• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Sosial Budaya 1966—2006

Dalam dokumen MAJALAH SASTRA JAWA MASA KEMERDEKAAN 201 (Halaman 33-40)

BAB II DINAMIKA SOSIAL BUDAYA SEBELUM DAN

2.2 Dinamika Sosial Budaya 1966—2006

Sejak terbitnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966 dan disusul dengan pembubaran PKI beserta ormas-ormas underbouw-nya sehari sesudahnya (12 Maret 1966), kehidupan politik mulai mereda. Peristiwa keluarnya Super Semar 1966 itu menandai berakhirnya era Orde Lama di bawah kekuasaan Soekarno ke era Orde Baru di bawah kendali Soeharto (Poepone- goro dan Notosusanto, 1990:413). Peralihan kekuasaan itu diku- kuhkan dengan dibacakannya pengumuman (tentang) penyerah- an kekuasaan dan pemerintahan kepada pengemban Surat Perintah Sebelas Maret (1966), Jenderal Soeharto, oleh Soekarno di Istana Negara pada tanggal 23 Februari 1967.

Pembubaran PKI dan ormas-ormas (pendukung)-nya pada tanggal 12 Maret 1966 amat melegakan masyarakat, termasuk budayawan, seniman, dan sastrawan yang pernah dizalimi oleh Lekra dan LKN. Kebetulan, kala itu (1966) roman picisan sedang mencapai puncak eksplosinya. Oleh karena di antara roman- roman tersebut dinilai tidak mendidik dan dipandang sangat membahayakan generasi muda, maka pihak kepolisian melaku- kan penertiban dengan nama Opterma (Operasi Tertib Remaja). Dalam kegiatan Opterma itu dapat disita 57 judul roman picisan, 21 di antaranya merupakan roman picisan berbahasa Jawa. Berita penyitaan roman-roman picisan berbahasa Jawa itu kemudian dimuat dalam Mekar Sari Nomor 23/X/1 Februari 1967. Akibat penyitaan itu, para pengarang lebih berhati-hati dalam berkarya, sedangkan para penerbit lebih selektif dalam memproduksi buku-buku bacaan, khususnya fiksi, apalagi subsidi kertas dicabut pada tahun 1966. Dampaknya, penerbitan roman picisan semakin menurun dan mencapai tahap penurunannya secara drastis sejak tahun 1969 (Widati dkk., 2001b:123—124).

Bagi pengarang dan pemerhati sastra Jawa, pasca pem- bubaran PKI (dan antek-anteknya) merupakan saat yang amat menggembirakan karena tidak lagi dizalimi oleh Lekra dan LKN. Namun, di balik itu ada hal lain yang merisaukan terkait dengan

penyitaan sejumlah roman picisan yang pernah beredar. Oleh karena itu, (masih) dalam suasana berlangsungnya operasi ke- amanan dan ketertiban, Sanggar Bambu 59 pimpinan Sunarto Pr. memprakarsai penyelenggaraan Sarasehan Pengarang Sastra Jawa di Yogyakarta pada tanggal 24—27 Agustus 1966. Sarasehan itu diselenggarakan dengan tujuan untuk menjaga mutu karya sastra dan mengendalikan arus besar roman picisan yang telah menguasai pasar sejak sebelum tahun 1966, di samping untuk mengembalikan independensi atau kebebasan (berekspresi) para pengarang agar mereka tidak dijadikan alat propaganda oleh kelompok politik tertentu. Sarasehan itu, akhirnya, berhasil men- dirikan Organisasi Pengarang Sastra Jawa (OPSJ) tingkat nasional (pusat) dan tingkat daerah (komisariat). OPSJ tingkat nasional diketuai Sudharma K.D., sedangkan OPSJ tingkat daerah terdiri atas OPSJ Komisariat Daerah Istimewa Yogyakarta diketuai M. Tahar, OPSJ Komisariat Jawa Tengah diketuai N. Sakdani, OPSJ Komisariat Jawa Timur diketuai Esmiet, dan OPSJ Komisariat Jawa Barat merangkap DKI Jakarta diketuai Trim Sutidja.

