• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Kebijakan Pembangunan Ekonomi Sektoral

Secara umum, pada awal masa pembangunan ekonomi di era Orde Baru, secara formal grand strategi pembangunan ekonomi menempatkan sektor pertanian sebagai sektor prioritas dalam upaya mewujudkan visi pembangunan

ekonomi yakni terwujudnya landasan memasuki era tinggal landas (take off). Hal ini terlihat dari konsep Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang I (PU-PJP I) 1969-1994 yang pelaksanaannya melalui lima serangkai Rencana Pembangunan Lima Tahun atau Repelita (Repelita I – Repelita V):

1. Repelita I : titik berat pada sektor pertanian dan industri pendukung sektor pertanian.

2. Repelita II : titik berat pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri pengolah bahan mentah menjadi bahan baku.

3. Repelita III : titik berat pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri pengolah bahan baku menjadi bahan jadi. 4. Repelita IV : titik berat pada sektor pertanian untuk melanjutkan usaha menuju

swasembada pangan dengan meningkatkan industri penghasil mesin-mesin.

5. Repelita V : melanjutkan Repelita IV.

Dari uraian kelima tahapan Repelita tersebut, dengan jelas terlihat bahwa semua tahapan pembangunan ekonomi dititiberatkan pada sektor pertanian dan industri yang artinya bahwa strategi PJP I didasarkan pada pendekatan industrialisasi bertahap dan berimbang dengan dukungan sektor pertanian. Strategi pembangunan demikian dipelopori oleh Rostow (1960) yang secara spesifik mengemukakan bahwa revolusi pertanian merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan pra kondisi tinggal landas dimana ada tiga peran besar khas sektor pertanian agar proses menuju tinggal landas berhasil, yaitu: (1) harus memasok makanan dalam jumlah yang semakin besar untuk menjamin kebutuhan pangan dan penghematan devisa, (2) harus menciptakan pasar (permintaan) yang makin besar bagi produk sektor industri dan non pertanian secara umum, dan (3) harus

menyediakan transfer dana sektor modern dalam bentuk pajak, tabungan, investasi atau secara tidak langsung melalui penekanan harga atau term of trade (Rostow

dalam Simatupang dan Syafa’at, 2000).

Menurut Simatupang dan Syafa’at (2000) pandangan Rostow tersebut sudah lama disadari oleh pakar pemikir ekonomi dimana peran kunci peningkatan produksi pertanian dalam industrialisasi tidak terbantahkan. Adam Smith, pelopor teori ekonomi pasar mengakui bahwa terdapat peran esensial sektor pertanian dalam proses industrialisasi. Arthur Lewis, salah seorang pemikir klasik teori pembangunan di negara-negara sedang berkembang, yang pertama menjelaskan landasan logika tesis tersebut. Tesis bahwa revolusi pertanian merupakan persyaratan atau syarat komplementer revolusi industri juga konsisten dengan hasil analisispengalaman historis di beberapa negara industri. Contoh analisis Nurkes (1954), menyimpulkan bahwa revolusi industri di Inggris pada abad ke-18 dapat terjadi karena didahului oleh revolusi pertanian melalui introduksi teknologi hidup (Nurkes dalam Basu, 1984).

Namun demikian, dalam perjalananya terjadi senjang strategi formal dan kebijakan operasional karena masalah di tataran pasar politik ekonomi. Pembangunan strategi industrialisasi berbasis pertanian hanya retorika belaka. Pentahapan tinggal landas tidak mengikuti pandangan Rostow atau menurut Tambunan dan Priyanto (2005), pola transformasi yang terjadi tidak mengikuti struktur klasik yakni Agriculture-Industry-Service (AIS) ke IAS dan selanjutnya menjadi ISA dan SIA. Sebaliknya, Indonesia membentuk pola sendiri yang diawali dengan ASI hingga menjelang tahun 1980, untuk selanjutnya langsung mengambil jalan pintas ke SIA hingga 1995.

Sebetulnya setiap negara mempunyai jalur yang unik dan khas dalam transformasi pembangunan ekonomi. Permasalahan pokoknya, bukan hanya pada pilihan jalur transformasi pembangunan, akan tetapi juga pada: (1) konsistensi antara desain kebijakan dan implementasi kebijakan, (2) kesinambungan kebijakan dalam jangka panjang, (3) komitmen seluruh pemangku kepentingan dalam pelaksanaan kebijakan, dan (4) lingkungan eksternal yang mendukung.

