• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Pembangunan Ekonomi Sektoral dalam Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan Pembangunan Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA

3.3. Peranan Pembangunan Ekonomi Sektoral dalam Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan Pembangunan Wilayah

Dalam proses pembangunan ekonomi, sejarah menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara akan tercapai melalui perubahan struktur ekonomi. Pengalaman di banyak negara, perubahan struktur ekonomi yang membawa peningkatan pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan per kapita yang tinggi ditandai dengan meningkatnya kontribusi sektor industri manufaktur

dan menurunnya kontribusi sektor primer (pertanian dan pertambangan) yang dikenal dengan tahap industrialisasi.

Industrialisasi merupakan suatu proses interaksi antara pengembangan teknologi, inovasi, spesialisasi dan perdagangan antar negara yang pada akhirnya sejalan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat mendorong perubahan struktur ekonomi. Dapat dikatakan bahwa progres teknologi dan inovasi adalah dua faktor penting yang mengubah struktur ekonomi suatu negara dari sisi penawaran agregat (produksi), sedangkan peningkatan pendapatan masyarakat yang mengubah volume dan komposisi konsumsi mempengaruhi struktur ekonomi dari sisi permintaan agregat (Tambunan, 2001).

Menurut Tambunan (2002), kalau saja mekanisme pasar seperti tertulis dalam text book ekonomi berfungsi baik, sebenarnya tidak perlu ada strategi industrialisasi. Namun demikian, kegagalan pasar (market failure) telah menimbulkan masalah distorsi pasar, antara lain disebabkan oleh incomplete market, struktur monopoli dan excessive intervention dari pemerintah. Distorsi ini menjadikan mekanisme pasar ala laissez-faire tidak berfungsi. Dengan kata lain, bagi suatu negara berkembang, rencana strategi industrialisasi masih tetap diperlukan. Sementara menurut pendapat Chenery (1992), meskipun pelaksanaannya sangat bervariasi antar negara, periode industrialisasi merupakan tahapan logis dalam proses perubahan struktur ekonomi. Tahapan ini diwujudkan secara historis melalui kenaikan kontribusi sektor industri manufaktur dalam permintaan konsumen, produksi, ekspor dan kesempatan kerja.

Terdapat tiga pilihan dalam mengimplementasikan strategi industrialisasi untuk membangun ekonomi. Pertama adalah strategi industrialisasi Substitusi Impor (SI) yang berorientasi ke dalam (inward looking) yaitu menekankan pada

pengembangan industri yang berorientasi ke pasar domestik. Dalam strategi ini, industri tersebut diarahkan untuk menghasilkan produk yang dapat menggantikan impor. Kedua adalah strategi industrialisasi yang berorientasi ekspor (export-led industrialization) yang berorientasi ke luar (outward looking). Strategi industrialisasi ini biasa juga disebut dengan strategi promosi ekspor (PE). Ketiga adalah strategi industrialisasi dengan sektor pertanian sebagai sektor pemimpin yang disebut dengan Agricultural Development Led-Industrialisation (ADLI).

Alasan utama penerapan strategi industrialisasi SI adalah untuk mencukupi kebutuhan domestik dalam jangka panjang dan menghemat devisa dengan mensubstitusi barang-barang impor dengan produksi dalam negeri. Oleh karena itu kebijakan yang dilakukan dalam mengimplentasikan strategi SI adalah dengan melakukan proteksi terhadap industri yang menghasilkan produk substitusi impor (infant-industry argument) melalui melalui fasilitas bea masuk terhadap barang- barang modal dan bahan mentah. Dengan kebijakan tersebut, industri yang berkembang adalah industri yang menengah dan besar serta padat modal karena terjadi distorsi dalam harga relatif faktor produksi modal terhadap tenaga kerja. Fasilitas bea masuk impor barang modal dan bahan mentah menyebabkan harga relatif faktor modal lebih murah dibandingkan harga relatif tenaga kerja. Sementara industrii kecil dan rumahtangga yang banyak terdapat di pedesaan tidak akan dapat bersaing di pasar. Fasilitas subsidi dan proteksi lebih banyak dinikmati pemilik modal, sementara buruh sebagai faktor produksi utama pada industri-industri kecil di pedesaan tidak banyak memperoleh manfaat dan memunculkan kesenjangan antara industri besar dan menengah dengan industri kecil di pedesaan.

