• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Impact of Investment-Driven Sectoral Productivity Change on Regional Economic Disparity in Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Impact of Investment-Driven Sectoral Productivity Change on Regional Economic Disparity in Indonesia"

Copied!
796
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK PERUBAHAN PRODUKTIVITAS SEKTORAL

BERBASIS INVESTASI TERHADAP DISPARITAS EKONOMI

ANTAR WILAYAH DI INDONESIA

DISERTASI

YETI LIS PURNAMADEWI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan saya yang berjudul

“DAMPAK PERUBAHAN PRODUKTIVITAS SEKTORAL BERBASIS INVESTASI TERHADAP DISPARITAS EKONOMI ANTAR WILAYAH DI

INDONESIA”,

merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.

Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Februari 2010

(3)

ABSTRACT

YETI LIS PURNAMADEWI. The Impact of Investment-Driven Sectoral Productivity Change on Regional Economic Disparity in Indonesia (MANGARA TAMBUNAN as Chairman, RINA OKTAVIANI and ARIEF DARYANTO as Member of the Advisory Committee).

The objectives of this study are to examine the impact of sectoral investment on microeconomic and macroeconomic performances and on regional disparity in Indonesia. Spatial inequality is an important issue in economic development and Indonesia still has very large regional income disparity. The sectoral investment has an important role in increasing productivity in order to encourage economic growth and equity. Investment allocation in Indonesia is still focused on the industrial sector and the Island of Java. Even though structural change in the Indonesian economy is happening, which is the shift from predominantly agricultural economy to one dominated by the industrial and services sectors, but most of the regions’ economies are still dominated by the agricultural sector and in general their incomes per capita are relatively low. The multiregional Comput able General Equilibrium (CGE) top-down model is a comfortable method to analyze the objectives of this study. The main finding was that the priority of investment allocation into the agricultural, agro-industrial and infrastructural sectors (the implementation of the Agricultural Development Led-Industrialisation (ADLI) strategy supported by infrastructure construction) shows the best impact on increasing the sectoral output and growth and on decreasing regional disparity. This happens because infrastructural investment can generate productivity growth in all economic sectors and investment in agricultural sector shows the highest productivity growth compared to productivity growth in the other sectors. Therefore, increases in agricultural investment has a relatively strong impact upon regional disparity reduction and increases in infrastructural investment strongly encourages improvements in the sectoral and national output. But, the ADLI strategy supported by infrastructure construction has a weak impact on increasing the sectoral employment and on distributing equitable households income due to poor development in the agro-industrial sector.

(4)

YETI LIS PURNAMADEWI. Dampak Perubahan Produktivitas Sektoral Berbasis Investasi Terhadap Disparitas Ekonomi Antar Wilayah di Indonesia (MANGARA TAMBUNAN sebagai Ketua, RINA OKTAVIANI dan ARIEF DARYANTO sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Disparitas ekonomi antar wilayah merupakan salah satu masalah dan tantangan besar dalam pembangunan ekonomi di Indonesia saat ini dan di masa yang akan datang. Berdasarkan nilai indeks Williamson Coefficient of Variation

(CVw), tingkat kesenjangan antar wilayah sekitar sepuluh tahun terakhir (1998-2008) cenderung meningkat dan masih tetap relatif besar. Kesenjangan ekonomi antar wilayah yang bertahan pada tingkat yang cukup tinggi dan cenderung meningkat terkait dengan strategi atau kebijakan pembangunan. Strategi industrialisasi yang bias industri besar serta padat modal dan tidak ramah terhadap sektor pertanian mempercepat laju penurunan sektor pertanian dalam komposisi Produk Domestik Bruto (PDB).

Meskipun struktur perekonomian Indonesia telah berubah dari perekonomian yang didominasi sektor pertanian ke dominasi sektor industri, akan tetapi sektor pertanian baik secara nasional maupun regional tetap merupakan sektor penting. Oleh karena itu prioritas investasi di sektor pertanian melalui strategi pembangunan Agricultural Development Led-Industrialisation (ADLI) yang meyakini bahwa sektor pertanian dapat menjadi leading sector diharapkan mampu tidak hanya memperkecil disparitas ekonomi antar wilayah, tetapi juga mampu meningkatkan kinerja perekonomian makro maupun mikro Indonesia. Namun demikian, hingga sekarang masih terjadi bias alokasi investasi, baik investasi regional maupun sektoral cenderung bias ke sektor industri pengolahan dan provinsi-provinsi di Pulau Jawa. Oleh karena itu, masih perlu dikaji apakah prioritas alokasi investasi ke sektor pertanian melalui strategi pembangunan ADLI dapat memecahkan masalah pertumbuhan ekonomi yang sekaligus juga menurunkan disparitas ekonomi antar wilayah?

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut, maka tujuan dari studi ini adalah: (1) Menganalisis dampak investasi sektoral terhadap kondisi mikroekonomi, (2) Menganalisis dampak investasi sektoral terhadap kondisi makroekonomi dan kesejahteraan rumah tangga, (3) Menganalisis dampak investasi sektoral terhadap kondisi makroekonomi wilayah dan disparitas ekonomi antar wilayah, serta (4) Merumuskan alokasi alokasi investasi sektoral yang memberikan dampak terbaik terhadap kondisi perekonomian mikro, makro, wilayah dan penurunan disparitas ekonomi antar wilayah. Model multiregional Computable General Equilibrium recursive dynamic pendekatan top-down dan indeks CVw digunakan sebagai alat analisis utama dalam studi.

(5)

pembangunan ini tidak sekuat strategi pembangunan lain dalam menurunkan harga sektoral, namun penurunan harga di kelompok sektor pertanian yang begitu besar menyebabkan strategi pembangunan ADLI yang didukung pembangunan infrastruktur menghasilkan dampak terbesar dalam penurunan indeks harga konsumen. Pada gilirannya, strategi pembangunan tersebut menghasilkan dampak tertinggi terhadap peningkatan pengeluaran rumah tangga riil agregat dan pengeluaran pemerintah; namun dalam mendorong peningkatan ekspor dan penurunan impor tidak sekuat strategi pembangunan lain karena deflasi yang tinggi tersebut disertai peningkatan devaluasi yang lebih rendah. Namun Peningkatan pengeluaran riil dan pengeluaran pemerintah yang begitu besar menyebabkan strategi pembangunan ADLI yang didukung infrastruktur menghasilkan dampak terbesar juga dalam peningkatan PDB riil dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) riil di masing-masing wilayah.

Karena strategi pembangunan ADLI yang didukung pembangunan infrastruktur menghasilkan pertumbuhan output yang bias ke kelompok sektor pertanian (tanaman bahan makanan, peternakan dan perikanan), kelompok sektor jasa (jasa pemerintah dan jasa lainnya), dan sektor lain khususnya transportasi air dan udara, serta sektor hotel dan restauran sejalan dengan bias produktivitas dan elastisitas pengeluarannya maka secara umum wilayah-wilayah dengan sumber PDRB utama dari sektor-sektor tersebut atau wilayah sentra produksi pertanian (NTT, Maluku, Bengkulu, Lampung dan Gorontalo) dan atau wilayah tujuan wisata seperti Bali, DIY dan Maluku mengalami peningkatan PDRB riil yang relatif tinggi. Sebagian besar wilayah tersebut merupakan wilayah dengan tingkat pendapatan perkapita yang relatif rendah kecuali Bali dan Jawa Timur. Tingkat pertumbuhan PDRB riil yang bias ke wilayah dengan pendapatan perkapita yang relatif rendah menyebabkan strategi pembangunan ADLI yang didukung pembangunan infrastruktur dapat menurunkan disparitas ekonomi antar wilayah; dan sebaliknya dengan strategi pembangunan lainnya.

Akan tetapi lemahnya kemampuan investasi dalam meningkatkan produktivitas di kelompok sektor industri berbasis pertanian dan dampak peningkatan produktivitas dari pembangunan infrastruktur yang bias ke kelompok sektor industri non pertanian, kelompok sektor jasa dan sektor lain menyebabkan strategi ADLI yang didukung pembangunan infrastruktur kurang mampu mengembangkan industri berbasis pertanian. Dengan demikian, strategi ADLI yang didukung pembangunan infrastruktur menghasilkan dampak yang kurang kuat dalam mendorong peningkatan kesempatan kerja dan pemerataan dalam distribusi pendapatan rumah tangga.

(6)

Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

DAMPAK PERUBAHAN PRODUKTIVITAS

SEKTORAL BERBASIS INVESTASI TERHADAP

DISPARITAS EKONOMI ANTAR WILAYAH DI

INDONESIA

YETI LIS PURNAMADEWI

DISERTASI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji Luar Ujian Tertutup:

1. Dr.Ir. Yusman Syaukat, MS

2. Dr.Ir. Nunung Kusnadi, MS

Penguji Luar Ujian Terbuka:

1. Drs. Sumedi Andoyo Mulyo, MA, PhD

(9)

Judul Penelitian : DAMPAK PERUBAHAN PRODUKTIVITAS SEKTORAL BERBASIS INVESTASI TERHADAP DISPARITAS

EKONOMI ANTAR WILAYAH DI INDONESIA Nama Mahasiswa : Yeti Lis Purnamadewi

Nomor Pokok : P 01600020

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Ketua

Prof.Dr.Ir. Mangara Tambunan, M.Sc.

