• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Pertumbuhan Ekonomi dan Disparitas Ekonomi Antar Wilayah Studi mengenai disparitas wilayah di Indonesia dipelopori oleh Esmara

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Tinjauan Studi Empiris Sebelumnya

2.4.1. Studi Pertumbuhan Ekonomi dan Disparitas Ekonomi Antar Wilayah Studi mengenai disparitas wilayah di Indonesia dipelopori oleh Esmara

(1975), dan dilanjutkan oleh Uppal dan Handoko (1986), Akita (1988, 2002, 2003, 2004), Akita dan Lukman (1995), Takeda dan Nakata (1998), Garcia dan Soelistyaningsih (1998), Hill (2000). Walaupun semua studi tersebut memfokuskan analisa pada PDRB per kapita, namun pendekatan studi bervariasi. Pada awal studi tentang disparitas (Esmara, 1975; Uppal dan Handoko, 1986; dan

Akita, 1988), menggunakan CVw sebagai alat analisis. Studi tentang disparitas wilayah lebih lanjut lebih bervariasi, baik dari sisi alat analisis, maupun fokus analisis. Fokus analisis tidak hanya pada kesenjangan ekonomi, akan tetapi juga kesenjangan sosial serta kemudian lebih mengeksplorasi kesenjangan wilayah secara sektoral. Disamping itu jenis data untuk menganalisis ketimpangan wilayah juga berbeda-beda, data yang digunakan dapat dibedakan antara data pendapatan dan pengeluaran; data pendapatan tingkat kabupaten/kota dan data pendapatan provinsi; serta data pendapatan dengan dan tanpa sektor pertambangan. Dengan alat analisis dan data yang berbeda menghasilkan tingkat ketimpangan yang berbeda untuk tahun yang sama sehingga dalam membandingkan tingkat ketimpangan harus ditelusuri alat analisis dan jenis data yang digunakan.

Dari perspektif efisiensi, ketimpangan pendapatan antar wilayah tidak dapat dihindari dalam kondisi adanya ketidakmerataan penyebaran sumberdaya alam dan fasilitas transportasi yang bersifat given. Oleh karena itu dalam penelitian-penelitian mengenai ketimpangan wilayah di Indonesia, seringkali ketimpangan wilayah diukur dengan membedakan ketimpangan yang memasukan sektor pertambangan minyak dan gas ke dalam perhitungan pendapatan wilayah dan ketimpangan yang tidak memperhitungan sektor tersebut. Memang dengan mengeluarkan sektor pertambangan minyak dan gas dari perhitungan pendapatan wilayah, tingkat disparitas wilayah menjadi lebih rendah, namun demikian tingkat disparitas tersebut tetap tergolong tinggi dibandingkan dengan tingkat disparitas pendapatan di negara-negara berkembang lainnya, terlebih dibanding dengan negara-negara maju (Hill, 2000; Tadjoeddin et. al, 2001; Akita, 2002; Akita, 2003; Tambunan, 2006)

Dalam studi Tambunan (2006) ditunjukkan beberapa hasil studi dari penelitian sebelumnya tentang disparitas wilayah. Dengan memakai data PDRB tanpa migas untuk periode 1971-1993, hasil studinya memperlihatkan bahwa tingkat ketimpangan ekonomi antar provinsi di KBI ternyata lebih rendah dibandingkan dengan ketimpangan ekonomi rata-rata di Indonesia. Indeks ketimpangan ekonomi daerah di KBI selama periode yang diteliti adalah antara 0.179 paling rendah hingga 0.392 paling tinggi. Disamping itu, sejak tahun 1990 mulai terlihat adanya tendensi menurun. Sedangkan indeks ketimpangan untuk KTI berkisar antara terendah 0.396 hingga tertinggi 0.544 dan cenderung terus meningkat. Hasil studi ini menandakan bahwa ketimpangan ekonomi di KTI lebih tinggi dan cenderung memburuk dibandingkan di KBI. Didasarkan atas PDRB tanpa migas untuk periode 1971-1998, hasil studinya yang lain menunjukkan bahwa indeks ketimpangan ekonomi antar provinsi berkisar antara 0.4-0.7. Angka ini diduga lebih tinggi dibandingkan indeks rata-rata untuk NSB (Negara Sedang Berkembang). Terdapat NSB lain yang indeksnya juga hampir sama dengan Indonesia adalah Brasil, Kolumbia dan Filipina. Berdasarkan perbandingan ini, dapat disimpulkan bahwa ketimpangan ekonomi antar provinsi di Indonesia cukup tinggi dibandingkan rata-rata NSB. Selain itu, hasil studi ini juga menunjukkan adanya tendensi peningkatan ketimpangan ekonomi antar provinsi di Indonesia sejak awal tahun 1970an.