Dapat disimpulkan bahwa pembangunan ekonomi melalui industrialisasi berbasis SI pada dasarnya lebih berorientasi terhadap pertumbuhan ekonomi daripada pemerataan. Seperti yang dikemukakan oleh Gillis et al. (1987) dan Todaro (2000) bahwa strategi industrialisasi SI pada hakikatnya merupakan proses redistribusi pendapatan yang menguntungkan pemilik modal yang dipandang sebagai pencipta surplus. Dengan demikian, berdasarkan pengalaman banyak LDCs atau negara berkembang termasuk pengalaman Indonesia (1970-1985), strategi industrialisasi SI dipandang telah gagal sebagai pendekatan pembangunan ekonomi.

Penyebab kegagalan strategi industrialisasi SI dikemukakan oleh Tambunan (1996) dan Tambunan (2001). Pertama, dampak proteksi dan subsidi industri manufaktur pada sektor pertanian dan pedesaan. Pelaksanaan industrialisasi SI cenderung bias terhadap sektor manufaktur dan kurang menguntungkan sektor pertanian sehingga mengakibatkan underinvestment dan double squeeze di sektor pertanian. Akibatnya, terjadi penurunan pendapatan riil petani sehingga daya beli petani menurun dan pengembangan pasar domestik mengalami keterlambatan. Kedua, dampak pada sektor industri. Dalam strategi industrialisasi SI, sektor industri dilindungi dari kompetisi dengan perusahaan yang memproduksi barang sejenis dari luar negeri melalui berbagai kebijakan tarif dan suubsidi. Proteksi ini telah membuat jajaran industri menjadi tidak efisien dan praktis menjadi high cost industry. Ketiga, dalam hal transfer teknologi, strategi indus trialisasi SI juga tidak berjalan karena industri yang ada hanya industri assembling yang berbahan baku impor atau industri yang bersifat footloose industry. Oleh karena itu penerapan strategi ini berdampak negatif terhadap neraca pembayaran serta mempunyai keterkaitan ke belakang (backward linkage) yang lemah.

Setelah melihat pengalaman yang kurang berhasil dengan strategi industrialisasi SI, maka badan-badan dunia seperti IMF dan Bank Dunia menganjurkan agar menerapkan strategi industrialisasi PE. Strategi industrialisasi PE ini mengacu pada teori klasik mengenai perdagangan internasional dimana pembangunan sektor industri manufaktur sesuai keunggulan komparatif yang dimiliki negara bersangkutan. Dibandingkan dengan strategi industrialisasi SI, strategi ini mempromosikan fleksibilitas dalam pergeseran sumberdaya ekonomi yang ada mengikuti pola dari keunggulan komparatif. Orientasi keluar yang merupakan dasar dari industrialisasi PE, menghubungkan ekonomi domestik dengan ekonomi dunia melalui promosi perdagangan.

Keberhasilan strategi industrialisasi PE sering diilustrasikan dengan pengalaman dari negara-negara di Asia Timur dan Tenggara (seperti Korea Selatan, Taiwan, Singapura dan Hongkong). Saran berdasarkan studi Lall (1980), agar jejak keberhasilan di negara-negara tersebut dapat diikuti adalah: (1) pasar harus menciptakan signal harga yang benar, sepenuhnya merefleksikan kelangkaan barang yang bersangkutan, baik di pasar input maupun di pasar output, (2) tingkat proteksi dari impor harus rendah, (3) nilai tukar mata uang harus realistis, sepenuhnya merefleksikan keterbatasan uang asing yang bersangkutan, dan (4) lebih penting lagi, harus ada insentif untuk meningkatkan ekspor.

