• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Penerapan Model Computable General Equilibrium dalam Menganalisis Pertumbuhan dan Disparitas Ekonomi antar Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Tinjauan Studi Empiris Sebelumnya

2.4.3. Studi Penerapan Model Computable General Equilibrium dalam Menganalisis Pertumbuhan dan Disparitas Ekonomi antar Wilayah

Studi mengenai dampak suatu kebijakan ekonomi atau guncangan ekonomi eksternal terhadap pertumbuhan ekonomi secara spasial dan disparitas ekonomi antar wilayah di Indonesia maupun di luar negeri sudah cukup banyak dilakukan baik oleh peneliti secara perorangan ataupun melalui kelembagaan. Namun, khususnya untuk kasus Indonesia, studi tentang masalah tersebut masih jarang yang menggunakan model CGE. Sebetulnya penggunaan model CGE

sebagai alat analisis dalam berbagai studi di bidang ekonomi sudah banyak, akan tetapi aplikasi model multiregional CGE baik pendekatan top-down maupun

bottop-up masih jarang, dimana masalah ketersediaan data menjadi kendala utama dalam aplikasi.

Untuk kasus Indonesia, studi yang menganalisis dampak kebijakan ekonomi terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah dengan menggunakan model multiregional CGE top-down dikembangkan oleh Oktaviani dalam studi: (1) “Industri Kelapa di Sulawesi dan Dampaknya terhadap Perekonomian Regional dan Indonesia” (Oktaviani et al., 2005), (2) “Dampak Investasi Swasta dan Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Sektoral dan Regional di Indonesia” (Oktaviani et al., 2006), (3) “Pengembangan Model CGE Regional dalam Analisis Perekonomian Wilayah dan Nasional” (Oktaviani et al., 2007a), dan (4) “Penyusunan Model Recursive Dynamic General Equilibrium” (Oktaviani et al., 2007b) . Sementara, studi yang menganalisis dampak suatu kebijakan terhadap perekonomian wilayah di Indonesia dengan menggunakan model multiregional

CGE bottom-up, pertama dilakukan oleh Wuryanto (1996); dalam selang waktu yang cukup lama kemudian disusul oleh Pambudi (2005).

Model multiegional CGE top-down yang dikembangkan oleh Oktaviani et al. (2005, 2006, 2007a dan 2007b) didasarkan pada kombinasi CGE model Wayang (Wittwer, 1999) dengan model INDOF (Oktaviani, 2000). Studi Oktaviani et al. (2005), mendisagregasi wilayah nasional kedalam dua wilayah yakni Sulawesi Utara dan wilayah lainnya untuk menganalisis dampak kebijakan pada industri kelapa di Sulawesi terhadap perekonomian regional dan Indonesia. Selanjutnya Oktaviani et al. (2006), dalam studi yang menganalisis dampak investasi pemerintah dan swasta terhadap pertumbuhan ekonomi sektoral dan

regional, perekonomian nasional didisagregasi menjadi 9 wilayah (Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan wilayah lainnya) dan 33 sektor perekonomian. Sementara pada studi Oktaviani et al. (2007a) yang merupakan penyempurnaan model dari studi Oktaviani et al. (2006), perekonomian nasional didisagregasi menjadi 30 wilayah provinsi dan 35 sektor perekonomian. Sementara dalam studi penyusunan model recursive dynamic general equilibrium

(Oktaviani et al., 2007b) untuk menganalisis dampak gejolak ekonomi eksternal dan kebijakan ekonomi terhadap perekonomian nasional dan daerah, perekonomian nasional didisagregasi kedalam 11 wilayah.

Studi di negara lain yang menggunakan model multiregional CGE top- down dalam menganalisis dampak kebijakan terhadap perekonomian wilayah banyak diakukan sejak tahun 1970-an. Diantaranya adalah studi Liew (1981), Higgs et al.(1988) dalam menganalisis perekonomian wilayah Tasmania; studi Ernst dan Parmenter (1984) untuk menganalisis perekonomian wilayah Australia Barat; Liew (1984), studi Meagher dan Parmenter (1990) dalam menganalisis perekonomian teritorial utara Australia; studi Horridge dan Parmenter (1995) dalam menganalisis perekonomian Afrika Selatan; serta studi Fan dan Zheng, (2000), Pham (2003), Jiang (2003). Sedangkan studi yang menganalisis disparitas ekonomi antar wilayah dengan menggunakan multiregional CGE bottom-up

diantaranya dilakukan oleh Kim dan Kim (2003), Giesecke (2003), Domingues dan Lemos (2004), Horridge et al. (2005), Filho dan Horridge, (2004).