Sebagai tindak lanjut didirikannya OPSJ tingkat pusat dan tingkat daerah tersebut, OPSJ Komisariat Jawa Tengah me- nyelenggarakan pertemuan pada tanggal 16 Oktober 1966 di Surakarta untuk membentuk pengurus secara lengkap dan me- nentukan alamat sekretariat, yaitu di Baluwarti RT 14/19, Sura- karta. Selanjutnya, pada tanggal 19—20 November 1966 diseleng- garakan Musyawarah Kerja di Surakarta pula. Hasilnya, antara lain, berupa “keputusan dalam bidang operasional, bidang orga- nisasi, dan bidang peningkatan mutu”, serta melahirkan “Kode Etik Pengarang” yang diberi nama “Sad-Marga Pengarang”. Realisasi keputusan itu, antara lain dapat menembus mingguan Andika (pimpinan Ma Si Sen) untuk membuka rubrik bahasa Jawa bernama “Pisungsung” dan mingguan Gelora Berdikari (pimpinan H.S. Sumarjono) untuk membuka rubrik yang sama bernama “Sekar Rinonce”, mengadakan kursus “kesusastraan” dan “bahasa asing” setiap malam Sabtu di rumah Atmoweradi (yang dikoor-

dinasi oleh Mt. Soepardi), dan menembus CV Sasongko untuk menerbitkan majalah sastra Jawa bernama Gumregah (terbit pertama tanggal 31 Januari 1967). Gumregah merupakan majalah sastra Jawa yang pertama kali terbit setelah OPSJ terbentuk, 1966.

Sebagaimana OPSJ Komisariat Jawa Tengah, OPSJ Komi- sariat Jawa Timur dapat menyelenggarakan pertemuan di Kali- setail, Genteng, Banyuwangi, pada tanggal 20 November 1966. Sementara itu, dua OPSJ komisariat yang lain (DIY dan Jawa Barat/DKI Jakarta) tidak diketahui kapan penyelenggaraan pertemuannya. Namun, dalam perkembangannya, pengurus OPSJ (tingkat pusat dan daerah) secara organisatoris tidak dapat berjalan, hanya personal-personalnyalah yang mengadakan aktivitas. Misalnya, Arswendo Atmowiloto, Moch Nursyahid P., dan Poer Adhie Prawoto diminta untuk membantu berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT), pimpinan S.D. Humardani di Surakarta, Susilomurti di Jakarta dapat menerbitkan mingguan kemudian menjadi majalah Kemandhang dan Sekar Jagad yang selanjutnya (sebagai pengelola Kemandhang) dapat bekerja sama dengan Fakultas Sastra Universitas Indonesia untuk menyeleng- garakan Sarasehan Pengarang Sastra Jawa pada tanggal 12—14 November 1976, serta Muryalelana (selaku Pemimpin Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Daerah Jawa Tengah) dapat mener- bitkan majalah Pustaka Candra (Januari 1981) dan menyelenggara- kan Sarasehan Sastra Jawa di Ungaran pada tanggal 12—14 November 1982 dengan hasil, antara lain, berupa pembentukan Pengurus OPSJ Antarwaktu yang diketuai oleh Susilomurti (Hutomo, 1997:5—14).

Di bidang pers, ketika terjadi penurunan penerbitan ro- man picisan secara drastis pada tahun 1969, pers berbahasa Jawa mulai bermunculan. Misalnya, Kembang Brayan (1969—1971), Djaka Lodang (1971), dan Cendrawasih (majalah sastra, 1975) di Yogya- karta; Dharma Kanda (1968); Dharma Nyata (1971), dan Parikesit

(1972) di Surakarta; serta Kunthi (1972) dan Kemandhang (1973) di Jakarta (Hutomo, 1975:17; Ras, 1985:27; Quinn, 1995:34—35). Terbitnya beberapa pers berbahasa Jawa itu, antara lain, dapat dimanfaatkan sebagai sarana penyampaian informasi ke desa- desa, apalagi ketika itu Pemerintah Orde Baru sedang menca- nangkan strategi pembangunan secara bertahap dalam lima tahun yang disebut pelita (pembangunan lima tahun) berdasarkan Kepres Nomor 319/1969 (Harnoko dkk., 2003:76—77). Strategi itu melahirkan konsep pembangunan yang mengarah ke pem- bangunan pedesaan sehingga muncul tiga tipologi desa, yaitu swadaya, swakarsa, dan swasembada. Konsep tersebut dinilai tepat karena kala itu sebagian besar (73,8%) masyarakat desa masih berada di bawah garis kemiskinan. Sesuai dengan tipologi desa tersebut, pemerintah berusaha meningkatkan tarap hidup rakyat dengan menerapkan program Bimas, Inmas, Padat Karya, Bantuan Desa, Bantuan Kabupaten, Kredit Candak Kulak, Kre- dit Investasi Kecil, dan lain-lain. Hasilnya membuktikan bahwa kondisi masyarakat Indonesia pada tahun 1970-an—1980-an lebih baik daripada kondisi masyarakat pada masa Orde Lama. Bah- kan, pada tahun 1980-an, Indonesia berhasil mencapai swasem- bada beras.

