ketimpangan ... 30

14. Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi ... 39

15. Diagram Alur Kerangka Pemikiran Penelitian ... 49

16. Diagram Alur Kerangka Analisis ... 77

17. Disparitas Antar dan Intra Koridor di Indonesia, 2006-2010 ... 80

18. Tren Kontribusi Sektor Pertanian antar Wilayah-wilayah Koridor

(20)

xxii

Ekonomi di Indonesia, 2006-2010 (Persen) ... 84

19. Tren Disparitas antar Wilayah Koridor Ekonomi di Indonesia dengan KV Williamson, 2006-2010 ... 84

20. Disparitas antar Kabupaten/Kota di Indonesia Pendekatan

PDRB per Kapita dan Pengeluaran Rumah Tangga, 2006-2010 ... 86

21. Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor Sumatera dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran

Rumah Tangga, 2006-2010 ... 87

22. Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor Jawa dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran

Rumah Tangga, 2006-2010 ... 88

23. Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor

Kalimantan dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran

Rumah Tangga, 2006-2010 ... 89

24. Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor Sulawesi dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan Pengeluaran

Rumah Tangga, 2006-2010 ... 89

25. Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor Bali-Nusa Tenggara dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan

Pengeluaran Rumah Tangga, 2006-2010 ... 90

26. Perbandingan Disparitas antar Kabupaten/Kota di Koridor Papua-Kep. Maluku dengan Pendekatan PDRB per Kapita dan

Pengeluaran Rumah Tangga, 2006-2010 ... 90

27. Persentase Rumah Tangga yang Menggunakan Listrik menurut

Koridor Ekonomi di Indonesia, 2006-2010 ... 91

28. Persentase Rumah Tangga yang Menggunakan Air Bersih menurut

Koridor Ekonomi di Indonesia, 2006-2010 ... 93

29. Persentase Rumah Tangga yang Menggunakan Telepon menurut

Koridor Ekonomi di Indonesia, 2006-2010 ... 94

30. Indeks Infrastruktur menurut Koridor Ekonomi di Indonesia,

(21)

1.1. Latar Belakang

Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang meliputi

berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan

institusi-institusi nasional. Disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan

ekonomi, penanganan disparitas pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Pada

hakekatnya, pembangunan harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat

untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik,

secara material maupun spiritual (Todaro dan Smith, 2009). Sedangkan UNDP

mendefinisikan pembangunan dan khususnya pembangunan manusia sebagai

proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk (a process of enlarging people’s choise). Dalam konsep tersebut, penduduk ditempatkan sebagai tujuan akhir (the ultimate end), bukan alat, cara atau instrumen pembangunan sebagaimana yang dilihat oleh model formasi modal manusia (human capital formation). Sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu.

Tujuan dari pembangunan ekonomi pada prinsipnya dapat dikelompokkan

menjadi dua, yaitu: meningkatkan pendapatan per kapita penduduk dalam jangka

panjang dan meningkatkan produktivitas. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi

tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi (economic growth). Pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan

ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi.

Sejak tahun 1969, bangsa Indonesia sebagai negara berkembang telah

melaksanakan pembangunan ekonomi secara berencana dan bertahap, tanpa

mengabaikan usaha pemerataan dan kestabilan. Perkembangan pertumbuhan

ekonomi di Indonesia, dapat dilihat pada Gambar 1 yang menerangkan bahwa

pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang fluktuatif dari tahun

(22)

7,20 8,22

-13,13 4,92

6,32 6,06

Sumber: PDB 1990-2008, BPS (diolah)

Gambar 1 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, tahun 1990-2008

Perekonomian Indonesia sejak awal pembangunan menunjukkan kinerja

yang cukup baik hingga awal tahun 1997 yang ditandai oleh menguatnya beberapa

indikator makro ekonomi. Tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai 7,8% pada

tahun 1996 dan investasi langsung luar negeri mencapai $6,5 juta pada tahun

fiskal 1996/1997. Cadangan devisa resmi pemerintah pada bulan Maret 1997

mencapai $20 juta dan tingkat depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika masih

terpelihara pada kisaran 3-5% (BI, 1997).

Krisis moneter dan krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun

1997, yang berlanjut menjadi krisis multidimensi, membawa dampak pada kondisi

perekonomian di Indonesia. Akibat dari krisis tersebut perekonomian Indonesia

mengalami masa yang sulit, inflasi tinggi, dan rupiah terdepresiasi. Kondisi ini

mengakibatkan hampir seluruh kegiatan ekonomi terhenti (stagnan) dan laju pertumbuhan ekonomi mengalami konstraksi hingga negatif 13,13 persen.

Berbagai usaha dilakukan pemerintah melalui kebijakan-kebijakan untuk

mengatasi perekonomian yang terpuruk pada saat itu.

Tahun-tahun berikutnya setelah masa krisis, perekonomian Indonesia

mengalami pemulihan (recovery). Pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada kisaran 4 persen sampai dengan 6 persen. Perekonomian Indonesia mulai

membaik, aktivitas ekonomi mulai berjalan dengan baik sehingga pertumbuhan

(23)

tersebut ditunjang oleh membaiknya infrastuktur yang ada serta

kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah baik fiskal maupun moneter (Lestari,

2008).

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 cenderung melambat

menjadi 6,06 persen. Hal ini disebabkan oleh adanya tekanan dari krisis global

yang cukup berat. Terimbas oleh ketidakpastian pasar finansial global yang

meningkat, proses perlambatan ekonomi dunia yang signifikan, dan perubahan

harga komoditas global yang sangat drastis. Namun demikian, perkembangan

ekonomi Indonesia tidaklah terlampau buruk dibandingkan negara lain (Gambar

1).