Oleh karena itu, secara bertahap peran sektor pertanian dalam pembentukan PDB terus mengalami penurunan. Strategi industrialisasi yang bias industri besar serta padat modal dan tidak ramah terhadap sektor pertanian mempercepat laju penurunan sektor pertanian dalam komposisi PDB (Tambunan, 1998; Daryanto, 1999; Simatupang dan Sjafa’at, 2000). Penurunan peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi sebetulnya merupakan suatu fenomena yang alamiah, namun khusus untuk kasus Indonesia, penurunan peran sektor pertanian tersebut menyimpan dan menyisakan sejumlah masalah yang memperburuk peran sektor pertanian akibat suatu keadaan yang bersifat structural impediment. Keadaan ini menurut Tambunan dan Priyanto (2005) karena transformasi struktural yang tidak berjalan secara bertahap menyebabkan:

1. Dari sisi serapan tenaga kerja, perubahan struktur praktis tidak terjadi mengingat struktur total tenaga kerja menurut sektor masih tetap membentuk pola ASI. Hal ini berarti sektor pertanian masih menjadi andalan utama sebagian besar penduduk sebagai sumber pendapatan yang terlihat dari adanya peningkatan person-land ratio,

2. Terjadi ketimpangan produktivitas tenaga kerja sektoral yang cukup tajam, 3. Sektor pertanian menderita underinvestment mengingat tingkat produktivitas

rendahnya investasi di sektor ini. Alokasi kredit perbankan misalnya, berdasarkan data histrorik menunjukkan bahwa sektor pertanian memperoleh curahan kredit perbankan yang relatif kecil dibandingkan dengan sektor industri dan jasa. Konjektur di sini adalah kebijakan moneter yang ada juga bias ke arah industri yang selanjutnya membuat posisi sektor pertanian menjadi inferior, dan

4. Sektor pertanian menghadapi masalah keterbatasan dalam market development

yang tercermin antara lain yakni komposisi ekspor negara berkembang bertumpu pada satu atau dua jenis komoditi, tingkat diversifikasi ekspor menurut negara tujuan kurang luas, pangsa pasar komoditi pertanian kecil dan tingkat komoditi ekspor pertanian dalam pasar dalam negeri semakin kecil.

Pelaksanaan strategi PJP I atau strategi industrialisasi di era Orde Baru terlalu mengandalkan peranan industri besar modern yang sangat bias ke arah teknologi padat modal, sementara persoalan riil yang dihadapi oleh ekonomi Indonesia adalah labor surplus phenomenon. Dengan kebijakan ini, proses pembangunan ekonomi terpusatkan di sektor-sektor tertentu (infrastruktur, indus- tri dan perbankan) dan di wilayah tertentu yakni Jawa khususnya Jakarta dan seki- tarnya sehingga pembangunan bias perkotaan dan industri padat modal dengan harapan hasil pembangunan ini akan menetes atau terjadi trickle down effect ke sektor-sektor dan ke wilayah lainnya di Indonesia. Pelaksanaan kebijakan pemba- ngunan ini lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemera- taan diasumsikan akan dengan sendirinya terjadi melalui trickle down effect.

Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa pada pembangunan era Orde Baru, trickle down effect dari hasil pembangunan relatif kecil, kalau tidak bisa dikatakan tidak ada sama sekali, atau proses mengalir ke bawahnya sangat lambat

(Tambunan, 2006). Pada masa Orde Baru memang tingkat pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, namun secara umum tingkat kesenjangan ekonomi baik distribusi pendapatan antar golongan maupun antar wilayah mengalami peningkatan. Hasil studi BPS dengan menggunakan data Susenas menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi meningkat dari 2.7 persen per tahun di tahun 1965-1970 menjadi sekitar 6 persen per tahun di tahun 1971-1980, akan tetapi distribusi pendapatan yang diukur dengan koefisien gini mengalami peningkatan dari 0.35 menjadi lebih dari 0.4. Kemudian distribusi pendapatan tersebut sedikit mengalami penurunan di tahun 1980-an dan kemudian meningkat kembali di tahun 1990-an.

