• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAJALAH SASTRA JAWA MASA KEMERDEKAAN 201

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAJALAH SASTRA JAWA MASA KEMERDEKAAN 201"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Slamet Riyadi

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA

(3)

MAJALAH SASTRA JAWA MASA KEMERDEKAAN (1945—2006)

Slamet Riyadi

Penyunting Tirto Suwondo

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Diterbitkan pertama kali oleh:

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA BALAI BAHASA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Jalan I Dewa Nyoman Oka 34 Yogyakarta 55224

Telepon (0274) 562070, Faksimile (0274) 580667 Laman www.balaibahasa.org

Cetakan Pertama

November 2013

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

MAJALAH SASTRA JAWA MASA KEMERDEKAAN (1945—2006), Slamet Riyadi, Yogyakarta: Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2013

(viii, 106hlm.; 21cm) ISBN 978-602-777-761-3

Sanksi Pelanggaran Pasal 72, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak m elakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(4)

PENGANTAR KEPALA BALAI BAHASA

PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Sebagai salah satu Unit Pelaksana Tugas Kementerian Pendi-dikan dan Kebudayaan yang bertanggung jawab langsung ke-pada Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Balai Bahasa Provinsi DIY hingga saat ini tetap menjalankan visi dan misi sebagaimana telah ditentukan, yakni menjadi pusat infor-masi yang lengkap dan menjadi pelayan prima di bidang kebaha-saan dan kesastraan di Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Oleh sebab itu, salah satu misi yang dilakukan adalah mengembangkan bahan informasi keba-hasaan dan kesastraan, baik Indonesia maupun daerah (Jawa). Dengan visi dan misi yang demikian, Balai Bahasa Provinsi DIY berharap agar bahan informasi kebahasaan dan kesastraan itu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam rangka pembinaan, pengembangan, dan pelindungan bahasa dan sastra di Indonesia seperti yang diamanatkan di dalam Undang-Undang No. 24 Ta-hun 2009 dan Permendikbud Nomor 20 TaTa-hun 2012.

(5)

dan penyebarluasan majalah sastra Jawa periode 19452006 dan peranannya dalam pembinaan dan pengembangan sastra Jawa, yang bermanfaat bagi sejarah perkembangan sastra Jawa.

Kami sampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh tim kerja, baik penulis, penilai, penyunting, maupun panitia pener-bitan sehingga buku ini siap dibaca oleh khalayak (masyarakat). Harapan lainnya mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi semua pihak.

Yogyakarta, November 2013

(6)

Rasa syukur dipanjatkan ke hadirat Allah Yang Mahakuasa bahwa berkat limpahan hidayah-Nya tulisan hasil penelitian Majalah Sastra Jawa Masa Kemerekaan (1945—2006) ini dapat diselesaikan. Terwujudnya tulisan (hasil penelitian) ini didasari oleh kesungguhan hati serta keterbukaan untuk menerima masukan dan bantuan dari berbagai pihak.

Berkenaan dengan selesainya tulisan ini, ucapan terima kasih disampaikan kepada Pimpinan yang telah mendisiplinkan pelaksanaan program penelitian mandiri. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada rekan seprofesi yang secara tulus memberikan sumbang saran yang sangat berharga sehingga tulisan ini dapat diwujudkan. Demikian pula, ucapan terima kasih disampaikan kepada teman pustakawan dan staf perpustakaan Balai Bahasa Yogyakarta (Bu Suspri, Bu Almi, Bu Susam, Bu Parminah, dan Bapak Bariyono) yang selalu terganggu dan siap menyediakan buku, majalah, dan dokumen lain yang diperlukan, serta Mas Sardi yang dengan tekun telah turut terlibat dalam penyusunan tulisan ini. Mudah-mudahan kebaikan dan ketulusan hati beberapa pihak tersebut mendapatkan limpahan pahala dari Allah Yang Mahakasih.

Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pem-baca, meskipun hanya sangat kecil. Sangat disadari bahwa tulisan

(7)

ini masih banyak kekurangannya. Sehubungan dengan itu, sumbang saran sangat diharapkan untuk penyempurnaan tulisan ini.

Yogyakarta, November 2013

(8)

PENGANTAR KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ... iii

PRAKATA PENULIS ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II DINAMIKA SOSIAL BUDAYA SEBELUM DAN SESUDAH PROKLAMASI KEMERDEKAAN ... 13

2.1 Dinamika Sosial Budaya 1930—1966 ... 13

2.2 Dinamika Sosial Budaya 1966—2006 ... 24

BAB III PROFIL MAJALAH SASTRA JAWA 1945—2006 .. 31

3.1 Pustaka Roman ... 31

3.2 Crita Cekak ... 35

3.3 Kekasihku ... 44

3.4 Cenderawasih (1957) ... 50

3.5 Candra Pustaka Panglipur ... 53

3.6 Candrakirana ... 55

3.7 Kembang Brayan ... 59

3.8 Gumregah ... 64

3.9 Cendrawasih (Edisi Khusus Djaka Lodang) ... 69

3.10 Langite Isih Biru ... 72

(9)

3.11 Baluwarti ... 74 3.12 Rara Jonggrang ... 76 3.13 Crita Cekak (Lampiran Panyebar Semangat) ... 76 3.14 Pagagan ... 78 3.15 Kabar saka Tlatah Jati ... 81 3.16 Tunggak Semi ... 83

BAB IV PERKEMBANGAN MAJALAH SASTRA JAWA 1945—2006 DAN PERANANNYA DALAM

PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN SASTRA JAWA ... 87

4.1 Perkembangan Majalah Sastra Jawa

1945—2006 ... 87 4.2 Peranan Majalah Sastra Jawa 1945—2006 dalam

Pembinaan dan Pengembangan Sastra Jawa ... 96

BAB V PENUTUP ... 99

(10)

Pers berbahasa Jawa telah terbit sejak tahun 1855. Pers berbahasa Jawa yang terbit pada tahun itu adalah mingguan (umum) Bramartani (25 Januari 1855) dan jurnal (umum dua bu-lanan) Puspita Mancawarni. Kedua pers umum itu diterbitkan oleh Hartevelt lan Sadherekipun ‘Hartevelt dan Saudaranya’ di Surakarta (Tjokrosisworo, 1960; bdk. Soepardi, 1961:40; Hutomo, 1975:9; Molen, 1996). Akan tetapi, kedua pers itu tidak mampu bertahan karena mengalami kesulitan dalam penjualan. Bramartani hanya terbit sampai dengan bulan Desember 1856, sedangkan Puspita Mancawarni hanya mampu terbit sekali. Meskipun tidak berumur panjang, kedua pers itu amat berjasa dalam memperkenalkan dan mengembangkan sastra Jawa melalui rubrik-rubriknya (Adam, 1995:18—19).

Sepeninggal kedua pers tersebut, bermunculan pers ber-bahasa Jawa lainnya, baik yang bersifat umum maupun khusus (kebudayaan, keagamaan, kerajaan, pendidikan, wanita, anak-anak, bahasa dan sastra, serta sastra). Sejak tahun 1855 hingga 2010 setidaknya telah terbit 100 pers berbahasa Jawa. Pers se-jumlah itu secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu 49 pers umum dan 51 pers khusus. Pers khusus yang berjumlah 51 buah itu dapat dikelompokkan menjadi 8 buah pers kebudayaan, 5 buah pers keagamaam, 3 buah pers kerajaan, 6 buah pers pendidikan, 2 buah pers wanita, 5 buah pers

anak-BAB I

(11)

anak, 5 buah pers bahasa dan sastra, serta 17 buah pers sastra. Namun, sebagaimana Bramartani dan Puspita Mancawarni, kehi-dupan pers berbahasa Jawa yang muncul kemudian juga meng-alami nasib serupa, yakni mengmeng-alami timbul tenggelam dan pasang surut. Di antara pers khusus, ada majalah Hudaya yang terbit di Surakarta pada tahun 1932. Majalah itu dapat dikategori-kan sebagai embrio majalah sastra Jawa karena belum sepenuhnya memiliki kriteria sebagai majalah sastra Jawa. Jika dilihat dari segi penyajiannya, majalah tersebut lebih mengutamakan tulisan-tulisan dalam bidang pendidikan (agama Islam) sehingga dapat digolongkan sebagai majalah pendidikan. Akan tetapi, jika dilihat dari segi penampilannya, sajian itu dikemas dalam bentuk primbon, padahal primbon merupakan salah satu jenis atau genre sastra Jawa (Subalidinata, 1985:52—57; bandingkan Sedyawati dkk., 2001:284—303). Penerbitan majalah itu diprakarsai oleh Pangreh Komite Pasinaon (suatu institusi semacam “pengurus ba-dan kerja sama lembaga pendidikan”). Majalah itu dicetak oleh Penerbit Melati di Surakarta. Nasib majalah itu pun termasuk yang tidak mampu bertahan lama akibat himpitan situasi sosial, ekonomi, dan politik kala itu.

(12)

Sejak pendudukan Jepang, penerbitan majalah sastra Jawa mengalami kevakuman cukup lama. Baru pada bulan April 1953, terbit majalah sastra Jawa Pustaka Roman di Surabaya. Majalah itu dipimpin oleh Soebagijo Ilham Notodidjojo dan dibantu, antara lain, oleh R.M. Bintarti, Any Asmara, dan Poerwadhie Atmodihardjo. Pada tahun berikutnya (1955) di kota yang sama terbit pula majalah sastra Crita Cekak. Majalah itu dipimpin oleh Soebagijo Ilham Notodidjojo, seorang jurnalis sekaligus penga-rang sastra Jawa dan redaktur yang cukup tangguh. Majalah itu merupakan majalah sastra Jawa yang berkualitas sehingga mam-pu melahirkan cerpenis-cerpenis yang potensial, di antaranya Ny. Nugraha, Sukandar S.G., St. Iesmaniasita, Susilomurti, Trim Sutidja, Esmiet, Tamsir A.S., Argarini, dan Rachmadi K. Dampak positif itu pada gilirannya menimbulkan anggapan bahwa maja-lah tersebut berhasil menelorkan suatu angkatan dalam sastra Jawa modern yang disebut “Angkatan Crita Cekak” (Hutomo, 1975:46). Selanjutnya, pada tahun 1956 terbit majalah sastra Jawa Kekasihku di kota yang sama, dipimpin oleh Satim Kadarjono. Di samping sajian roman-roman populer, majalah itu juga me-nyediakan ruang yang agak longgar bagi guritan yang masih jarang dilakukan oleh majalah bahasa Jawa lainnya. Selain ketiga majalah tersebut, hingga tahun 2006 di kota Surabaya juga terbit majalah sastra Jawa Gotong Royong (1963). Dengan demikian, hingga tahun 1967, kota Surabaya sebagai kota (pahlawan) setidak-nya telah ketempatan lahirsetidak-nya empat majalah sastra Jawa. Namun, majalah-majalah itu tidak mampu bertahan lama karena lingkung-an sosial, politik, dlingkung-an ekonomi ylingkung-ang kurlingkung-ang menguntungklingkung-an.