Perkembangan perekonomian yang dicapai Indonesia sampai saat ini

ternyata masih harus menghadapi permasalahan yang mungkin juga dialami

negara lain, khususnya negara sedang berkembang. Salah satu realitas

pembangunan ekonomi di Indonesia yang diakibatkan oleh adanya perbedaan laju

pertumbuhan adalah terciptanya ketimpangan/disparitas antar wilayah. Hal

tersebut salah satunya disebabkan oleh perbedaan faktor endowment dari masing-masing daerah. Fakta adanya disparitas tersebut tercermin dalam kesenjangan

kinerja pembangunan perekonomian antara provinsi satu dan lainnya, antara

perkotaan dan perdesaan, antara Pulau Jawa dan luar Jawa, serta antara Kawasan

Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI).

Sehubungan dengan permasalahan ketimpangan/disparitas antar wilayah

khususnya antar pulau di Indonesia, pemerintah meluncurkan program MP3EI

yang tujuannya diantaranya untuk mengurangi disparitas. Khususnya ketimpangan

dalam hal pembangunan infrastruktur. Dalam implementasi MP3EI1 dilakukan

untuk mempercepat dan memperluas pembangunan ekonomi melalui

pengembangan 8 program utama (pertanian, pertambangan, energi, industri,

1

(24)

kelautan, pariwisata, telematika, dan pengembangan kawasan strategis) yang

terdiri dari 22 kegiatan ekonomi utama sesuai dengan potensi dan nilai strategis

kegitan utama tersebut di koridor yang bersangkutan. Strategi pelaksanaan MP3EI

dilakukan dengan mengintegrasikan 3 elemen utama yaitu:

1. mengembangkan potensi ekonomi wilayah di 6 Koridor Ekonomi

Indonesia, yaitu:

ƒ Koridor Ekonomi Sumatera, diposisikan sebagai “sentra produksi dan

pengolahan hasil bumi dan lumbung energi nasional”.

ƒ Koridor Ekonomi Jawa, diposisikan sebagai “pendorong industry dan

jasa nasional”.

ƒ Koridor Ekonomi Kalimantan, diposisikan sebagai “pusat produksi

dan pengolahan hasil tambang dan lumbung energi nasional”.

ƒ Koridor Ekonomi Sulawesi, diposisikan sebagai “pusat produksi dan

pengolahan hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan nasional”.

ƒ Koridor Ekonomi Bali-Nusa Tenggara, diposisikan sebagai “pintu

gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional”.

ƒ Koridor Ekonomi Papua dan Kepulauan Maluku, diposisikan sebagai

“pusat pengembangan pangan, perikanan, energy, dan pertambangan

nasional”.

2. memperkuat konektivitas nasional yang terintegrasi secara lokal dan

terhubung secara global (locally integrated, globally connected)

3. memperkuat kemampuan SDM dan IPTEK nasional untuk mendukung

pengembangan program utama di setiap koridor ekonomi.

Berkaitan dengan program MP3EI tersebut, maka perlu dikaji lebih dalam

bagaimana perekonomian antar koridor tersebut terkait dengan disparitas antar

wilayah koridor ekonomi. Indikasi disparitas antar wilayah dapat dilihat dari

perbedaan tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi antar wilayah. Data

BPS tahun 2007 mengenai PDRB dan laju pertumbuhan ekonomi seluruh provinsi

menunjukkan bahwa terjadi pemusatan produksi barang dan jasa di Pulau Jawa.

Pulau yang luasnya hanya mencapai 7 persen dari luas Indonesia ini mendominasi

sekitar 60,20 persen dari seluruh PDRB, sedangkan provinsi di Sumatera

(25)

menguasai 4,09 persen, dan provinsi di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua hanya

3,61 persen. Sementara itu, rata-rata laju pertumbuhan ekonomi provinsi di Jawa

dan Bali pada tahun 2007 sebesar 6,17 persen, provinsi di Sumatera sebesar 4,96

persen, Kalimantan sebesar 3,14 persen, Sulawesi sebesar 6,88 persen, provinsi di

Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua sebesar 5,04 persen. Kecenderungan

persebaran penguasaan PDRB dan laju pertumbuhan yang tidak sama akan

menyebabkan semakin timpangnya pembangunan antar wilayah.

Disparitas yang ditunjukkan melalui data PDRB juga terjadi antara KBI

dan KTI (lihat Gambar 2). KBI dengan luas wilayah 31,25 persen dari luas

Indonesia mendominasi pendapatan nasional sebesar 83,55 persen pada tahun

2007. Pada Gambar 2 juga terlihat bahwa disparitas bukan hanya terjadi antar

pulau dan antar kawasan, melainkan juga terjadi antar provinsi di Indonesia.

1000 0 1000 2000 3000 Kilometers

N

Persentase Terhadap PDB KTI 16,45 %

KBI 83,55 % Legenda:

Nilai PDRB

Gambar 2 Peta tematik PDRB provinsi dan kontribusi PDRB KBI-KTI terhadap PDB di Indonesia tahun 2007

Fenomena disparitas antar wilayah yang terjadi, diantaranya disebabkan

oleh perbedaan ketersediaan fasilitas infrastruktur, seperti: pendidikan, kesehatan,

jalan, listrik dan air bersih. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan

ekonomi. Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan

produktivitas bagi faktor-faktor produksi, dan sebaliknya apabila mengabaikannya

(26)

Sumber: BPS, 2003-2007 (diolah)

Gambar 3 Kontribusi PDRB adhk 2000 di 6 Koridor dalam MP3EI terhadap PDB Nasional, Tahun 2003-2007

Pesatnya perkembangan perekonomian di Indonesia disebabkan besarnya

investasi baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman

Modal Asing (PMA). Investasi merupakan salah satu faktor yang krusial bagi

proses kemajuan pembangunan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi jangka

panjang yang melibatkan kegiatan-kegiatan produksi di semua sektor ekonomi.