Begitu pula dengan ketimpangan pendapatan antar wilayah seperti yang ditunjukkan oleh hasil studi Sjafrizal (1997 dan 2000) serta Akita dan Alisjahbana (2002). Dengan menggunakan data PDRB tanpa migas, hasil studi Sjafrizal (1997) menunjukkan bahwa untuk periode 1971-1993 tingkat ketimpangan ekonomi antar daerah di KBI (0.179-0.392) lebih rendah daripada di KTI (0.396- 0.544) serta tingkat ketimpangan di KTI cenderung memburuk dan sebaliknya dengan di KBI. Sementara berdasarkan studi Sjafrizal (2000) yang juga didasarkan atas PDRB tanpa migas untuk periode 1971-1998, memperlihatkan bahwa indeks ketimpangan ekonomi antar provinsi dalam kurun waktu tersebut cenderung meningkat dari sekitar 0.396 pada tahun 1971 menjadi sekitar 0.605 pada tahun berkisar 1998. Menurut Tambunan (2006) angka ini diduga lebih tinggi dibandingkan indeks rata-rata untuk Negara Sedang Berkembang (NSB). NSB lain yang indeksnya juga hampir sama dengan Indonesia adalah Brasil, Kolumbia dan Filipina. Berdasarkan perbandingan ini, dapat disimpulkan bahwa ketimpangan ekonomi antar provinsi di Indonesia cukup tinggi dibandingkan rata-

rata NSB. Selain itu, hasil studi ini juga menunjukkan adanya tendensi peningkatan ketimpangan ekonomi antar provinsi di Indonesia sejak awal 1970an.

Studi lain dengan menggunakan indeks Theil adalah dari Akita dan Alisjahbana (2002). Dengan memakai data output dan populasi pada tingkat kabupaten/kota untuk periode 1993-1998, studi ini menunjukkan bahwa antara tahun 1993 dan 1997, ketika Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun lebih dari 7 persen, ketimpangan pendapatan regional mengalami suatu peningkatan yang cukup signifikan, dari 0.262 tahun 1993 ke 0.287 tahun 1997.

Hal yang menarik adalah bahwa tingkat ketimpangan baik ketimpangan antar golongan pendapatan maupun tingkat ketimpangan antar wilayah mengalami penurunan ketika krisis ekonomi terjadi di tahun 1997. Tingkat kesenjangan antar golongan pendapatan mengalami penurunan di tahun 1998. Berdasarkan koefisien gini, tingkat ketimpangan distribusi pendapatan menurun dari sekitar 0.4 lebih di tahun 1990-an menjadi 0.32 pada tahun 1998. Sementara tingkat ketimpangan antar wilayah menunjukkan sedikit penurunan dari 0.671 pada tahun 1997 menjadi 0.605 pada tahun 1998. Begitu pula dengan hasil studi Akita dan Alisjahbana (2002), tingkat ketimpangan antar wilayah di tahun 1998 mengalami penurunan, kembali ke tingkat ketimpangan pada tahun 1993-1995. Menurut studi ini, penurunan indeks tersebut diperkirakan sebagai akibat dari terjadinya krisis ekonomi di mana banyak daerah-daerah maju dengan tingkat konsentrasi industri yang tinggi seperti di Jawa mengalami kemunduran ekonomi yang sangat tajam. Sedangkan provinsi-provinsi yang kurang maju pada umumnya adalah daerah-daerah pertanian, seperti misalnya Sulawesi, dan sektor pertanian, khususnya subsektor perkebunan merupakan satu-satunya sektor yang cukup mendapatkan keuntungan dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.

Hal ini membuat perekonomian provinsi-provinsi tersebut tidak terlalu terpukul oleh krisis ekonomi. Fenomena tingkat ketimpangan distribusi pendapatan dan ketimpangan antar wilayah di saat krisis ini secara implisit menunjukkan pentingnya peran sektor pertanian dalam upaya meningkatkan pemerataan hasil pembangunan baik antar golongan masyarakat maupun antar wilayah.