(13)

Pustaka Panglipur ditangani oleh Widi Widajat, Any Asmara, Sri Hadidjaja, dan Sudharma K.D. Majalah Candrakirana dikelola oleh Widi Widayat, Any Asmara, Iesmaniasita, Susilamurti, Sut W.S., Sri Hadidjaja, Hardjana H.P., dan lain-lain. Gumregah ditangani oleh Mt. Soepardi, Widi Widayat, Achmad D.S., N. Sakdani, dan lain-lain. Sementara itu, Baluwarti dipimpin oleh Poer Adhie Parwoto. Namun, sebagaimana majalah-majalah sebelumnya, khususnya majalah sastra Jawa yang terbit di Surabaya, empat majalah sastra Jawa yang terbit di Surakarta pasca-proklamasi kemerdekaan itu tidak mampu menghadapi tantangan zaman sehingga usianya tidak berlangsung lama.

Sejak bulan Februari 1957 hingga 2006 di Yogyakarta terbit enam buah majalah sastra Jawa, yaitu Cenderawasih (Februari 1957), Kembang Brayan (1967), Cendrawasih (1975), Rara Jonggrang (1983), Pagagan (1993), dan Tunggak Semi (2006). Majalah Cenderawasih dikelola oleh Mohamad Supardi, Darmosugito, S. Dwidjoatmodjo, Sri Handajakusuma, Hadisukatno, dan lain-lain. Sementara itu, majalah Kembang Brayan dibidani oleh Any sekali-gus sebagai pemimpin redaksi, dibantu oleh staf redaksi, yaitu Kandung Supatnowijono, Kartijah, dan Sri Pudyastuti. Kedua majalah itu kebanyakan menampilkan roman-roman populer juga. Dapat diperkirakan bahwa dalam perkembangannya maja-lah Cenderawasih (1957) menjelma menjadi edisi khusus majalah Djaka Lodang yang diberi nama Cendrawasih (1975), sedangkan majalah sastra Jawa Kembang Brayan (1967) berubah menjadi koran umum Kembang Brayan (1969).

(14)

‘semangat’ untuk melakukan sesuatu demi kebaikan. Untuk itulah, atas prakarsa Sanggar Bambu di Yogyakarta, para penga-rang sastra Jawa dan pemerhati bahasa dan sastra Jawa mengada-kan sarasehan pada tanggal 24—27 Agustus 1966. Sarasehan itu, antara lain, berhasil mendirikan Organisasi Pengarang Sastra Jawa (OPSJ) tingkat pusat yang diketuai oleh Sudharma K.D., serta tingkat daerah, yaitu OPSJ Komisariat Jawa Timur dengan ketua Esmiet, OPSJ Komisariat Jawa Tengah dengan ketua N. Sakdani, OPSJ Komisariat Daerah Istimewa Yogakarta dengan ketua M. Tahar, dan OPSJ Komisariat Jawa Barat merangkap DKI Jakarta dengan ketua Trim Soetedjo. Dengan didirikannya organisasi tersebut, diharapkan kualitas sastra Jawa mengalami peningkatan dan kesejahteraan pengarangnya pun lebih baik. Untuk mencapai harapan itu, Pengurus OPSJ Komisariat Jawa Tengah yang bermarkas di Surakarta, antara lain dapat menerbit-kan majalah sastra Jawa Gumregah (1967). Namun, majalah—yang diharapkan menjadi kebanggaan—itu kandas di tengah jalan se-hingga menimbulkan kevakuman yang cukup lama. Sementara itu, di Yogyakarta pada awal 1957 terbit majalah Cenderawasih dan pada 1967 terbit majalah sastra Jawa Kembang Brayan. Ma-jalah sastra Jawa Cenderawasih dan Kembang Brayan itu diawali oleh terbitnya roman saku Cendrawasih (±1959) dan beberapa roman saku serial Kembang Brayan (±1966).

Berkenaan dengan terbitnya sejumlah majalah sastra Jawa 1945—2006 tersebut, penelitian pers khusus sastra Jawa perio-de itu dilakukan. Sehubungan perio-dengan penelitian itu, ada bebe-rapa penelitian serupa yang pernah dilakukan, antara lain seba-gai berikut.

(15)

(2) “Majalah Sastra Jawa dan Lingkungan Pendukungnya” oleh Slamet Riyadi (2002). Penelitian itu merupakan lanjutan penelitian pertama yang lebih memfokuskan pada sistem makro-sastra (sistem pengarang, penerbit dan penyebar-luasan, pembaca, dan pengayom).

(3) “Majalah Sastra Jawa Pasca-Berdirinya OPSJ (1966—2008)” oleh Slamet Riyadi (2009). Penelitian itu, antara lain meng-angkat dinamika sosial budaya yang melingkupinya; profil, perkembangan, dan peranannya dalam pembinaan dan pe-ngembangan sastra Jawa, serta sistem penerbitan dan penye-barluasannya.

(4) “Perkembangan Pers Berbahasa Jawa Pasca-Berdirinya OPSJ (1966—2008)” oleh Slamet Riyadi dkk. (2009). Penelitian itu mengangkat seluruh pers berbahasa Jawa periode 1966—2008 dengan sistematika seperti yang tertuang dalam penelitian butir (3) di atas.

Oleh karena penelitian itu dipandang belum mencakupi seluruh majalah sastra Jawa, pada tahun 2010 dilakukan pene-litian yang sasarannya lebih khusus pada majalah sastra Jawa 1945—2006. Penelitian—yang diberi judul “Majalah Sastra Masa Kemerdekaan (1945—2006)”—itu diharapkan dapat melengkapi hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2009.

Dalam penelitian Majalah Sastra Jawa Masa Kemerdekaan (1945—2006), ada beberapa masalah yang perlu diungkap dan dibahas untuk memperoleh hasil yang dapat dipertanggung-jawabkan. Beberapa masalah itu, antara lain sebagai berikut. (1) Motivasi apa yang melatarbelakangi penerbitan majalah sastra

Jawa masa kemerdekaan (1945—2006)?

(2) Bagaimana kehidupan majalah sastra Jawa periode 1945— 2006 itu?

(3) Bagaimana sistem penerbitan dan penyebarluasannya? (4) Bagaimana peranan majalah itu dalam pembinaan dan

(16)

(5) Genre apa saja yang ditampilkan dalam majalah sastra Jawa periode tersebut?

Penelitian Majalah Sastra Jawa Masa Kemerdekaan (1945—2006) ini dilakukan dengan tujuan untuk mengungkap berbagai feno-mena dan sistem penerbitan dan penyebarluasan majalah sastra Jawa periode 1945—2006 dan peranannya dalam pembinaan dan pengembangan sastra Jawa. Fenomena dan sistem itu, antara lain, mencakupi keberlangsungan hidup majalah sastra Jawa periode 1945—2006 dan penyebarluasannya. Sementara itu, genre sastra Jawa yang ditampilkan majalah tersebut antara lain dapat berupa cerita pendek, novelet, cerita bersambung atau novel, guritan, dan macapat.

Jika dilihat dari segi kepentingan, penelitian ini mempu-nyai dua tujuan pokok, yaitu tujuan praktis dan tujuan teoritis. Tujuan praktis yang dimaksud berupa hasil penelitian yang da-pat menambah wawasan yang lebih luas bagi pembaca tentang majalah sastra Jawa. Pada gilirannya, hasil penelitian itu diharap-kan dapat meningkatdiharap-kan apresiasi masyarakat terhadap sastra Jawa. Sementara itu, tujuan teoritis dalam penelitian ini berupa penerapan salah satu aspek sosiologi sastra, yakni penerapan sistem penerbitan dan penyebarluasan majalah sastra Jawa. Di samping itu, tujuan teoritis juga dapat memotivasi dan merang-sang dilakukannya penelitian-penelitian yang relevan dengan beberapa macam kerangka pendekatan atau teori sehingga diperoleh hasil penelitian yang dapat memperkaya khazanah penelitian sastra Jawa.

(17)

penye-barluasannya. Dari cakupan pembahasan itu dapat dirancangkan sistematika penyusunan hasil penelitian, seperti yang tertuang dalam akhir bab I ini.

(18)

me-lalui mitra kerja (agen dan toko) maupun eceran di tempat-tempat tertentu. Hal yang juga penting untuk mencapai keberhasilan yang diinginkan ialah bahwa penerbit harus dapat menjalin hubungan (kerja sama) dengan penulis-penulis handal yang sewaktu-waktu dapat diminta tulisannya, menggarap konsumen dengan rangsang-an-rangsangan sesuai dengan selera mereka, memotivasi kelom-pok-kelompok spesialisasi tertentu, serta harus dapat mempelajari mekanisme pasar (Escarpit, 2005:75—86).

Terkait dengan penerbitan pers (media massa) berbahasa Jawa, tidak dapat dipungkiri bahwa penerbitan itu lebih didasari oleh idealisme semata, tanpa memperhatikan pentingnya penye-barluasan (bandingkan Damono, 2002:34). Faktor idealisme yang dijadikan dasar semata-mata ingin nguri-uri lan ngipuk-ipuk ’mem-bina dan mengembangkan’ bahasa dan sastra Jawa, lebih-lebih dalam penerbitan majalah khusus, seperti majalah sastra Jawa (Pustaka Roman, Crita Cekak, Kekasihku, Cenderawasih, Candra Pustaka Panglipur, Candrakirana, dan Kembang Brayan). Oleh karena faktor penyebarluasan atau pemasaran cenderung diabaikan, kebanyak-an pers berbahasa Jawa (termasuk majalah sastra Jawa) meng-alami timbul tenggelam dan pasang surut sehingga jarang dapat bertahan lama.