Investasi di Indonesia bervariasi antar wilayah koridor ekonomi, dimana Koridor

Jawa mendominasi dibanding koridor lainnya yaitu sebesar 60 persen. Investasi

yang paling sedikit terdapat di Koridor Papua-Kep Maluku hanya 1 persen saja

(Gambar 5). Hal ini sangat timpang jika dibandingkan dengan persentase jumlah

penduduk dan luas wilayah di 6 koridor, ternyata Jawa yang persentase penduduk

terbesar dan luas wilayah terkecil namun investasi di Koridor Jawa lebih besar

dibanding Koridor Papua-Kep Maluku dengan persentase penduduk terkecil dan

luas wilayah terbesar (Gambar 4). Demikian pula jika dibandingkan dengan

kontribusi PDRB di 6 koridor terhadap PDB Nasional dimana Koridor Jawa

masih mendominasi dibandingkan koridor lainnya (Gambar 3). Beberapa masalah

tersebut memicu ketimpangan wilayah di Indonesia, khususnya ketimpangan antar

(27)

Sumber: BPS, 2010 (diolah)

Gambar 4 Persentase Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah di 6 Koridor dalam MP3EI, Tahun 2010 (Persen)

Fenomena disparitas wilayah memang sudah menjadi hal yang biasa dalam

perkembangan suatu wilayah karena berbagai alasan. Disparitas tersebut tidak

hanya terjadi pada lingkup negara, bahkan sampai pada wilayah provinsi atau unit

yang lebih rendah sekalipun. Sering kali disparitas menjadi permasalahan yang

serius bagi setiap wilayah karena berpotensi menimbulkan konflik finansial,

sosial, atau hubungan yang saling memperlemah antar wilayah. Wilayah

hinterland akan menjadi lemah karena eksploitasi sumber daya yang berlebihan, sementara wilayah inti juga dapat menjadi lemah karena faktor urbanisasi yang

tinggi.

Penyebab disparitas menurut Anwar (2005), terdiri dari beberapa hal yaitu

1) Perbedaan karakteristik limpahan sumberdaya alam (resource endowment); 2) Perbedaan demografi; 3) Perbedaan kemampuan sumberdaya manusia (human capital); 4) Perbedaan potensi lokasi; 5) Perbedaan dari aspek aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan; dan 6) Perbedaan dari aspek potensi

pasar. Berdasarkan faktor tersebut maka dalam suatu wilayah akan terdapat

beberapa macam karakteristik wilayah ditinjau dari aspek kemajuannya, yaitu: 1)

Wilayah maju; 2) Wilayah sedang berkembang; 3) Wilayah belum berkembang;

(28)

Sumber: BKPM, 2010

Gambar 5 Persentase Investasi di 6 Koridor dalam MP3EI terhadap Investasi Nasional, Tahun 2010 (Persen)

Perbedaan perkembangan wilayah akan membentuk suatu struktur wilayah

yang berhirarki, dimana wilayah yang telah maju cenderung akan cepat

berkembang menjadi pusat aktifitas baik perekonomian maupun pemerintahan.

Wilayah yang sumber daya alamnya kurang mendukung akan relatif kurang

berkembang dan cenderung menjadi wilayah hinterland. Keadaan ini dapat menjadi faktor pendorong bagi sumber daya manusia untuk bekerja ke wilayah

yang lebih berkembang dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya sehingga akan

semakin sulit bagi wilayah ini untuk berkembang karena telah mengalami

kekurangan sumberdaya manusia.

Evaluasi keberhasilan pembangunan antar wilayah koridor ekonomi di

Indonesia perlu dikaji secara simultan dengan sisi pemerataan sesuai dengan

potensi wilayahnya, yang dikaitkan dengan besarnya jumlah penduduk miskin.

Data kemiskinan yang diolah dari hasil survey Susenas BPS, 2002-2010

menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia secara absolut telah mengalami

penurunan sebesar 19,2 persen, yaitu dari 38,39 juta jiwa pada tahun 2002

menjadi 31,02 juta jiwa pada tahun 2010. Dari jumlah tersebut, lebih dari 50

persen penduduk miskin berada di koridor Jawa (55,83 persen) yang merupakan

(29)

(21,44 persen), Sulawesi (7,57 persen), Bali-Nusa Tenggara (7,09 persen),

Papua-Kep. Maluku (4,79 persen), dan terakhir koridor Kalimantan hanya 3,28 persen

penduduk miskinnya seperti ditunjukkan pada Gambar 6.

Peningkatan persentase penduduk miskin terjadi selama tahun 2005-2006

yang disebabkan karena harga barang-barang kebutuhan pokok selama periode

tersebut naik tinggi, yang digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17,95 persen.

Kenaikan inflasi ini dipicu adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)

rata-rata sebesar 126 persen yang ditetapkan oleh pemerintah pada tahun 2005.

Kenaikan ini dilakukan untuk mengurangi beban subsidi BBM akibat

meningkatnya harga minyak mentah dunia. Peningkatan inflasi akan

menyebabkan daya beli penduduk menjadi merosot, dan menyebabkan penduduk

yang penghasilannya berada sedikit di atas garis kemiskinan banyak yang

bergeser posisinya menjadi miskin sehingga tingkat kemiskinan mengalami

peningkatan.

Sumber: BPS, 2002-2010 (diolah)

Gambar 6 Jumlah Penduduk Miskin di 6 Koridor dalam MP3EI dan Indonesia, 2002-2010 (Ribu Jiwa)

Menurut status daerah, distribusi pemerataan menunjukkan pola yang

berbeda. Distribusi pendapatan merupakan porsi pendapatan yang diterima oleh

setiap individu atau rumahtangga, tergantung pada tingkat produktivitas dan

peranannya dalam perekonomian. Salah satu ukuran yang sering digunakan untuk

mengukur ketidakmerataan distribusi pendapatan adalah rasio gini. Ternyata rasio

(30)

Tabel 1 bahwa daerah perkotaan mempunyai ketimpangan yang lebih tinggi

dibandingkan dengan daerah perdesaan.

