• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4. Dinamika Pekarangan

4.4.1. Dinamika Pekarangan Daerah Atas, Tengah, dan Bawah Hulu DAS Kalibekasi

Perbedaan ketinggian tempat ini dapat menyebabkan perbedaan agromikroklimat pada setiap tempat sehingga dapat mempengaruhi tanaman dan ternak yang cocok untuk dibudidayakan di daerah tersebut. Oleh karena itu, dinamika keanekaragaman hayati pertanian dapat ditemukan di daerah atas, tengah dan bawah hulu DAS Kalibekasi.

Berdasarkan struktur tanaman di pekarangan. Jumlah terbanyak terdapat pada strata pertama (<1 m) dan strata kelima (>10 m) di daerah. Sedangkan di daerah tengah didominasi strata pertama (<1 m) dan strata keempat (5-10 m) dan di daerah bawah didominasi strata pertama (<1 m) dan strata ketiga (2-5 m) (Gambar 18). Hal ini dikarenakan jumlah spesies tanaman industri, yang umumnya dalam bentuk pohon tinggi, lebih banyak ditemukan di daerah atas dibandingkan lokasi lainnya, contohnya adalah hampelas (Ficus ampelas) dan putat (Planchonia valida Bl.) (Tabel 14).

Daerah atas memiliki 51,92 % tanaman eksotis, tengah 45,16 % sedangkan bawah 49,33%. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat tren penurunan koleksi tanaman asli Indonesia di pekarangan sejalan dengan kenaikan ketinggian tempat (Tabel 17).

Tabel 17. Tanaman lokal di daerah atas, tengah dan bawah hulu DAS Kalibekasi

Lokasi Eksisting Asli Eksotis

Atas 104 50 48,08 % 54 51,92 %

Tengah 93 51 54,84 % 42 45,16 %

Bawah 75 38 50,67 % 37 49,33 %

Pembanding Kota 153 75 49,02 % 78 50,98 %

Sementara itu, sebaran spesies tanaman berdasarkan pemanfaatannya berbeda di setiap lokasi. Dari kedelapan fungsi tanaman tersebut, perbedaan jumlah spesies yang paling terlihat adalah tanaman sayur dan industri yang lebih banyak ditemukan di daerah atas dibandingkan daerah tengah dan bawah sedangkan jumlah spesies tanaman buah lebih banyak ditemukan di pekarangan daerah bawah, diikuti oleh atas dan tengah.

Hasil perhitungan indeks kekayaan spesies (Margalef index) menunjukkan bahwa nilai tertinggi dimiliki oleh daerah atas (15,64) dengan rentang nilai per pekarangan 3,10-8,36 diikuti oleh daerah tengah (14,02) dengan rentang nilai per pekarangan 1,08-6,31 dan daerah bawah (11,54) dengan rentang nilai perpekarangan 1,24-4,91, sementara nilai kekayaan spesies di perdesaan ini adalah 19,94 dengan rentang nilai per pekarangan 1,08-8,36 dengan hasil analisis statistik tidak berbeda nyata di semua lokasi. Hal ini menunjukkan bahwa kekayaan jenis di ketiga lokasi penelitian sangat tinggi (Tabel 18).

Tabel 18. Indeks kekayaan spesies (Margalef index) dan keragaman spesies (Shanon-Wiener index) tanaman di daerah atas, tengah dan bawah hulu DAS Kalibekasi Lokasi Margalef Shanon-Wiener Rata-rata per pekarangan Skala kampung Rata-rata per pekarangan Skala kampung Atas 4,98 (3,10-8,36) 15,6 2,55 (1,96-3,42) 3,78 Tengah 4,24 (1,08-6,31) 14 2,24 (0,69-2,92) 3,49 Bawah 3,39 (1,24-4,91) 11,5 2,1 (1,05-2,77) 3,41

Perhitungan indeks keragaman spesies (Shanon-Wiener index) menunjukkan bahwa nilai tertinggi dimiliki oleh daerah atas (3,78) dengan rentang nilai per pekarangan 1,96-3,42 diikuti oleh daerah tengah (3,49) dengan rentang nilai per pekarangan 0,69-2,92 dan daerah bawah (3,41) dengan rentang nilai per pekarangan 1,05-2,77. Sementara itu, nilai keragaman jenis di ketiga lokasi penelitian adalah 3,96 dengan rentang nilai per pekarangan 0,69-3,42 dengan analisis statistik tidak berbeda nyata di semua lokasi penelitian. Bila mengikuti standar indeks Shannon-Wiener pada agroforestri, maka keragaman

jenis di semua lokasi termasuk tinggi (H’>3). Hal ini sesuai dengan penelitian

yang telah dilakukan oleh Karyono (1981) dan Arifin (1997) yang menunjukkan bahwa pekarangan di Jawa Barat memiliki keragaman jenis tanaman yang tinggi

(H’>3).