Sebetulnya, menurut beberapa hasil studi terjadi konvergensi pendapatan antar wilayah di Indonesia (Wibisono, 2005; Pakpahan dan Nazara, 2006; dan Firdaus, 2006). Namun karena tingkat konvergensi pendapatan antar wilayah berlangsung sangat lambat (Wibisono, 2005; Firdaus, 2006), maka tingkat disparitas pendapatan antar wilayah di Indonesia masih relatif tinggi. Hasil Studi

Wibisono (2005) menunjukkan bahwa dalam periode 1984-2000, tingkat konvergensi regional di Indonesia berkisar 0.51-1.83 persen per tahun yang berimplikasi the half-life of convergence adalah 38-136 tahun. Sementara menurut hasil studi Firdaus (2006), dengan menggunakan panel data 1983-2003, tingkat konvergensi regional lebih kecil lagi, hanya sebesar 0.29 persen. Selanjutnya kedua studi menunjukkan bahwa tingkat konvergensi pendapatan yang lambat banyak disebabkan oleh tingkat investasi yang rendah baik pada modal fisik maupun modal manusia di provinsi-provinsi miskin. Tingkat konvergensi pendapatan dipengaruhi oleh sejumlah variabel penjelas yang mana semua variaibel tersebut berada dibawah pengaruh pemerintah baik pusat maupun daerah. Dengan demikian studi ini mendukung pandangan bahwa pemerintah memiliki pengaruh yang besar bagi pertumbuhan ekonomi regional yang tinggi dan lestari. Untuk meningkatkan tingkat konvergensi pendapatan, maka harus meningkatkan konvergensi tingkat teknologi atau Total Factor Productivity (TFT) karena perbedaan tingkat teknologi antar provinsi adalah besar. Peranan pengejaran TFT ini jauh lebih dominan dibandingkan dengan akumulasi faktor.

Studi Takeda dan Nakata (1998), mengidentifikasi tingkat disparitas wilayah di Indonesia dengan satuan wilayah provinsi, disparitas wilayah tersebut tidak hanya dilihat dari sisi ketimpangan ekonomi, tetapi juga dari sisi ketimpangan infrastruktur dan sosial serta lebih lanjut menganalisa faktor-faktor penyebab ketimpangan. Hasil studinya menunjukkan bahwa dibandingkan dengan negara China dan Brazil yang sama-sama berpenduduk besar, tingkat disparitas ekonomi maupun sosial di Indonesia adalah yang tertinggi. Baik dengan atau tanpa pendapatan dari sektor pertambangan, tingkat disparitas ekonomi di Indonesia relatif tinggi. Dalam kurun waktu 1985-1996, dengan

menggunakan analisis CVw (menggunakan variabel pendapatan perkapita per provinsi), tingkat disparitas ekonomi di Indonesia mengalami penurunan dari sekitar 1.2 pada tahun 1985 menjadi sekitar 0.9 pada tahun 1996; dan dengan mengeluarkan pendapatan dari pertambangan, tingkat disparitas ekonomi juga masih relatif tinggi dan justru cenderung meningkat, dari sekitar 0.6 pada tahun 1985 menjadi sekitar 0.7 pada tahun 1996. Pada tahun 1993, tingkat disparitas ekonomi di Indonesia sebesar 0.866, sementara di China adalah sebesar 0.669 dan di Brazil sebesar 0.584.