Nilai gini rasio di atas 0,3 dapat ditunjukkan bahwa ketimpangan masih

terus terjadi di Indonesia. Wilayah perkotaan yang terus mengejar pertumbuhan

ekonomi justru terbentur pada masalah ketimpangan yang semakin melebar antar

golongan masyarakat, antar pelaku ekonomi serta antar wilayah. Data-data

tersebut memberikan gambaran bahwa upaya penanggulangan kemiskinan yang

dilakukan pemerintah masih belum bersinergi dengan kebijakan percepatan

pertumbuhan ekonomi sehingga dapat menyebabkan disintegritas dan

ketidakstabilan sosial yang meluas sehingga pembangunan yang berbasis

kerakyatan dan berkeadilan sosial belum bisa tercapai.

Jika Indeks Gini pada tabel 1 dibandingkan dengan Indeks Williamson

pada gambar 9, maka penghitungan untuk menggambarkan kesenjangan

pendapatan dengan menggunakan Indeks Gini (IG) hasilnya relatif lebih rendah.

Hal ini dapat menjadi kurang akurat jika dihitung dengan Indeks Gini, karena IG

tidak secara simultan dapat mengukur kesenjangan kekayaan di satu sisi dan

kesenjangan pendapatan di sisi lain. Seringkali negara yang mempunyai

kesenjangan kekayaan sangat ekstrim, namu IG justru justru rendah. IG juga bias

terhadap sampel. Indeks Gini bias pada jumlah sampel, IG cenderung meninggi

pada populasi yang rendah dan cenderung redah pada populasi yang tinggi.

Tabel 1 Indeks Gini Indonesia Menurut Daerah, Tahun 2002-2010

Tahun Indeks Gini

Perkotaan Perdesaan Total

(1) (2) (3) (4)

2002 0,33 0,24 0,33

2003 0,32 0,25 0,32

2004 0,31 0,24 0,32

2005 0,32 0,25 0,33

2006 0,32 0,27 0,33

2007 0,36 0,26 0,36

2008 0,37 0,29 0,37

2009 2010

0,37 0,38

0,29 0,32

(31)

Disparitas antar wilayah pada awal pembangunan ekonomi merupakan hal

yang wajar dalam konsep pembangunan nasional. Williamson (1965) menemukan

bahwa pada awal pembangunan ekonomi ketimpangan pendapatan akan

membesar dan terkonsentrasi pada wilayah-wilayah tertentu yang sudah relatif

maju, misalnya dalam pembangunan industri, infrastruktur dan sumber daya

manusia. Kemudian dalam tahap pertumbuhan ekonomi yang lebih besar, terjadi

konvergensi dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan akan mengalami

penurunan. Hal ini sejalan dengan penelitian Ernan et al (2010) bahwa dengan menggunakan Indeks Theil Entropi, ketimpangan di Pulau Jawa mempunyai nilai

yang lebih tinggi dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya.

Sumber: BPS, 2006-2009 (diolah)

Gambar 7 Kontribusi Sektor Pertanian, Manufaktur dan Sektor Jasa di Indonesia, Tahun 2006-2009

Fenomena disparitas wilayah di Indonesia menjadi masalah dengan adanya

perbedaan faktor produksi dan transformasi perekonomian struktural yang telah

terjadi. Pola perubahan struktur perekonomian di Indonesia dilihat dari share

sektor manufaktur lebih tinggi dibandingkan sektor pertanian dan jasa yaitu

sekitar 63 persen dan 21 persen di tahun 2009, namun pangsa tenaga kerja sektor

pertanian masih lebih tinggi dibandingkan sektor manufaktur yaitu sebesar 40

persen. Hal ini menandakan masih adanya disparitas antar wilayah di Indonesia

(32)

Sumber: BPS, 2008 (diolah)

Gambar 8 Kontribusi Tenaga Kerja Sektor Pertanian, Manufaktur dan Sektor Jasa, Tahun 2008

Strategi pengembangan wilayah yang mempertimbangkan keterkaitan

antara kondisi sosial ekonomi, potensi sumberdaya alam, dan ketersediaan

prasarana, serta kondisi fisik wilayah diharapkan mampu mengatasi permasalahan

disparitas antar wilayah koridor ekonomi dalam MP3EI tersebut. Dengan

demikian diharapkan akan tercipta pemerataan (equity), pertumbuhan (eficiency), dan keberlanjutan (sustainability) dalam pembangunan wilayah. Strategi yang tepat dalam pengembangan wilayah diharapkan mampu untuk mengurangi

disparitas yang terjadi antar wilayah koridor ekonomi di Indonesia.

1.2. Perumusan Masalah

Ketimpangan dalam pembangunan ekonomi masih terjadi di Indonesia.

Hal ini dapat dilihat dari perbedaan pertumbuhan ekonomi dan nilai PDRB antar

koridor ekonomi dan provinsi yang bervariasi. Perbedaan ketersediaan fasilitas

infrastuktur dan tidak meratanya konsentrasi kegiatan ekonomi menambah

semakin melebarnya disparitas regional. Hal ini menunjukkan bahwa

pembangunan ekonomi Indonesia masih belum merata. Fakta dan indikasi ini

perlu mendapat perhatian agar upaya pembangunan ekonomi di Indonesia terus

mengalami peningkatan dan merata di seluruh wilayah koridor ekonomi sesuai

dengan potesinya.

(33)

tinggi, yang antara lain disebabkan oleh keberadaan migas di daerah tersebut

menyebabkan terjadinya disparitas ekonomi antar provinsi di Indonesia. Indeks

Williamson dapat digunakan untuk melihat disparitas regional. Hasil

perhitungan indeks Williamson di Indonesia pada kurun waktu 1991 sampai

2010 dapat dilihat pada Gambar 9.

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari nilai indeks Williamson atau

koefisien variasi Williamson menunjukkan disparitas antar provinsi di

Indonesia dari tahun 1991-2010 cukup besar, yaitu berada pada kisaran 0,6

sampai 0,8. Berdasarkan hal tersebut, dapat diartikan bahwa antar provinsi di

Indonesia terjadi disparitas pendapatan yang cukup besar. Hal ini tidak terlepas

dari perbedaan kemampuan fiskal tiap daerah yang berimplikasi terhadap nilai

tambah bruto (PDRB) dalam perekonomian antar wilayah.

