• Tidak ada hasil yang ditemukan

Langite Isih Biru

Dalam dokumen MAJALAH SASTRA JAWA MASA KEMERDEKAAN 201 (Halaman 81-116)

BAB III PROFIL MAJALAH SASTRA JAWA 1945—2006

3.10 Langite Isih Biru

Pada tahun 1975 terbit dua kumpulan karya sastra Jawa yang formatnya menyerupai majalah Kisah, Sastra, dan Horizon dalam sastra Indonesia. Dua terbitan itu adalah Langite Isih Biru dan Kidung Katrisnan. Keduanya diterbitkan oleh Koperasi Karyawan

Pers Adijaya, Jakarta. Salah satu terbitan itu, yakni Langite Isih Biru (lihat gambar sampulnya setelah tampilan tim redaksi di bawah) dijadikan objek pembicaraan dalam kesempatan ini karena bentuknya tidak seperti buku antologi karya sastra pada umumnya, tetapi menyerupai majalah (Hutomo, 1975:52). Pertim- bangan lainnya adalah bahwa terbitan itu juga mencantumkan tim redaksi sebagaimana yang biasa terdapat dalam majalah, meskipun juga mencantumkan keterangan telah terdaftar di Kantibmas Komdak Metro Jaya dengan Nomor Polisi 037/BIN/ LEKN/VI/75. Tim redaksi itu tersusun sebagai berikut. Redaksi : Susilomurti

M. Noechasin Ilustrasi : Kentardjo

Dens

Disen : Rohadi Sutoyo

Berdasarkan informasi yang diperoleh, penerbitan kumpulan karya sastra Jawa (dalam Langite Isih Biru) tersebut direncanakan sebagai majalah sastra Jawa. Oleh karena itu, format cetaknya menyerupai format cetak majalah. Namun, izin penerbitan se-

bagai majalah mengalami kesulitan sebagaimana rencana penerbitan majalah (bahasa dan) sastra Jawa Suket yang diprakarsai Aswendo Atmowiloto yang mengalami kegagalan pula.

Dalam terbitan Langite Isih Biru (dengan ukuran folio dan tebal 34 halaman) ditampilkan 18 buah cerpen dan 6 buah guritan (lihat fotokopi daftar isi berikut ini).

Dari 18 buah cerpen itu, 16 buah menggunakan ilustrasi (untuk mena- rik pembaca); dan ilustrasi cerpen “Langite Isih Biru” karangan Sri Setya Rahayu dijadikan ilustrasi sampul depan kumpulan cerpen dan puisi ter- sebut. Sementara itu, posisi guritan diletakkan di antara cerpen-cerpen tersebut. Sebagai kelengkapan, pada halaman 31—32 dicantumkan biografi singkat para pengarang cerpen dan puisi yang ditampilkan, dan pada sampul belakang terdapat iklan (infor- masi) akan terbitnya roman silat Banten Banjir Getih karya Any Asmara (lihat berikut ini).

3.11Baluwarti

Dokumen ini ditemukan dalam bentuk kumpulan guritan stensilan, pada sampul (depan) kiri atas tercantum tulisan “Edisi

Khusus Baluwarti”, Seri: 001/PKJT/1981. Pada bagian tengah (agak ke atas) sampul itu terdapat tulisan nama (judul) kumpulan guritan itu, yakni “Kidung Balada”, dan pada bagian bawah terdapat tulisan penerbitnya, yaitu Pusat Kesenian Jawa Tengah, Gedung Sasonomulyo, Baluwarti, Surakarta. Dengan tulisan “Edisi Khusus” dan mencantumkan nomor seri itulah yang men- jadi sandaran bahwa kumpulan guritan tersebut digolongkan sebagai “buletin” (lihat contoh sampul berikut).

Buletin Baluwarti Seri 001/PKJT/1981 tersebut berukuran folio dengan tebal 16 halaman. Buletin itu menampilkan kumpul- an guritan karangan Suripan Sadi Hutomo yang diberi nama “Kidung Balada”, yang terdiri atas “Balada Jaka Tarub”, “Balada Panji Klanthung”, “Balada Kleting Kuning”, “Balada Jayadipura”, dan “Ba- lada Demang Dempul”. Buletin edisi khusus itu diberi kata pengantar oleh Poer Adhie Prawoto, dan dilengkapi dengan ri- wayat hidup pengarangnya secara singkat pada halaman terakhir (16).

Setelah ditelusuri, buletin Baluwarti edisi khusus tersebut merupakan satu-satunya buletin yang diterbitkan Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) karena kumpulan-kumpulan guritan lainnya (terbitan PKJT) tanpa sebutan “edisi” dan “nomor seri”. Kumpulan-kumpulan guritan itu, misalnya “Yen Aku Nyawang Mripatmu” (23 halaman) karangan Moch. Nursyahid P. (1981), “Kembang Cengkeh” (8 halaman) karangan Titah Rahayu (1982), dan “Tilgram” (9 halaman) karangan Bambang Sadono S.J. (1982). Di samping beberapa kumpulan guritan yang telah di- sebutkan, PKJT juga menerbitkan kumpulan cerpen dan guritan (stensilan) Taman Sari (1975), Guritan: Antologi Sajak-Sajak Jawi (cetakan) himpunan St. Iesmaniasita (1975), kumpulan guritan Tepungan Karo Omah Lawas (cetakan) himpunan Poer Adhie Prawoto (1979), serta novel dan drama bahasa Jawa pemenang sayembara penulisan yang diselenggarakan oleh PKJT tahun 1979 yang diterbitkan pada tahun 1980.