Dengan menggunakan analisis regresi, hasil studi ini juga menunjukkan bahwa pembangunan di bidang infrastruktur (listrik, air dan telephone) merupakan salah satu faktor yang menimbulkan disparitas ekonomi antar wilayah yang terlihat dari adanya hubungan positif yang nyata antara pembangunan di bidang infrastruktur dan pembangunan ekonomi wilayah. Hasil analisis regresi juga menunjukkan bahwa investasi pemerintah dan swasta berhubungan positif dan nyata dengan pertumbuhan ekonomi wilayah. Oleh karena itu, berdasarkan hasil studi ini, untuk memperkecil disparitas ekonomi antar wilayah maka infrastruktur harus dikembangkan di wilayah-wilayah yang kurang berkembang dan investasi swasta di sektor industri yang berbasis ekonomi wilayah harus distimulasi untuk mengaktifkan perekonomian wilayah tersebut, serta untuk itu perlu dipromosikan desentralisasi fiskal khususnya dalam hal pengeluaran.

Studi Garcia dan Soelistianingsih (1998) juga menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan tingkat pendapatan antar wilayah provinsi dan menganalisis tingkat konvergensi wilayah di Indonesia dalam kurun waktu 1983- 1993. Sejalan dengan hasil studi Takeda dan Nakata (1998). Hasil studi ini juga menunjukkan bahwa meskipun disparitas pendapatan antar wilayah provinsi

cenderung mengalami penurunan atau mengalami konvergensi wilayah, namun tingkat disparitas pendapatan tersebut masih bertahan pada level yang relatif tinggi dan posisi wilayah dengan pendapatan perkapita yang relatif tinggi dan yang relatif rendah tetap bertahan pada provinsi yang sama. Provinsi dengan tingkat pendapatan perkapita tertinggi adalah Kalimantan Timur, Riau, Aceh, Jakarta, Sumatera Selatan, dan Irian Jaya; sementara provinsi dengan tingkat pendapatan perkapita terendah adalah NTT, NTB, Lampung dan Sulawesi Tengah.. Dalam hal ini, tingkat disparitas diukur dengan standar deviasi. Berdasarkan indikator tersebut, tingkat disparitas pendapatan antar wilayah menurun dari 0.39 pada tahun 1975 menjadi 0.30 pada tahun 1993. Tingkat disparitas tersebut tergolong tinggi dibandingkan dengan tingkat disparitas di negara lain seperti Jepang (0.15 pada tahun 1980-an), Amerika Serikat (0.2 pada tahun 1980-an) dan negara-negara Eropa (berkisar antara 0.1 hingga 0.25 di tahun 1990-an). Oleh dari karena itu meskipun selama ini pemerintah telah menerapkan kebijakan-kebijakan dan program-program untuk menurunkan disparitas wilayah, studi ini menyarankan pemerintah untuk terus melakukan usaha-usaha untuk mengurangi disparitas antar wilayah tersebut. Berbeda dengan Takeda dan Nakata (1998), dalam studi ini, berdasarkan analisis regresi, untuk memperkecil disparitas ekonomi antar wilayah maka perlu ditingkatkan investasi di bidang pendidikan dan kesehatan khususnya di wilayah-wilayah yang relatif lebih miskin atau tingkat pendapatan perkapitanya relatif rendah dan prioritas investasi ke penduduk di wilayah pedesaan dan kepada penduduk wanita.

Selanjutnya Akita (2002) melakukan studi tentang disparitas lebih jauh, tidak hanya menganalisis disparitas pendapatan wilayah, akan tetapi juga mengeksplorasi disparitas pengeluaran rumahtangga baik antar wilayah provinsi,

antar wilayah pedesaan-perkotaan, antar usia, pendidikan dan gender yang didasarkan pada data Susenas. Khusus mengenai disparitas pendapatan mencakup disparitas pendapatan antar wilayah provinsi dan kabupaten serta analisis dikaitkan dengan krisis finansial dan diukur dengan indeks Theil. Dengan menggunakan data tingkat pendapatan dan jumlah penduduk tingkat kabupaten, hasil studi menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 1993-1997, ketika rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi per tahun Indonesia melebihi 7 persen, tingkat kesenjangan wilayah secara total (diluar sektor pertambangan minyak dan gas) mengalami peningkatan dari 0.262 pada tahun 1993 menjadi 0.287 pada tahun 1997. Peningkatan ketimpangan tersebut lebih disebabkan oleh peningkatan ketimpangan dalam provinsi (dari 0.119 pada tahun 1993 menjadi 0.143 pada tahun 1997) yang menyumbang sekitar 50 persen, sementara tingkat kesenjangan antar provinsi relatif stagnan dengan nilai 0.125 pada tahun 1993 menjadi 0.124 pada tahun 1997. Pada tahun 1998, yakni setelah krisis finansial, baik tingkat ketimpangan wilayah total, antar provinsi, antar pulau maupun dalam provinsi mengalami penurunan dari 0.287 menjadi 0.266 (total); dari 0.021 menjadi 0.018 (antar pulau); dari 0.124 menjadei 0.108 (antar provinsi); dan dari 0.143 menjadi 0.141 (dalam provinsi).