0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90

1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 0,63 0,63 0,61 0,66 0,66 0,66 0,67

0,68 0,69 0,70

0,79 0,79 0,79 0,79 0,80 0,80 0,79 0,82 0,82 0,82

Indeks Williamson

Sumber: BPS (diolah)

Gambar 9 Tingkat disparitas di Indonesia tahun 1991-2010

Pada tahun 1991-2010, indeks Williamson terbesar terjadi pada tahun

2008 dan 2010 yaitu 0,82. Akan tetapi peningkatan yang terbesar terjadi pada

tahun 2008. Pada tahun tersebut mulai diberlakukan Undang-undang Otonomi

Daerah. Dengan adanya otonomi daerah, setiap wilayah mempunyai

kewenangan untuk mengatur daerahnya masing-masing. Wilayah yang

(34)

berkembang dibandingkan daerah lainnya. Masing-masing daerah bersaing

untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial.

Kurva Williamson berlaku di Indonesia, pada periode 1993 sampai

2010. Pada awal pelaksanaan otonomi daerah ketimpangan wilayah meningkat,

hal ini disebabkan perbedaan kesiapan dari masing-masing daerah dalam

menghadapi otonomi daerah. Pada tahun-tahun selanjutnya, setiap wilayah

mulai dapat mengembangkan daerahnya masing-masing dalam rangka

mendorong proses pembangunan ekonomi di era otonomi daerah. Walaupun

demikian tingkat disparitas pada tahun-tahun berikutnya sampai pada tahun

2010 relatif konstan.

Fenomena disparitas antar daerah yang terjadi dapat disebabkan oleh

perbedaan ketersediaan fasilitas infrastruktur, seperti: pendidikan, kesehatan,

jalan, listrik dan air bersih. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan

ekonomi. Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan

produktivitas bagi faktor-faktor produksi, dan sebaliknya apabila mengabaikannya

akan menurunkan produktivitas.

Tabel 2. Persentase Rumahtangga yang Menggunakan Sumber Penerangan Listrik menurut Koridor di Indonesia, 2000-2009

Koridor 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)

1. Sumatera 67,80 70,10 71,36 74,48 77,64 77,97 82,30 85,48 87,43 90,67 2. Jawa 95,74 95,39 96,03 96,55 97,25 94,21 97,84 97,34 98,36 98,88 3. Kalimantan 72,97 74,22 75,73 77,64 79,41 77,88 81,48 83,37 85,21 86,16 4. Sulawesi 70,24 68,35 68,21 70,04 72,19 72,73 74,35 78,93 82,15 85,45 5. Bali-Nusa Tenggara 72,89 69,73 70,95 70,06 71,90 69,84 72,84 73,78 75,24 78,67 6. Papua-Kep. Maluku 35,49 67,08 62,57 58,06 56,88 60,26 58,44 65,34 65,05 64,93 Sumber: BPS, 2000-2009 (diolah)

Salah satu sarana infrastruktur yang digunakan dalam penelitian ini adalah

infrastruktur listrik yang diproksi dengan persentase rumahtangga pengguna

listrik. Secara umum perkembangan infrastruktur listrik di semua koridor relatif

mengalami peningkatan sejak tahun 2000 hingga 2009, namun masih terlihat

adanya disparitas dalam hal pembangunan infrastruktur listrik ini di beberapa

koridor. Koridor Jawa dan Sumatera persentase rumahtangga pengguna listrik

(35)

dimana Koridor Papua-Kep.Maluku persentase paling kecil yaitu sebesar 64,93

persen saja. Hal ini mengindikasikan adanya disparitas pembangunan infrastruktur

terutama listrik antara koridor di Indonesia, dan dirasakan pembangunan

infrastruktur masih bias Jawa atau bias KBI dibandingkan dengan luar Jawa atau

KTI.

Beberapa studi menunjukkan bahwa ketersediaan infrastruktur dengan

PDB ternyata mempunyai hubungan yang erat. Elastisitas PDB terhadap

infrastruktur, yaitu perubahan persentase pertumbuhan PDB sebagai akibat dari

naiknya 1 persen ketersediaan infrastruktur, di berbagai negara bervariasi antara

0,07 sampai 0,44 (World Bank, 1994). Hal ini berarti dengan kenaikan‚ 1 persen

saja ketersediaan infrastruktur akan menyebabkan pertumbuhan PDB sebesar 0,07

persen sampai dengan 0,44 persen. Studi dari Calderon dan Serven (2002)

menyebutkan elastisitas PDB pertenaga kerja terhadap infrastruktur di Amerika

Latin untuk telepon sebesar 0,15; listrik 0,16; dan jalan 0,18. Di sisi lain berbagai

studi menunjukkan bahwa economic rate of return dari investasi infrastruktur berada disekitar 19-117 persen, jauh di atas biaya hutang yang mungkin berkisar

10 persen (Easterly dan Serven, 2002). Infrastruktur merupakan faktor produksi

(input) dalam menghasilkan output. Terdapat hubungan yang signifikan antara

infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi, maka dapat disimpulkan bahwa

keterbatasan ketersediaan infrastruktur akan menjadi penghambat (constraint) bagi pertumbuhan ekonomi, dan besarnya perbedaan ketersediaan infrastruktur

antar wilayah akan menimbulkan disparitas antar wilayah yang semakin melebar.

Kebijakan pemerintah dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi

dan mengurangi disparitas antar daerah perlu mendapatkan perhatian yang lebih.

Trade off yang terjadi antara disparitas dan pertumbuhan ekonomi membuat penentuan kebijakan harus tepat sasaran.

Upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi dapat ditempuh dengan

meningkatkan efisensi dalam kegiatan ekonomi. Efisiensi memerlukan dukungan

dari modal infrastruktur yang memadai sehingga mendorong peningkatan potensi

daerah masing-masing secara berkesinambungan. Infrastruktur yang tersedia akan

mendorong proses pertukaran sesuai dengan potensi dan kebutuhan

(36)

produksi. Perekonomian kemudian secara bersama-sama menuju proses

pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin meningkat sesuai dengan

kemampuannya yang optimal.