Dalam penelitian Majalah Sastra Jawa Masa Kemrdekaan (1945— 2006) digunakan metode dan teknik yang sesuai dengan sasaran dan tahap-tahap (pelaksanaan) kegiatan. Sasaran penelitian ada-lah majaada-lah sastra Jawa periode 1945—2006 dan berbagai doku-men yang berkaitan dengan majalah tersebut. Sehubungan dengan itu, pelaksanaan kegiatan dapat ditentukan penahapannya, yang meliputi pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, dan penyusunan hasil penelitian.

(19)

kegiatan studi pustaka—digunakan teknik catat (dalam kartu yang telah disiapkan). Selanjutnya, untuk menemukan majalah sastra Jawa (termasuk tabloid dan koran) periode 1945—2006 dilakukan observasi ke perpustakaan, museum, dan tempat koleksi lainnya, diikuti dengan teknik reproduksi, misalnya dengan cara memfoto dan atau memfotokopi dokumen yang diperlukan.

Kegiatan berikutnya—setelah data terkumpul—adalah pengolahan data dengan metode deskriptif. Data yang terkum-pul dideskripsikan dengan teknik seleksi, identifikasi, dan klasifikasi berdasarkan bentuk dan sajiannya.. Mula-mula data yang terkumpul diseleksi untuk memperoleh data yang sahih. Misalnya, ketika dilakukan pengumpulan data ditemukan majalah Tjenderawasih (1957) roman saku yang berlabelkan Tjendrawasih (1966) dan Cendrawasih dengan penerbit yang sama, yaitu NV Badan Penerbit Nasional, Jalan Tunjung 21, Yogyakarta. Setelah dilakukan pencermatan, majalah bahasa Jawa berlabelkan Tjenderawasih memiliki susunan tim redaksi, sedangkan yang lainnya tidak. Oleh karena itu, majalah Tjenderawasih (1957) yang memiliki tim redaksi dijadikan data primer, sedangkan buku Tjendrawasih (1966) yang tanpa tim redaksi dikategorikan sebagai roman saku yang masuk data sekunder. Sesudah itu, dilakukan identifikasi data—yang selektif—, misalnya dengan memilahkan prosa dan puisi. Kegiatan selanjutnya adalah klasifikasi data-identifikatif ke dalam kelompok-kelompok tertentu sebagai bahan analisis. Misalnya, prosa dikelompokkan menjadi cerpen dan cerbung atau novel.

(20)

penyu-sunan hasil penelitian (sebagai laporan). Teknik pelaksanaannya adalah bahwa hasil analisis setiap komponen kemudian disusun secara sistematik, bab per bab, sesuai dengan sistematika yang telah dirancangkan.

Perlu dikemukakan bahwa dalam penelitian ini, seluruh ma-jalah sastra Jawa (termasuk tabloid dan koran) periode 1945— 2006 dan segala dokumen yang berkaitan dengan majalah sastra Jawa dijadikan sumber data. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa majalah sastra Jawa periode 1945—2006 dan dokumen yang berkaitan dengan majalah sastra Jawa tersebut sudah sulit dicari. Oleh karena itu, sasaran pendataan ditentukan secara acak berdasarkan informasi yang meyakinkan. Misalnya, bagi majalah sastra Jawa Cenderawasih, Candra Pustaka Panglipur, dan Kembang Brayan, sasaran pendataannya masing-masing hanya satu edisi. Sementara itu, majalah Pustaka Roman, Crita Cekak, dan Tunggak Semi, sasaran pendataannya dapat lebih dari satu edisi. Demikian pula halnya dengan dokumen yang dijadikan sumber data, ditentukan secara acak pula.

(21)
(22)

Dalam bab (II) ini yang dimaksud “sosial budaya” men-cakupi sosial, ekonomi, politik, dan budaya, yang berpengaruh pada kreativitas berekspresi sastra bagi pengarang. Secara makro, pembicaraan dinamika sosial budaya 1945—2006 tidak dapat dilepaskan dari dinamika sosial budaya pada masa sebelumnya (1930-an) sehingga lingkup pembicaraannya terbentang dari tahun 1930-an hingga 2006. Pembicaraan bab II ini dipilah menjadi dua, yaitu (1) dinamika sosial budaya 1930—1966 dan (2) dina-mika sosial budaya 1966—2006.

2.1 Dinamika Sosial Budaya 1930—1966

Jauh sebelum Indonesia merdeka, yakni sejak tahun 1930-an, di negeri ini terjadi krisis ekonomi sehingga kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya sangat menyedihkan. Di beberapa daerah di Pulau Jawa, misalnya, terjadi kemiskinan yang menim-bulkan banyak korban (Vries, 1985:45). Kemiskinan yang melanda beberapa daerah itu, antara lain, disebabkan oleh ulah pemerintah kolonial Belanda yang memberlakukan berbagai kebijakan yang menyengsarakan masyarakat (pribumi). Krisis ekonomi yang lebih parah terjadi pada masa pendudukan Jepang (1942—1945) sehingga masyarakat sulit mencari kebutuhan hidup (pangan dan sandang). Tekanan-tekanan pemerintah kolonial (Belanda dan Jepang) yang menyengsarakan masyarakat tersebut memicu timbulnya

BAB II

DINAMIKA SOSIAL BUDAYA SEBELUM DAN

(23)

reaksi masyarakat (pribumi), meskipun dilakukan secara tersem-bunyi. Atas dasar rasa nasionalisme—yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928)—sejumlah masyarakat ter-pelajar mengobarkan persatuan, perjuangan, dan kebangkitan dalam bingkai pendidikan, kebudayaan, dan keagamaan. Dalam pergerakannya, mereka antara lain memanfaatkan media massa untuk menyalurkan suara hatinya melalui ekspresi tulis. Misal-nya, Dr. Soetomo (1932:7) menulis beberapa artikel dalam Suara Umum—kemudian diterbitkan dalam Puspa Rinonce (1932)—yang isinya mengajak bangsa (kita) untuk bersatu, berbakti kepada ibu pertiwi dengan berjuang guna menciptakan ketenteraman, kemakmuran, dan kemuliaan nusa dan bangsa Indonesia.

Tulisan-tulisan lain yang mengobarkan persatuan, perjuang-an, dan kebangkitan dari beberapa pemuda juga terdapat dalam sejumlah media massa cetak. Tulisan-tulisan itu, antara lain, di-kemas dalam bentuk karya sastra (cerita pendek dan cerita bersambung) dengan tema yang sesuai dengan jiwa pergerakan mereka. Misalnya, karya sastra yang mengangkat tema perjuang-an kebperjuang-angsaperjuang-an melalui kebudayaperjuang-an daerah terdapat dalam cerita bersambung (cerbung) “Sri Panggung Kethoprak” (Panyebar Semangat/PS, 1938) dan “Sri Panggung Wayang Wong” (PS, 1941) karya Sri Soesinah (nama samaran Imam Soepardi); tema kebang-kitan yang amat menarik para pembaca terdapat dalam roman “Kyai Franco” (Purnama/Pnm, 1941) karya Asmara Asri (nama samaran Kyai Asnawi Hadisiswaja). Selanjutnya, ada beberapa karya yang mengangkat masalah emansipasi wanita, misalnya dalam cerita pendek (cerpen) “Pilih-Pilih Tebu” (PS, 1933) karya Ki Soerya, “Dudu Nabi” (PS, 1935), “Cobaning Ngaurip” (PS, 1939), serta dalam cerbung “Konang Seta” (PS, 1940) karya Zivervos, dan dalam novel Trimurti atau Lelakone Sedulur Telu karya Ki Loemboeng (1942).

(24)

dengan cara terselubung. Misalnya, Soebagio Ilham Notodidjojo menulis cerpen “Katresnan Cawang Loro” (PP, 15 November 1944), “SSS” (PP, 1 Januari 1945), “Nyuwun Pamit Kyai” (PP, 6 Maret 1945), dan puisi “Kekasihku” (PP, 15 November 1944); Poerwadhie Atmodihardjo menulis cerpen “Tanggap lan Tandang ing Garis Wingking” (PP, 16 April 1944), “Sri Kandhi Jawi Enggal” (PP, 15 Agustus 1944), dan “Heiho Sadikun” (PP, 1 September 1944); Poer (nama samaran Poerwadarminta) menulis cerpen “Kasengka” (PP, 1 Agustus 1943) serta esai “Wahyu sampun Dhumawah: Kantun Tumandang kanthi Sucining Manah” dan “Anggesangaken Watak Kasatriyan” (Widati dkk., 2001a:219). Karya-karya itu di samping membangkitkan semangat perjuangan (bersifat utile ‘berguna’ yang berfungsi “mengajarkan sesuatu”) juga untuk menghibur (bersifat dulce ‘indah’ yang berfungsi “menghibur”) warga masya-rakat (pribumi) dalam suasana krisis ekonomi yang bekepan-jangan.

(25)
(26)

Dongeng Kancil Kepengin Mabur (Soerjosoebroto dan Ardjopoe-tranto) terbitan BP Nasional, Yogyakarta dan kisah perjalanan (perang) berbentuk macapat Nayaka Lelana (Soetanto Tirtopradja) terbitan Sari Pers, Jakarta, serta pada tahun 1953 terbit roman panglipur wuyung ‘pelipur lara’ atau juga disebut “roman picisan” yang semula berupa cerbung dalam Panyebar Semangat (PS): Grombolan Gagak Mataram (Any Asmara) dan Sawunggaling (Poerwadhie Atmodihardjo) oleh penerbit “Panyebar Semangat”. Di kalangan pers tidak mau ketinggalan, ikut memberikan layanan berupa informasi dan bacaan (hiburan) sebagai bentuk peran serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Pers umum berbahasa Jawa yang terbit sesudah Api Merdika, Jaya Baya, dan Panyebar Semangat, antara lain adalah Caraka (1950) di Semarang, Waspada (Februari 1952) dan Mekar Sari (1 Maret 1957) di Yogya-karta, serta majalah sastra Jawa Pustaka Roman (Soebagio I.N. dkk., April 1953), Crita Cekak (Soebagio I.N., Agustus 1955), dan Gotong Royong (1963) di Surabaya, Candra Pustaka Panglipur (Any Asmara dkk., Mei 1963) dan Candrakirana (1964) di Surakarta, serta Cenderawasih (1957) di Yogyakarta.