Hasil ini sejalan dengan hasil studi lainnya yang dikemukakan Tambunan (2006), dengan menggunakan pendekatan CVw, tingkat ketimpangan mengalami penurunan dari 0.671 pada tahun 1997 menjadi 0.605 pada tahun 1998. Menurut studi ini, penurunan indeks tersebut diperkirakan sebagai akibat dari terjadinya krisis ekonomi di mana banyak daerah-daerah maju dengan tingkat konsentrasi industri yang tinggi seperti di Jawa mengalami kemunduran ekonomi yang sangat tajam. Sedangkan provinsi-provinsi yang kurang maju pada umumnya adalah

daerah-daerah pertanian, seperti misalnya Sulawesi, dan sektor pertanian, khususnya subsektor perkebunan merupakan satu-satunya sektor yang cukup mendapatkan keuntungan dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Hal ini membuat perekonomian provinsi-provinsi tersebut tidak terlalu terpukul oleh krisis ekonomi. Dalam studi Akita (2002) ini juga ditemukan bahwa disparitas ekonomi sektoral antar wilayah provinsi, menunjukkan bahwa berdasarkan indikator CVw, dalam kurun waktu 1975-1999 tingkat ketimpangan sektor primer/pertanian antar wilayah jauh lebih rendah (0.297-0.462) dibandingkan dengan tingkat ketimpangan sektor sekunder dan tersier yang masing-masing berkisar antara 0.713 sampai dengan 0.936. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan output sektor pertanian yang lebih tinggi daripada sektor lainnya mampu memperkecil disparitas ekonomi antar wilayah.

Studi Akita (2003) berikutnya, dengan menggunakan metode analisis yang sama (Two-stage Nested Theil) dan menggunakan data yang sama namun mencakup sektor pertambangan minyak dan gas membandingkan kondisi ketimpangan wilayah di Indonesia dengan China serta mengkaji lebih lanjut faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan wilayah. Dalam studi ini dikemukakan bahwa China dan Indonesia sama-sama negara yang sedang berkembang dan masih berada pada tahap awal pembangunan ekonomi sehingga kegiatan ekonomi yang meningkatkan pendapatan cenderung terkonsentrasi pada beberapa kabupaten dan kabupaten tersebut mendapat keuntungan dari aglomerasi ekonomi tersebut. Oleh karena itu, hasil studi ini menunjukkan bahwa tingkat disparitas pendapatan antar wilayah di Indonesia maupun China tergolong sangat tinggi. Dengan menggunakan metode two-stage nested Theil, diketahui bahwa ketimpangan dalam provinsi memberikan sumbangan terbesar terhadap

ketimpangan wilayah tersebut dibandingkan dengan ketimpangan antar wilayah provinsi dan antar wilayah yang lebih besar atau pulau (64 persen di China, dan sekitar 50 persen di Indonesia); serta tingkat ketimpangan wilayah di Indonesia lebih tinggi yang mencapai 0.345 dibandingkan dengan di China yang hanya sebesar 0.235. Dengan demikian berdasarkan studi tersebut, bahwa untuk memformulasikan kebijakan wilayah yang lebih baik maka disarankan pengambil kebijakan seyogyanya tidak hanya melihat ketimpangan antar wilayah provinsi atau pulau/wilayah yang lebih besar, tetapi juga harus melihat ketimpangan dalam provinsi.