Peranan pemerintah dalam upaya meningkatkan pemerataan adalah dengan

mentransfer dana perimbangan, yang berupa DAU (Dana Alokasi Umum ), DAK

(Dana Alokasi Khusus), dan DBH (Dana Bagi Hasil). DAU merupakan transfer

yang bersifat umum yang diberikan kepada semua kabupaten/kota untuk tujuan

mengisi kesenjangan antara kapasitas dan kebutuhan fiskalnya dan didistribusikan

dengan formula berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang secara umum

mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih

banyak dari pada daerah kaya. Dengan kata lain tujuan alokasi DAU adalah dalam

rangka pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan publik antar daerah di

Indonesia. Namun, dengan fakta meningkatkan ketimpangan wilayah-wilayah di

Indonesia bahkan sejak adanya DAU, dapat dikatakan bahwa implementasi DAU

dirasakan masih kurang efektif.

Sumber: BPS, 2000-2010 (diolah)

Gambar 10 DAU, DAK, DBH dan Dana Perimbangan di Indonesia, Tahun 2000-2010 (Juta Rupiah)

Gambar 10 menunjukkan bahwa dana perimbangan yang didominasi oleh

DAU yang diberikan oleh pemerintah mengalami peningkatan sejak tahun 2000

(37)

memeratakan pembangunan wilayah masih belum tercapai jika dihubungkan

dengan ketimpangan di Indonesia. Ketimpangan antar wilayah di Indonesia

ternyata cenderung mengalami peningkatan, bahkan ketimpangannya masih tinggi

hingga mencapai 0,8 di tahun 2007. Ketimpangan yang tinggi dapat berdampak

negatif dan menjadi masalah dalam pembangunan dan dalam menciptakan

kesejahteraan di suatu wilayah.

Melihat kondisi di atas, serta dalam upaya mengurangi disparitas

pembangunan antar wilayah koridor ekonomi dan menciptakan pemerataan di

Indonesia, maka perlu dilakukan analisis dan identifikasi tingkat disparitas

pembangunan antar wilayah koridor ekonomi dan faktor-faktor penyebab

terjadinya disparitas tersebut.

Disparitas pendapatan antar wilayah menjadi fenomena yang penting dan

masih terus dikaji dan diteliti serta dianaisis karena sangat menentukan kebijakan

yang dapat diambil pemerintah dalam upaya peningkatan kesejahteraan

masyarakat. Penelitian ini tidak hanya berusaha mengkaji masalah ketimpangan

dari besaran ketimpangannya, tapi juga mengkaji bagaimana wilayah-wilayah

saling mendukung dalam mengurangi ketimpangan yang terjadi, sehingga

perekonomian menuju kepada tingkat tertentu (konvergen). Kekuatan yang

dimiliki suatu wilayah tidak hanya dapat meningkatkan perekonomian wilayah

sekitarnya, tetapi juga bisa sebaliknya. Adanya pusat pertumbuhan dapat menjadi

rangsangan pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya, namun dapat juga menjadi

penyebab pengurasan sumber daya ekonomi terutama tenaga kerja.

Analisis dinamika pendapatan antar wilayah selama ini dilakukan dengan

menggunakan PDRB yang mencerminkan seluruh produksi barang dan jasa yang

dihasilkan oleh wilayah tersebut. Angka ini menunjukkan potensi daerah dalam

proses dalam proses produksi, namun kurang dapat mempresentasikan

kemampuan masyarakatnya dalam mencapai kesejahteraan karena data PDRB

juga mencakup kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perusahaan luar yang

berada di wilayah tersebut. Kegiatan produksi dengan menggunakan modal yang

dimiliki oleh penduduk dari luar daerah juga dihitung sebagai produksi bruto

daerah tersebut sehingga penggunaan data PDRB untuk analisis kesejahteraan

(38)

wilayah berdasarkan data PDRB tersebut perlu dibandingkan dengan melihat

pendapatan masyarakat. Data mengenai pendapatan masyarakat di suatu wilayah

sulit diperoleh, sehingga diproksi dengan menggunakan pendekatan pengeluaran

rumah tangga. Permasalahan utama yang akan dianalisis dalam penelitian ini yaitu

bagaimana konvergensi antar wilayah koridor ekonomi di Indonesia dan

faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya.

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis konvergensi dan

faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas antar wilayah koridor ekonomi di

Indonesia. Secara lebih rinci, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis dinamika disparitas pendapatan dan pembangunan

infrastruktur antar wilayah koridor ekonomi di Indonesia.

2. Menguji konvergensi wilayah dan membandingkan fenomena tingkat

konvergensi antar wilayah koridor ekonomi di Indonesia dikaji dari

pendekatan pendapatan PDRB dan pendekatan pengeluaran rumahtangga.

3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas wilayah antar

koridor ekonomi di Indonesia.

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan bahan dalam

perumusan atau penyusunan kebijakan perencanaan pembangunan wilayah bagi

pemerintah dalam hal untuk mengurangi tingkat disparitas wilayah antar koridor

ekonomi di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi para

investor yang untuk menanamkan modalnya di Indonesia, khususnya di wilayah

koridor ekonomi yang pembangunannya dan pertumbuhan ekonominya masih

kurang atau lambat misalnya dalam pembangunan infrastuktur agar terciptanya

kesejahteraan dan mengurangi ketimpangan atau disparitas. Selain itu, penelitian

ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan informasi tambahan bagi

(39)

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini menggunakan unit analisis seluruh kabupaten/kota dan

provinsi antar koridor ekonomi di Indonesia dengan menggunakan data hanya

tahun 2006-2010. Variabel infrastruktur yang digunakan dalam penelitian ini

hanya menggunakan infrastruktur sosial dan ekonomi yaitu infrastruktur jalan,

listrik, telepon, dan air bersih. Model yang dibangun berdasarkan ketersediaan

data dan informasi. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model

analisis koefisien variasi Williamson, Indeks Theil, Regresi data panel statis, dan

regresi data panel dinamis. Dalam menggunakan model regresi data panel statis

menggunakan data di level provinsi untuk enam model untuk enam koridor

ekonomi, sedangkan untuk model regresi data panel dinamis menggunakan data di

(40)

