• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Disparitas Ekonomi Antar Wilayah

Dalam proses pembangunan ekonomi, eksistensi kesenjangan sangat penting untuk diidentifikasi dan diketahui. Tingkat kesenjangan ekonomi menunjukkan kondisi distribusi pendapatan atau hasil pembangunan. Distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan karena pada dasarnya merupakan ukuran kemiskinan relatif (Tambunan, 2006). Oleh karena itu menurut McKay et al. (1997), kesenjangan regional penting untuk alasan-alasan

pengentasan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan harmonisasi sosial. Dengan tingkat pendapatan tertentu, kenaikan kesenjangan akan selalu berimplikasi pada kenaikan kemiskinan. Selain itu terdapat juga bukti yang semakin banyak bahwa negara-negara dengan tingkat kesenjangan tinggi mencapai tingkat petumbuhan yang lebih rendah. Kesenjangan sosial juga seringkali menjadi faktor utama dibalik harmonisasi sosial seperti kriminalitas, konflik sosial, hingga gerakan separatisme.

Dalam konteks wilayah yang lebih luas, kesenjangan atau disparitas wilayah bisa dilihat dari ketimpangan wilayah dalam satu wilayah kabupaten, provinsi, regional, bahkan nasional. Ketimpangan wilayah dalam satu wilayah administratif sering melatari kecenderungan terjadinya pemekaran wilayah administratif tercermin dari telah dan sedang terjadinya proses pertikaian wilayah adminstratif dengan munculnya kabupaten - kabupaten baru dan provinsi provinsi baru. Secara nasional, sempat muncul ancaman disintegrasi akibat ketimpangan pembangunan wilayah.

Krusialnya masalah kesenjangan tersebut, menyebabkan setiap negara atau bangsa terutama negara-negara yang sedang berkembang dimana kemiskinan dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan merupakan dua masalah besar di banyak negara sedang berkembang tersebut, tidak terkecuali Indonesia- menetapkan tujuan pembangunan ekonominya tidak hanya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi (growth), akan tetapi sekaligus menciptakan pemerataan hasil pembangunan (equity) baik antar golongan masyarakat, sektoral maupun antar wilayah.

Sementara Hill (2000) mengemukakan bahwa isu pembangunan wilayah atau regional di Indonesia menjadi penting untuk beberapa alasan. Pertama,

alasan politik. Dengan keragaman etnik yang begitu plural, tidak ada isu yang lebih sensitif di Indonesia selain isu kedaerahan. Kedua, disparitas pendapatan regional yang bersumber dari distribusi pendapatan sumberdaya alam yang sangat tidak merata. Ketiga, daerah memegang peranan penting dalam kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan dinamika spasial, seperti penyebaran penduduk misalnya. Berkaitan dengan dinamika spasial ini, muncul alasan keempat yaitu bagaimana hubungan dengan daerah diatur?

Murty (2000) mendefinisikan kesenjangan wilayah sebagai pertumbuhan yang tidak sama pada sektor-sektor primer, sekunder dan tersier dan atau sosial yang berada dalam suatu negara, provinsi atau kabupaten/kota. Di setiap negara apakah negara maju (developed) atau terbelakang (underdeveloped), pertanian atau industri, besar atau kecil, masing-masing memiliki wilayah-wilayah yang memiliki tingkat ekonomi lemah dan kuat. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan sektor-sektor pertanian, industri, perdagangan, perbankan, asuransi, transportasi, komunikasi, pengembangan infrastruktur, sosial pendidikan, kesehatan, perumahan dan lain-lain.

Sementara menurut Daryanto (2003), disparitas (kesenjangan) pembangunan antar daerah dapat dilihat dari kesenjangan dalam: (1) pendapatan per kapita, (2) kualitas sumberdaya manusia, (3) ketersediaan sarana dan prasarana seperti transportasi, energi dan telekomunikasi, (4) pelayanan sosial seperti kesehatan, pendidikan, dan sebagainya, serta (5) akses ke perbankan. Kesenjangan pembangunan antar daerah yang terjadi selama ini terutama disebabkan oleh: (1) distorsi perdagangan antar daerah, (2) distorsi pengelolaan sumberdaya alam, dan (3) distorsi sistem perkot aan-perdesaan.