Akita (2004) terus memperdalam studinya mengenai disparitas wilayah di Indonesia dengan memperluas analisis dengan mendekomposisi ketimpangan pendapatan wilayah secara sektoral dan membandingkannya dengan kondisi di Jepang pasca perang. Hasil studinya menunjukkan bahwa, meskipun aktifitas pertambangan minyak dan gas sudah dikeluarkan dari perhitungan, tingkat disparitas pendapatan wilayah di Indonesia masih tetap sangat tinggi. Dengan menggunakan indeks Theil T, ketimpangan pendapatan dan produktivitas tenaga kerja antar wilayah di Indonesia masing-masing sebesar 0.14 dan 0.16 pada tahun 1999. Di Jepang, dalam periode setelah perang (1955-2000), kedua jenis ketimpangan tersebut jauh lebih kecil yakni masing-masing 0.03 dan 0.06. Disamping itu, di Indonesia nilai rasio antara pendapatan perkapita terbesar dengan yang terkecil juga sangat besar sekitar 8.2 pada tahun 1999; sementara di Jepang nilai rasio tersebut sebesar 3.4 pada tahun 1955 dan menurun pada tahun 2000 menjadi 2.8.

Hasil lainnya dari studi tersebut, berdasarkan analisis dekomposisi ketimpangan wilayah secara sektoral dengan menggunakan pendekatan CVw,

menunjukkan bahwa di Jepang pada tahun 1955, pendapatan perkapita adalah sebesar $500 dan sumbangan sektor primer terhadap GDP adalah sebesar 16 persen dan sumbangannya terhadap penyerapan tenaga kerja adalah sebesar 41 persen; sementara di Indonesia pada tahun 1997, tingkat pendapatan perkapita adalah sekitar $1000, sumbangan sektor primer (tidak termasuk sektor pertambangan) terhadap GDP adalah sekitar 17 persen dan sumbangannya terhadap penyerapan tenaga kerja adalah sebesar 42 persen. Jepang telah berhasil menurunkan tingkat ketimpangan wilayah pada tahun 1960-an dan 1970- an, yang mana ketika itu ketimpangan pendapatan antar wilayah sektor sekunder dan tersier mengalami penurunan secara lambat tetapi terus-menerus, sementara ketimpangan antar wilayah sektor pertanian meningkat dengan cepat. Periode tersebut juga ditandai oleh adanya pergeseran dalam GDP dari sektor primer ke sektor sekunder dimana sumbangan sektor sekunder terhadap GDP meningkat menjadi lebih dari 10 persen. Apakah Indonesia dapat menurunkan ketimpangan pendapatan antar wilayah seperti yang terjadi di jepang pada tahun 1960-an dan 1970-an, tidak ada kepastian menurut studi ini.

Studi Tadjoeddin et al. (2001) mengidentifikasi ketimpangan antar wilayah dalam banyak dimensi yakni ketimpangan ekonomi yang mencakup ketimpangan pengeluaran dan ketimpangan pendapatan/output (pendapatan perkapita); serta ketimpangan sosial yang mencakup ketimpangan pendidikan, kesehatan dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Untuk mengukur tingkat ketimpangan wilayah tersebut digunakan beberapa metode yaitu Kurva Lorenz, Koefisien Gini, indeks Theil, indeks L dan CVw; sementara data yang digunakan adalah data pendapatan tingkat kabupaten/kota. Hasil pengukuran dalam studi tersebut menunjukkan bahwa ketimpangan kesejahteraan sosial relatif sangat

rendah dibandingkan dengan ketimpangan output, ketimpangan output regional 92 kali lebih besar dibandingkan ketimpangan IPM.

Disamping itu, dalam studi ini didentifikasi bahwa dari jumlah kabupaten/kota yang ada (dalam tahun analisis 1996), ada sejumlah kabupaten/kota yang memiliki PDRB per kapita yang sangat tinggi yang menjadikan daerah-daerah itu sebagai daerah-daerah kantong (enclave), yang antara lain disebabkan oleh keberadaan migas, atau SDA lainnya. Dilihat dari sebaran PDRB per kapita, daerah-daerah kantong ini bisa ditempatkan sebagai data pencilan (out layers). Terdapat 19 daerah kantong yang terdiri dari tujuh daerah pusat produksi migas, yakni Aceh Utara (Aceh), Kepulauan Riau dan Bengkalis (Riau), Kutai, Bulungan dan Balik Papan (Kalimantan Timur), dan Fak- Fak (Papua) ditambah 13 kabupaten/kota yang memiliki PDRB per kapita yang sangat tinggi. Daerah kantong itu dengan jumlah penduduk hanya sekitar 9 persen dari total populasi Indonesia menyumbang sekitar 33 persen dari PDB nasional.