2.1. Pendapatan Regional dan Pertumbuhan Ekonomi

Tingkat pertumbuhan perekonomian adalah kondisi dimana nilai riil Produk

Domestik Bruto (PDB) mengalami peningkatan output (Dornbusch et al., 2008). Penyebab utama dari pertumbuhan ekonomi adalah tersedianya sejumlah sumber

daya dan peningkatan efisiensi penggunaan faktor produksi. Konsep PDB

digunakan pada tingkat nasional, sedangkan untuk tingkat provinsi dan

kabupaten/kota digunakan konsep PDRB. PDB atau PDRB dapat diukur dengan

tiga macam pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan

pendekatan pengeluaran (Tambunan, 2001). Pendekatan produksi dan pendekatan

pendapatan adalah pendekatan dari sisi penawaran agregat (Aggregate Supply - AS) sedangkan pendekatan pengeluaran adalah pendekatan dari sisi permintaan agregat (Aggregate Demand - AD) (Blanchard, 2006).

Teori pertumbuhan ekonomi semakin berkembang dari masa ke masa.

Beberapa teori pertumbuhan ekonomi yang menonjol sebagaimana diuraikan

Todaro dan Smith (2006) adalah model pertumbuhan neoklasik dan model

pertumbuhan endogen. Teori pertumbuhan neo-klasik dimotori oleh Harrod

Domar dan Robert Solow.

Model pertumbuhan Harrod dan Domar dalam Jhingan (2008) atau lebih

dikenal dengan model pertumbuhan Harrod-Domar merupakan model

pertumbuhan Keynesian yang secara luas telah banyak diaplikasikan pada

negara-negara sedang berkembang. Domar mengkonstruksi teorinya dengan menekankan

peran ganda investasi dalam proses pertumbuhan ekonomi. Investasi

mempengaruhi permintaan agregat melalui proses investment multiplier dan dalam jangka panjang merupakan proses akumulasi modal yang akan menambah stok

kapital dan meningkatkan kapasitas produksi sehingga investasi juga

memengaruhi penawaran agregat. Domar hendak menjawab tingkat investasi yang

diperlukan agar peningkatan permintaan agregat setara dengan kapasitas produksi

sehingga pemanfaatan kapasitas penuh dapat dipertahankan.

(41)

dengan investasi (I) dikalikan dengan besaran multiplier (1/s). Sedangkan

pertumbuhan kapasitas produksi (penawaran agregat) sama dengan investasi (I)

dibagi rasio kapital output (k). Melalui manipulasi matematis diperoleh laju

pertumbuhan investasi yang diperlukan agar dapat menyamakan laju pertumbuhan

permintaan agregat dengan laju pertumbuhan penawaran, yaitu sebesar rasio MPS (Marjinal Propensity to Save = s) terhadap COR (Capital Output Rasio = k) atau dapat dinyatakan dengan persamaan berikut:

k s I

I K

K Y

Y = Δ = Δ =

Δ

………(2.1)

Dimana:

ΔY/Y = laju pertumbuhan permintaan agregat atau output

ΔK/K = laju peningkatan stok capital

ΔI/I = laju peningkatan investasi

Menurut Harrod dalam Jhingan (2008), pertumbuhan ekonomi dapat

dibedakan atas pertumbuhan aktual, pertumbuhan yang diinginkan, dan

pertumbuhan alamiah. Pertumbuhan aktual (the actual growth = ΔY/Y) adalah laju pertumbuhan sesungguhnya yang besarnya ditentukan oleh rasio tabungan-output

(S/Y) dan rasio tambahan kapitaloutput (ΔK/ΔY). Kedua besaran ini dianggap konstan dan melalui manipulasi matematis akan sama dengan tabungan. Pada

tingkat laju pertumbuhan aktual, output aktual tidak selalu sama dengan output

potensial.

Solow berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian

kegiatan yang bersumber pada manusia, akumulasi modal, pemakaian teknologi

modern dan output, guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang

berkesinambungan (sustain). Model Solow diformulasikan dengan menganggap input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala yang terus berkurang

(diminishing returns) jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan memakai asumsi skala hasil tetap (constant returns to scale) (Todaro dan Smith, 2009). Secara ekonomi, model pertumbuhan Solow dirancang untuk menunjukkan bagaimana pertumbuhan persediaan modal,

(42)

perekonomian, serta bagaimana pengaruhnya terhadap output barang dan jasa

suatu negara secara keseluruhan (Mankiw, 2007).

Mankiw (2007) menyatakan bahwa asumsi fungsi produksi bersifat constant returns to scale output akan meningkat dengan proporsi yang sama apabila kapital dan tenaga kerja digandakan dan input-output yang baru digunakan sepenting

input yang telah ada. Input selain kapital, tenaga kerja dan pengetahuan

diasumsikan tidak penting. Dari anggapan tersebut model Solow diformulasikan

sebagai suatu hubungan fungsional dimana output per tenaga kerja efektif sebagai

fungsi dari kapital per tenaga kerja efektif, yaitu:

y = f(k) ……….(2.2)

Dimana:

y = output per tenaga kerja efektif (Y/AL)

k = kapital per tenaga kerja efektif (K/AL)

Y = output

K = kapital

L = tenaga kerja

A = efektivitas tenaga kerja (pengetahuan)

AL = tenaga kerja efektif (labor augmented)

Investasi break even, (δ+n+g)k Investasiaktual

dan Investasi break even,

Investasi aktual, sf(k)

k* 0

Sumber: Mankiw (2007)

Gambar 11 Investasi Aktual dan Break-even

(43)

konsumsi dan investasi. Bagian output yang digunakan untuk tujuan investasi

bersumber dari tabungan. Sebagai proses akumulasi modal, satu unit investasi

menghasilkan satu unit tambahan kapital baru, sedangkan kapital yang lama

mengalami penyusutan. Tingkat perubahan stok kapital per unit tenaga kerja

efektif merupakan selisih antara perubahan investasi aktual dengan perubahan

investasi break-even (yaitu investasi yang diperlukan untuk mengimbangi pertumbuhan tenaga kerja dan ilmu pengetahuan serta menggantikan penyusutan

kapital yang lama sehingga jumlah stok kapital per tenaga kerja efektif yang ada

tetap terpelihara).