Terbitan pers yang telah dikemukakan tersebut seluruh-nya milik swasta. Sementara itu, pers berbahasa Jawa milik pe-merintah adalah Medan Bahasa Bahasa Jawa (1954), kemudian di-ganti namanya menjadi Medan Bahasa Basa Jawi (1956). Majalah itu dikelola oleh Balai Bahasa dan dicetak oleh Balai Pustaka. Terbitan itu berupa majalah khusus bahasa dan sastra Jawa (1954—1960-an) yang merupakan edisi khusus majalah Medan Bahasa (1854—1960-an) berbahasa Indonesia.

(27)

mendapatkan sebutan “sastra koran”, “sastra majalah” (Hutomo, 1972), atau “sastra magersari” ‘sastra menebeng’. Sebutan itu menunjukkan bahwa terbitan sastra berbentuk buku jumlahnya amat sedikit, jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan sastra yang dimuat dalam media massa cetak. Kala itu, kualitas sastra majalah—selain sastra dalam Crita Cekak—umumnya tidak jauh berbeda dengan kualitas roman-roman picisan. Namun, dalam perjalanannya, majalah sastra Jawa tidak mampu bertahan lama karena kalah bersaing dengan buku-buku roman picisan yang semakin melimpah dan harga kertas semakin mahal. Dikemuka-kan oleh Cantrik Banyumas (1983:14)—nama samaran lain Any Asmara—bahwa pada awal tahun 1960 bermunculan pengarang muda yang potensial dan produktif di samping pengarang-pengarang lama yang masih eksis, yang setiap bulannya mampu menghasilkan sekitar 200 roman saku (roman pelipur lara).

(28)

semakin menjamur, dengan jumlah tidak kurang dari 72 buah (31 buah di Surakarta, 21 buah di Yogyakarta, 18 buah di Sura-baya, 10 buah di Semarang, 1 buah di Bandung, dan 1 buah di Tasikmalaya). Hingga tahun 1966, majalah yang masih bertahan adalah Jaya Baya, Panyebar Semangat, Mekar Sari, dan Praba, sedangkan Waspada dilarang terbit karena (para pengelolanya) berhaluan komunis (Riyadi dkk., 1995:17, Widati dkk., 2001b:118—122).

Situasi dan kondisi yang masih serba sulit pada masa pe-merintahan Soekarno—yang kemudian mendapatkan julukan pemerintahan “Orde Lama”—akibat terjadinya krisis multi-dimensional (ekonomi, politik, sosial, dan budaya) tidak terlepas dari lajunya pertumbuhan penduduk yang jauh lebih tinggi daripada peningkatan produksi perekonomian, khususnya pangan. Dikemukakan oleh Rieklefs (1995:356—357) bahwa pada tahun 1950 penduduk Indonesia berjumlah 77,2 juta jiwa, pada tahun 1955 naik menjadi 85,4 juta jiwa, dan pada tahun 1961 meningkat menjadi 97,02 juta jiwa. Sementara itu, produksi beras—sebagai penyangga perekonomian—pada tahun 1956 meningkat 26% lebih tinggi daripada produksi beras pada tahun 1950. Akan tetapi, kenaikan produksi beras itu tidak sebanding dengan atau lebih rendah daripada laju pertumbuhan penduduk. Untuk mengatasi kebutuhan pangan, pemerintah melakukan impor beras padahal kemampuan keuangan amat terbatas. Upaya pengadaan beras oleh pemerintah itu masih belum mencukupi kebutuhan penduduk sehingga banyak yang kelaparan, men-derita busung lapar, dan banyak pula yang meninggal dunia.

(29)

dan kekuasaan judikatif yang berada di tangan Mahkamah Agung (Setiawan, 1998:58). Dengan adanya pembagian dan pelaksanaan kekuasaan seperti itu, secara politis tidak terjadi sentralisasi kekuasaan. Akibatnya, berkali-kali terjadi pergantian kabinet sehingga kesejahteraan rakyat terabaikan. Bahkan, tindak diskri-minatif, korupsi, dan kriminalitas yang meresahkan dan menyeng-sarakan masyarakat merajalela (Riyadi, 1998:121—147; 2000:60— 70). Pemilihan umum pun baru dapat dilaksanakan pada tahun 1955. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilihan umum 1955—yang melahirkan konstituante pembuat Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS)—juga tidak berhasil melaksanakan tu-gasnya sehingga Presiden (Soekarno) melakukan dekrit pada tanggal 5 Juli 1959. Isi Dekrit Presiden itu adalah “membubar-kan konstituante (DPR) dan memberlaku“membubar-kan kembali Undang-Undang Dasar 1945”. Sejak itu, sistem politik “demokrasi terpim-pin” mulai diberlakukan dan “sentralisasi kekuasaan” mulai dijalankan. Seluruh kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan judikatif) berada di tangan presiden. Dampaknya, beberapa partai politik dibubarkan dan ada yang membubarkan diri karena tidak bersedia menerima ideologi politik Nasakom (nasionalis-agama-komunis) yang disodorkan Presiden Soekarno, kecuali Partai Komunis Indonesia (Setiawan, 1998:103).

(30)

penerbit-penerbit kecil. Kejadian itu tidak terlepas dari situasi dan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya kala itu yang, antara lain, menyebabkan masyarakat mencari hiburan yang murah dan terjangkau.

(31)

me-lawan Malaysia yang dianggap sebagai boneka atau antek neo-kolonialisme Barat. Sikap pemerintah yang mengambil jarak terhadap negara-negara Barat itu berdampak pada tidak ber-gulirnya bantuan finansial dari mereka. Hal itu semakin memper-buruk keadaan karena politik luar negeri Indonesia lebih me-mihak kepada negara-negara sosialis, seperti Uni Soviet, RRC, dan Eropa Timur.

Sementara itu, di bidang kebudayaan dikuasai oleh PKI dan ormas-ormas underbouw-nya, seperti Lekra (Lembaga Kebu-dayaan Rakyat) yang dipimpin oleh Pramudya Ananta Toor dan LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) yang dikemudikan oleh Sitor Situmorang. Kedua lembaga itu sangat masif dalam men-zalimi secara fisik dan nonfisik para budayawan dan seniman, termasuk sastrawan, yang tidak sejalan dengan ideologi realisme-sosialis (mereka). Para budayawan dan seniman yang tergabung dalam Manifes Kebudayaan pun sering diejek oleh Pramudya Ananta Toor dkk. dengan singkatan manikebu (yang berasosiasi dengan mani kebo ‘sperma kerbau’). Bahkan, Manifes Kebudayaan sempat dibekukan oleh Pemerintah Orde Lama (Soekarno).

Rongrongan PKI dan ormas-ormasnya terus berlanjut se-hingga menimbulkan semakin kacaunya pemerintahan. Akibat-nya, perekonomian terperosok ke dalam hiperinflasi—yang mencapai 134% pada bulan Februari 1964—dan bangsa Indonesia hanyut ke dalam radikalisme. Bahkan, pada tahun 1965 struktur sosial, politik, dan ekonomi hampir runtuh dan mencapai puncak-nya secara tragis ketika terjadi pemberontakan G 30 S/PKI (Poesponegoro dan Notosusanto, 1990:366—386; Rieklefs, 1995:380—430).

(32)

itu dapat digagalkan setelah secara cepat pimpinan TNI Ang-katan Darat mengambil tindakan untuk melakukan penangkapan dan pembersihan terhadap oknum-oknum yang terlibat dalam pemberontakan tersebut.

(33)

2.2 Dinamika Sosial Budaya 1966—2006

Sejak terbitnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966 dan disusul dengan pembubaran PKI beserta ormas-ormas underbouw-nya sehari sesudahnya (12 Maret 1966), kehidupan politik mulai mereda. Peristiwa keluarnya Super Semar 1966 itu menandai berakhirnya era Orde Lama di bawah kekuasaan Soekarno ke era Orde Baru di bawah kendali Soeharto (Poepone-goro dan Notosusanto, 1990:413). Peralihan kekuasaan itu diku-kuhkan dengan dibacakannya pengumuman (tentang) penyerah-an kekuasapenyerah-an dpenyerah-an pemerintahpenyerah-an kepada pengembpenyerah-an Surat Perintah Sebelas Maret (1966), Jenderal Soeharto, oleh Soekarno di Istana Negara pada tanggal 23 Februari 1967.

Pembubaran PKI dan ormas-ormas (pendukung)-nya pada tanggal 12 Maret 1966 amat melegakan masyarakat, termasuk budayawan, seniman, dan sastrawan yang pernah dizalimi oleh Lekra dan LKN. Kebetulan, kala itu (1966) roman picisan sedang mencapai puncak eksplosinya. Oleh karena di antara roman-roman tersebut dinilai tidak mendidik dan dipandang sangat membahayakan generasi muda, maka pihak kepolisian melaku-kan penertiban dengan nama Opterma (Operasi Tertib Remaja). Dalam kegiatan Opterma itu dapat disita 57 judul roman picisan, 21 di antaranya merupakan roman picisan berbahasa Jawa. Berita penyitaan roman-roman picisan berbahasa Jawa itu kemudian dimuat dalam Mekar Sari Nomor 23/X/1 Februari 1967. Akibat penyitaan itu, para pengarang lebih berhati-hati dalam berkarya, sedangkan para penerbit lebih selektif dalam memproduksi buku-buku bacaan, khususnya fiksi, apalagi subsidi kertas dicabut pada tahun 1966. Dampaknya, penerbitan roman picisan semakin menurun dan mencapai tahap penurunannya secara drastis sejak tahun 1969 (Widati dkk., 2001b:123—124).