Namun demikian dalam prakteknya, banyak negara menerapkan strategi industrialisasi PE dengan menghilangkan beberapa rintangan terhadap ekspor. Analisis Poot et al. (1990) menunjukkan bahwa walaupun liberalisasi perdagangan (ekonomi) dilakukan semenjak 1983, struktur dan kebijakan proteksi industri masih tetap dilanjutkan sehingga industrialisasi PE menjadi “liberalisasi

setengah hati” (tanpa aplikasi sistem kompetisi) yang kemudian menyebabkan faktor efisiensi menjadi terabaikan (Poot et al. dalam Tambunan, 2002). Sementara menurut Gillis et al. (1987), berbagai intervensi yang dilakuka n pemerintah dalam mensukseskan strategi industrialisasi PE cenderung menyuburkan perilaku rent-seeking dan menimbulkan distorsi seperti yang ditimbulkan oleh strategi indu strialisasi SI. Disamping itu, intervensi pemerintah cenderung menyebabkan high cost economy dan hanya sedikit prospek industri yang kompetitif secara internasional.

Indonesia setelah dianggap gagal dalam mengimplementasikan strategi industrialisasi SI maka kemudian proses pembangunan ekonomi dijalankan dengan menerapkan strategi industrialisasi PE (mulai tahun 1986). Akan tetapi sama halnya dengan strategi industrialisasi SI, industrialisasi PE juga didasarkan pada pendekatan konsep industri hulu dan hilir dan sikap bias pemerintah yang memihak pada usaha besar (kebijakan kredit, subsidi dan fasilatas ekspor/impor), cenderung melahirkan industri padat modal (capital intensive industries). Konsep industri hulu dan hilir ini tidak menguntungkan bagi Indonesia karena beberapa alasan: (1) BUMN besar tidak dapat jadi pelopor industrialisasi, (2) industri hilir tidak berkembang, dan (3) industri besar selalu ingin membesarkan korporasinya sendiri dengan self-sufficiency concept dan bukan out-sourcing. Disamping itu, pengalaman Indonesia, dengan strategi industrialisasi PE meskipun ekspor mengalami peningkatan, akan tetapi diikuti pula oleh peningkatan impor. Ini menunjukkan bahwa ekonomi sangat rawan terhadap external shocks, terbukti ketika Indonesia mengaami krisis ekonomi tahun 1997 (Tambunan, 2002).

Strategi industrialisasi baik SI maupun PE dinilai tidak berhasil sebagai pendekatan pembangunan ekonomi di negara-negara sedang berkembang.

Kegagalan tersebut disebabkan: (1) kedua proses industrialisasi tidak terintegrasi dengan sektor pertanian yang menjadi penghidupan sebagian besar masyarakat dan (2) kedua strategi tersebut menghasilkan ketimpangan ekonomi atau redistribusi pendapatan yang cenderung menguntungkan pemilik modal. Oleh karena itu, untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia dimana transformasi ekonomi dalam perspektif jangka panjang mengandung tujuan peningkatan output dan produktivitas ekonomi, serta penciptaan lapangan kerja di setiap sektor ekonomi maka dalam proses transformasi industrial, sektor pertanian seharusnya dijadikan sebagai sektor andalan. Melalui suatu proses ekstrasi dengan mengkaitkan industrialisasi pertanian dengan industri manufaktur, pertanian dapat menjadi sumber pembiayaan pembangunan sektor industri itu sendiri (Tambunan, 2002).

Memang, secara historis proses pembangunan dan industrialisasi di berbagai negara umumnya diawali dari penguatan sektor pertanian melalui modernisasi institusi pedesaan dan pergeseran pertanian berskala kecil ke pertanian kapitalis berskala besar serta peningkatan produktivitas pertanian, Weisdorf (2006). Pilihan ini didasarkan atas fakta bahwa pertanian merupakan lapangan usaha tertua yang pertama dikenal dalam peradaban perekonomian tradisional dan menjadi sumber penghidupan utama pada hampir seluruh bangsa- bangsa di dunia.