Dengan demikian pembangunan yang dilaksanakan Orde Baru terbukti gagal menciptakan struktur ekonomi yang berimbang dan tangguh secara berkelanjutan. Strategi pembangunan pada era tersebut telah menimbulkan fenomena Industrialisasi Prematur (Premature Industrial Development) seperti: (1) sindroma pertumbuhan tanpa trnsformasi (growth without transformation), (2) sindroma kemunduran ketahanan pangan (food sequrity backwardation), dan (3) sindroma ketergantungan ekonomi (external economic dependency). Ketiga penyakit inilah yang menyebabkan perekonomian Indonesia sangat rapuh dan rentan terhadap gejolak ekonomi eksternal seperti yang ditunjukkan pada krisis 1997-1998 (Simatupang dan Sjafa’at, 2000).

Selanjutnya Rustiadi dan Hadi (2006) menyebutkan dalam konteks spasial, proses pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini ternyata telah menimbulkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan antar wilayah yang tidak berimbang. Kesenjangan ini pada akhimya menimbulkan berbagai permasalahan yang dalam, konteks makro sangat merugikan. keseluruhan proses pembangunan. Potensi konflik menjadi sedemikian besar karena wilayah wilayah yang dulunya kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak haknya. Demikian pula hubungan antar wilayah telah membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah. Wilayah wilayah hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan, sedangkan pusat pusat

pertumbuhan pada akhiynya juga menjadi lemah karena proses urbanisasi yang luar biasa.

Kegagalan strategi pembangunan yang diterapkan pada era Orde Baru dalam membangun perekonomian Indonesia, mendorong para ahli ekonomi untuk reorientasi strategi pembangunan. Dengan demikian, pasca Orde Baru atau mulai era reformasi hingga kabinet Indonesia Bersatu dewasa ini, Indonesia kembali menjadikan sektor pertanian sebagai landasan utama pembangunan ekonomi (Arifin, 2005). Pilihan ini sejalan dengan pemikiran Tambunan (1998), Daryanto (1999), serta Simatupang dan Sjafaat (2000) yang mengemukakan bahwa berdasarkan pengalaman negara-negara lain dan dengan memperhatikan berbagai penelitian teori-empiris, maka Grand Strategy pembangunan ekonomi Indonesia harus kembali pada gagasan awal Orde Baru yakni “Industrialisasi Berbasis Pertanian”.

Kembalinya sektor pertanian menjadi prioritas pembangunan ekonomi di Indonesia pasca Orde Baru tercermin dari sistem ekonomi yang direncanakan oleh era Orde Reformasi saat itu yakni ekonomi kerakyatan dimana inti dari ekonomi kerakyatan adalah membangun sektor pertanian dalam arti luas serta membangun usaha berskala mikro dan kecil di segala bidang. Secara detail penjelasan sistem ekonomi ini tertuang dalam Program Pembangunan Nasional atau Propenas (Undang-undang No 25 Tahun 2000) yang merujuk pada GBHN 1999-2004. Esensi membangun ekonomi kerakyatan disini adalah strategi industrialisasi yang berbasis pada sumberdaya domestik. Dalam propenas dijabarkan bahwa prioritas sistem ekonomi kerakyatan diberikan pada upaya mempercepat pembangunan perdesaan, termasuk di daerah terpencil, daerah minus, daerah kritis, daerah perbatasan dan daerah terbelakang lainnya.

Sementara dalam Kabinet Indonesia Bersatu, prioritas pembangunan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi dapat terlihat dari dicanangkannya revitalisasi pembangunan pertanian dan perdesaan dalam program pembangunannya yang menggunakan strategi tiga jalur (triple track strategy) sebagai manifestasi dari strategi pembangunan yang lebih pro-growth, pro- employment dan pro-poor. Operasionalisasi konsep strategi tiga jalur tersebut dirancang melalui hal-hal:

1. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6.5 persen per tahun melalui percepatan investasi dan ekspor.

2. Pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru.

3. Revitalisasi pertanian dan perdesaan untuk berkontribusi pada pengentasan kemiskinan.

Peran penting sektor pertanian telah terbukti dari keberhasilan sektor pertanian pada saat krisis ekonomi dalam menyediakan kebutuhan pangan pokok dalam jumlah yang memadai dan tingkat pertumbuhannya yang positif dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Keadaan ini menjadi pertimbangan utama dirumuskannya kebijakan yang memiliki keberpihakan terhadap sektor pertanian dalam memperluas lapangan kerja, menghapus kemiskinan dan mendo- rong pembangunan ekonomi yang lebih luas (Sudaryanto dan Munif, 2005).