Dr.Ir. Rina Oktaviani, MS Dr.Ir. Arief Daryanto, M.Ec. Anggota Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana .Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof.Dr.Ir.Bonar M. Sinaga, MA Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(10)

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas berkah dan rahmatNya penulisan disertasi dengan judul:”Dampak Perubahan Produktivitas Sektoral Berbasis Investasi Terhadap Disparitas Ekonomi Antar Wilayah di Indonesia” dapat diselesaikan. Penulisan disertasi ini bertujuan untuk menganalisis peran sektor investasi dalam mengurangi disparitas ekonomi antar wilayah dan menumbuhkan perekonomian makro dan sektoral.

Terselesaikannya disertasi ini bukan hanya karena kerja keras penulis, namun juga berkat bantuan yang diberikan oleh berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung. Untuk itu dalam kesempatan yang baik ini penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya, pertama-tama kepada Komisi Pembimbing:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc. selaku Ketua Komisi; 2. Ibu Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. selaku Anggota Komisi;

3. Bapak Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec. selaku Anggota Komisi;

atas bimbingan dan dorongan semangat yang diberikan tanpa henti-hentinya kepada penulis untuk menyelesaikan disertasi ini. Atas segala kebaikan tersebut penulis sangat menghargai dan mengucapkan terima kasih.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

(11)

2. Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah program Doktor di IPB;

3. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI), Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberi beasiswa BPPS program Doktor kepada penulis.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dr. Yusman Syaukat, MS selaku penguji luar komisi di ujian tertutup serta sebagai pimpinan sidang di ujian terbuka; Dr. Eka Intan Kumala Putri, MSi, sebagai pimpinan sidang dan Dr. Nunung Kusnadi, MS selaku wakil Program Studi pada ujian tertutup. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Drs. Sumedi Andoyo Mulyo, MA, PhD (Kepala Sub Direktorat Kewilayahan I, Bappenas) dan Dr.Ir. Nunung Nuryantono, MSi selaku penguji luar komisi pada saat ujian terbuka yang telah menyempatkan diri di sela-sela kesibukan yang begitu padat. Juga kepada Prof.Dr.Ir. Bonar Sinaga, MA selaku Ketua Program Studi EPN yang telah memberikan banyak masukan untuk penyempurnaan disertasi serta kelancaran penyelesaian studi ini terutama pada peristiwa-peristiwa penting seperti menghadapi ujian prelim. Penulis memberikan penghargaan yang tulus atas jasa-jasa tersebut.

Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan Program Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Fakultas Pascasarjana IPB Angkatan 2001 sampai Angkatan 2003, terutama kepada Bu Poerwaningsih, Pak Asep, Bu Wiwiek, Pak Bayu, Bu Anna, Pak Ilham, Pak Ardi Novra, Pak Rasidin, Pak Tidar, Pak Arman, Mas Dwi, serta teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan namanya yang senantiasa menjadi teman diskusi yang baik.

(12)

kepada Ir. Sahara, MSi, juga kepada Heri Firdaus, SP yang membantu pengolahan data. Kepada mereka semua penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Tidak lupa kepada sekretariat Program Studi EPN (Mbak Rubi, Mbak Yani, Mbak Angga, Husein dan Bu Kokom) penulis mengucapkan terimakasih atas bantuannya terutama dalam penyelesaian administrasi studi.

Secara khusus ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada suami tercinta, Ir. Dahri Tanjung, MSi dan kedua puteri tersayang: Muthi’ah Puteri Tanjung dan Awfiyah Khairuna Tanjung atas pengertian, dorongan dan do’a yang selalu diberikan kepada penulis. Terima kasih yang tiada tara disampaikan kepada Ibunda yang senantiasa memanjatkan doa bagi kesuksesan ananda dalam menempuh pendidikan. Terima kasih juga tidak lupa untuk kakak dan adik-adik tercinta.

Segala kekurangan pada disertasi ini sepenuhnya adalah karena keterbatasan penulis. Namun demikian, semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Bogor, Agustus 2010

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir pada tahun 1964 di Ciamis, Jawa Barat dari pasangan Endang J.

Nataatmadja (almarhum) dan Teti Rohaeti. Penulis menikah pada tahun 1997 dengan

Dahri Tanjung dan dikarunai dua orang putri, yaitu Muthi’ah Puteri Tanjung (12

tahun) dan Awfiyah Khairuna Tanjung (9 tahun).

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (1976), Sekolah Menengah

Pertama (1980) dan Sekolah Menengah Atas (1983) di Ciamis. Tahun 1983 melalui

jalur PMDK penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada Fakultas Pertanian

Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian dan lulus tahun 1988. Lulus pendidikan sarjana

S1, penulis bekerja di Pusat Studi Pembangunan, Lembaga Penelitian, Institut

Pertanian Bogor. Tahun 1991, penulis diterima menjadi dosen di Jurusan Sosial

Ekonomi Pertanian, IPB Bogor dan sekarang terdaftar sebagai staf pengajar di

Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, Bogor.

Melalui beasiswa Pemerintah Jerman, khususnya sponsor DAAD penulis

melanjutkan kuliah di Faculty Of Agricultural Sciences, Institute or Rural

Development, the Georg-August-University Gottingen, Jerman dan gelar Magister

Scientiarum Agrarium (M.sc.agr) diperoleh pada tahun 1995. Tahun 2001 dengan

sponsor BPPS DIKTI penulis menempuh pendidikan Doktor (S3) pada Sekolah

(14)

1.1. Latar Belakang

Salah satu masalah dan tantangan besar pembangunan ekonomi di

Indonesia saat ini dan di masa yang akan datang adalah disparitas hasil

pembangunan, baik disparitas antar wilayah, antar golongan masyarakat maupun

antar sektoral. Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan masalah dalam

konteks makro. Potensi konflik antar daerah/wilayah menjadi besar,

wilayah-wilayah yang dulu kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya.

Demikian pula hubungan antar wilayah telah membentuk suatu interaksi yang

saling memperlemah. Wilayah-wilayah hinterland menjadi lemah karena

eksploitasi sumber daya yang berlebihan. Ketidakseimbangan pertumbuhan

wilayah akan mengakibatkan kondisi yang tidak stabil. Disparitas antar wilayah

telah menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi dan politik.

Keseimbangan antar kawasan menjadi penting karena keterkaitan yang

bersifat simetris akan mampu mengurangi disparitas antar wilayah dan pada

akhirnya mampu memperkuat pembangunan ekonomi wilayah secara menyeluruh.

Setiap pemerintah baik di negara berkembang (developing countries) maupun

belum berkembang (less developed countries) selalu berusaha untuk

meningkatkan keterkaitan yang simetris antar wilayah dan mengurangi disparitas

karena beberapa alasan, antara lain: (1) untuk mengembangkan perekonomian

secara simultan dan bertahap, (2) untuk mengembangkan ekonomi secara cepat,

(3) untuk mengoptimalkan pengembangan kapasitas dan mengkonservasi sumber

(15)

pertanian, (6) untuk mendorong desentralisasi, (7) untuk menghindari konflik

lepas kendali dan instabilitas politik disintegratif, dan (8) untuk meningkatkan

ketahanan nasional (Bappenas, 2006). Untuk itu dibutuhkan kebijakan program

yang mampu mengatasi permasalahan disparitas antar wilayah atau kawasan, dan

perencanaan yang mampu mewujudkan pembangunan wilayah atau kawasan yang

berimbang.

Di Indonesia, dari sisi pertumbuhan ekonomi wilayah, ketimpangan

pertumbuhan tidak hanya terjadi antar Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan

Kawasan Timur Indonesia (KTI), tetapi juga antar provinsi, dan antar wilayah

pedesaan dan perkotaan. Berdasarkan data BPS (2005 dan 2009a) dalam selang

waktu tahun 2003-2008, rata-rata tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto

(PDB) di KBI sekitar 5.24 persen per tahun dan cenderung meningkat, sedangkan

rata-rata tingkat pertumbuhan PDB di KTI hanya 3.85 persen per tahun serta

berfluktuasi. Perbedaan tingkat pertumbuhan ini semakin memperparah

ketimpangan nilai PDB antar kedua kawasan tersebut. Pada tahun 2003, sekitar

82.82 persen dari total PDB nasional terkonsentrasi di wilayah KBI dan sisanya

17.18 persen tersebar di provinsi-provinsi wilayah KTI, pada tahun 2008

konsentrasi PDB di KBI meningkat menjadi 83.55 persen. Perbedaan tingkat

pertumbuhan antara kawasan KBI dan KTI juga menyebabkan tingkat pendapatan

perkapita di hampir semua provinsi di KTI lebih rendah dibandingkan di

provinsi-provinsi di KBI.

Ketimpangan antar wilayah provinsi dapat dilihat dari penguasaan Produk

Domestik Regional Bruto (PDRB) seluruh provinsi dan laju pertumbuhan PDRB

(16)

rata-rata sekitar 60.57 persen dari seluruh PDRB, sedangkan provinsi di Sumatera

menguasai rata sekitar 22.44 persen, provinsi di Kalimantan menguasai

rata-rata 9.40 persen, Sulawesi menguasai 4.11 persen, dan provinsi di Nusa Tenggara,

Maluku dan Papua hanya 3.48 persen. Selain itu, dalam periode 2003-2008,

rata-rata laju pertumbuhan PDRB provinsi di Jawa dan Bali sebesar 5.60 persen per

tahun, provinsi di Sumatra sebesar 4.25 persen per tahun, provinsi di Kalimantan

3.31 persen, provinsi di Sulawesi sebesar 6.21 persen per tahun, dan provinsi di

Nusa Tenggara, Maluku dan Papua sebesar 2.47 persen per tahun (BPS, 2005 dan

2009a).