(34)

penyitaan sejumlah roman picisan yang pernah beredar. Oleh karena itu, (masih) dalam suasana berlangsungnya operasi ke-amanan dan ketertiban, Sanggar Bambu 59 pimpinan Sunarto Pr. memprakarsai penyelenggaraan Sarasehan Pengarang Sastra Jawa di Yogyakarta pada tanggal 24—27 Agustus 1966. Sarasehan itu diselenggarakan dengan tujuan untuk menjaga mutu karya sastra dan mengendalikan arus besar roman picisan yang telah menguasai pasar sejak sebelum tahun 1966, di samping untuk mengembalikan independensi atau kebebasan (berekspresi) para pengarang agar mereka tidak dijadikan alat propaganda oleh kelompok politik tertentu. Sarasehan itu, akhirnya, berhasil men-dirikan Organisasi Pengarang Sastra Jawa (OPSJ) tingkat nasional (pusat) dan tingkat daerah (komisariat). OPSJ tingkat nasional diketuai Sudharma K.D., sedangkan OPSJ tingkat daerah terdiri atas OPSJ Komisariat Daerah Istimewa Yogyakarta diketuai M. Tahar, OPSJ Komisariat Jawa Tengah diketuai N. Sakdani, OPSJ Komisariat Jawa Timur diketuai Esmiet, dan OPSJ Komisariat Jawa Barat merangkap DKI Jakarta diketuai Trim Sutidja.

(35)

dikoor-dinasi oleh Mt. Soepardi), dan menembus CV Sasongko untuk menerbitkan majalah sastra Jawa bernama Gumregah (terbit pertama tanggal 31 Januari 1967). Gumregah merupakan majalah sastra Jawa yang pertama kali terbit setelah OPSJ terbentuk, 1966.

Sebagaimana OPSJ Komisariat Jawa Tengah, OPSJ Komi-sariat Jawa Timur dapat menyelenggarakan pertemuan di Kali-setail, Genteng, Banyuwangi, pada tanggal 20 November 1966. Sementara itu, dua OPSJ komisariat yang lain (DIY dan Jawa Barat/DKI Jakarta) tidak diketahui kapan penyelenggaraan pertemuannya. Namun, dalam perkembangannya, pengurus OPSJ (tingkat pusat dan daerah) secara organisatoris tidak dapat berjalan, hanya personal-personalnyalah yang mengadakan aktivitas. Misalnya, Arswendo Atmowiloto, Moch Nursyahid P., dan Poer Adhie Prawoto diminta untuk membantu berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT), pimpinan S.D. Humardani di Surakarta, Susilomurti di Jakarta dapat menerbitkan mingguan kemudian menjadi majalah Kemandhang dan Sekar Jagad yang selanjutnya (sebagai pengelola Kemandhang) dapat bekerja sama dengan Fakultas Sastra Universitas Indonesia untuk menyeleng-garakan Sarasehan Pengarang Sastra Jawa pada tanggal 12—14 November 1976, serta Muryalelana (selaku Pemimpin Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Daerah Jawa Tengah) dapat mener-bitkan majalah Pustaka Candra (Januari 1981) dan menyelenggara-kan Sarasehan Sastra Jawa di Ungaran pada tanggal 12—14 November 1982 dengan hasil, antara lain, berupa pembentukan Pengurus OPSJ Antarwaktu yang diketuai oleh Susilomurti (Hutomo, 1997:5—14).

(36)

(1972) di Surakarta; serta Kunthi (1972) dan Kemandhang (1973) di Jakarta (Hutomo, 1975:17; Ras, 1985:27; Quinn, 1995:34—35). Terbitnya beberapa pers berbahasa Jawa itu, antara lain, dapat dimanfaatkan sebagai sarana penyampaian informasi ke desa-desa, apalagi ketika itu Pemerintah Orde Baru sedang menca-nangkan strategi pembangunan secara bertahap dalam lima tahun yang disebut pelita (pembangunan lima tahun) berdasarkan Kepres Nomor 319/1969 (Harnoko dkk., 2003:76—77). Strategi itu melahirkan konsep pembangunan yang mengarah ke pem-bangunan pedesaan sehingga muncul tiga tipologi desa, yaitu swadaya, swakarsa, dan swasembada. Konsep tersebut dinilai tepat karena kala itu sebagian besar (73,8%) masyarakat desa masih berada di bawah garis kemiskinan. Sesuai dengan tipologi desa tersebut, pemerintah berusaha meningkatkan tarap hidup rakyat dengan menerapkan program Bimas, Inmas, Padat Karya, Bantuan Desa, Bantuan Kabupaten, Kredit Candak Kulak, Kre-dit Investasi Kecil, dan lain-lain. Hasilnya membuktikan bahwa kondisi masyarakat Indonesia pada tahun 1970-an—1980-an lebih baik daripada kondisi masyarakat pada masa Orde Lama. Bah-kan, pada tahun 1980-an, Indonesia berhasil mencapai swasem-bada beras.

(37)

bahkan ada yang tidak mampu mempertahankan diri. Contoh-nya adalah majalah sastra Gumregah (1967) dan Cendrawasih (1975), majalah anak-anak Si Glathik (1967), pers umum Merdika (1967), Kunthi (1969), Kembang Brayan (1969), Kemandhang (1973), dan Dharma Kanda (1968); sedangkan Praba sejak awal Orde Baru lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia dan Dharma Nyata (1971) kemudian beralih menggunakan bahasa Indonesia.

(38)

daerah di Indonesia, beberapa di antaranya ada yang punah karena tidak ada lagi pemakainya.

(39)
(40)

BAB III

PROFIL MAJALAH SASTRA JAWA

1945—2006

Setelah dilakukan pengumpulan data dapat ditemukan enam belas majalah sastra Jawa 1945—2006. Majalah sastra Jawa itu ialah (1) Pustaka Roman, (2) Crita Cekak, (3) Kekasihku, (4) Cenderawasih (1957), (5) Candra Pustaka Panglipur, (6) Candrakirana, (7) Kembang Brayan, (8) Gumregah, (9) Cendra-wasih (Edisi Khusus Djaka Lodang), (10) Langite Isih Biru, (11) Baluwarti, (12) Rara Jonggrang, (13) Crita Cekak (Lampiran Panyebar Semangat), (14) Pagagan, (15) Kabar saka Tlatah Jati, dan (16) Tunggak Semi. Di samping itu, ada beberapa majalah berbahasa Jawa yang disebut-sebut sebagai majalah sastra Jawa, antara lain Gotong Royong (1963) dan Tulada (1967). Ketika dilakukan pengumpulan data, majalah-majalah itu belum atau tidak dapat ditemukan. Oleh karena itu, untuk sementara, kedua majalah tersebut belum atau tidak dapat dibicarakan seperti majalah-majalah sastra Jawa yang lain.

3.1 Pustaka Roman

(41)

Majalah Pustaka Roman dikelola oleh Soebagijo Ilham Notodjojo dan dibantu oleh R.M. Bintarti, Any Asmara, dan Porwadhie Atmodihardjo. Selain Bintarti, ketiga orang (Soebagijo I.N., Any Asmara, dan Poerwadhie Atmodihardjo) yang duduk dalam tim redaksi itu termasuk pengarang sastra Jawa yang handal. Mereka sudah aktif menulis sejak zaman kolonial Belanda dan Jepang dengan karya-karyanya yang ter-golong bagus. Oleh karena itu, ketiganya dapat dikategorikan sebagai “pendekar sastra Jawa”.

Pustaka Roman—yang mem-punyai slogan “wacan minangka panglipurwuyung” ’bacaan sebagai pelipur lara’—(lihat fotokopi ruang keredaksian berikut ini) lebih banyak menampilkan roman-roman populer (pelipur lara) yang biasa disebut “roman picisan”. Roman semacam itu memang mulai marak dengan ditandai oleh penerbitan (roman saku) Gerom-bolan Gagak Mataram karangan Any Asmara dan Sawung-galing karang-an Poerwadhie Atmodihardjo. Kedua roman itu diterbitkan oleh Penerbit Panyebar Semangat tahun 1953.

Pada awalnya, Pustaka Roman cukup laris sehingga mem-punyai 33 agen penjualan (lihat fotokopi agen penjualan). Di dalam ruang keredaksian Pustaka Roman nomor 1, selain terdapat susunan tim redaksi, juga tercantum harga majalah itu, yakni Rp2,00 per nomor atau Rp7,50 untuk 4 nomor. Di samping itu, di dalam ruang keredaksian juga terdapat alamat redaksi, yaitu Posbox 348, Jalan Pahlawan 30, Surabaya.

(42)

dwimingguan. Majalah itu diterbitkan dengan format atau bentuk roman saku, dengan ukuran 11 cm x 14,50 cm. Dalam penampilannya, tim redaksi mempunyai peran yang amat dominan sehingga karangan-karangan (fiksi) yang dimuat sebagian besar merupakan karya mereka. Misalnya, di dalam Pustaka Roman nomor 1 dan 2 masing-masing terdapat novelet “Setan Roban” dan “Putri Cleopatra”.

(43)

tentang penerbitan novelet berikutnya yang dipasang pada halaman akhir majalah tersebut. Misalnya, pada halaman terakhir Pustaka Roman nomor 1/1953 dipasang iklan novelet “Putri Cleopatra” yang akan dimuat dalam Pustaka Roman nomor 2/ 1953 (lihat fotokopi berikut; lihat pula fotokopi sampul butir 1, Bab III di depan).

(44)

Cekak. Dengan terbitnya majalah tersebut, tugas keredaksiannya dalam majalah Pustaka Roman semakin terbatas sehingga beberapa waktu kemudian ia menyerahkan kepada Poerwadhie Atmodi-hardjo.

Penyerahan kepemimpinan Pustaka Roman kepada orang lain sekecil apa pun berpengaruh pada pengelolaannya, apalagi kala itu mulai terjadi eksplosi roman saku (roman picisan) dan harga kertas semakin mahal. Akibatnya, lambat laun majalah tersebut tidak mampu mempertahankan diri.

3.2 Crita Cekak

Crita Cekak (aslinya ditulis Tjrita Tjekak) adalah majalah sastra Jawa yang terbit di Surabaya. Penerbitan majalah itu diprakarsai oleh Soebagijo Ilham Notodidjojo yang sekaligus sebagai pemimpin redaksinya. Majalah itu pertama kali diterbitkan pada bulan Agustus 1955 (lihat fotokopi berikut) dengan alamat redaksi dan administrasi: Dharma Rakyat I-9, Surabaya.