Pengembangan model multiregional CGE top-down yang pertama dilakukan oleh Oktaviani et al. (2005) adalah dalam studi mengenai kebijakan di industri kelapa di Sulawesi Utara. Dalam studi ini wilayah nasional didisagregasi

kedalam dua wilayah yakni Sulawesi Utara dan wilayah lainnya sesuai dengan tujuan penelitian. Penelitian ini berjudul “Industri Kelapa di Sulawesi dan Dampaknya terhadap Perekonomian Regional dan Indonesia”. Hasil studi menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas kelapa tanpa diikuti oleh kebijakan lainnya yang terkait dengan pengembangan industri kelapa belum dapat memberikan dampak yang besar terhadap perekonomian makro khususnya peningkatan GDP dan agar industri kelapa dapat memberikan dampak yang besar terhadap peningkatan GDP dan pertumbuhan ekspor maka integrative policy

antara kebijakan peningkatan produktivitas di tingkat produksi, transportasi/perdagangan dan perbankan merupakan kebijakan yang efektif.

Studi Oktaviani et al. (2006) dengan menggunakan model multiregional

CGE top-down menganalisis dampak alokasi investasi swasta dan pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi sektoral dan regional dimana diasumsikan bahwa investasi di suatu sektor dapat meningkatkan produktivitas input di sektor tersebut sehingga simulasi yang digunakan dalam studi ini adalah peningkatan produkivitas. Dalam studi ini perekonomian nasional didisagregasi menjadi sembilan wilayah yakni Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan wilayah lainnya. Hasil studi menunjukkan bahwa peningkatan investasi pemerintah memberikan dampak yang lebih tinggi daripada peningkatan investasi swasta terhadap pertumbuhan PDRB wilayah maupun pendapatan rumahtangga. Disamping itu hasil studi ini juga memberi indikasi bahwa peningkatan investasi pemerintah dalam mendorong pemerataan ekonomi antar wilayah lebih baik dibandingkan dengan peningkatan investasi swasta. Peningkatan investasi pemerintah memberi dampak yang lebih besar terhadap pertumbuhan PDRB

wilayah dengan pendapatan perkapita relatif rendah (Sulawesi Selatan. Kalimantan Barat dan Sumatera Utara); sedangkan sebaliknya dengan peningkatan investasi swasta, dampaknya lebih besar terhadap peningkatan PDRB wilayah dengan pendapatan perkapita yang relatif tinggi (Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan). Namun demikian, baik investasi pemerintah maupun swasta belum dapat memperbaiki distribusi pendapatan antar golongan masyarakat. Peningkatan investasi pemerintah dan swasta sama-sama memberikan dampak yang lebih besar terhadap pertumbuhan pendapatan kelompok rumahtangga berpendapatan tinggi baik di pedesaan maupun perkotaan. Hal ini dimungkinkan karena investasi pemerintah maupun swasta masih bias ke sektor industri.

Dalam studi Oktaviani et al. (2007a) juga diasumsikan bahwa investasi di suatu sektor dapat meningkatkan produktivitas input di sektor tersebut maka simulasi yang digunakan dalam studi ini adalah peningkatan produkivitas. Wilayah nasional didisagregasi menjadi 30 wilayah provinsi. Dengan menggunakan model multiregional CGE top-down, hasil studi menunjukkan bahwa peningkatan investasi di tiga sektor terbesar memberikan dampak yang jauh lebih tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi regional daripada peningkatan investasi di tiga leading sektor. Begitu pula dalam hal dampaknya terhadap perekonomian makro secara nasional. Namun demikian, baik investasi di tiga sektor kontributor terbesar maupun investasi di tiga leading sektor memberikan dampak yang masih bias ke provinsi di Jawa dalam hal pertumbuhan PDRB karena pertumbuhan output terbesar terjadi di sektor industri pengolahan; akan tetapi memberikan dampak yang lebih baik dalam hal distribusi pendapatan antar golongan masyarakat dimana peningkatan pendapatan kelompok rumahtangga

berpendapatan rendah baik di pedesaan maupun perkotaan lebih besar daripada yang terjadi di kelompok rumahtangga berpendapatan tinggi.

Berbeda dengan di China dalam studi Lipton dan Zhang (2007), berdasarkan studi Liu et al. (2008), dengan menggunakan model multiregional

CGE tahun 1987 dan 2000, menunjukkan bahwa perubahan teknologi pertanian di satu pihak secara signifikan menurunkan disparitas regional pendapatan pertanian per kapita (Regional disparity index sebesar 0.172 di tahun 1987 dan menjadi 0.119 di tahun 2000); dan di pihak lain meningkatkan disparitas regional pendapatan perkapita (Regional disparity index 0.240 di tahun 1987 dan menjadi 0.374 di tahun 2000). Tingkat GDP di China sejak tahun 1978 tumbuh dengan cepat dan peranan sektor pertanian terhadap pembentukan GDP mengalami penurunan. Oleh karena itu, studi ini menyarankan pemerintah untuk memprioritaskan pembangunan sektor non pertanian dalam upaya mengatasi diparitas wilayah yang membesar.