Ketimpangan pendapatan yang sering mendapat perhatian besar adalah

ketimpangan antara pedesaan dan perkotaan. Ketimpangan antar wilayah

pedesaan dan perkotaan dapat dilihat dari sebaran jumlah penduduk

miskin.Ketimpangan tersebut masih cukup besar. Data BPS (2009b)

menunjukkan bahwa dalam tahun 2001-2008, rata-rata jumlah penduduk miskin

per tahun di perdesaan hampir dua kali lipat dari jumlah penduduk miskin di

perkotaan, yakni sekitar 24.70 juta jiwa untuk di daerah perdesaan dan sekitar

12.43 juta jiwa di daerah perkotaan.

Kondisi disparitas perekonomian regional demikian pada akhirnya

menyebabkan lemahnya kondisi perekonomian nasional secara makro. Rata-rata

pertumbuhan ekonomi dalam lima tahun terakhir (tahun 2003-2008) sebesar 5.47

persen per tahun, lebih rendah dari target pertumbuhan yang diinginkan

pemerintah sebesar 6.5 persen, sementara tingkat pengangguran dan jumlah

(17)

tingkat pengangguran mengalami penurunan dari 9.7 persen pada tahun 2003

menjadi 8.46 pesen pada awal tahun 2008, akan tetapi jumlah nominal penduduk

menganggur masih cukup besar yakni hampir 10 juta jiwa di tahun 2008. Secara

nominal, jumlah penduduk miskin masih tetap besar yakni sekitar 34.96 juta pada

tahun 2008, tidak banyak berubah dari kondisi sebelumnya yang sebesar 37.3 juta

pada tahun 2003 (BPS, 2007a dan 2009b).

Masalah disparitas ekonomi antar wilayah tidak lepas dari masalah

implementasi kebijakan pembangunan ekonomi. Kim (2007) mengemukakan

bahwa faktor pendorong peningkatan atau penurunan disparitas ekonomi antar

wilayah adalah kebijakan pemerintah yang dapat berupa industrial policies;

migration policies dan public infrastructure. Dari sisi industrial policies,

kebijakan pemerintah dalam mendorong perekonomian tergantung desain rencana

pembangunan dimana secara historis proses pembangunan dan industrialisasi di

berbagai negara umumnya diawali dengan penguatan sektor pertanian melalui

modernisasi institusi pedesaan dan pergeseran pertanian berskala kecil ke

pertanian kapitalis berskala besar serta peningkatan produktivitas.

Kebijakan pembangunan ekonomi di masa Orde Baru, dimana secara

umum pada awal masa pembangunan ekonomi di era Orde Baru, secara formal

grand strategi pembangunan ekonomi menempatkan sektor pertanian sebagai

sektor prioritas dalam upaya mewujudkan visi pembangunan ekonomi yakni

terwujudnya landasan memasuki era tinggal landas (take off). Semua tahapan

pembangunan ekonomi dititiberatkan pada sektor pertanian dan industri yang

artinya bahwa strategi Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I didasarkan pada

(18)

pertanian. Strategi pembangunan demikian dipelopori oleh Rostow (1960) yang

secara spesifik mengemukakan bahwa revolusi pertanian merupakan syarat mutlak

bagi keberhasilan pra kondisi tinggal landas (Rostow dalam Simatupang dan

Syafa’at, 2000) .

Namun demikian, dalam perjalannya terjadi senjang strategi formal dan

kebijakan operasional karena masalah di tataran pasar politik ekonomi.

Pembangunan strategi industrialisasi berbasis pertanian hanya retorika belaka.

Pentahapan tinggal landas tidak mengikuti pandangan Rostow atau menurut

Tambunan dan Priyanto (2005), pola transformasi yang terjadi tidak mengikuti

struktur klasik yakni Agriculture-Industry-Service (AIS) ke IAS dan selanjutnya

menjadi ISA dan SIA. Sebaliknya, Indonesia membentuk pola sendiri yang

diawali dengan ASI hingga menjelang tahun 1980, untuk selanjutnya langsung

mengambil jalan pintas ke SIA hingga 1995. Pelaksanaan strategi PJP I atau

strategi industrialisasi di era Orde Baru terlalu mengandalkan peranan industri

besar modern yang sangat bias ke arah teknologi padat modal, sementara

persoalan riil yang dihadapi oleh ekonomi Indonesia adalah labor surplus

phenomenon. Dengan kebijakan ini, proses pembangunan ekonomi terpusatkan di

sektor-sektor tertentu (infrastruktur, industri dan perbankan) dan di wilayah

tertentu yakni Jawa khususnya Jakarta dan sekitarnya sehingga pembangunan bias

perkotaan dan industri padat modal dengan harapan hasil pembangunan ini akan

menetes atau terjadi trickle down effect ke sektor-sektor dan ke wilayah lainnya di

Indonesia. Pelaksanaan kebijakan pembangunan ini lebih berorientasi kepada

pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan pemerataan diasumsikan akan dengan

(19)

Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa pada pembangunan era Orde

Baru, trickle down effect dari hasil pembangunan relatif kecil, kalau tidak bisa

dikatakan tidak ada sama sekali, atau proses mengalir ke bawahnya sangat lambat

(Tambunan, 2006). Pada masa Orde Baru (1970-1997) memang tingkat

pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, dimana sampai sebelum masa krisis,

pertumbuhan ekonomi mampu mencapai rata-rata di atas 7 persen per tahun; akan

tetapi secara umum tingkat kesenjangan ekonomi baik distribusi pendapatan antar

golongan maupun antar wilayah mengalami peningkatan yang tajam seperti yang

terlihat pada Gambar 1.1.

Strategi industrialisasi yang bias industri besar serta padat modal dan tidak

ramah terhadap sektor pertanian mempercepat laju penurunan sektor pertanian

dalam komposisi PDB (Tambunan, 1998; Daryanto, 1999; Simatupang dan

Sjafa’at, 2000). Secara bertahap peran sektor pertanian dalam pembentukan PDB

terus mengalami penurunan dari sekitar 47.6 persen pada tahun 1970 menjadi

14.40 persen pada tahun 2008. Penurunan peran sektor pertanian dalam

pembangunan ekonomi sebetulnya merupakan suatu fenomena yang alamiah,

namun khusus untuk kasus Indonesia, penurunan peran sektor pertanian tersebut

menyimpan dan menyisakan sejumlah masalah diantaranya kemiskinan dan

ketimpangan pendapatan baik antar golongan masyarakat maupun antar wilayah.

Menurut Tambunan dan Priyanto (2005), kondisi tersebut karena

transformasi struktural yang tidak berjalan secara bertahap menyebabkan: (1) dari

sisi serapan tenaga kerja, perubahan struktur praktis tidak terjadi mengingat

struktur total tenaga kerja menurut sektor masih tetap membentuk pola ASI,

(20)

(3) sektor pertanian menderita underinvestment mengingat tingkat produktivitas

pertanian secara keseluruhan belumlah terlalu tinggi bertalian dengan rendahnya

investasi di sektor ini. Alokasi kredit perbankan misalnya, berdasarkan data

histrorik menunjukkan bahwa sektor pertanian memperoleh curahan kredit

perbankan yang relatif kecil dibandingkan dengan sektor industri dan jasa.

Konjektur di sini adalah kebijakan moneter yang ada juga bias ke arah industri

yang selanjutnya membuat posisi sektor pertanian menjadi inferior.

Pembangunan yang dilaksanakan Orde Baru terbukti gagal baik dalam

menciptakan pemerataan pembangunan maupun dalam menciptakan struktur

ekonomi yang berimbang dan tangguh secara berkelanjutan. Hal ini terbukti pada

saat krisis ekonomi tahun 1997, sektor industri mengalami kehancuran karena

tidak terintegrasi secara kuat dengan sektor pertanian sebagai penyedia bahan

baku. Sementara, pada saat krisis tersebut satu-satunya sektor yang tumbuh

positif adalah sektor pertanian dan ketika sektor pertanian tumbuh, tingkat

ketimpangan baik antar golongan pendapatan maupun antar wilayah mengalami

penurunan. Berdasarkan koefisien gini, tingkat ketimpangan distribusi

pendapatan menurun dari sekitar 0.4 lebih di tahun 1990-an menjadi 0.32 pada

tahun 1998. Sementara tingkat ketimpangan antar wilayah menunjukkan sedikit

penurunan dari 0.671 pada tahun 1997 menjadi 0.605 pada tahun 1998 (Sjafrizal,

2000). Begitu pula dengan hasil studi Akita dan Alisjahbana (2002), tingkat

ketimpangan antar wilayah di tahun 1998 mengalami penurunan, kembali ke

tingkat ketimpangan pada tahun 1993-1995.

Penurunan indeks tersebut diperkirakan sebagai akibat dari terjadinya

(21)

tajam. Sedangkan provinsi-provinsi yang kurang maju yang pada umumnya

adalah daerah-daerah pertanian, seperti misalnya Sulawesi, dan sektor pertanian,

khususnya subsektor perkebunan merupakan satu-satunya sektor yang cukup

mendapatkan keuntungan dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.