(45)

Notodidjojo sebagai pimpinan (redaksi), sedangkan nama anggota (redaksi) tidak dituliskan secara eksplisit, tetapi hanya diterangkan: dibantu dening pengarang2 tjrita tjekak basa Djawa ’dibantu oleh pengarang-pengarang cerita pendek bahasa Jawa’. Di dalam kolom keredaksian juga tercantum maksud dan tujuan penerbitan majalah tersebut, sebagai berikut.

Crita cekak majalah wulanan, ajange para pengarang roman

basa Jawa. Saben sawetonan ngemot crita cekak kira-kira 10 iji.

Crita Cekak diwetokake kanthi tujuan ngurip-urip kasusastran

basa Jawa.

Crita Cekak majalah bulanan, medianya para pengarang

roman bahasa Jawa. Setiap penerbitan memuat cerita pendek kira-kira 10 buah.

Crita Cekak diterbitkan dengan tujuan

menghidup-hidupkan (memelihara) kesusastraan Jawa.’

Pernyataan redaksi yang menyebutkan bahwa setiap terbit Crita Cekak menampilkan kira-kira 10 buah cerita pendek selalu diusahakan, tetapi di dalam Crita Cekak nomor 1/Agustus 1955, misalnya, baru dapat ditampilkan 6 cerita pendek dan 2 kutipan cerita lama. Enam cerita pendek itu ialah “Wengi ing Pinggir Kali” (Iemaniasita), “Mulih saka Tawanan” (Andre Maurois), “Mawar Layu” (anonim), “Aja Gething Mundhak Nyandhing” (Aramsy N.A.), “Kaadilaning Gusti” (Moch. Iljas), dan “Dhik Ning Calon Ipeku” (anonim); sedangkan dua cerita lama yang ditampilkan ialah kutipan cerita Panji Wulung dan Mahabarata. Kutipan cerita Mahabarata diberi judul “Kuwajibaning Satriya lan Kaluhuraning Bangsanipun” ’Kewajiban Satria dan Keluhuran Bangsanya’.

(46)

daya tarik kepada konsumen (pembaca). Contohnya seperti fotokopi berikut ini (CC No. 3, Oktober 1955:15).

Sementara itu, tampilan lainnya, antara lain berupa rubrik “Lelucon”, “Ayo Mesem”, “Among Tresna”, serta beberapa iklan. Pada halaman terakhir (16) terdapat informasi (dari pimpinan redaksi), yang antara lain menjelaskan bahwa sesuai dengan namanya, Crita Cekak mengutamakan cerita-cerita pendek: roman, novel, dan sejenisnya. Berkaitan dengan itu, para pecinta Crita Cekak diharapkan dapat mengirimkan karya-karyanya untuk dimuat di dalam majalah tersebut.

(47)
(48)

Tulisan beraksara Jawa sebagai nama dua rubrik itu hanya dipakai sampai dengan edisi 4/1955. Selanjutnya, kutipan bait-bait tertentu (karya sastra lama) berbentuk tembang dapat diperhatikan fotokopian berikut ini yang menampilkan bait-bait tembang Dhandhanggula (lihat CC nomor 1/Agustus 1955:2 dan 5).

(49)

terhadap karya-karya yang pernah dimuat untuk mempertahan-kan kualitas sastra Jawa yang semakin diabaimempertahan-kan. Sementaara itu, di dalam Crita Cekak nomor 2/September 1955 terdapat tambahan rubrik “Kabar saka Redaksi” yang berisi informasi atau penjelasan tentang karangan-karangan yang dapat dimuat di dalam majalah nomor-nomor berikutnya dan yang tidak dapat lolos. Dalam perkembangannya, rubrik itu mengalami perubahan menjadi “Pos Kagem”.

Penampilan rubrik “Kabar saka Redaksi” kemudian men-jadi “Pos Kagem” yang berisi informasi atau penjelasan tentang karya-karya yang dapat diterbitkan dan yang sebaliknya menun-jukkan bahwa komunikasi antara redaksi dan pengarang (serta pembaca) dibangun secara baik dan transparan. Komunikasi itu dibangun dengan tujuan, antara lain, untuk mendukung obsesi Soebagijo I.N. selaku pemimpin redaksi mewujudkan Crita Cekak (asuhannya) menjadi majalah sastra Jawa yang berkualitas sebagaimana majalah Kisah dalam sastra Indonesia.

(50)

Komitmen redaksi yang selalu sigap dan sikap pengarang yang cepat tanggap dan inovatif sehingga menghasilkan karya-karya yang berkualitas dapat berdampak pada peningkatan mutu (karya) sastra Jawa yang kala itu sedang tererosi oleh semakin berkembangnya roman-roman pelipur lara (roman picisan). Dengan komitmen redaksi yang intens dan dukungan para pengarang yang berdedikasi tinggi tersebut, upaya majalah Crita Cekak sebagai media sastra Jawa yang berkualitas tidaklah sia-sia. Meskipun usianya tergolong pendek, majalah tersebut mampu dan berhasil melahirkan pengarang-pengarang baru yang potensial. Keberhasilan itu pada gilirannya dijadikan acuan bagi sejumlah pemerhati sastra Jawa yang memberikan penilaian bahwa majalah Crita Cekak dapat melahirkan suatu angkatan yang disebut “Angkatan Crita Cekak”. Dikemukakan oleh Suripan Sadi Hutomo (1975:40—47) bahwa tidak kurang dari 23 orang cerpenis pernah mengisi majalah tersebut. Di samping pengarang-pengarang yang sudah dikenal banyak orang, misalnya Soeba-gijo I.N., Poerwadhie Atmodihardjo, dan Any Asmara, penga-rang-pengarang lain turut menyemarakkan sastra Jawa dalam majalah tersebut. Mereka itu, antara lain St. Iesmaniasita, Esmiet, Soedharma K.D., Senggono, Widi Widayat, Kus Sudyarsana, Ismail, Lesmanadewa, Sukandar S.G., Insyaf Hadi, Munali, Sukiswo, Sudarsono, Liek Subariyati, S. Hard J.N., Endang Budi, SS. Sudarto, Sunupawira, Isdito, Susan, Suhadi M.S., Sri Heru, Ari Suryo, Amy, W. Santosa, Setijowati, Rasjid Atmasumitra, Soekardi P.S., Ny. Nugroho, S Yang, dan Moch. Iljas.

(51)
(52)

Pengiklanan Crita Cekak di dalam Panyebar Semangat, 7 April 1956, halaman 23, tampil dengan ilustrasi yang atraktif (lihat fotokopi berikut).

Iklan itu berisi komentar dan ajakan agar khalayak mau berlangganan sebab Crita Cekak dapat dijadikan “obat awet muda”, seperti berikut.

“Wis tuwa ning tetep awet mudha. Jalaran atine digawe tetep gembira, seneng-2, lan ajeg maca majalah-2 sing entheng-2, nengsemake, nggembirakake ati, kayadene majalah

Crita Cekak

Sing saguh dadi obat awet enom kagem panjenengan. Dakaturi ngincipi dadi lengganan 3 nomer marang Tata Usaha Crita

Cekak, Dharma Rakyat I-9, Surabaya.”

(53)

Crita Cekak

yang sanggup menjadi obat awet muda bagi kalian. Kupersilakan mencicipi menjadi pelanggan 3 nomor kepada Tata Usaha Crita Cekak, Dharma Rakyat I-9, Sura-baya.’

Sebagai catatan bahwa kehadiran majalah sastra Jawa Crita Cekak dapat memberikan inspirasi penerbitan majalah serupa berbahasa Indonesia. Majalah itu diberi nama cerpen (tulisan asli-nya tjerpen), terbit pertama pada bulan Oktober 1966 (lihat foto-kopian berikut).

Berbagai upaya dilakukan untuk mempertahankan kelang-sungan hidup majalah tersebut, tetapi suasana perekonomian, sosial, politik yang kurang mendukung, bahkan semakin mem-buruk. Akibatnya, Crita Cekak turut kandas di tengah perjalanan. Nasib serupa juga dialami oleh Pustaka Roman dan majalah sastra Jawa lainnya, di samping menghadapi persaingan keras melawan roman-roman pelipur lara yang semakin mendapatkan angin segar dari para pengarang dan konsumen (pembaca)-nya.

3.3 Kekasihku

(54)

kota Surabaya pula, dengan alamat Bubutan 87 (lantai atas), Surabaya. Majalah itu terbit dalam bentuk buku dengan format berukuran 14,50 cm x 21,50 cm (lihat fotokopi sampulnya berikut ini).

Majalah Kekasihku dipimpin oleh Satim Kadarjono, seorang penulis beken ’handal’ yang dalam perkembangannya pernah duduk di redaksi Panyebar Semangat dan menjadi Pemimpin Redaksi Jaya Baya. Pada tahun 1996, ia menerima hadiah Rancage berkat novelnya Timbreng yang diterbitkan oleh Yayasan “Djojo Bojo” (1994). Dalam keredaksiannya, Satim Kadarjono dibantu, antara lain, oleh Basuki Rachmat.

(55)

Selanjutnya, iklan Kekasihku (yang ditampilkan dalam Panyebar Semangat, 25 Februari 1956:9) juga menyatakan bahwa sajian Kekasihku mencakupi roman, detektif, dan drama yang seram dan menggiurkan. Di samping itu, majalah Kekasihku juga menye-diakan ruang yang agak longgar sebagai ajang pemuatan guritan yang tidak biasa disediakan oleh majalah-majalah sastra lainnya (Dojosantosa, 1990:41).

Berkaitan dengan jumlah tiras setiap terbit, dinyatakan di dalam iklan yang ditampilkan (dalam Panyebar Semangat, 21 Januari 1956:13) bahwa “wis ana 10.000 kulawarga PS sing mundhut! Para sdr-2 liyane aja ketinggalan melu ngudang.” ’sudah ada 10.000 keluarga (pelanggan) PS yang membeli! Para saudara-saudara lainnya jangan ke-tinggalan turut menimang.’ (lihat fotokopi iklan berikut ini).

(56)

melu ngudang.” ’... saudara-saudara lainnya jangan ketinggalan turut menimang.’ dalam iklan tersebut. Jumlah tiras 10.000 eksem-plar sekali terbit merupakan prestasi yang bagus dalam dunia usaha, apalagi terbitan itu dapat terjual habis dalam waktu yang tidak lama, seperti diungkapkan di dalam iklan Kekasihku (lihat Panyebar Semangat, 21 Juli 1956:13) berikut ini.