Dengan demikian, Tadjoeddin et al. (2001), membedakan tiga ketimpangan pendapatan antar wilayah yaitu ketimpangan total, ketimpangan tanpa migas serta ketimpangan tanpa migas dan daerah kantong. Sejalan dengan hasil studi peneliti sebelumnya bahwa, tingkat ketimpangan antar wilayah tanpa migas lebih rendah daripada tingkat ketimpangan total, dan ketimpangan antar wilayah tanpa migas dan daerah kantong lebih rendah lagi dari ketimpangan antar wilayah tanpa migas. Hasil analisis menunjukkan, bahwa dalam kurun waktu 1993-1998, dengan menggunakan koefisien gini, ketimpangan antar wilayah total, ketimpangan antar wilayah tanpa migas, serta ketimpangan antar wilayah tanpa migas dan daerah kantong berturut-turut adalah sekitar 0.4, 0.3, dan 0.2;

sementara dengan menggunakan indikator indeks Theil, tingkat ketimpangan tersebut berturut-turut adalah sekitar 0.3, 0.2, dan 0.1; dan dengan menggunakan indikator indeks L, tingkat ketimpangan tersebut berturut-turut adalah sekitar 0.27, 0.22, dan 0.1; serta dengan menggunakan indikator CVw, tingkat ketimpangan tersebut berturut-turut adalah sekitar 1.0, 0.9, dan 0.5.

Hasil lainnya dari studi Tadjoeddin et al. (2001), dengan memakai data pengeluaran konsumsi dan Indeks Theil dan Indeks-L, hasil analisis menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 1990-1999, ketimpangan dalam pengeluaran di dalam provinsi jauh lebih besar daripada ketimpangan antar provinsi. Dalam kurun waktu tersebut, ketimpangan di dalam provinsi menyumbang sekitar 80 persen terhadap ketimpangan pengeluaran konsumsi pada tingkat nasional, sedangkan sisanya (sekitar 20 persen), disebabkan oleh ketimpangan antar provinsi. Akan tetapi dalam tiga tahun terakhir pada kurun waktu tersebut, sumbangan ketimpangan antar provinsi cenderung meningkat. Oleh karena itu berdasarkan hasil studi ini, diharapkan bahwa momentum desentralisasi atau otonomi daerah menjadi kesempatan untuk memperkecil disparitas wilayah, meningkatkan pemerataan hasil pembangunan dan sekaligus menyelamatkan ancaman disintegrasi bangsa.

Sementara studi Hadi (2001), dengan menggunakan metode analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) atau Social Accounting Matriks (SAM)

menganalis kebijakan yang mampu memperkecil disparitas ekonomi antar wilayah KBI dan KTI atau mempercepat pembangunan di KTI. Dalam studi ini ketimpangan wilayah diukur berdasarkan analisis keterkaitan input-output dan analisis pengganda (multiplier-analysis). Hasil studi menunjukkan bahwa keterkaitan antar wilayah KBI dan KTI relatif besar untuk sektor industri dan

sektor primer. KTI mempunyai ketergantungan yang besar terhadap KBI untuk sektor industri; dan sebaliknya KBI mempunyai ketergantungan terhadap KTI untuk sektor primer tetapi ketergantungannya tidak sebesar ketergantungan KTI terhadap KBI. Berdasarkan analisis simulasi, untuk mempercepat pembangunan di KTI dan sekaligus memperkecil disparitas ekonomi antar wilayah KBI dan KTI hanya mungkin terjadi apabila alokasi investasi pemerintah maupun swasta untuk KTI ditingkatkan yang disertai dengan desentralisasi dan pemberian otonomi daerah oleh pemerintah pusat, serta penciptaan iklim investasi yang kondusif serta dibukanya kesempatan perdagangan langsung untuk ekspor. Dalam studi ini, investasi harus diprioritaskan untuk membangun infrastruktur terutama fasilitas transportasi.