Nilai rentang indeks kekayaan dan keragaman jenis per pekarangan jauh di bawah nilai indeks kekayaan dan keragaman jenis di setiap lokasi penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa setiap pekarangan tidak selalu memiliki koleksi tanaman yang sama. Kondisi ini mendukung terjadinya pertukaran hasil tanaman antar pekarangan sehingga hubungan antar anggota komunitas semakin erat.

Berdasarkan hasil analisis similaritas (Sørensen index), daerah atas dan tengah memiliki indeks similaritas 0,61; tengah dan bawah 0,61; sedangkan atas dan bawah 0,53. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat gap kesamaan spesies tanaman yang lebih luas antara hulu DAS Kalibekasi bagian atas dan bawah, sehingga dapat diasumsikan bahwa bagian tengah daerah hulu DAS Kalibekasi merupakan ekoton dari daerah atas dan bawah. Sementara itu, indeks similaritas antara perdesaan dan perkotaan adalah 0,49.

Dinamika ternak di ketiga lokasi menunjukkan bahwa daerah atas banyak membudidayakan ikan dibanding daerah tengah dan bawah. Hal ini ditandai dengan jumlah kolam di pekarangan daerah atas adalah yang terbanyak (33,33%). Banyaknya kolam di daerah atas berkaitan erat dengan ketersediaan air yang melimpah. Hal ini sudah terlihat dari 100% responden di daerah atas yang menggunakan air dari mata air untuk kelangsungan hidupnya.

4.4.2. Dinamika Pekarangan Berdasarkan Tingkat Urbanisasi

Pengaruh urbanisasi mulai banyak mempengaruhi kehidupan sosial di lokasi penelitian yang juga akan tercermin pada struktur pekarangan penduduknya. Laju urbanisasi mulai masuk setelah dibangun atau diperbaikinya jalan yang menghubungkan daerah urban ke lokasi penelitian. Bahkan terdapat akses angkutan umum menuju lokasi tersebut. Hal ini diperkuat pula dengan dekatnya setiap lokasi dengan pusat urbanisasi. Lokasi Cimandala bersebelahan hutan pinus dan pemandian air panas sebagai tempat wisata yang membuat warga Cimandala mudah mendapatkan contoh gaya hidup urban. Landeuh berdampingan dengan perumahan urban Sentul City yang menjadi model bentuk rumah dan pekarang bagi daerah rural di sekitarnya. Selain itu, Leuwijambe hanya sekitar 2 km dari pintu tol Jagorawi.

Pengaruh urbanisasi pada keanekaragamanan hayati pekarangan yang paling menonjol adalah masuknya tanaman hias di pekarangan. Sebanyak 38,56% dari 153 spesies yang ditemukan di pekarangan adalah tanaman hias. Tanaman hias ditanam di pekarangan untuk meningkatkan estetika rumah dan meningkatkan prestise pemilik rumah, bukan untuk komersial. Kehlenbeck et al. (2007) menyatakan bahwa pada tingkat urbanisasi yang lebih tinggi, pekarangan

pada umumnya lebih kecil dan didominasi oleh tanaman hias dan lebih memberikan prioritas kepada fungsi estetika dibanding fungsi produksi pangan. Dari wawancara dengan para narasumber, prestise ini biasanya lebih dirasakan oleh para ibu. Oleh karena itu, yang biasa memelihara tanaman hias ini adalah para ibu rumah tangga. Hal ini sesuai dengan penelitian Kumar and Nair (2004) yang menyebutkan bahwa menanam dan memelihara pekarangan mencerminkan budaya dan status dari pemilik rumah yang terutama dirasakan oleh para wanita pada masyarakat lokal.