Hal ini membuat perekonomian provinsi-provinsi tersebut tidak terlalu terpukul

oleh krisis ekonomi. Fenomena tingkat ketimpangan distribusi pendapatan dan

ketimpangan antar wilayah di saat krisis ini secara implisit menunjukkan

pentingnya peran sektor pertanian dalam upaya meningkatkan pemerataan hasil

pembangunan baik antar golongan masyarakat maupun antar wilayah.

Dengan demikian, pasca Orde Baru atau mulai era reformasi hingga

kabinet Indonesia Bersatu dewasa ini, Indonesia kembali menjadikan sektor

pertanian sebagai landasan utama pembangunan ekonomi. Fakta empiris

menunjukkan bahwa di sebagian besar negara berkembang termasuk Indonesia,

sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki peranan penting dalam

perekonomian. Meskipun secara nasional, sektor pertanian tidak lagi menjadi

kontributor utama PDB dan kontribusinya cenderung menurun, namun sektor

tersebut baik secara nasional maupun regional tetap merupakan sektor penting.

Daryanto (1999), mengemukakan bahwa pentingnya mengembangkan

sektor pertanian di negara-negara berkembang, sejalan dengan paradigma

pembangunan pertanian dan perekonomian dewasa ini. Teori penurunan peranan

relatif sektor pertanian, yang mendominasi pemikiran pembangunan ekonomi

pada tahun 1950-an dan 1960-an, sering diartikan untuk memberikan prioritas

kepada sektor industri dan mengabaikan pembangunan di sektor pertanian. Dalam

(22)

1980-an terdapat perubahan pemikiran yang signifikan dalam kebijakan publik

yang memandang sektor pertanian lebih positif dan sektor ini diyakini dapat

berperan sebagai sektor pemimpin dalam pembangunan ekonomi.

Pentingnya sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia, tidak hanya

karena kemampuan sektor pertanian dalam menghadapi gejolak ekonomi, tetapi

juga karena peran penting lainnya. Sebagian besar provinsi (60 persen) sumber

PDRB utamanya adalah sektor pertanian dan sebagian besar dari provinsi tersebut

berada di luar Jawa dan Sumatera. Pentingnya sektor pertanian, baik secara

nasional maupun regional juga dapat dilihat dari kontribusinya yang besar dalam

penyerapan tenaga kerja. Dalam delapan tahun terakhir (1999-2008), secara

nasional, sektor pertanian masih menjadi penyedia lapangan kerja terbesar,

rata-rata kontribusinya lebih dari 40 persen. Disamping itu, kemiskinan lebih banyak

di pedesaan dan pertanian atau di provinsi yang perekonomiannya didominasi

sektor pertanian. Dengan demikian, rata-rata tingkat pendapatan perkapita di

provinsi yang perekonomiannya didominasi sektor pertanian lebih kecil daripada

di provinsi lainnya. Rata-rata pendapatan perkapita di provinsi tersebut dalam

delapan tahun terakhir (2000-2008) hanya sekitar 4.8 juta rupiah, jauh lebih kecil

dari rata-rata pendapatan perkapita di provinsi lainnya yang mencapai sekitar 11.2

juta rupiah (BPS, 2005 dan 2009a). Disamping itu di masa yang akan datang

sektor pertanian akan semakin penting terkait perannya dalam menyediakan food,

feed dan fuel.

Strategi pembangunan atau industrialisasi yang mengedepankan

pembangunan sektor pertanian adalah Agricultural Development

(23)

yang mempromosikan pertumbuhan dan industrialisasi. Sementara menurut

Kuznets (1964), Mellor (1966), Ghatak dan Ingersent (1984), Adelman (1984) dan

Norton (2004) di negara berkembang seperti Indonesia, sektor pertanian dapat

menjadi leading sector. Strategi ADLI menggarisbawahi peranan peningkatan

produktivitas pertanian melalui inovasi teknologi dan peningkatan investasi dalam

meningkatkan pendapatan pedesaan. Produksi pertanian yang meningkat

menciptakan pasar pasar bagi barang-barang industri karena keterkaitan

permintaan antara dan perminataan akhir yang kuat. Karena permintaan untuk

barang-barang industri meningkat, transfer sumberdaya dari sektor pertanian

mulai muncul, kemudian diikuti dengan pertumbuhan di sektor non pertanian.

Beberapa hasil studi sebelumnya menunjukkan bahwa prioritas

pembangunan ekonomi ke pembangunan sektor pertanian mampu memecahkan

masalah kemiskinan, pengangguran serta pertumbuhan ekonomi (Datt dan

Ravallion,1998; Fan et al., 1999; Sipayung, 2000; Mellor, 2001; Anderson, 2002;

Fan et al., 2002; Thirtle et al., 2003; Lopez dan Anriquez, 2004; Lofgren dan

Robinson, 2004; Yudhoyono, 2004; Astuti, 2005; de Ferranti et al., 2005).

Disamping itu, beberapa studi (Takeda dan Nakata, 1998; Bautista dan Thomas,

2000; Jiang, 2003; Pardede, 2004; Byerlee et al., 2005; Oktaviani et al. 2007a;

Al-Hasan dan Diao, 2007; Lipton dan Zhang, 2007; dan Liu et al., 2008)

menunjukkan bahwa pembangunan/investasi di sektor pertanian, sektor

basis/kunci atau leading sector berpotensi mengurangi ketimpangan antar wilayah

atau mendorong konvergensi ekonomi antar wilayah.

Menurut Murty (2000), untuk dapat membangun keterkaitan antar wilayah

(24)

pemerataan permintaan (demand), dan (3) mendorong pemerataan tabungan.

Menurut backwardness theories (modernization theories), kurang berkembangnya

suatu wilayah (underdevelopment) adalah karena rendahnya tingkat investasi.

Tingkat investasi yang rendah akan menghasilkan tingkat output dan pendapatan

yang rendah.

Investasi adalah salah satu faktor penting penentu keberhasilan

pembangunan ekonomi karena akan mendorong pertumbuhan ekonomi baik

nasional, regional dan sektoral. Dalam model ekonomi makro Keynes,

peningkatan investasi tidak hanya akan meningkatkan permintaan agregat, tetapi

juga meningkatkan penawaran agregat melalui pengaruhnya terhadap kapasitas

produksi atau produktivitas. Kedua peran tersebut menyebabkan investasi

mempunyai efek pengganda yang besar dalam perekonomian suatu negara atau

daerah. Model Harrold-Domar menjelaskan bahwa dalam jangka panjang,

investasi akan meningkatkan penawaran melalui peningkatan stok kapital yang

pada gilirannya akan meningkatkan pula kemampuan masyarakat untuk

mengha-silkan output atau melakukan kegiatan-kegiatan produksi. Kegiatan produksi

tersebut akan meningkatkan juga penyerapan tenaga kerja. Proses ini pada

akhir-nya akan memicu meningkatakhir-nya pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.

Untuk Indonesia, kegiatan investasi merupakan upaya mendasar yang

harus dipacu untuk meningkatkan kinerja perekonomian. Indonesia adalah salah

satu negara di Asia dengan jumlah penduduk yang besar yaitu 228.5 juta pada

tahun 2008 (BPS, 2009b). Jumlah tersebut adalah keempat terbesar di dunia

setelah China, India dan Amerika Serikat. Jumlah penduduk yang besar jika

(25)

negeri maupun asing. Disamping itu, sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia

selama ini lebih ditopang oleh kegiatan konsumsi masyarakat daripada investasi.

Selama kurun waktu 2000-2007, dari total PDB, rata-rata kontribusi konsumsi

rumah tangga sebesar 65.13 persen; sedangkan untuk kegiatan pembentukan

modal tetap sektor swasta hanya memberikan kontribusi rata-rata sebesar 24.16

persen; dan rata-rata konsumsi pemerintah sebesar 8.40 persen (BPS, 2006a dan

2009b).

Dalam kondisi sumber pembiayaan pembangunan yang terbatas, maka

pemihakan kebijakan pembangunan ekonomi terhadap sektor tertentu diharapkan

tidak hanya memecahkan masalah pembangunan ekonomi sektoral, tetapi juga

masalah perekomian makro dan wilayah. Kebijakan alokasi investasi sektoral

mempunyai implikasi penting terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi

regional karena perencanaan pembangunan sektoral bersifat lintas wilayah. Suatu

wilayah perencanaan sektoral biasanya melebihi batas wilayah administratif

karena lebih mengacu pada suatu konsep wilayah homogen. Dalam suatu

perekonomian yang terbuka, pertumbuhan ekonomi suatu wilayah tidak hanya

tergantung pada pertumbuhan dari sektor-sektor perekonomiannya itu sendiri,

akan tetapi juga tergantung pada keterkaitan antar wilayah dimana keterkaitan

antar wilayah terjadi melalui keterkaitan antar sektor apakah dalam suatu sistem

agribisnis ataupun dalam suatu sistem keterkaitan ekonomi antara industri hulu

dan hilir, serta sebagai implikasi dari kebijakan investasi sektoral.