Strategi pembangunan ekonomi yang mengedepankan sektor pertanian adalah Agricultural Development Led-Industrialisation (ADLI). Strategi pembangunan pertanian ADLI ini menutupi kelemahan teori Hirschman yang menurut Tambunan (2002), teori tersebut kelemahannya terletak pada ketidakmampuan dalam menjelaskan bagaimana sebenarnya pembangunan

pertanian dalam industri itu sendiri. Dalam strategi ADLI pembangunan pertanian dilakukan melalui peningkatan produktivitas pertanian melalui inovasi teknologi dan peningkatan investasi yang sejalan dengan teori pembangunan pertanian Hayami dan Ruttan yakni induce innovation.

Dalam hal penurunan relatif kontribusi sektor pertanian, Stringer dan Pingali (2004) mengemukakan bahwa sejumlah ahli ekonomi pembangunan (Kuznets, 1964; Mellor, 1966; Singer, 1979; Adelman, 1984; Ranis, 1984; dan Vogel, 1994) berusaha menunjukkan bahwa ketika kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian mengalami penurunan relatif dibandingkan sektor industri dan jasa, namun demikian pertumbuhannya secara absolut mengembangkan keterkaitannya yang semakin kompleks dengan sektor-sektor non pertanian. Oleh karena itu para ahli tersebut menggarisbawahi ketergantungan diantara sektor pertanian dan pembangunan industri serta potensi bagi sektor pertanian untuk menstimulasi industrialisasi. Sektor pertanian yang produktif dan hubungan kelembagaan dengan perekonomian lain menciptakan insentif permintaan (rumahtangga pedesaan) dan insentif suplai (produk pertanian tanpa adanya peningkatan harga) yang mempromosikan medernisasi.

Beberapa pertimbangan lain mengenai ADLI dikemukakan oleh Adelman

et al. (1989) yaitu: (1) investasi di sektor pertanian cenderung menyebabkan impor menjadi kurang intensif dan cenderung lebih intensif tenaga kerja daripada investasi di sektor non pertanian, (2) tingkat pengembalian investasi di sektor pertanian sama atau lebih tinggi daripada tingkat pengembalian di sektor industri, (3) pola pengeluaran di pedesaan menyokong barang-barang yang dihasilkan secara domestik daripada barang impor, barang-barang dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi daripada barang-barang yang dihasilkan dengan intensif

kapital serta barang-barang yang mengandalkan input domestik daripada input yang diimpor, serta (4) dengan bauran kebijakan yang benar, ADLI menjanjikan pertumbuhan kesempatan kerja yang lebih besar, pemerataan dan pengurangan kemiskinan.

Berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa strategi industrialisasi ADLI merupakan program investasi publik untuk mendorong kurva suplai produk pertanian menjadi lebih elastis. Permintaan dalam negeri dikembangkan melalui pembangunan sektor pertanian sehingga sektor pertanian menjadi pasar yang efektif untuk produk-produk sektor industri melalui keterkaitan permintaan barang-barang antara (intermedite demand) dan permintaan akhir (final demand). Proses pembangunan industri melalui strategi ADLI bukan hanya merupakan proses pembangunan yang didasarkan atas teknologi padat karya dengan sektor pertanian sebagai pemimpin yang akan menciptakan pertumbuhan seiring dengan perluasan kesempatan kerja, namun juga merupakan program industrialisasi yang dapat mendukung program ketahanan pangan dan dan pemerataan pendapatan. Industrialisasi dengan strategi ADLI mendukung pengembangan sektor industri berbasis pertanian atau agroindustri (Daryanto, 2000).

Dalam strategi pembangunan industrialisasi yang berbasiskan sektor pertanian maka menurut Tambunan dan Priyanto (2005) sektor pertanian harus dimodernisasi yang sifatnya menciptakan sistem yang lebih fleksibel agar dapat menciptakan kekuatan ekonomi pertanian yang kuat dan dapat menyesuaikan terhadap pola perubahan struktural yang terjadi. Sementara menurut Suryana (2006) menyatakan bahwa perubahan lingkungan strategis yang sangat cepat, baik domestik maupun internasional, akan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap dinamika pembangunan pertanian. Kondisi tersebut memerlukan

penyesuaian terhadap arah dan kebijakan serta pelaksanaan program pembangunan pertanian. Dengan demikian, strategi pembangunan pertanian harus lebih memfokuskan pada peningkatan daya saing, mengandalkan modal dan tenaga kerja terampil dan berbasis inovasi teknologi dengan memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal.