Studi Horridge dan Parmenter (1995) menggunakan model multiregional

CGE top-down untuk menganalisis dampak peningkatan pengeluaran pemerintah dengan berbagai alternatif sumber pembiayaan (pinjaman luar negeri, pajak konsumsi atau pendapatan, dan pinjaman dalam negeri) terhadap kondisi ekonomi makro, sektoral dan regional. Wilayah nasional didisagregasi menurut wilayah provinsi yakni menjadi sembilan wilayah, namun dalam studi ini tidak secara khusus menganalisis disparitas antar provinsi tersebut. Studi yang berjudul “The Macroeconomic, Industrial, Distributional and Regional Effects of Government Spending Programs in South Africa” tersebut menyimpulkan bahwa selama tidak ada hambatan dalam menadapatkan pinjaman luar negeri, maka peningkatan pengeluaran pemerintah dapat meningkatkan GDP, konsumsi riil dan menguatkan

nilai tukar sehingga menurunkan ekspor dan meningkatkan impor dan pada gilirannya wilayah provinsi yang struktur perekonomiannya tergantung pada ekspor mengalami penurunan share terhadap GDP, kecuali Provinsi Northern Transvaal yang mempunyai share industri milik pemerintah yang besar. Sementara dampak pembiayaan tersebut terhadap distribusi pendapatan relatif kecil. Peningkatan pengeluaran pemerintah dengan alternatif pembiayaan dari pajak konsumsi atau pendapatan juga tidak menimbulkan masalah terhadap variabel-variabel ekononomi makro sepanjang diikuti oleh adanya kompensasi upah.

Dengan menggunakan model multiregional CGE yang digabung dengan suatu model transportasi, studi Kim et al. (2004) menganalisis dampak ekonomi projek pembangunan infrastruktur publik khususnya jalan raya terhadap pertumbuhan ekonomi dan disparitas wilayah di Korea. Modeltransportasi meng- ukur perubahan jarak antar wilayah dengan aksesisibilitas yang disebabkan projek pembangunan jalan raya, sementara model multiregional CGE mengestimasi dampak ekonomi secara spasial terhadap GDP, harga, ekspor dan distribusi regional dari upah dan populasi. Hasil simulasi mengimplikasikan bahwa pembuat kebijakan dapat memutuskan untuk memprioritaskan investasi terhadap pembangunan infrastruktur jalan raya berdasarkan pertimbangan pertum- buhan ekonomi dan pemerataan ekonomi wilayah dalam jangka panjang dimana hasil simulasi menunjukkan bahwa proyek pembangunan jalan raya mempunyai efek positif terhadap GDP, pertumbuhan ekspor dan pemerataan ekonomi antar wilayah. Sementara menurut studi Ding dan Haynes (2004), penyediaan infra- struktur telekomunikasi secara efisien dan tepat sangat signifikan untuk memper- cepat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi disparitas regional di China.

Dalam studinya yang berjudul “Trade Liberalization and Location: Geographical Shifts in The Brazilian Economic Structure” Haddad dan Azzoni (2000) menganalisis dampak liberalisasi perdagangan dan lokal terhadap perekonomian wilayah. Wilayah nasional didisagregasi menjadi 27 wilayah provinsi. Dengan menggunakan pendekatan model interegional CGE bottom-up,

hasil studi menunjukkan bahwa penurunan proteksi perdagangan (penurunan tarif perdagangan) dapat meningkatkan perekonomian baik wilayah bagian Selatan maupun di wilayah bagian tenggara, dan hasil studi ini berbeda dengan yang dipercaya secara umum yang seringkali hanya memperhitungkan pertimbangan dari sisi permintaan, dimana liberalisasi perdagangan merugikan bagi wilayah belakang (peripheral).

Studi Filho dan Santos (2004) menganalisis efektivitas kebijakan fiscal (tax reform) dalam mengatasi kemiskinan, khususnya sejauh mana pengaruh perubahan system pajak tidak langsung terhadap disribusi pendapatan antar wilayah maupun antar golongan masyarakat. Pendekatan studi mengggunakan model interegional CGE bottom up, dengan mendisagregasi wilayah menjadi 11 wilayah metropolitan dan 10 kelompok pendapatan.