1.2. Perumusan Masalah

(26)

memperkecil disparitas ekonomi baik disparitas wilayah maupun disparitas antar

golongan masyarakat dimana dalam sepuluh tahun terakhir tingkat disparitas

ekonomi antar wilayah di Indonesia yang diukur oleh Coefficient of Variation

Williamson (CVw) indeks cenderung meningkat dan bertahan pada tingkat yang

relatif tinggi (Gambar 1). Pada tahun 1994-1998 nilai indeks CVw sekitar 0.6 dan

sejak tahun 1999 menjadi sekitar 0.8 hingga tahun 2008. Dengan demikian,

mobilisasi dana pembangunan atau investasi, tidak hanya penting

mempertimbangkan dari sisi kuantitasnya juga penting dari sisi alokasinya baik

secara sektoral maupun spatial.

Gambar 1. Disparitas Pendapatan Antar Wilayah Provinsi di Indonesia, Tahun 1971-2008

Sumber: Sjafrizal, 2000 dan 2008; BPS, 2005 dan 2009a (diolah).

Ketimpangan tersebut diduga terkait erat dengan masalah alokasi investasi

(27)

pembangunan pasca Orde Baru yang kembali menjadikan sektor pertanian sebagai

landasan pembangunan ekonomi tidak disertai dukungan investasi yang memadai.

Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa kebijakan otonomi daerah dan

desentralisasi fiskal (dimulai tahun 2000) yang ditujukan selain untuk

mempromosikan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga untuk meredam masalah

ketimpangan pembangunan antar wilayah, belum juga memberikan hasil yang

memuaskan. Salah satunya karena alokasi anggaran pembangunan belum

mempertimbangkan sektor unggulan dimana alokasi investasi sektoral selama ini

tanpa didasari alasan yang jelas.

Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa dengan adanya desentralisasi

fiskal meningkatkan secara nyata kinerja fiskal daerah yang artinya meningkatkan

dana pembangunan/investasi pemerintah daerah (Sartiyah, 2001; Yuliati, 2002;

Riyanto, 2003; Pakasi, 2005; Sumedi, 2005). Peningkatan kinerja fiskal, di satu

pihak, meningkatkan kinerja perekonomian daerah walaupun sebagian besar tidak

secara signifikan (Wuryanto,1996; Sartiyah, 2001; Yuliati, 2002; Riyanto, 2003;

Pakasi, 2005; Sumedi, 2005) dan dipihak lain memperbesar disparitas wilayah

(Riyanto, 2003; Islam, 2003; Dartanto dan Brodjonegoro, 2003; Pardede, 2004;

Sumedi, 2005; Waluyo, 2007; Fadjar dan Sembiring, 2008). Hal ini disebabkan,

sebagian besar APBD dialokasikan untuk anggaran rutin dan tidak ke anggaran

pembangunan (Riyanto, 2003; Pardede, 2004; Sumedi, 2005), dan juga dalam

alokasi anggaran pembangunan belum mempertimbangkan sektor unggulan

(Pardede, 2004). Hasil simulasi menunjukan bahwa realokasi anggaran yang lebih

besar ke anggaran pembangunan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi,

namun kecil sekali dampaknya bahkan ada yang justru memperbesar disparitas

wilayah. Salah satunya karena belum mempertimbangkan sektor unggulan.

Dalam tujuh tahun terakhir pasca krisis ekonomi yang melanda Indonesia

(28)

(PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA) dari tahun ke tahun mengalami

peningkatan dengan rata-rata peningkatan 37.69 persen per tahun untuk PMDN

dan 21.07 persen per tahun untuk PMA. Namun secara sektoral, dalam kurun

waktu tersebut kegiatan investasi masih bias ke sektor industri. Sektor tersebut

rata-rata menyerap 66.63 persen dari total PMDN dan 50.04 persen dari total

PMA. Meskipun persentase PMA untuk sektor industri lebih kecil daripada

PMDN, namun alokasi PMA untuk sektor pertanian jauh lebih kecil daripada

PMDN, padahal nilai PMA jauh lebih besar daripada PMDN. Kecenderungan

yang sama terjadi untuk kegiatan investasi oleh pemerintah. Kecenderungan

investasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Memang secara nasional struktur perekonomian Indonesia telah bergeser

dari perekonomian yang didominasi sektor pertanian ke perekonomian yang

didominasi oleh sektor industri, seperti yang tampak pada Tabel 2. Dalam kurun

waktu tahun 2001-2008, kontribusi sektor industri pengolahan terhadap nilai total

PDB nasional selalu berada pada posisi paling atas dengan nilai persentase yang

relatif besar. Namun demikian, secara regional seperti yang terlihat pada Tabel 32,

pada tahun 2008 wilayah provinsi yang struktur perekonomiannya didominasi

oleh sektor tersebut hanya empat atau hanya sekitar 12 persen dari 33 provinsi

yang ada di Indonesia dan provinsi-provinsi tersebut terpusat di pulau Jawa serta

termasuk kedalam kelompok provinsi dengan tingkat pendapatan sedang menurut

hasil studi Bappenas tahun 2003. Sebagian besar provinsi (64 persen), struktur

Tabel 1. Realisasi Investasi di Indonesia Menurut Sektor, Tahun 2001-2007

Sektor Tahun

(29)

A.PMDN (Milyar Rupiah)

1. Sektor Pertanian 1 121.7 537.7 593.8 527.0 4 177.2 3 578.7 3 441.3

(11.34) (4.30) (4.99) (3.45) (13.62) (17.21) (10.47)

2. Sektor Non Pertanian

a. Sektor Industri 5 760.6 9 968.9 6 229.4 10 517.9 20 931.1 13 152.2 24 846.9

(58.24) (79.75) (52.39) (68.90) (68.26) (63.27) (75.58)

b. Sektor Lainnya 3 008.5 1 993.4 5 066.8 4 219.8 5 556.7 4 057.5 4 587.5

(30.42) (15.95) (42.61) (27.64) (18.12) (19.52) (13.95)

Total 9 890.8 12 500.0 11 890.0 15 264.7 30 665.0 20 788.4 32 875.7

(100) (100) (100) (100) (100) (100) (100)

B. PMA (Juta Dollar)

1. Sektor Pertanian 79.4 18.1 221.3 186.5 348.9 434.5 201.5

(2.26) (0.59) (4.06) (4.05) (3.91) (7.27) (2.36)

2. Sektor Non Pertanian

a. Sektor Industri 2 198.5 1 552.2 1 880.4 2 803.3 3 502.1 3 604.5 3 622.9

(62.65) (50.23) (34.50) (60.93) (39.28) (60.31) (42.40)

b. Sektor Lainnya 1 231.5 1 519.8 3 348.7 1 611.3 5 063.6 1 938.0 4 720.0

(35.09) (49.18) (61.44) (35.02) (56.80) (32.42) (55.24)

Total 3 509.4 3 090.1 5 450.4 4 601.1 8 914.6 5 977.0 8 544.4

(100) (100) (100) (100) (100) (100) (100)

Sumber: BKPM, 2008.

Keterangan: ( ) nilai persentase

perekonomiannya masih didominasi oleh sektor pertanian, dan sebagian besar dari

provinsi tersebut termasuk dalam kelompok provinsi dengan tingkat pendapatan

per kapita yang relatif rendah. Sekitar 12 persen provinsi lainnya,

perekonomian-nya didominasi oleh sektor pertambangan dan penggalian, kelompok ini termasuk

dalam tingkat pendapatan per kapita yang relatif tinggi. Provinsi lainnya,

perekonomiannya didominasi oleh sektor perdagangan dan jasa.

Dengan demikian, alokasi investasi yang bias ke sektor industri juga

menyebabkan alokasi investasi yang bias ke wilayah Jawa atau KBI yang pada

Tabel 2. Kontribusi Sektor Perekonomian Terhadap Produk Domestik Bruto

Indonesia Menurut Harga Konstan Tahun 2000, Tahun 2000-2008

(30)

1 Pertanian 15.60 15.64 15.46 15.39 14.99 14.54 14.20 13.83 13.66

Sumber: BPS, 2006b dan 2009b.

akhirnya ketimpangan ekonomi antar wilayah bertahan pada tingkat yang tinggi

seperti yang terlihat pada Gambar 1. Lebih dari sepuluh tahun terakhir

(1997-2008), tingkat ketimpangan wilayah antar provinsi yang diukur dengan Coefficient

of Variation Williamson (CVw) masih tetap pada kisaran angka 0.8. Dalam kurun

waktu 2001-2007 dari total investasi PMDN, rata-rata alokasi investasi tersebut

per tahun ke wilayah Jawa adalah sekitar 62.56 persen; sementara rata-rata alokasi

investasi PMA ke wilayah Jawa dari total investasi tersebut adalah sekitar 79.10

persen, seperti yang terlihat pada Tabel 3.

Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa alokasi investasi sektoral

mempunyai peran dalam menentukan besar kecilnya tingkat disparitas

perekonomian wilayah. Perencanaan pembangunan sektoral bersifat lintas

wilayah. Dalam hal ini, untuk dapat memperkecil disparitas wilayah maka

inves-tasi perlu diprioritaskan kepada sektor-sektor yang menjadi sumber pertumbuhan

di wilayah yang kurang berkembang dan kepada sektor yang mempunyai

(31)

Tabel 3. Realisasi Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri Menurut Wilayah di Indonesia, Tahun 2001-2007

(Milyar Rupiah)

Keterangan: ( ) nilai persentase

Seperti sudah dikemukakan, sektor pertanian adalah sektor yang dominan

dalam perekonomian di sebagian besar provinsi dengan tingkat pendapatan

perkapita yang relatif rendah. Sektor tersebut selain masih merupakan sektor yang

dominan dalam penyerapan tenaga kerja (Tahun 1999-2007) sekitar lebih dari 40

persen dari total tenaga kerja terserap di sektor tersebut, juga menjadi sumber

nafkah sebagian besar masyarakat pedesaan yang pada umumnya tergolong

miskin. Dengan demikian, pembangunan pertanian yang mengarah ke

pertumbuhan produktivitas pertanian secara keseluruhan diharapkan mampu

meningkatkan pendapatan masyarakat di wilayah pedesaan dan wilayah kurang

Tabel 4. Realisasi Investasi Penanaman Modal Asing Menurut Wilayah di Indonesia, Tahun 2001-2007

(Juta Dollar)

(32)

1 Sumatera 906.7 90.1 501.7 850.4 1 224.6 883.7 902

(25.8) (2.9) (9.2) (18.5) (13.7) (14.8) (10.6)

2 Jawa 2 481.6 2 740.1 4 515.6 3 248.1 7 251.2 4 412.8 7 323.9

(70.7) (88.7) (82.8) (70.6) (81.3) (73.8) (85.7)

3 Bali & NTT 34.1 6.8 25.2 107.2 102.6 109.8 49.3

(1.0) (0.2) (0.5) (2.3) (1.2) (1.8) (0.6)

4 Kalimantan 53.5 188.5 137.2 368 181.8 534.6 203.2

(1.5) (6.1) (2.5) (8.0) (2.0) (8.9) (2.4)

5 Sulawesi 7.1 60.5 266.6 27.4 145.3 15.5 63.6

(0.2) (2.0) (4.9) (0.6) (1.6) (0.3) (0.7)

6 Maluku 1.8 0.0 0.0 0.0 9.1 20 0

(0.1) (0.0) (0.0) (0.0) (0.1) (0.3) (0.0)

7 Papua 24.8 4.1 4.1 0.0 0.0 0.6 2.4

(0.7) (0.1) (0.1) (0.0) (0.0) (0.0) (0.0)

Total 3 509.6 3 090.1 5 450.4 4 601.1 8 914.6 5 977.0 8 544.4

(100) (100) (100) (100) (100) (100) (100)

Sumber: BKPM, 2008.

Keterangan: ( ) nilai persentase

berkembang yang juga berarti mengurangi penduduk miskin, sekaligus

mengurangi ketimpangan produktivitas antar sektor pertanian dan industri yang

pada akhirnya memperkecil ketimpangan antar wilayah.

World Bank (2005), mengemukakan bahwa sebagian besar masyarakat

miskin di dunia tergantung kepada sektor pertanian baik secara langsung maupun

tidak langsung. Banyak penduduk yang tingkat kesejahteraan hidupnya

mengalami perbaikan, merasa hal tersebut terjadi karena memperoleh manfaat dari

adanya investasi mendasar dalam pembangunan sektor pertanian pada tahun

1970-an dan tahun 1980-an. Investasi ini membawa banyak terobosan terhadap

lapangan usaha petani yang memungkinkan negara meningkatkan keamanan

pangan, meningkatkan pendapatan rumahtangga di pedesaan, dan penggunaan

sektor pertanian sebagai lokomotif pertumbuhan bagi perekonomian secara

(33)

prioritas pembangunan ekonomi ke pembangunan sektor pertanian mampu

memecahkan masalah kemiskinan, pengangguran serta pertumbuhan ekonomi.

Namun demikian, meskipun sektor pertanian merupakan sektor yang

mempunyai kontribusi terbesar dalam PDRB di sebagian besar provinsi wilayah

kurang berkembang, namun dilihat dari distribusi nilai output nasional sektor

pertanian secara regional masih terkonsentrasi di Pulau Jawa khususnya di

Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang pada tahun 2008

mencapai 39.88 persen seperti pada Tabel 31. Disamping itu tingkat pertumbuhan

sektor pertanian dalam tujuh tahun terakhir paling kecil, setelah sektor

pertambangan dan penggalian (rata-rata pertumbuhannya hanya sekitar 3.4 persen

per tahun) dibandingkan dengan sektor perekonomian lainnya, walaupun

kedudukannya dalam perekonomian nasional masih dalam posisi ketiga setelah

sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan pariwisata. Dalam

konteks perdagangan, nilai tukar sektor pertanian juga relatif rendah.

Dengan demikian, prioritas peningkatan alokasi investasi ke sektor

pertanian dikhawatirkan justru dapat mempertajam ketimpangan antar wilayah

atau perannya relatif kecil dalam hal tersebut. Kekhawatiran tersebut juga muncul

karena hasil studi Wibisono (2005) menemukan bahwa perbedaan tingkat

teknologi antar provinsi sangat lebar sehingga transfer teknologi juga akan

berjalan lambat yang pada akhirnya membawa konvergensi pendapatan yang

lambat pula; serta adanya eksternalitas negatif menyebabkan inefisiensi dari

investasi. Hasil studi Mansur (1999) dampak dari investasi perkebunan swasta

menyebabkan penurunan pendapatan maupun pertumbuhan pendapatan wilayah,

(34)

ngunan ekonomi sektoral dengan ketimpangan antar wilayah menunjukkan bahwa

pembangunan/investasi di sektor pertanian tidak selalu menurunkan disparitas

ekonomi antar wilayah atau mendorong konvergensi ekonomi antar wilayah (Liu

et al., 2008). Sementara studi Dermorejo (2001), JASID (2001), Al-Hasan dan

Diao (2007) serta Lipton dan Zhang (2007) menunjukkan bahwa pembangunan di

sektor pertanian dapat mengurangi disparitas ekonomi antar wilayah.

Berdasarkan fenomena permasalahan tersebut maka pertanyaan besar yang

ingin dijawab dalam studi ini adalah secara sektoral, harus diarahkan ke sektor

apakah alokasi investasi agar mampu memperkecil disparitas ekonomi antar

wilayah dan sekaligus meningkatkan kinerja perekonomian makro maupun

sektoral? Pertanyaan tersebut menjadi penting pada kondisi anggaran

pembangunan dan sumberdaya saat ini yang semakin terbatas.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan penelitian yang telah

dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Menganalisis dampak investasi sektoral terhadap kondisi mikroekonomi yang

mencakup output dan harga sektoral, tingkat upah dan kesempatan kerja

sektoral, serta ekspor dan impor.

2. Menganalisis dampak investasi sektoral terhadap kondisi makroekonomi dan

kesejahteraan rumahtangga.

3. Menganalisis dampak investasi sektoral terhadap kondisi makroekonomi

wilayah dan disparitas ekonomi antar wilayah.

4. Merumuskan alokasi investasi sektoral yang mampu memberikan dampak

(35)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang besar bagi

para kademisi dan pengambil kebijakan. Secara akademis, hasil penelitian ini

dapat berguna bagi pengembangan ilmu maupun peneliti berikutnya khususnya

untuk studi mengenai peran investasi sektoral dalam pembangunan ekonomi

sektoral, wilayah maupun nasional dengan menggunakan model Computable

General Equilibrium (CGE). Sementara bagi para pengambil kebijakan, baik

pemerintah pusat maupun daerah, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi

rujukan dalam penyusunan kebijakan pembangunan ekonomi khususnya dalam

alokasi investasi sektoral maupun wilayah dalam rangka menciptakan

pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil pembangunan.

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah perekonomian secara nasional yang

kemudian didisagregasi secara sektoral dan regional. Secara nasional, analisis

ditujukan untuk mengetahui dampak alokasi investasi sektoral terhadap fenomena

perekonomian makro melalui keterkaitan antar sektor, seperti pertumbuhan

ekonomi, inflasi, ekspor dan impor, neraca perdagangan, dan distribusi

pendapatan. Perkembangan perekonomian mikro atau sektoral sebagai dampak

dari alokasi investasi sektoral juga dikaji secara nasional.

Disagregasi wilayah dilakukan untuk mengetahui fenomena perekonomian

wilayah khususnya pertumbuhan PDRB, kesempatan kerja dan tingkat upah.

Dalam hal ini, wilayah nasional didisagregasi menurut wilayah administrasi

provinsi sehingga menjadi 30 wilayah provinsi sebagaimana disagregasi wilayah

nasional dalam Inter Regional Input Output (IRIO) tahun 2005. Adapun tujuan

(36)

ekonomi antar wilayah sebagai dampak dari adanya perubahan produktivitas

sektoral yang dsimulir investasi. Disparitas ekonomi antar wilayah ini diukur

dengan indikator CVw dan hanya mencakup kesenjangan ekonomi antar wilayah

provinsi.

Dari sisi sektoral, ruang lingkup analisis mencakup seluruh sektor

perekonomian yang didisagregasi menjadi 30 sektor yakni: tanaman pangan;

perkebunan; peternakan; kehutanan; dan perikanan; pertambangan minyak, gas

dan panas bumi; pertambangan batu bara, biji logam dan penggalian lainnya;

pengilangan minyak bumi; industri makanan dan minuman; industri tekstil, barang

kulit dan alas kaki; industri Barang kayu dan hasil hutan lainnya; industri pulp dan

kertas; industri pupuk dan pestisida; industri kimia, karet dan barang dari karet;

industri semen; industri logam dasar besi dan baja; industri barang dari logam;

industri alat angkutan, mesin dan peralatannya; industri iainnya; listrik, gas dan air

bersih; bangunan; perdagangan; hotel dan restoran; angkutan darat; angkutan air;

angkutan udara; komunikasi; lembaga keuangan; jasa pemerintah; dan jasa

lainnya. Penentuan jumlah sektor yang dianalisis didasarkan pada pertimbangan

ketersediaan data investasi secara sektoral dan mencakup sektor-sektor prioritas

dalam rencana pembangunan.