Oleh karena itu, dewasa ini pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang seperti Indonesia, baik berdasarkan pendekatan sektoral maupun pendekatan kewilayahan, menempatkan kembali sektor pertanian sebagai sektor prioritas pembangunan ekonomi. Menurut Sjafrizal (2008), pendekatan kewilayahan berupaya meningkatkan utilisasi sumberdaya lokal melalui kawasan andalan dan komoditi unggulan; sementara pendekatan sektoral dapat disebut sebagai pendekatan klasik karena menempatkan sumber pertumbuhan pada beberapa sektor tertentu. Pembangunan daerah yang menggunakan pendekatan kewilayahan yaitu pembangunan perkotaan atau perdesaan. Dalam pendekatan ini, kawasan andalan dapat dipicu pertumbuhannya dan kemudian dapat mendorong pertumbuhan hinterlandnya sebagai wilayah pengaruhnya sehingga pembangunan daerah dapat mendorong kemajuan seluruh sektor dan wilayah. Sedangkan pendekatan sektoral untuk memacu pertumbuhan beberapa sektor yang potensial melalui berbagai kemudahan yang disediakan pemerintah termasuk rangsangan untuk percepatan perkembangannya. Pendekatan sektoral memberikan kemudahan bagi perkembangan badan usaha seperti perkebunan dan juga memfasilitasi perkembangan kegiatan ekonomi rakyat yang bersifat mandiri atau terintegrasi sebagai plasma. Untuk mengatasi kemungkinan ketimpangan sekaligus untuk keadilan karena hambatan aksesibilitas suatu wilayah terhadap pusat pengembangan maka pemerintah membangun prasarana dan sarana dasar

untuk melayani kebutuhan penduduk sekaligus menjadi daya tarik bagi kegiatan investasi.

Membangun sektor pertanian sebagai prioritas pembangunan ekonomi di negara berkembang, tidak hanya karena alasan pengentasan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, penyediaan pangan dan penyediaan kesempatan kerja, akan tetapi juga pembangunan sektor pertanian adalah dalam upaya pemerataan hasil pembangunan baik antar golongan masyarakat maupun antar wilayah. Membangun pertanian, berarti membanguan perdesaan dan membangun wilayah yang kurang maju dimana sebagian besar penduduk di Indonesia berada di perdesaan dan sebagian besar dari penduduk perdesaan bekerja di sektor pertanian dan pada umumnya mereka termasuk kategori golongan penduduk miskin.

Hal senada mengenai pentingnya peranan sektor pertanian dalam membangun perekonomian dikemukakan oleh Stringer dan Pingali (2004) berdasarkan studi-studi para ahli ekonomi pembanguan secara umum dan para ahli ekonomi pertanian. Dikemukakan bahwa kontribusi sektor pertanian dalam pembangunan sosial dan ekonomi dapat dilihat dampak investasi di sektor pertanian. Investasi di sektor pertanian lebih dari sekedar meningkatkan produksi. Dengan kebijakan dan insentif yang sesuai, investasi di sektor pertanian meningkatkan keamanan pangan, tingkat kemiskinan di pedesaan dan perkotaan menjadi lebih rendah, mengurangi kesenjangan atau ketidakmerataan serta mempertinggi hasil yang ramah lingkungan.

Ahli ekonomi pembangunan secara umum dan ahli ekonomi pertanian khususnya telah lama fokus pada bagaimana pertanian dapat sangat berperan terhadap pertumbuhan ekonomi dan modernisasi. Mengenai hal tersebut juga dikemukakan Stringer dan Pingali (2004) secara detail berdasarkan temuan