Menurut Tambunan (2006), suatu kesenjangan dikatakan besar karena, apabila dua masalah ini berlarut-larut atau dibiarkan semakin parah, pada akhirnya akan menimbulkan konsekuensi politik dan sosial yang sangat serius. Suatu pemerintahan bisa jatuh karena amukan rakyat miskin yang sudah tidak tahan lagi menghadapi kemiskinan mereka. Bahkan kejadian tragedi Mei 1998 menjadi suatu pertanyaan (hipotesis) hingga saat ini: andaikan tingkat kesejahteraan masyarakat di Indonesia tinggi sama seperti misalnya di Belanda atau Jepang, mungkinkah mahasiswa akan begitu ngotot berdemonstrasi hingga akhirnya membuat rejim Soeharto jatuh atau, mungkinkah masyarakat Jakarta bisa diprovokasi hingga melakukan kerusuhan pada bulan Mei 1998 tersebut?

Ketimpangan pembangunan antar wilayah secara alamiah terjadi bisa disebabkan oleh dua faktor penentu yaitu : (1) Aspek kepemilikan sumberdaya a!am yang berbeda, dimana salah satu wilayah diberi kelimpahan sumberdaya alam yang lebih dibanding wilayah lain dan (2) Aspek posisi geografis, dimana suatu wilayah memiliki keunggulan posisi geografis dibanding wilayah lain. Sedangkan ketimpangan juga bisa terjadi bukan karena faktor penentu alamiah tersebut, tetapi oleh perbedaan sumberdaya manusia (SDM) dan sumberdaya sosial (SDS). Permasalahan pembangunan wilayah akan muncul apabila wilayah yang kaya akan sumberdaya alam, mengalarni ketertinggalan pembangunan akibat sumberdaya manusia dan sumberdaya sosial yang lemah.

Selanjutnya Murty (2000) mengidentifikasi penyebab utama terjadinya kesenjangan wilayah secara lebih lengkap yaitu karena kondisi: (1) geografi, (2) sejarah, (3) politik, (4) kebijakan pemerintah, (5) administrasi, (6) sosial budaya, dan (7) ekonomi. Dengan demikian untuk dapat membangun keterkaitan antar wilayah dan mengurangi kesenjangan antar wilayah, maka dapat dilakukan

dengan strategi: (1) mendorong pemerataan investasi, (2) mendorong pemerataan permintaan (demand), dan (3) mendorong pemerataan tabungan. Selanjutnya Kim (2007), menekankan kebijakan pemerintah sebagai faktor penyebab peningkatan atau penurunan disparitas ekonomi antar wilayah. Kebijakan tersebut dapat berupa kebijakan sektoral/industrial; kebijakan migrasi/kependudukan dan kebijakan di bidang infrastruktur publik.

Sementara Rodan (1943) melihat suatu kesenjangan antar wilayah lebih disebabkan karena aspek ekonomi dimana menurut analisisnya keterbelakangan/kemiskinan (underdevelopment atau poverty) suatu wilayah atau masyarakat merupakan suatu lingkaran setan (The vicious circle of poverty) yang artinya bahwa kelangkaan kapital mengimplikasikan suatu tingkat pendapatan yang rendah; tingkat pendapatan yang rendah pada gilirannya mengimplikasikan suatu kemampuan yang terbatas untuk menabung; dan tabungan yang rendah menyebabkan investasi terbatas dan kelangkaan kapital (Rodan dalam

Basu,1984). Teori ini kemudian dikenal dengan teori balanced growth karena dipertentangkan dengan teori unbalanced growth yang sekaligus sebagai pengkritiknya terutama dalam hal menyelesaikan masalah keterbelakangan (Basu, 1984).

Menurut Murty (2000), pembangunan regional yang berimbang merupakan sebuah pertumbuhan yang merata dari wilayah yang berbeda untuk meningkatkan pengembangan kapabilitas dari kebutuhan mereka. Hal ini tidak selalu berarti bahwa semua wilayah harus mempunyai perkembangan yang sama, atau mempunyai tingkat industrialisasi yang sama. atau mempunyai pola ekonomi yang sama, atau mempunyai kebutuhan pembangunan yang sama. Akan tetapi yang lebih penting adalah adanya “pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari

potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah sesuai dengan kapasitasnya”. Dengan demikian diharapkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan merupakan hasil dari sumbangan interaksi yang saling memperkuat diantara semua wilayah yang terlibat.