Dadi rebutan, dadi oyok-2an temenan. Apa? Apa? Kekasihku

nomer telu kang lagi bae ditumpleg. Saiki isih kebul-kebul. Cap-2an kapisan, wis meh entek gusis. Ora bakal ngecap maneh.

’Jadi rebutan, jadi rebutan sungguhan. Apa? Apa? Kekasihku nomor tiga yang baru saja ditumpahkan. Sekarang masih baru betul. Cetakan pertama, sudah hampir habis ludes. Tidak akan mencetak lagi.’

(57)

Isi iklan itu, antara lain mempersilakan khalayak untuk menjadi pelanggan karena Kekasihku tidak ada duanya, penam-pilannya lebih anggun, menggunakan bahasa Jawa dengan teknik modern, dan dihiasi dengan gambar-gambar yang indah, dengan harga yang lebih murah.

“Para sedulur kakung putri diaturi ndhaftarake dadi langganan kalawarti “Kekasihku”. Supaya ora kacuwan panggalih, mun-dhuta saiki. “Kekasihku” iki ora ana tunggale, awit isih lagi sepisan iki ana kalawarti panglipur nganggo basa Jawa kang teknike modern rinengga ing gambar-gambar adi. ....

Kang nomer 2 (loro) luwih peni tinimbang No. 1. ....”

’Para sahabat pria wanita dipersilakan mendaftarkan menjadi pelanggan majalah “Kekasihku”. Agar tidak kecewa hatinya, belilah sekarang. “Kekasihku” tidak ada duanya, sebab baru sekali ini ada majalah pelipur meng-gunakan bahasa Jawa dengan teknik modern dihiasi dengan gambar-gambar (yang) indah. ....

Yang nomor 2 (dua) lebih anggun daripada No. 1. ....’

Pada awalnya, Kekasihku banyak menarik simpati konsu-men (pembaca)-nya. Hal itu tidak terlepas dari peran Satim Ka-darjono, pemimpin redaksinya, yang juga duduk dalam tim redaksi Panyebar Semangat yang sudah mempunyai banyak pe-langgan. Oleh karena itu, majalah (Panyebar Semangat) yang sudah memiliki pasar bagus tersebut dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk menjaring (calon) konsumen Kekasihku. Bahkan, di dalam iklan (dalam Panyebar Semangat, 21 Juli 1956:13) diinfor-masikan bahwa majalah Kekasihku dapat diperoleh (dibeli) di toko-toko atau kios-kios buku, termasuk di kios-kios yang berada di stasiun-stasiun kereta api. Dengan cara pemberian informasi itu, diharapkan para pelanggan dan pemerhati dapat lebih mu-dah memperolehnya.

(58)

itu melalui iklan. Pemuatan tanggapan itu, misalnya disertakan dalam iklan “Ora Kalah karo Majalah Liya” ’Tidak Kalah dengan Majalah Lain’ yang ditampilkan dalam Panyebar Semangat, 14 Juli 1956, halaman 19. Tanggapan itu datang dari Sukandar S.G., kemudian ditampilkan bersamaan dengan iklan tersebut, seperti berikut.

“Redaksi “Kekasihku” kerep nampa layang pangalembana, puluhan kehe, saka para maose kang rumangsa marem marang isine kalawarti mau.

Sdl. Sukandar S.G. saka Pituruh, Kutoarjo, dhek tgl. 24 April 1956, nulis layang mengkene:

Terus terang aku ngakoni yen kalawarti panglipur “Kekasihku isine bisa gawe segering ati. Oplahe boleh, wis bisa madhani majalah-2 liya kang umure wis luwih tuwa banget tinimbang

Kekasihku”. Mung eman, dene kanggo sauntara metune isih

saben telung sasi sepisan. Akeh unthute yen para sutresna

Kekasihku” padha akeh kang ora kanti ngenteni jumedhule

kekasihe ....”

’Redaksi Kekasihku kerap menrima surat sanjungan, puluhan banyaknya, dari para pembacanya yang merasa puas terhadap isi majalah tadi.

Sdr. Sukandar S.G. dari Pituruh, Kutoarjo, pada tanggal 24 April 1956, menulis surat seperti ini:

Terus terang saya mengakui kalau majalah pelipur Keka-sihku isinya dapat menyegarkan hati. Perwajahannya boleh, sudah dapat menyamai majalah-majalah lain yang usianya sudah lebih tua amat daripada Kekasihku. Hanya sayang, bahwa untuk sementara terbitnya masih setiap tiga bulan sekali. Banyak ... jika para pecinta Kekasihku banyak yang tidak sabar menanti terbitnya kekasihnya ....’

(59)

eksemplar. Jumlah itu tentu ingin dipertahankan, bahkan ditingkatkan. Dapat diperkirakan bahwa Kekasihku nomor 2 dan 3 setidaknya masih dicetak dalam jumlah yang sama dengan nomor 1. Namun, dalam perkembangannya julah itu tidak dapat bertahan lama karena situasi perekonomian yang semakin memburuk dan terjadinya persaingan dengan roman picisan yang semakin menjamur. Akibatnya, sebagaimana Pustaka Roman yang terbit sebelumnya, majalah sastra Jawa Kekasihku tidak mampu mempertahankan diri, kandas di tengah perjalanan.

3.4 Cenderawasih (1957)

(60)

Majalah Cenderawasih diterbitkan oleh NV Badan Penerbit Nasional, Jalan Tanjung 21, Yogyakarta (Atmojo, 2008). Pengelola majalah itu dan alamat redaksinya adalah sebegai berikut. Pemimpin Umum : Mohamad Supardi

Pemimpin Redaksi : Darmasugita

Komisi Redaksi : S. Dwidjoatmodjo, Sri Handajakusuma, dan Hadisukatno

Sekretaris Redaksi : Sardono dan Soetoro

Staf Istimewa : Alif Martadi, S. Marsudi, Soekatno, dan S. Rachmat

Alamat Redaksi : Jalan Tanjung 21, Yogyakarta.

Dikemukakan oleh Kemala Atmojo (2008) bahwa majalah Cenderawasih, antara lain, menampilkan novelet, legenda, cerita bergambar, pelajaran hidup (misalnya tentang tuhuning katresnan ’hakikat cinta’ dan pangawikan pribadi ’keahlian pribadi’), dan teka-teki silang (TTS). Dikemukakan pula bahwa harga langganan per bulan (dua edisi/nomor) adalah Rp2,50.

(61)

ditulis pada tanggal 27 April 1959, karena di dalam cerita pendek “Cumloroting Ndaru Ana ing Wayah Sore” diawali dengan tulisan sebagai berikut.

Dina Minggu tgl 27-4-1959 kira-kira jam 7 esuk. .... Kanthi numpak Bis Prawiramulya kang kapindho aku budhal menyang Sala, perlu minangkani panjaluke adhiku wadon kang ketemune wis gedhe.

’Hari Minggu tgl. 27-4-1959 kira-kira pukul 7 pagi. .... Dengan naik Bis Prawiramulya yang kedua berangkat ke Sala, perlu memenuhi permintaan adikku perempuan yang bertemunya sudah besar.’

(62)

3.5 Candra Pustaka Panglipur

Bersamaan dengan semakin sulitnya beberapa majalah sastra Jawa mempertahankan diri (karena suasana perekono-mian yang semakin memburuk dan beban persaingan dengan roman-roman pelipurlara yang cukup berat), terjadi penambahan lagi lokus penerbitan majalah sastra Jawa, tidak hanya di Surabaya dan Yogyakarta, tetapi juga di Surakarta. Pada bulan Mei 1963, misalnya, di kota Surakarta terbit majalah sastra Jawa yang diberi nama Candra Pustaka Panglipur—tulisan aslinya Tjandra PustakaPanglipur—(lihat fotokopi sampulnya berikut ini) dengan ukuran 14 cm x 19 cm.

(63)

Penanggung Jawab/Direksi : W. Tedjohartono

Redaksi : Widi Widajat

Administrasi : Ismojo

Juru Gambar : Sardono dan Soetoro Staf Istimewa : Kentardjo, S. Har, Wijono,

R. Susilo, dan Surono B.S. Karangan : Any Asmara, Widi Widajat,

Sri Hadidjaja, dan Sudarma K.D.

(64)

maksud dan tujuan penerbitan majalah tersebut, seperti berikut ini.

Pustaka wulanan minangka urun-2 supaya ngrembakane kasusastran basa Jawa awujud crita-2 panglipur.

’Pustaka bulanan sebagai sumbangan agar berkembang-nya kesusastraan bahasa Jawa berbentuk cerita-cerita pelipurlara.’

Sesuai dengan maksud dan tujuan serta nama majalah tersebut, cerita (karangan fiksi) yang ditampilkan berupa cerita pelipurlara sebagaimana cerita-cerita roman berbentuk buku saku kala itu. Pada waktu itu, buku-buku roman saku (roman picisan) sedang berjaya menuju puncaknya pada tahun 1966. Contohnya, sepuluh buku serial karya Any Asmara yang diberi label Panglipur Wuyung telah terbit sejak tahun 1961 dan serial terakhir terbit pada tahun 1965 (Cantrik Banyumas, 1983:20—21). Oleh karena itu, nama Candra Pustaka Panglipur tersebut tidak dicantumkan pada sampul depan, tetapi justru diletakkan pada sampul dalam. Sementara itu, sampul depan menggunakan gambar dan judul novelet karya Any Asmara yang diberi judul Gandrung Putri Sala (lihat fotokopi di depan). Dengan demikian, jika pemerhati atau pembaca tidak cermat akan terkecoh bahwa terbitan itu adalah (buku) roman saku sebagaimana roman saku lainnya dan bukan majalah. Penampilan dengan format seperti itu, (kemungkinan) memang disengaja untuk menyamarkan diri sambil mencoba bersaing dengan roman-roman yang sedang marak ketika itu. Namun, apakah penerbitan majalah tersebut terus berlanjut, sampai sekarang data terbitan nomor-nomor berikutnya sulit ditemukan.