banyak analis terdahulu (Rodan, 1943; Lewis, 1954; Hirschman, 1958; Fei dan Ranis, 1964) dimana mereka menggarisbawahi sektor pertanian karena sumberdayanya yang melimpah dan kemampuannya untuk mentransfer surplus bagi sektor industri penting. Peranan sektor pertanian primer dalam transformasi suatu perekonomian yang sedang berkembang dipandang sebagai jembatan untuk strategi pokok dalam mempercepat langkah industrialisasi. Pendekatan konvensional ini terhadap peranan sektor pertanian dalam pembangunan menekankan pada pentingnya sektor pertanian dalam mediasi keterkaitan pasar yakni: (1) menyediakan tenaga kerja bagi sektor industri melalui urbanisasi, (2) menghasilkan bahan makanan bagi penduduk yang terus meningkat jumlahnya dengan pendapatan yang lebih tinggi, (3) suplai tabungan bagi investasi di sektor industri, (4) memperluas pasar bagi output sektor industri, (5) menyediakan pendapatan ekspor untuk membayar barang-barang kapital yang diimpor, dan (6) memproduksi bahan baku primer bagi industri pengolahan hasil pertanian (Johnston dan Mellor 1961; Ranis, 1984).

Dari sisi pendekatan wilayah, pentingnya membangun sektor pertanian dalam upaya mengurangi kesenjangan antar wilayah tergambar dari konsep pengembangan kawasan yang dikemukakan oleh Rondinelli (1985) yang mengidentifikasikan setidaknya tiga konsep pengembangan kawasan dalam upaya meningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan, yakni: (1) konsep kutub pertumbuhan (growth pole), (2) integrasi (keterpaduan) fungsional spasial, dan (3) pendekatan “Decentralized territorial”.

Konsep growth pole yang mula-mula dikemukakan oleh Perroux (1955) sangat menekankan investasi masih pada industri industri padat modal di pusat pusat urban utama. Dengan berkembangnya kutub pertumbuhan ini, pemerintahan

di negara-negara yang sedang berkembang berharap dapat menstimulasi dan menciptakan penyebaran pertumbuhan (spread effect) sehingga berdampak pada pembangunan ekonomi wilayah yang lebih luas. Dengan mengedepankan pengembangan kota kota besar utama diharapkan tercapai tingkat imbal balik investasi (return of investment) pembangunan vang sangat tinggi, mendukung pelayanan komersial, administrasi dan infrastruktur yang dibutuhkan industri- ndustri untuk bekerja secara efisien. Dengan demikian kutub pertumbuhan tidak lain berperan seperti mesin pembangunan atau engine of development (Perroux

dalam Sjafrizal, 2008).

Namun dalam perkembangannya, secara umum, hasil pengalaman di negara negara yang sedang berkembang, kebijakan growth pole pada umumnya gagal menjadi pendorong utama (prime mover) pertumbuhan ekonomi wilayahnya. Proses penetesan (trickle down) dan penyebaran (spread effect) yang ditimbulkan umumnya tidak cukup kuat untuk menggerakan perekonomian wilayah. Bahkan seningkali kutub kutub pertumbuhan hanya berkembang ibarat enclave dari sektor ekonomi modern yang telah “menguras”, menyerap dan mengalirkan bahan mentah, modal, tenaga kerja dan bakat bakat entrepreneur dari perdesaan di sekelilingnya. Seperti yang diungkapkan Hansen (1982), bahwa proses penetesan dari modemisasi gagal menyentuh kelompok masyarakat miskin, terutama yang di perdesaan. Pandangan pandangan optimis yang memandang pertumbuhan ekonomi pada akhimya akan meningkatkan pendapatan per kapita secara regional, pada umumnya tidak didukung fakta fakta empirik. Begitu juga yang terjadi di Indonesia. Penerapan konsep Growth Pole dalam kebijakan pembangunan ekonomi di era Orde Baru menyebabkan tingkat ketimpangan di

masa tersebut mengalami peningkatan baik kesenjangan antar golongan masyarakat maupun kesenjangan antar wilayah (Tambunan, 2006).