Strategi pembangunan wilayah telah pernah dilaksanakan untuk mengatasi berbagai permasalahan disparitas pembangunan wilayah di Indonesia. Secara nasional antara lain dengan membentuk Kementerian Negara Percepatan Pembangunan KTI. Percepatan pembangunan wilayah-wilayah unggulan dan potensial berkembang tetapi relatif tertinggal dengan menetapkan kawasan- kawasan seperti: (1) Kawasal Andalan (Kadal) dan (2) Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu (Kapet) yang merupakan salah satu Kadal terpilih di tiap provinsi. Program percepatan pembangunan vang bernuansa mendorong pembangunan kawasan perdesaan dan sentra produksi pertanian seperti: (1) Kawasan Sentra Produksi (KSP atau Kasep), (2) Pengembangan Kawasan Perbatasan, (3) Pengembangan Kawasan Tertinggal, serta (4) Proyek Pengembangan Ekonomi Lokal. Program-progam sektoral dengan pendekatan wilayah seperti: (1) Perwilayahan Komoditas Unggulan, (2) Pengembangan Sentra Industri Kecil, (3) Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP).

Program-program di atas sebagian besar dilaksanakan setelah munculnya berbagai tuntutan pemerataan pembangunan, khususnya pada menjelang dan awal era reformasi. Pendekatan yang maslh terpusat dan masih menggunakan pendekatan pembangunan yang sama yaitu mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi di pusat pusat wilayah perkotaan, tidak memberikan dampak yang besar terhadap tujuan pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah-wilayah yang diidentifikasikan tertinggal. Banyak pusat

pusat pertumbuhan baru berkembang dengan pesat. namun wilayah hinterland- nya mengalami nasib yang sama yaitu mengalami pengurasan sumber berdaya yang berlebihan. Beberapa pengalaman empiris bahkan menunjukkan bahwa berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan baru seringkali lebih memberikan akses bagi para pelaku ekonomi di pusat pertumbuhan yang lebih besar untuk melakukan eksploitasi sumberdaya di daerah hinterland. Akibatriya proses eksploitasi wilayah belakang terus berjalan dan ketimpangan tetap terjadi.

Ada beberapa hal vang menjadi penyebab terjadinya backwash effect

tersebut.Pertama, terbukanya akses ke daerah perdesaan seringkali mendorong kaum elit kota. pejabat pemerintah pusat, dan perusahaan perusahaan besar untuk mengeksploitasi sumberdaya yang ada di desa. Masyarakat desa sendiri tidak berdaya karena secara politik dan ekonomi para pelaku eksploitasi sumberdaya tersebut memiliki posisi tawar yang jauh lebih kuat. Kedua, kawasan perdesaan sendiri umumnya dihuni oleh masyarakat yang kapasitas SDM dan kelembagaannyanya kurang berkembang (lemah). Kondisi ini mengakibatkan ide- ide dan pemilkiran modern dari kaum elit kota sulit untuk didesiminasikan. Oleh karena itu sebagian besar aktivitas pada akhimya lebih bersifat enclave dengan mendatangkan banyak SDM dari luar yang dianggap lebih mempunyai ketrampilan dan kemampuan (Rustiadi dan Hadi, 2006)

Bappenas (2006) kemudian melakukan studi untuk meminimalkan permasalahan tersebut dimana perlu suatu strategi pengembangan kawasan yang mampu mengurangi kesenjangan antar wilayah dan mewujudkan pengembangan antar kawasan yang berimbang (inter-regional berimbang). Hasil studi menunjukkan bahwa berdasarkan perkembangan hasil pembangunan, wilayah provinsi di Indonesia dapat dikelompokkan atas empat tipologi wilayah provinsi:

(1) tipologi Wilayah Provinsi I dengan karakteristik tingkat pendapatan wilayah yang tinggi serta berkembangnya sektor-sektor sekunder dan tersier seperti DKI Jakarta, (2) kelompok wilayah Tipologi IV dengan karakteristik tingkat pendapatan wilayah yang sedang dan struktur perekonomian yang relatif seimbang seperti Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, (3) tipologi II dengan struktur perekonomian yang belum berkembang dan didominasi oleh sektor pertambangan, seperti provinsi Riau, Kalimantan Timur dan Papua, dan (4) kelompok wilayah Tipologi III yang lebih tertinggal. Sementara hasil analisis tipologi program berdasarkan pola asosiasi antara program dengan aspek pengembangan program menghasilkan empat tipologi program yakni:

1. Tipologi Program I : program-program pengembangan kawasan yang berbasis keterkaitan program, yakni Agrowisata dan PPWT. 2. Tipologi Program II : program-program pengembangan kawasan yang berbasis

pengembangan usaha yaitu UKM, SIK, PPPT, KAPEL dan KAP.

3. Tipologi Program III: program-program pengembangan kawasan yang berbasis pengembangan infrastruktur seperti PSD dan PPK. 4. Tipologi Program IV: program-program pengembangan kawasan yang berbasis

pengembangan komoditas yaitu: Agropolitan, KIMBUN, PPI, dan KSP.