Keberadaan tanaman hias ini sangat mempengaruhi keanekaragaman hayati dan struktur awal pekarangan penduduk karena pada umumnya tanaman hias yang ditanam di pekarangan merupakan tanaman eksotis. Penghuni rumah dan masyarakat sekitar pada umumnya tidak mengetahui nama tanaman hias

tersebut. Mereka hanya menyebutnya sebagai “kembang”, “bunga” atau “tanaman hias”, berbeda dengan tanaman lain yang memiliki nama lokal di lokasi penelitian. Tanaman lokal yang memiliki fungsi sebagai tanaman hias, pada umumnya memiliki fungsi utama lain. Saat wawancara, biasanya narasumber akan langsung memberitahu kegunaan tanaman tersebut. Contohnya adalah kumis kucing (Orthosiphon aristatus (Blume) Miq.) yang memiliki fungsi utama sebagai tanaman obat dan ganyong (Canna edulis) sebagai tanaman pangan yang diambil umbinya (pati) (Gambar 23).

Gambar 23. Tanaman hias yang memiliki fungsi utama bukan tanaman hias: kumis kucing (kiri) dan ganyong (kanan)

Keberadaan tanaman hias juga berpengaruh terhadap nilai regresi linear jumlah spesies terhadap luas pekarangan. Walau tren masih meningkat positif, namun garis lebih meningkat tajam karena nilai konstanta y lebih tinggi di daerah

Arafat, 2010 Dok. Pribadi, 2011

perdesaan namun di daerah perkotaan garis mendatar (Gambar 24). Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di Kerala, India. Peyre et al. (2006) menemukan bahwa proses modernisasi diantaranya menyebabkan penurunan keanekaragaman hayati pohon/semak dan peningkatan tanaman hias.

Gambar 24. Hubungan luas pekarangan (log m²) dan jumlah spesies dengan tanaman hias (kiri) dan tanpa tanaman hias (kanan) di hulu DAS Kalibekasi

Dinamika struktur vegetasi berdasarkan tingkat urbanisasi menunjukkan bahwa baik di desa maupun kota, persentase spesies terbanyak terdapat pada strata pertama (<1m). Namun, persentase terbanyak kedua di daerah perdesaan adalah pada strata kelima (>10 m) sedangkan di daerah perkotaan adalah pada strata keempat (5-10 m) (Gambar 25).

Gambar 25. Struktur vegetasi di daerah perdesaan dan perkotaan hulu DAS Kalibekasi 27,5% 17,6% 17,6% 15,7% 21,6 % 26,9% 14,3% 19,3% 20,2 % 19,3 % 0 5 10 15 20 25 30 <1 m 1 - 2 m 2 - 5 m 5 -10 m >10 m

Persentase spesies tanaman (%)

T ing g i ra ta -ra ta T a na m a n Dew a sa Kota Desa

Melengkapi struktur vegetasi, spesies dengan fungsi utama tanaman hias adalah yang paling banyak di daerah urban diikuti oleh jumlah spesies tanaman buah dan bumbu. Pola fungsi utama tanaman di daerah perkotaan ini sama dengan pola di daerah perdesaan (Tabel 15). Namun, tanaman dengan fungsi utama sebagai penghasil pati dan fungsi lainnya (penghasil pakan, kayu bakar, bahan kerajianan tangan dan peneduh) tidak ada. Kedua fungsi tersebut hanya muncul sebagai fungsi kedua dari spesies tanaman yang ditemukan contohnya adalah damar (Agathis dammara L. Rich) dan pinus (Pinus merkusii) yang merupakan tanaman industri.

Sementara itu, indeks kekayaan dan keragaman jenis menunjukkan bahwa

daerah rural memiliki variasi tanaman yang lebih tinggi (DMg = 19,94; H’= 3,96) dibandingkan dengan daerah urban (DMg = 15,58, H’= 3,64) (Tabel 19). Namun, nilai indeks keragaman di daerah urban tersebut masih masuk ke dalam kategori

tinggi (H’>3). Data kekayaan dan keragaman hayati pada skala pekarangan

menunjukkan bahwa nilai rata-rata di keduanya tidak berbeda jauh. Perbandingan similaritas spesies di daerah rural dan urban menunjukkan level sedang, yaitu 0,49 (range Sørensen Index adalah 0 sampai 1).

Tabel 19. Indeks kekayaan spesies (Margalef index) dan keragaman spesies (Shanon-Wiener index) tanaman di daerah perkotaan dan perdesaan hulu DAS Kalibekasi

Lokasi Margalef Shanon-Wiener Rata-rata per pekarangan Skala kampung Rata-rata per pekarangan Skala kampung Desa 4,2 (1,08-8,36) 19,9 2,3 (0,69-3,42) 3,96 Kota 4,26 (2,20-6,24) 15,6 2,32 (1,24-2,98) 3,64

4.5. Rekomendasi Pola Pekarangan untuk Konservasi Keanekaragaman