Berkembangnya kota sebagai pusat pusat pertumbuhan ternyata tidak memberikan efek penetesan ke bawah (trickle down effect), tetapi justru menimbulkan efek pengurasan sumberdaya dari wilayah sekitarnya (backwash

effect). Urban bias terjadi akibat kecenderungan pembangunan yang

mendahulukan pertumbuhan ekonomi melalui kutub-kutub pertumbuhan (growth poles) yang semula. meramalkan bakal terjadinya penetesan (tricle down effect) dari kutub pusat pertumbuhan ke wilayah hinterland-nya, ternyata neteffect-nya malah menimbulkan pengurasan besar (masive backwash effect). Dengan perkataan lain dalam ekonomi telah terjadi transfer neto sumberdaya dari wilayah perdesaan ke kawasan perkotaan secara besar besaran.

Proses interaksi antara wilayah perdesaan dengan wilayah perkotaan ke depan harus dalam konteks pembangunan inter regional berimbang, dimana terjadi proses pembagian nilai tambah yang seimbang dan proporsional antara keduanya. Di wilayah perdesaan harus dibangun strategi pengembangan yang sesuai dengan kondisi perdesaan, dengan kemampuan tingkat pelayanan infrastruktur, pendidikan, sosial, kesehatan, dan lain lain yang setara, sehingga mampu menggerakkan ekonomi perdesaan dan penciptaan nilai tambah yang dinikmati oleh pelaku lokal.

Konsep Integrasi Fungsional Spasial adalah pendekatan dengan mengembangakan sistem pusat pusat pertumbuhan dengan berbakai ukuran dan karakteristik fungsional secara terpadu. Sistem seperti ini diharapkan dapat lebih mampu memfasilitasi dan memberikan pelayanan regional yang jauh lebih luas. Diyakini pula, bahwa untuk pembangunan di negara-negara yang sedang

berkembang, stimulan dari pengembangan regional harus dimulai dari pendekatan pertanian dibandingkan pengembangan industri.

Berkaitan dengan pendekatan sektoral, Murty (2000) mendefinisikan kesenjangan wilayah sebagai pertumbuhan yang tidak sama pada sektor-sektor primer, sekunder dan tersier dan atau sosial yang berada dalam suatu negara, provinsi atau kabupaten/kota. Di setiap negara apakah negara maju (developed) atau terbelakang (underdeveloped), pertanian atau industri, besar atau kecil, masing-masing memiliki wilayah-wilayah yang memiliki tingkat ekonomi lemah dan kuat. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan sektor-sektor pertanian, industri, perdagangan, perbankan, asuransi, transportasi, komunikasi, pengembangan infrastruktur, sosial pendidikan, kesehatan, perumahan dan lain-lain.

Dengan demikian, membangun perekonomian suatu wilayah pada dasarnya adalah mengembangkan aktivitas-aktivitas ekonomi yang berada dalam suatu wilayah. Perkembangan suatu sektor tidak dapat terlepas dari peran antar sektor yang saling mendukung. Seperti peran sektor pertanian, pertambangan sebagai bahan baku maupun intermediate goods bagi sektor industri manufaktur, juga peran sektor perdagangan dalam memasarkan hasil-hasil industri manufaktur tersebut, dan juga berbagai sektor lainnya. Oleh karena itu menurut doktrin

unbalanced growthschool yang dikemukakan oleh Hirscman (1958) bahwa untuk dapat mengembangkan suatu wilayah terbelakang, maka suatu investasi yang besar harus diarahkan pada suatu sektor tertentu yang mampu membangkitkan keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya atau sektor yang mempunyai kedalaman

backward dan forward linkages. Sektor demikian kemudian dikenal dengan sebutan leading sector. Hal ini agar dana yang relatif terbatas (baik anggaran

pemerintah maupun sumberdaya swasta) dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin dalam mengembangkan perekonomian wilayah. Dengan demikian wilayah yang belum maju dapat mengejar ketertinggalan dari wilayah lainnya sedemikian sehingga mampu memperkecil disparitas wilayah yang pada gilirannya dapat mendorong peningkatan perekonomian makro.

Dalam hal ini beberapa ahli ekonomi (Kuznets, 1964; Mellor, 1966; Ghatak dan Ingersent, 1984; Basu, 1984; dan Norton, 2004) mengemukakan bahwa sektor pertanian merupakan leading sector untuk negara-negara dengan tingkat pendapatan yang relatif rendah (low in-income country) atau juga biasa