Peranan pers berbahasa Jawa dalam memasyarakatkan program pemerintah dapat berjalan dengan baik. Namun, bagi pers berbahasa Jawa yang mampu bertahan setelah pencabutan subsidi kertas tahun 1966, dan mulai berbenah diri (dari segi penampilannya) pada tahun 1969, seperti Panyebar Semangat, Jaya Baya, dan Mekar Sari, mengalami kesulitan untuk berkembang, terutama dari segi penjualan. Misalnya, pada tahun 1969, Panyebar Semangat hanya bertiras 35.000 eksemplar setiap terbit, Jaya Baya bertiras 4.500 eksemplar, dan Mekar Sari bertiras 4.500 eksemplar (Widati dkk., 2001b:137), jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan penerbitan pada awal tahun 1960-an (lihat Widati dkk., 2001b:122). Ketidakmampuan berkembang juga dialami oleh pers berbahasa Jawa yang belum lama dan atau baru saja terbit,

bahkan ada yang tidak mampu mempertahankan diri. Contoh- nya adalah majalah sastra Gumregah (1967) dan Cendrawasih (1975), majalah anak-anak Si Glathik (1967), pers umum Merdika (1967), Kunthi (1969), Kembang Brayan (1969), Kemandhang (1973), dan Dharma Kanda (1968); sedangkan Praba sejak awal Orde Baru lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia dan Dharma Nyata (1971) kemudian beralih menggunakan bahasa Indonesia.

Timbul tenggelamnya pers berbahasa Jawa bukanlah hal yang aneh, meskipun terjadi dalam suasana sedang digalak- kannya “pembangunan” di segala bidang, karena keberlangsung- an hidup pers tersebut amat bergantung pada kemampuan pengelolanya. Dengan jargon “pembangunan”, Pemerintah Orde Baru berusaha melancarkan perbaikan di segala bidang sehingga situasi dan kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya dapat dikendalikan. Dikemukakan oleh Ricklefs (1995:433) bahwa sejak semula Pemerintah Orde Baru berupaya menjalankan kebijakan- kebijakan stabilisasi dan pembangunan ekonomi, menyandarkan legitimasi pemerintah pada kemampuan meningkatkan kesejah- teraan sosial dan ekonomi rakyat. Kesejahteraaan rakyat di bidang ekonomi dan pangan mendorong pula peningkatan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan. Di berbagai kota, bahkan di desa-desa, didirikan sekolah dasar (SD) Inpres, serta di sejumlah kecamatan dibangun SLTP dan SLTA. Dampaknya, jumlah penduduk yang melek huruf meningkat tajam. Peningkatan itu diikuti oleh jumlah penduduk yang mampu menggunakan bahasa Indonesia. Misalnya, dalam satu dasa warsa telah terjadi pe- ningkatan dari 40,8% pada tahun 1971 menjadi 61,4% pada tahun 1980. Persentase itu terus meningkat dengan diberlakukannya kurikulum 1975 yang meniadakan bahasa daerah sebagai mata pelajaran wajib sehingga semakin memperkokoh kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Sebaliknya, kehidupan bahasa daerah semakin terpuruk karena jumlah pemakai dan pemakaiannya semakin menurun. Bahkan, dari sekitar 740 bahasa

daerah di Indonesia, beberapa di antaranya ada yang punah karena tidak ada lagi pemakainya.

Keterpurukan bahasa daerah, khususnya bahasa Jawa, juga dipicu oleh anggapan bahwa bahasa (dan sastra) tersebut tidak menjanjikan masa depan yang menggembirakan. Oleh karena itu, meskipun sudah ada perbaikan-perbaikan kurikulum yang menempatkan bahasa, sastra, dan budaya Jawa sebagai mata pelajaran muatan lokal wajib di semua jenjang pendidikan dasar dan menengah dalam Kurikulum 2004, misalnya, kepedulian masyarakat terhadap bahasa, sastra, dan budaya daerahnya masih (jauh) belum memenuhi harapan. Dengan demikian, seiring dengan makin pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi (media massa cetak dan elektronika), bahasa Indonesia menjadi makin populer. Kepopuleran itu ditunjang oleh bergulirnya kebebasan berekspresi sejak era reformasi (1998)—berkenaan dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru akibat sifat otori- ternya dan merajalelanya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)— sehingga memperteguh kedudukan bahasa Indonesia. Sementara itu, pers berbahasa Jawa makin ditinggalkan oleh masyarakat komunitas bahasa daerah tersebut sehingga ada beberapa maja- lah yang terbit, tidak lama kemudian hilang dari peredaran. Misalnya, Panakawan (1990), Prasasti (1993), Jawa Anyar (1993), Cantrik (2001), Parikesit (2004), Kabar Saka Tlatah Jati (2004), Damar Jati (2005), dan Jawa Nilakandhi (2005). Berikut diberikan contoh beberapa sampul pers umum berbahasa Jawa diikuti dengan contoh beberapa sampul pers khusus berbahasa Jawa.

Dalam dokumen MAJALAH SASTRA JAWA MASA KEMERDEKAAN 201 (Halaman 33-40)

Dokumen terkait