Dengan ruang lingkup tersebut, maka penelitian ini memiliki beberapa

keterbatasan. Pembangunan termasuk pembangunan wilayah seperti yang

diungkapkan oleh Todaro (2000) merupakan multidimensional dan menurut

Murty (2000) terdapat faktor lain yang menyebabkan terjadinya disparitas antar

wilayah, namun dalam studi hanya menekankan pada variabel investasi sebagai

(37)

transaction cost, sistem birokrasi dan adanya eksternalitas negatif dari adanya

suatu investasi, namun dalam studi ini faktor-faktor tersebut tidak diakomodasi

dalam model. Penggunaan model multiregonal CGE top-down, menyebabkan

shock tidak dapat dilakukan dari sisi suplai spesifik wilayah. Pemetaan dimensi

wilayah muncul tanpa adanya feedback dari wilayah yang didisagregasi; dalam

hal ini efek dari kebijakan yang berasal dari dalam wilayah tidak dapat terlihat.

Keterbatasan lain dari studi ini adalah bahwa disagregasi wilayah hanya

mencakup 30 wilayah provinsi, padahal saat ini jumlah wilayah provinsi di

Indonesia sudah mencapai 33 proinsi sehingga sedikitnya akan mempengaruhi

kerelevanan penelitian ini. Dalam studi ini investasi sektoral yang dimaksud

belum dibedakan menurut bentuk atau jenis investasinya sehingga rekomendasi

kebijakan dari studi ini belum sampai pada tahap tersebut. Sementara investasi

infrastruktur hanya mencakup infrastruktur jalan dan irigasi (infratruktur

pedesaan). Nilai investasi sektoral hanya tersedia menurut sembilan sektor

perekonomian, sementara disagregasi sektoral dibedakan kedalam 30 sektor.

Dengan demikian, untuk masing-masing subsektor yang termasuk dalam

kelompok sektor yang sama diasumsikan mempunyai nilai produktivitas yang

sama. Nilai produktivitas diduga berdasarkan model ekonometrik dan kemudian

nilai produktivitas tersebut dijadikan shock dalam proses simulasi dengan

menggunakan model CGE.

II. TINJAUAN PUSTAKA

(38)

Wilayah adalah unit geografis dengan batas-batas tertentu, dimana

komponen-komponen dari wilayah tersebut saling berinteraksi secara fungsional.

Beberapa komponen wilayah adalah seperti biofisik alam, sumberdaya buatan

(infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk kelembagaannya. Dengan demikian

istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan

sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Oleh

karenanya istilah wilayah (region) sangat umum dipakai, baik dalam kajian sosial

maupun fisik. Keragaman didalam mendefinisikan konsep “wilayah” terjadi

karena perbedaan di dalam permasalahan-permasalahan wilayah ataupun

tujuan-tujuan pengembangan wilayah yang dihadapi. Dalam kenyataannya tidak ada

konsep “wilayah” yang benar-benar diterima secara luas. Para ahli cenderung

melepaskan perbedaan-perbedaan konsep wilayah dan lebih fokus pada masalah

dan tujuan-tujuan pengembangan wilayah. Di Indonesia, perbedaan itu tampak

dalam penggunaan terminologi “kawasan” dan “daerah”, dimana pengertian

“kawasan” umumnya merupakan suatu unit wilayah yang mempunyai batasan dan

sistem berdasarkan aspek fungsional, sedangkan pengertian “daerah” umumnya

merupakan unit wilayah yang mempunyai batasan atau sistem berdasarkan aspek

administratif.

Beberapa klasifikasi konsep wilayah yang menjelaskan berbagai konsep

wilayah yaitu: (1) wilayah homogen, (2) wilayah fungsional yang terbagi dalam

sistem sederhana terdiri dari: wilayah nodal, desa-kota, budidaya-lindung dan

sistem kompleks yakni sistem ekonomi, ekologi dan sistem sosial-politik, dan (3)

wilayah perencanaan, yang disusun berdasarkan konsep wilayah homogen,

(39)

kemudian diharapkan akan berguna bagi perencana wilayah dalam merumuskan

kebijakan-kebijakan yang mampu mendorong pemerataan pembangunan antar

wilayah dimaksud.

Secara umum, pembangunan didefinisikan sebagai suatu proses untuk

meningkatkan kondisi hidup seluruh masyarakat yang ada dalam suatu wilayah.

Mellor (1966), mendefinisikan pembangunan ekonomi secara lebih detail yaitu

suatu proses dimana suatu masyarakat meningkatkan efisiensi dalam menyediakan

barang dan jasa yang diperlukan sehingga meningkatkan taraf hidup per kapita

dan kesejahteraan secara umum. Sementara Streeten (1986) mengemukakan

bahwa konsep pembangunan harus didefinisikan kembali sebagai upaya

menghapuskan berbagai bentuk penyakit umat manusia, malnutrisi (kekurangan

gizi), penyakit, buta huruf, daerah-daerah pemukiman kumuh, pengangguran dan

ketimpangan pendapatan. Jika hanya dihitung berdasarkan tingkat pertumbuhan

agregat, maka mungkin pembangunan yang sudah dijalankan selama ini telah

membawa keberhasilan besar. Tetapi apabila diukur atas dasar jumlah kesempatan

kerja baru, peningkatan keadilan sosial dan pemberantasan kemiskinan,

pembangunan selama ini tidak banyak membuahkan hasil, atau bahkan telah gagal

(Streeten dalam Todaro, 2000).

Dengan demikian, menurut Todaro (2000) pembangunan harus dipahami

sebagai suatu proses multidimensional, yang melibatkan segenap

pengorganisasian dan peninjauan kembali atas sistem-sistem ekonomi dan sosial

secara keseluruhan. Selain peningkatan pendapatan dan output, proses

pembangunan itu juga berkenaan dengan serangkaian perubahan yang mendasar

(40)

yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini, Todaro

menekankan kemajuan ekonomi merupakan komponen utama pembangunan.

Ditinjau dari kemajuan ekonomi, untuk mencapai kehidupan yang lebih

baik bagi seluruh masyarakat, maka secara umum tujuan pembangunan ekonomi

suatu negara atau bangsa terutama negara-negara yang sedang berkembang, tidak

hanya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi (growth), akan tetapi sekaligus

menciptakan pemerataan hasil pembangunan (equity) baik antar golongan

masyarakat, sektoral maupun antar wilayah. Pembangunan ekonomi regional

mempunyai peranan besar dalam menentukan pembangunan ekonomi nasional.

Pertumbuhan ekonomi nasional tergantung pada tingkat pertumbuhan

masing-masing wilayah yang berada dalam wilayah pembangunan nasional, sementara

pemerataan pembangunan (equity) ditentukan oleh sejauh mana disparitas

pertumbuhan ekonomi antar wilayah.

Pembangunan wilayah adalah proses atau tahapan kegiatan pembangunan

di suatu wilayah tertentu yang dalam perwujudannya melibatkan interaksi antara

sumberdaya manusia dengan sumberdaya lainnya termasuk sumberdaya alam dan

lingkungannya melalui kegiatan investasi pembangunan. Dalam investasi

pembangunan nasional, maka pertimbangan pemerataan dan keberlanjutan

pembangunan antar wilayah, sering menjadi masalah yang belum dapat diatasi

secara baik (Hadi, 2001).

Hoover dan Giarratani (1985) mengemukakan bahwa pertumbuhan dan

perubahan wilayah memerlukan interaksi yang kompleks diantara

kegiatan-kegiatan dalam perekonomian wilayah. Artinya, pertumbuhan suatu wilayah dan

(41)

keterkaitan yang sifatnya vertikal, horisontal ataupun yang bersifat komplementer.

Keterkaitan tersebut dapat meluas hingga melewati batas wilayah tergantung pada

ukuran dan kedewasaan tahap pembangunan/pertumbuhan wilayah. Dengan

demikian pembangunan atau pertumbuhan suatu wilayah (besarnya pertumbuhan,

tingkat pendapatan, dan stuktur) juga terjadi karena adanya keterkaitan antar

wilayah atau dipengaruhi oleh kondisi eksternal yakni: (1) permintaan terhadap

output wilayah dari wilayah lain (perdagangan antar wilayah) yang ditransmisikan

melalui backward linkage, dimana permintaan tersebut menjadi sumber

pendapatan wilayah dan (2) penawaran input terhadap kegiatan produktif wilayah

(pergerakan tenaga kerja dan kapital antar wilayah) dan forward linkage. Dalam

hubungannya dengan hal tersebut, beberapa teori pembangunan wilayah yang

diterima secara luas menekankan bahwa permintaan dari luar wilayah terhadap

ekspor suatu wilayah, dan penawaran tenaga kerja dan faktor produksi merupakan

prime movers pertumbuhan suatu wilayah. Oleh sebab itu, kajian secara

mendalam tentang struktur dan pola keterkaitan ekonomi antar wilayah di

Indonesia baik dalam bentuk transaksi perdagangan barang antara, perdagangan

barang akhir, aliran modal dan aliran tenaga kerja sangat penting dan relevan.