3.6 Candrakirana

(65)

terbitnya Candra Pustaka Panglipur (lihat nomor 5 di depan) di kota yang sama. Candrakirana (lihat fotokopi sampulnya berikut ini.) berukuran 14 cm x 19,50 cm, diterbitkan oleh Fa Nasional, Surakarta.

Pengelola dan alamat redaksi majalah itu adalah sebagai berikut (lihat pula fotokopi halaman redaksi yang disertakan berikutnya).

Pemimpin Umum : Wijono Tedjohartono Pemimpin Redaksi: Widi Widajat

Redaksi : Ismojo, B.A., Suparman, dan Sudharma K.D. Tata Usaha : Ny. Sri Winarsih

Pembantu : Any Asmara, Iesmaniasita, Susilamurti, Sut. W.S., Sri Hadidjaja, S. Argorini, Rachmadi K., Indri Sadono, Hardjana H.P., Hadisusilo, Irawadi S., dan Slamet Sutarso. Juru Gambar : S. Har, Surana B.S., Kentardjo,

(66)

Selain susunan tim redaksi dan alamat redaksi/tata usaha, di dalam halaman keredaksian juga tercantum harga langganan, yakni Rp50,00 setiap nomor, ditambah ongkos kirim Rp15,00, serta biaya iklan 1 halaman Rp5.000,00, ½ halaman Rp3.000,00, dan ¼ halaman Rp1.500,00. Di dalam halaman keredaksian juga tercantum surat izin terbit dengan nomor 513/SK/UPPG/SIT/ 1963, tanggal 29 Agustus 1963, dan SIPK nomor 3048/F.1027/ 5279/I, yanggal 26 September 1963. Di samping itu, pada halaman keredaksian juga tercantum isi dan tujuan penerbitan majalah tersebut. Sebagai berikut.

(67)

’Isi dan tujuan: mengutamakan terhadap novel (cerita bersambung) dan cerita pendek yang dapat disarikan isi-nya oleh masyarakat yang bermanfaat dan selaras dengan Manipol/Usdek serta Kepribadian Indonesia.’

Bertolak dari isi dan tujuan itu, Candrakirana (yang mempunyai ketebalan kira-kira 60 halaman) lebih banyak dimanfaatkan untuk pemuatan beberapa cerita pendek dan cerita bersambung. Cerita-cerita itu cenderung berkategorikan Cerita-cerita-Cerita-cerita populer atau pelipurlara. Di dalam Candrakirana nomor 4/I/1964 (yang mempunyai ketebalan 66 halaman), misalnya, terdapat dua buah cerita bersambung yang terdiri atas “Tangising Ati Tresna” karya Hardjana H.P. (18—34) dan “Tumbal Kreteg Somaulun” (51— 61), dua buah cerita pendek yang terdiri atas “Yen wis Pinasthi” karya Argorini (35—43) dan “Ati kang Ringkih” karya Tjus Mardijani (44—50), serta sebuah cerita bergambar (63—66). Semen-tara itu, beberapa rubrik dan tulisan lainnya yang ditampilkan (18 halaman), antara lain rubrik “Pisungsunge Redaksi”,”Sangu Leladi” (baru), “Sarinah”, “Kepek Pribadi”, dan “Jagading Wa-nita” (baru), serta tulisan lainnya yang terdiri atas “Bung Karno Disengguh Brontak” (Redaksi), “Bisoa Subur lan Migunani marang Rakyat” (Ketua Umum PWI), serta pengumuman dan iklan. Sejak terbitan nomor 4/I/1964 itu ada tambahan dua rubrik baru, yaitu “Sangu Leladi” dan “Jagading Wanita”. Oleh karena terbitan nomor 4 itu bertepatan dengan bulan April, maka “Jagading Wanita” diisi dengan tulisan berjudul “Mengeti Ibu Kartini”; sedangkan dua buah cerita pendek yang ditampilkan adalah karya pengarang wanita, Argorini dan Tjus Mardijani.

(68)

majalah, butir 6 di depan). Di samping itu, pada dekade tersebut harga kertas semakin mahal dan subsidi kertas dari pemerintah dicabut pada tahun 1966. Akibatnya, banyak majalah bahasa Jawa, khususnya majalah sastra Jawa, gulung tikar. Candrakirana termasuk salah satu majalah yang tidak mampu mempertahankan diri, berhenti di tengah perjalanan, sebagaimana majalah sastra Jawa lainnya.

3.7 Kembang Brayan

(69)

Sebelum diresmikan sebagai majalah, nama Kembang Brayan telah dipakai sebagai identitas atau serial roman saku (roman picisan) yang terbit sekitar tahun 1966. Misalnya, pada sekitar tahun itu terbit roman saku Gendruwo Maguwa, Grombolan Jaket Abang, Pahlawan tan Dikenal, dan Gara-2 Rok Mepet Rambut Sasak, seluruhnya, karya Any (tanpa tahun terbit). Roman-roman itu masing-masing berukuran 11 cm x 15 cm, tebal antara 20 dan 70 halaman, terbitan CV Ganefo, Jalan Kranggan 54, Yogyakarta (lihat fotokopi sampul roman-roman tersebut berikut ini).

(70)

baru terbit dengan kode SIPK nomor B-19/E/K 1/III, tanggal 9 Januari 1967. Dengan demikian, dapat diperkirakan pula bahwa majalah sastra Jawa Kembang Brayan baru dapat diterbitkan pada awal tahun 1967, sesudah bulan Januari 1967.

Majalah sastra Jawa Kembang Brayan terbit tengah bulanan dengan ukuran yang sama dengan roman saku serial Kembang Brayan yang terbit sebelumnya. Pengelola majalah itu beserta alamat dan penerbitnya,yang didukung fotokopi susunan redaksi, dikutipkan berikut ini.

Pemimpin Umum : Any

Staf Redaksi : Kandung Supatnowijono, Kartijah, B.A., V. Sri Pudyastuti

Redaksi : Ismojo, B.A., Suparman, dan Sudharma K.D. Juru Sungging : Drs. Soedyono, Drs. Oyi Soedomo

Juru Foto : Bing Pono, B.Sc.

(71)

Dalam penerbitan perdananya, Kembang Brayan menam-pilkan roman Ida Ayu Rani karya Rani Sp. Dalam pengantarnya, redaksi antara lain menyatakan sebagai berikut.

Para maos kang minulya,

Entuk pangestu para sutresna Kembang Brayan kang maune mujudake buku crita lugu, wektu iki wis klakon dadi majalah tengah bulanan basa Jawa.

Nanging senajan mengkono, kita tetep ora ngowahi crita kayadene dhek Kembang Brayan durung dadi majalah biyen. Mung bedane, crita-2 kang kita aturake ing majalah Kembang

Brayan iki kita pilihake karyane pengarang-2 kang asmane wis

entuk papan jroning masyarakat.

’Para pembaca yang dimuliakan,

Berkat restu para pecinta Kembang Brayan yang tadinya berwujud buku cerita biasa, saat ini telah menjadi majalah tengah bulanan bahasa Jawa.

Tetapi meskipun demikian, kita tetap tidak mengubah cerita sebagaimana ketika Kembang Brayan belum menjadi majalah dahulu. Hanya bedanya, cerita-cerita yang kita suguhkan dalam majalah Kembang Brayan ini kita pilihkan karya pengarang-pengarang yang namanya sudah mendapatkan tempat dalam masyarakat.’

Dinyatakan di dalam “Bebukaning Carita” ’Pembuka Cerita” bahwa Rani Sp. (yang sering menggunakan nama samaran Wahjono Sp.) termasuk pengarang sastra Jawa yang namanya telah mendapatkan tempat dalam masyarakat (pembaca). Oleh karena itu, karyanya yang berjudul Ida Ayu Rani dipilih untuk tampil dalam Kembang Brayan edisi perdana. Karya itu sengaja ditampilkan karena merupakan

(72)

’.... suatu cerita yang indah enggiurkan .... Di dalam cerita tadi para pembaca dapat menikmati keindahan-keindahan pemandangan Pulau Bali yang religius beserta tata cara daerah yang sangat memikat....’

(73)

Dalam perkembangannya, majalah sastra Jawa Kembang Brayan tidak mampu bertahan,dan pada gilirannya pada tahun 1969—1971 terbit surat kabar atau koran berbahasa Jawa Kembang Brayan. Berdasarkan nama dan tenggang waktu yang tidak terlalu lama, koran Kembang Brayan itu merupakan reinkarnasi majalah tengah bulanan sastra Jawa Kembang Brayan tersebut.

Sebagaimana dikemukakan di depan bahwa di dalam ma-jalah Kembang Brayan (edisi pertama), antara lain terdapat su-sunan pengurus OPSJ. Susu-sunan pengurus OPSJ itu seperti fotokopi berikut ini.

3.8 Gumregah

(74)

Gambar

gambar atau lukisan (yang berfungsi) sebagai salah satu sarana

Referensi

Dokumen terkait

Setiap parameter mempunyai bobot yang sama untuk parameter yang masuk dalam kelompok yang sama; (b) Bobot antar kelompok sama seperti alternatif (a) namun bobot parameter dalam

Hubungan antara jurnal dan penelitian ini adalah Korelasi yang positif antara kompleksitas organisasi, dalam hal ini public relations sebagai perencana strategi

Berdasarkan proses dilakukannya praktikum dengan judul ekstraksi benih dan pengeringan ada baiknya juga dilakukan pengujian terhadap daya kecambah benih tersebut hal ini

Semua Dosen Pascasarjana Program Studi Magister Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan Universitas Muhammadiyah Malang yang telah membekali materi kependidikan

Strategi perencanaan dan pelaksanaan proses belajar mengajar di SMK Islam 1 Blitar Guru pendidikan agama Islam di SMK Islam 1 Blitar sebelum melakukan proses belajar mengajar di

Pada persamaan regresi diatas dapat kita lihat bahwa nilai Unstandardized Coefficients B sebesar – 0,150 yang berarti bahwa jika variabel independen dalm hal ini dewan

Penelitian yang dilakukan oleh Hertiningsih (2003) meneliti pengembangan silabus dan materi pembelajaran bahasa Indonesia dengan media gambar untuk siswa kelas satu semester I dan

Berdasarkan studi pendahuluan yang penulis lakukan di Puskesmas Ngemplak Simongan pada bulan September 2011, diperoleh data bahwa dari 10 ibu menyusui, 9 ibu diantaranya