Dengan demikian, studi tentang disparitas antar wilayah kemudian banyak dilakukan dalam rangka mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah atau desentralisasi fiskal yang dilaksanakan sejak tahun 2001 dimana salah satu tujuan pelaksanaan otonomi tersebut adalah untuk memperkecil ketimpangan antar wilayah. Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa dengan adanya desentralisasi fiskal meningkatkan secara nyata kinerja fiskal daerah yang artinya meningkatkan dana pembangunan/investasi pemerintah daerah (Sartiyah, 2001; Riyanto, 2003; Pakasi, 2005; Sumedi, 2005). Peningkatan kinerja fiskal, disatu pihak, meningkatkan kinerja perekonomian daerah walaupun sebagian tidak secara signifikan (Wuryanto,1996; Sartiyah, 2001; Riyanto, 2003; Pakasi, 2005; Sumedi, 2005) dan di pihak lain memperbesar disparitas wilayah (Riyanto, 2003; Islam, 2003; Pardede, 2004; Sumedi, 2005; Dartanto dan Brodjonegoro, 2003; Waluyo, 2007; Fadjar dan Sembiring, 2008). Dampak desentralisasi fiskal yang kurang signifikan terhadap perekonomian daerah dan yang memperbesar ketimpangan

antar wilayah disebabkan sebagian besar APBD dialokasikan untuk anggaran rutin dan tidak ke anggaran pembangunan (Riyanto, 2003; Pardede, 2004; Sumedi, 2005); sistem perimbangan yang lebih menguntungkan daerah pusat bisnis dan kaya SDA (Riyanto, 2003; Sumedi, 2005; Waluyo, 2007) dan juga dalam alokasi anggaran pembangunan belum mempertimbangkan sektor unggulan/sektor kunci (Pardede, 2004). Oleh karena itu untuk memperkecil ketimpangan antar daerah, disarankan untuk memperbaiki formulasi alokasi DAU, realokasi anggaran rutin ke anggaran pembangunan (Riyanto, 2003; Sumedi, 2005; Waluyo, 2007) dan prioritas investasi ke sektor kunci (Pardede, 2004).

Bahwa desentralisasi fiskal berpotensi meningkatkan disparitas ekonomi antar wilayah, sudah diduga oleh studi Tambunan (1999). Menurut studi ini, tantangan program desentralisasi fiskal adalah memberi keuntungan lebih banyak kepada daerah yang kaya dan kurang memberi keuntungan pada daerah miskin. Oleh karena itu, selanjutnya studi ini menyarankan daerah untuk merespon program desentralisasi dengan benar melalui implementasi kerangka kebijakan ekonomi yang terbuka yang selayaknya terefleksi dalam sistem insentif, pengurangan regulasi, pengurangan hambatan investasi dan perdagangan.

Temuan Riyanto (2003) dalam studinya yang berjudul “Analisis Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian Daerah dan Pemerataan Pembangunan Wilayah di Indonesia” adalah bahwa adanya desentralisasi fiskal belum dapat memperbaiki pemerataan, tingkat ketimpangan antar provinsi semakin besar. Ukuran pemerataan pembangunan wilayah yang digunakan dalam studi ini adalah ukuran variasi PDRB per kapita antar daerah (provinsi) atau koefisien variasi dimana wilayah Indonesia didisagregasi menjadi 26 wilayah provinsi. Berdasarkan indikator koefisien variasi, tingkat ketimpangan antar

wilayah setelah adanya desentralisasi fiskal adalah sebesar 85.05 (tahun 2001) dan hasil simulasi dengan menggunakan model ekonometrika menunjukkan bahwa dana perimbangan dapat memperbaiki pemerataan pembangunan antar wilayah dan perbaikan pemerataan akan lebih baik apabila formula untuk mengalokasikan Dana Alokasi Umum (DAU) diterapkan secara konsisten karena simulasi alokasi DAU memberikan koefisien variasi yang paling kecil (63.0) dibandingkan simulasi alokasi bagi hasil (66.22) dan simulasi alokasi total dana perimbangan (63.88).

Hasil studi Sumedi (2005) menunjukkan bahwa implementasi kebijakan desentralisasi fiskal yang dimulai tahun 2001 berdampak meningkatkan kesenjangan antar daerah, meskipun pada tahun berikutnya terdapat kecenderungan menurun seiring dengan perbaikan formulasi DAU. Dalam studinya ini, Sumedi menggunakan pendekatan ekonometrika dan khusus untuk menganalisis ketimpangan wilayah digunakan indeks Williamson (CVw). Berdasakan indeks Williamson tersebut menunjukkan bahwa dengan diimplementasikannya desentralisasi fiskal, tingkat ketimpangan pendapatan perkapita antar provinsi di Indonesia adalah sekitas 0.2270; sementara tingkat