2.2. Disparitas Ekonomi Antar Wilayah

Dalam proses pembangunan ekonomi, eksistensi kesenjangan sangat

penting untuk diidentifikasi dan diketahui. Tingkat kesenjangan ekonomi

menunjukkan kondisi distribusi pendapatan atau hasil pembangunan. Distribusi

pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan karena pada dasarnya

(42)

pengentasan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan harmonisasi sosial. Dengan

tingkat pendapatan tertentu, kenaikan kesenjangan akan selalu berimplikasi pada

kenaikan kemiskinan. Selain itu terdapat juga bukti yang semakin banyak bahwa

negara-negara dengan tingkat kesenjangan tinggi mencapai tingkat petumbuhan

yang lebih rendah. Kesenjangan sosial juga seringkali menjadi faktor utama

dibalik harmonisasi sosial seperti kriminalitas, konflik sosial, hingga gerakan

separatisme.

Dalam konteks wilayah yang lebih luas, kesenjangan atau disparitas

wilayah bisa dilihat dari ketimpangan wilayah dalam satu wilayah kabupaten,

provinsi, regional, bahkan nasional. Ketimpangan wilayah dalam satu wilayah

administratif sering melatari kecenderungan terjadinya pemekaran wilayah

administratif tercermin dari telah dan sedang terjadinya proses pertikaian wilayah

adminstratif dengan munculnya kabupaten - kabupaten baru dan provinsi provinsi

baru. Secara nasional, sempat muncul ancaman disintegrasi akibat ketimpangan

pembangunan wilayah.

Krusialnya masalah kesenjangan tersebut, menyebabkan setiap negara

atau bangsa terutama negara-negara yang sedang berkembang dimana kemiskinan

dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan merupakan dua masalah besar di

banyak negara sedang berkembang tersebut, tidak terkecuali Indonesia-

menetapkan tujuan pembangunan ekonominya tidak hanya untuk mencapai

pertumbuhan ekonomi (growth), akan tetapi sekaligus menciptakan pemerataan

hasil pembangunan (equity) baik antar golongan masyarakat, sektoral maupun

antar wilayah.

(43)

alasan politik. Dengan keragaman etnik yang begitu plural, tidak ada isu yang

lebih sensitif di Indonesia selain isu kedaerahan. Kedua, disparitas pendapatan

regional yang bersumber dari distribusi pendapatan sumberdaya alam yang sangat

tidak merata. Ketiga, daerah memegang peranan penting dalam kebijakan

pemerintah yang berkaitan dengan dinamika spasial, seperti penyebaran penduduk

misalnya. Berkaitan dengan dinamika spasial ini, muncul alasan keempat yaitu

bagaimana hubungan dengan daerah diatur?

Murty (2000) mendefinisikan kesenjangan wilayah sebagai pertumbuhan

yang tidak sama pada sektor-sektor primer, sekunder dan tersier dan atau sosial

yang berada dalam suatu negara, provinsi atau kabupaten/kota. Di setiap negara

apakah negara maju (developed) atau terbelakang (underdeveloped), pertanian

atau industri, besar atau kecil, masing-masing memiliki wilayah-wilayah yang

memiliki tingkat ekonomi lemah dan kuat. Hal ini dapat dilihat dari

perkembangan sektor-sektor pertanian, industri, perdagangan, perbankan,

asuransi, transportasi, komunikasi, pengembangan infrastruktur, sosial

pendidikan, kesehatan, perumahan dan lain-lain.

Sementara menurut Daryanto (2003), disparitas (kesenjangan)

pembangunan antar daerah dapat dilihat dari kesenjangan dalam: (1) pendapatan

per kapita, (2) kualitas sumberdaya manusia, (3) ketersediaan sarana dan

prasarana seperti transportasi, energi dan telekomunikasi, (4) pelayanan sosial

seperti kesehatan, pendidikan, dan sebagainya, serta (5) akses ke perbankan.

Kesenjangan pembangunan antar daerah yang terjadi selama ini terutama

disebabkan oleh: (1) distorsi perdagangan antar daerah, (2) distorsi pengelolaan

(44)

Menurut Tambunan (2006), suatu kesenjangan dikatakan besar karena,

apabila dua masalah ini berlarut-larut atau dibiarkan semakin parah, pada akhirnya

akan menimbulkan konsekuensi politik dan sosial yang sangat serius. Suatu

pemerintahan bisa jatuh karena amukan rakyat miskin yang sudah tidak tahan lagi

menghadapi kemiskinan mereka. Bahkan kejadian tragedi Mei 1998 menjadi suatu

pertanyaan (hipotesis) hingga saat ini: andaikan tingkat kesejahteraan masyarakat

di Indonesia tinggi sama seperti misalnya di Belanda atau Jepang, mungkinkah

mahasiswa akan begitu ngotot berdemonstrasi hingga akhirnya membuat rejim

Soeharto jatuh atau, mungkinkah masyarakat Jakarta bisa diprovokasi hingga

melakukan kerusuhan pada bulan Mei 1998 tersebut?

Ketimpangan pembangunan antar wilayah secara alamiah terjadi bisa

disebabkan oleh dua faktor penentu yaitu : (1) Aspek kepemilikan sumberdaya

a!am yang berbeda, dimana salah satu wilayah diberi kelimpahan sumberdaya

alam yang lebih dibanding wilayah lain dan (2) Aspek posisi geografis, dimana

suatu wilayah memiliki keunggulan posisi geografis dibanding wilayah lain.

Sedangkan ketimpangan juga bisa terjadi bukan karena faktor penentu alamiah

tersebut, tetapi oleh perbedaan sumberdaya manusia (SDM) dan sumberdaya

sosial (SDS). Permasalahan pembangunan wilayah akan muncul apabila wilayah

yang kaya akan sumberdaya alam, mengalarni ketertinggalan pembangunan akibat

sumberdaya manusia dan sumberdaya sosial yang lemah.

Selanjutnya Murty (2000) mengidentifikasi penyebab utama terjadinya

kesenjangan wilayah secara lebih lengkap yaitu karena kondisi: (1) geografi, (2)

sejarah, (3) politik, (4) kebijakan pemerintah, (5) administrasi, (6) sosial budaya,

(45)

dengan strategi: (1) mendorong pemerataan investasi, (2) mendorong pemerataan

permintaan (demand), dan (3) mendorong pemerataan tabungan. Selanjutnya Kim

(2007), menekankan kebijakan pemerintah sebagai faktor penyebab peningkatan

atau penurunan disparitas ekonomi antar wilayah. Kebijakan tersebut dapat

berupa kebijakan sektoral/industrial; kebijakan migrasi/kependudukan dan

kebijakan di bidang infrastruktur publik.

Sementara Rodan (1943) melihat suatu kesenjangan antar wilayah lebih

disebabkan karena aspek ekonomi dimana menurut analisisnya

keterbelakangan/kemiskinan (underdevelopment atau poverty) suatu wilayah atau

masyarakat merupakan suatu lingkaran setan (The vicious circle of poverty) yang

artinya bahwa kelangkaan kapital mengimplikasikan suatu tingkat pendapatan

yang rendah; tingkat pendapatan yang rendah pada gilirannya mengimplikasikan

suatu kemampuan yang terbatas untuk menabung; dan tabungan yang rendah

menyebabkan investasi terbatas dan kelangkaan kapital (Rodan dalam

Basu,1984). Teori ini kemudian dikenal dengan teori balanced growth karena

dipertentangkan dengan teori unbalanced growth yang sekaligus sebagai

pengkritiknya terutama dalam hal menyelesaikan masalah keterbelakangan (Basu,

1984).

Menurut Murty (2000), pembangunan regional yang berimbang

merupakan sebuah pertumbuhan yang merata dari wilayah yang berbeda untuk

meningkatkan pengembangan kapabilitas dari kebutuhan mereka. Hal ini tidak

selalu berarti bahwa semua wilayah harus mempunyai perkembangan yang sama,

atau mempunyai tingkat industrialisasi yang sama. atau mempunyai pola ekonomi

Gambar

Tabel 2. Kontribusi Sektor Perekonomian Terhadap Produk Domestik Bruto
Tabel 3. Realisasi Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri Menurut Wilayah di Indonesia, Tahun 2001-2007
Gambar 2.  Pertumbuhan Wilayah
Tabel 6. Perbandingan Model Computable General Equilibrium Regional
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

Berdasarkan data yang penyusun miliki dan bersumber langsung dari Kepala Pemerintahan Negeri dan beberapa anggota saniri negeri dan penghulu masjid,

Bibit yang baik untuk ditanam yakni bibit yang tua dengan ciri kulit umbi kuat (tidak mudah dikelupas) serta kulitnya tidak memiliki cacat, bobot umbi 45/50-60gram, besar rata-rata 55

(2000) menyatakan bahwa keasaman susu baik yang dihasilkan oleh biakan bakteri starter maupun dengan pengasaman langsung terbukti mempengaruhi aktivitas protease dalam

(Hauptbahnhof). Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang singkatan. Penelitian ini bertujuan untuk 1) menganalisis pembentukan kata dalam

Pada hari ini Senin Tanggal Lima Belas Bulan April Tahun Dua Ribu Tiga Belas kami yang bertandatangan di bawah ini Unit Layanan Pengadaan (ULP) Rumah Sakit

Dan isi dari Dasa Darma dan sembilan karakter yang telah disebutkan di atas, peneliti mengambil dua karakter pendidikan yang akan dibahas lebih lanjut dalam skripsi yaitu