Secara lebih rinci, beberapa pertimbangan tentang pentingnya mengakselerasi sektor pertanian di Indonesia dikemukakan oleh Simatupang (1997):

1. Sektor pertanian masih tetap sebagai penyerap tenaga kerja, sehingga akselerasi pembangunan sektor pertanian akan membantu mengatasi masalah pengangguran.

2. Sektor pertanian merupakan penopang utama perekonomian desa dimana sebagian besar penduduk berada. Oleh karena itu, akselerasi pembangunan pertanian paling tepat untuk mendorong perekonomian desa dalam rangka meningkatkan pendapatan sebagian besar penduduk Indonesia dan sekaligus pengentasan kemiskinan.

3. Sektor pertanian sebagai penghasil makanan pokok penduduk, sehingga dengan akselerasi pembangunan pertanian maka penyediaan pangan dapat terjamin. Langkah ini penting untuk mengurangi ketergantungan pangan pada pasar dunia.

4. Harga produk pertanian memiliki bobot yang besar dalam indeks harga konsumen, sehingga dinamikanya amat berpengaruh terhadap laju inflasi. Oleh karena itu, akselerasi pembangunan pertanian akan membantu menjaga stabilitas perekonomian Indonesia.

5. Akselerasi pembangunan pertanian sangatlah penting dalam rangka mendorong ekspor dan mengurangi impor produk pertanian, sehingga dalam hal ini dapat membantu menjaga keseimbangan neraca pembayaran.

6. Akselerasi pembangunan pertanian mampu meningkatkan kinerja sektor industri. Hal ini karena terdapat keterkaitan yang erat antara sektor pertanian dengan sektor industri yang meliputi keterkaitan produk, konsumsi dan investasi. Namun demikian, hingga saat ini strategi pembangunan ekonomi di Indonesia belum sepenuhnya secara konsisten mengimplementasikan strategi industrialisasi yang berbasiskan sektor pertanian sehingga pengangguran,

kemiskinan dan kesenjangan ekonomi antar golongan masyarakat dan antar wilayah masih menjadi masalah pembangunan yang utama. Hal ini terlihat dari alokasi investasi baik dalam bentuk PMDN, PMA maupun kredit perbankan ke sektor pertanian masih relatif kecil. Alokasi kredit pertanian oleh perbankan secara nasional dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Posisi Kredit Perbankan dalam Rupiah dan Valuta Asing di Indonesia Menurut Sektor Perekonomian, Tahun 2001-2007

(Triliun Rupiah)

Sektor Ekonomi Tahun

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 1. Pertanian 21.30 (6.70) 22.70 (6.10) 23.95 (5.66) 32.38 (5.85) 36.68 (5.32) 45.00 (5.72) 55.91 (5.62) 2. Industri 118.70 (37.60) 122.70 (33.10) 125.35 (29.62) 143.60 (25.94) 169.68 (24.60) 182.43 (23.18) 203.76 (20.48) 3. Pertambangan 3.10 (1.00) 3.90 (1.10) 5.01 (1.18) 7.73 (1.40) 7.87 (1.14) 13.90 (1.77) 25.34 (2.55) 4. Perdagangan 49.30 (15.60) 66.30 (17.90) 81.94 (19.36) 111.04 (20.06) 134.11 (19.45) 162.40 (20.63) 215.67 (21.67) 5. Jasa-jasa 52.30 (16.50) 62.80 (16.90) 91.19 (21.55) 107.86 (19.49) 134.94 (19.57) 157.64 (20.63 212.44 (21.35) 6. Lainnya 71.50 (22.60) 92.90 (25.00) 104.79 (24.76) 150.95 (27.27) 206.39 (29.93) 225.77 (28.68) 281.95 (28.33) Total 316.20 (100) 371.30 (100) 432.23 (100) 553.55 (100) 689.67 (100) 787.14 (100) 995.06 (100) Sumber: Bank Indonesia, 2006 dan 2008.

Keterangan: ( ) nilai persentase