Studi Pambudi (2005), yang berjudul “Regional Strategies to Attract Investment: Using a Computable General Equilibrium Model of Indonesia” membangun model interegional CGE bottom-up yang kemudian diberi nama EMERALD untuk menganalisis dampak dari kebijakan suatu wilayah dalam menarik investasi seperti keringanan pajak, perubahan variabel-variabel teknologi, pergeseran permintaan dari luar wilayah dan lainnya terhadap peningkatan kesejahteraan wilayah dan nasional. Dalam studi ini wilayah nasional didisagregasi menjadi 26 wilayah provinsi dan perekonomian didisagregasi

menjadi 19 sektor dan Provinsi Jawa Tengah dipilih sebagai kasus wilayah otonom yang membuat strategi untuk menarik Investasi. Enam altenatif membiayai subsidi terhadap industri tekstil, pakaian dan alas kaki di Jawa Tengah sebagai strategi untuk menarik investasi disimulasi untuk melihat dampaknya terhadap perekonomian wilayah Jateng dan Nasional.

Studi Wuryanto (1996) berjudul “Fiscal Decentralization and Economic Performance in Indonesia: An Interregional Computable General Equilibrium Approached” menganalisis dampak berbagai skenario fiskal dan secara khusus dampak dari berbagai program Inpres terhadap keragaan variabel-variabel ekonomi nasional dan regional. Model interregional CGE dalam studi ini adalah

bottom up dimana wilayah nasional didisagregasi menjadi dua wilayah yakni Jawa dan luar Jawa. Hasil studi menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal melalui transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah terutama dalam bentuk program Inpres akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih besar dan jumlah pinjaman luar negeri pemeriintah yang lebih kecil. Lebih dari itu, studi menunjukkan bahwa untuk beberapa program Inpres, memungkinkan pemerintah daerah untuk mengalokasikan bantuan ini pada proyek dan aktivitas yang berbeda yang akan meningatkan keragaan ekonomi. Studi juga menemukan bahwa jika alokasi program inpres diformulasikan untuk mendukung pemerataan ekonomi antarwilayah yang lebih besar, adopsi kriteria yang hati-hati seharusnya mendorong alokasi tersebut yang tidak akan jeopardize perhatian utama ekonomi nasional dewasa ini, contoh promosi ekspor.

Studi Kim dan Kim (2003) berjudul “Impact of the Development of Large Cities on Economic Growth and Income Distribution in Korea: A Multiregional CGE Model” mengevaluasi strategi pengembangan perkotaan dalam pertumbuhan

ekonomi nasional dan distribusi pendapatan. Hasil studi menunjukkan bahwa penyebaran pengeluaran investasi ke sembilan kota besar akan menjadi kebijakan terbaik jika penekanan pembangunan nasional ditempatkan pada pertumbuhan ekonomi bersama-sama dengan pengurangan disparitas pendapatan wilayah. Sebaliknya, suatu konsentrasi yang berat dari pengeluaran investasi di Seoul dan Pusat akan membawa perbaikan dalam ketimpangan ditribusi pendapatan individu, tetapi hal ini akan menyulitkan dalam mengimplementasikan dalam kaitan dengan holitilas kearah suatu sistem nilai yang berorientasi kota besar.

Studi Giesecke (2003) yang berjudul “Targeting Regional Output with State Government Fiscal Instrumens: a Dynamic Multi Regional CGE Analysis” dilatarbelakangi bahwa diantara tahun 1986/87 dan 1998/99, share Tasmania terhadap output nasional menurun dari sekitar 2.3 persen menjadi 1.9 persen. Sekurang-kurangnya ada dua yang memproyeksikan bahwa share Tasmania terhadap aktivitas nasional akan terus menurun sepanjang periode 1999/00 hingga 2003/04, hingga 1.7 persen di akhir periode tersebut. Studi ini mempelajari apakah terdapat kekuatan pemerintah Tasmania untuk mempengaruhi kondisi tersebut dengan menggunakan suatu kebijakan a budget neutral tax policy. Hasil studi menunjukkan bahwa kebijakan tersebut tidak dapat mempertahankan share Tasmania terhadap output nasional seperti tahun 1998/99. Kebijakan yang dapat mempertahankan hal tersebut adalah perubahan secara bertahap untuk menghapus

payroll tax dan menggantikannya dengan pajak langsuung terhadap rumahtangga. Studi Filho dan Horridge (2004) dengan judul “Economic Integration, Poverty and Regional Inequality in Brazil” menganalisis dampak perdagangan bebas (trade liberalization, khususnya Free Trade Area of America) terhadap kemiskinan dan distribusi pendapatan rumah tangga antar wilayah dengan

menggunakan model CGE micro simulation. Dalam studi ini wilayah Brazil didisagregasi menjadi 27 provinsi. Hasil studi menunjukkan, bahwa liberalisasi perdagangan mendorong peningkatan kesempatan kerja, khususnya bagi pekerja yang dibayar dengan upah yang lebih rendah. rumah tangga miskin yang memiliki tenaga kerja dewasa yang lebih banyak mendapatkan keuntungan yang paling besar dari adanya perdagangan bebas. Disamping itu liberalisasi perdagangan menyebabkan penurunan kemiskinan di semua (27) provinsi di Brazil.