Stok kapital per tenaga kerja efektif akan berada pada posisi jalur

pertumbuhan ekonomi yang berimbang (the balance growth path) ketika perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even.

Sebagaimana ditunjukkan Gambar 11, apabila tingkat stok kapital per tenaga kerja

efektif rendah, investasi aktual per unit tenaga kerja efektif lebih besar dari

investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif sangat tinggi sehingga jumlahnya meningkat ke posisi stok kapital per tenaga

kerja efektif keseimbangan atau laju pertumbuhannya positif. Sebaliknya pada

tingkat stok kapital per tenaga kerja efektif yang tinggi, investasi aktual per unit

tenaga kerja lebih kecil dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif sangat rendah sehingga jumlahnya menurun ke

posisi stok kapital per tenaga kerja keseimbangan atau laju pertumbuhannya

negatif. Dengan demikian stok kapital per tenaga kerja efektif selalu konvergen ke

posisi keseimbangannya di titik k*.

Setelah konvergensi tercapai, laju pertumbuhan stok kapital per tenaga kerja

efektif mencapai nol karena pada posisi keseimbangan perubahan investasi aktual

sama dengan perubahan investasi break-even. Pada posisi ini stok kapital total, tenaga kerja efektif dan output total tumbuh pada tingkat yang sama yaitu sebesar

jumlah pertumbuhan tenaga kerja efektif dan pertumbuhan ilmu pengetahuan.

Stok kapital per tenaga kerja dan total output per tenaga kerja tumbuh sebesar

pertumbuhan ilmu pengetahuan.

Pemikiran Solow di atas menunjukkan bahwa perekonomian senantiasa

(44)

suatu situasi dimana setiap peubah tumbuh pada tingkat yang konstan. Pada

pertumbuhan yang berimbang, pertumbuhan output per tenaga kerja hanya

ditentukan oleh tingkat kemajuan teknologi. Di sinilah peran penting kemajuan

teknologi dalam proses pertumbuhan ekonomi menurut pandangan Solow.

Selanjutnya model pertumbuhan endogen dikembangkan untuk

memperbaiki teori pertumbuhan ekonomi klasik. Model pertumbuhan

neo-klasik berargumen bahwa pertumbuhan output didorong oleh tingkat

perkembangan teknologi. Tanpa perkembangan teknologi, tidak akan ada

pertumbuhan jangka panjang. Tetapi karena penyebab perkembangan teknologi

tidak diidentifikasikan dalam model Solow, maka hal yang mendasari

pertumbuhan tidak dijelaskan. Solow menganggap teknologi sebagai faktor

eksogen dalam proses proses pertumbuhan (Capello, 2007). Dengan demikian

model Solow tidak memperdulikan bagaimana mendorong kemajuan teknologi

melalui proses belajar (learning by doing), investasi dalam penelitian dan akumulasi pengetahuan.

Teori pertumbuhan endogen pada awalnya berkembang dalam dua cabang

pemikiran yang bertumpu pada pentingnya sumber daya manusia sebagai kunci

utama dalam perekonomian, yaitu:

1. Pemikiran yang percaya bahwa knowledge stock adalah sumber utama

bagi peningkatan produktivitas ekonomi.

2. Pemikiran yang menekankan pada pentingnya learning by doing dan

human capital dengan introduksi hal-hal baru (yang bersifat eksternal)

dalam perekonomian merupakan factor pendorong bagi peningkatan

produktivitas perekonomian.

Pemikiran yang pertama diangkat dan dikembangkan oleh Romer, yang

menempatkan stok pengetahuan sebagai salah satu faktor produksi yang semakin

meningkat. Sehingga tingkat pertumbuhan dapat terus ditingkatkan sesuai dengan

kemampuan masing-masing negara untuk meningkatkan dan menciptakan stok

pengetahuan. Oleh karena itu negara maju dengan kemampuan menciptakan

pengetahuan yang lebih cepat dibandingkan dengan negara miskin akan

mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibanding dengan negara

Gambar

Tabel 1  Indeks Gini Indonesia Menurut Daerah, Tahun 2002-2010
Gambar 11  Investasi Aktual dan Break-even
Gambar 12  Konvergensi Bersyarat/Kondisional (Conditional Convergence)
Gambar 14  Skema pertumbuhan ekonomi, investasi dan infrastruktur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Strategi Komunikasi Pengurus Komunitas Tlatah Bocah dalam menjaring anak lereng Gunung Merapi dengan menggunakan Kearifan Lokal (Beasiswa Merapi).. Beasiswa

Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan adalah buku, studi.. lapangan, informan

Metode eksperimen ialah metode yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk melatih melakukan proses secara mandiri, sehingga siswa sepenuhnya terlibat untuk menemukan

Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang mempunyai tugas membantu Bupati dalam menyelenggarakan urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan

Lipid profiles of blood serum and fatty acid composition of meat of hybrid duck fed diet supplemented with Noni (Morinda citrifolia) fruit meal.. DOI:

Populasi penduduk dan perbaikan taraf hidup masyarakat Semarang terus mengalami peningkatan. Hal ini juga akan mendorong peningkatan kebutuhan pangan, dan kesadaran konsumsi

Skripsi berjudul Etos Kerja Penambang Belerang Tradisional di Kawah Ijen (Studi Deskriptif di desa Taman Sari , Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi) oleh Maria

[r]