3.12Rara Jonggrang

Pada tahun 1983 terbit tabloid sederhana—dalam bentuk stensilan dan dengan jumlah yang amat terbatas—diberi nama Rara Jonggrang. Penerbitan tabloid itu diprakarsai oleh sejumlah pengarang muda (mahasiswa) yang tergabung dalam Kelompok Pengarang Sastra Rara Jonggrang. Kelompok pengarang sastra itu didirikan pada tanggal 13 Juni 1982 di Yogyakarta. Kelompok pengarang muda itu, antara lain Andrik Purwasito, A. Nugroho, Y. Sarworo Suprapto, Titah Rahayu, dan Krisna Mihardja. Mereka termasuk pengarang yang potensial. Titah Rahayu merupakan jebolan Ketua Sanggar Sastra Triwida Komisariat Trenggalek, Andrik Purwasito kemudian terpilih menjadi Ketua OPSJ Antar- Waktu Komisariat Daerah Istimewa Yogyakarta bentukan Sarasehan Pengarang Sastra Jawa di Ungaran pada tanggal 12— 14 November 1982, Krisna Mihardja kemudian menjadi pengurus (aktif dan kreatif) Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta yang didirikan

pada tanggal 12 Februari 1992, sedangkan A. Nugroho dan Y. Sarworo Suprapto menjadi penulis yang kreatif.

Dalam aktivitas kepengarangannya, mereka tergolong aktif dan kreatif. Namun, tabloid Rara Jonggrang yang dikelolanya tidak mampu bertahan, sebagaimana Cenderawasih (1975) yang hanya mampu terbit sekali. Kelompok pengarang itu pun kemudian bubar apalagi setelah beberapa anggotanya hijrah ke luar Yogyakarta. Misalnya, Andrik Purwasito kemudian menjadi dosen di UNS, Surakarta, dan Titah Rahayu pindah ke Surabaya, lalu bergabung di majalah Jaya Baya.

3.13Crita Cekak (Lampiran Panyebar Semangat)

Crita Cekak dalam tulisan ini bukan merupakan kelanjutan dari majalah Tjrita Tjekak asuhan Soebagijo Ilham Notodidjojo yang diterbitkan pertama kali pada bulan Agustus 1955, melainkan merupakan “lampiran” majalah (umum) Panyebar Semangat. Crita Cekak (lampiran Panyebar Semangat) itu mulai terbit pada tahun 1984 (lihat contoh berikut) dengan ukuran 14,50 cm x 21 cm dan tebal 16 halaman.

Lampiran tersebut disediakan untuk menampung cerita pendek Jawa dan terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia (± 10 halaman). Sisanya, yang ± 6 halaman), disediakan untuk menampilkan tulisan lain berupa kamus Jawa-Indonesia dan peribahasa Jawa. Namun, sayang bahwa Crita Cekak (Lampiran Panyebar Semangat) itu hanya berlangsung sampai dengan tahun 1986.

Sesuai dengan statusnya sebagai “lampiran”, Crita Cekak tersebut tanpa mencantumkan tim redaksinya. Meskipun hanya mampu bertahan selama dua tahun, Crita Cekak itu dapat me- lengkapi kehidupan majalah sastra Jawa yang terbit di Indonesia dan dapat memperkaya khazanah cerita pendek sastra Jawa yang dimuatnya.

3.14Pagagan

Pagagan adalah majalah sastra Jawa milik Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY). Kehadiran SSJY dan Pagagan tidak ter- lepas dari rangkaian kegiatan sebelumnya, yakni “Temu Pengarang, Penerbit, dan Pembaca” yang diselenggarakan oleh Balai (Penelitian) Bahasa Yogyakarta bekerja sama dengan Taman Budaya Yogyakarta pada tanggal 14—15 Desember 1990. Pasca- pertemuan itu, sejumlah pengarang, pengamat, dan pemerhati sastra Jawa dari Yogyakarta dan sekitarnya diajak berembug di Balai Bahasa Yogyakarta, tanggal 12 Februari 1991. Dalam forum rembug itu, hadirin bersepakat membentuk wadah yang diberi nama Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY) diikuti dengan pembentukan pengurus. Sesuai dengan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), pengurus SSJY dipilih setiap dua tahun sekali. Berdasarkan AD ART pula, pertemuan rutin diselenggarakan setiap dua bulan sekali dengan menghadirkan penceramah atau pemakalah (pakar, sastrawan, atau pengamat) dalam forum sarasehan, dilanjutkan dengan forum pembinaan kepengarangan (secara berkelompok). Untuk lebih meningkatkan keterampilan berekspresi (tulis), pada

tanggal 17—18 Desember 1991 diadakan Lokakarya Pe- nulisan Cerkak dan Guritan yang diprakarsai oleh Balai Bahasa Yogyakarta bekerja sama dengan Taman Budaya Yogyakarta dan SSJY.

Sebagai tindak lanjut lo- kakarya tersebut, dalam rapat Pengurus SSJY disepakati untuk menerbitkan majalah (sastra Jawa) dengan nama Pagagan. Majalah itu terbit setiap dua bulan sekali dan dibagikan dalam sarasehan rutin dua bulanan. Pagagan nomor 1 terbit pada bulan April 1992, berukuran kuarto, tebal 30 halaman, jumlah tiras kurang lebih 150 eksemplar (lihat contoh berikut). Sementara itu, terbitan-terbitan berikutnya dengan ketebalan antara 30 dan 60 halaman, sedangkan jumlah tiras tidak meng- alami perubahan yang signifikan.

Pagagan nomor 1 itu menampilkan 5 buah cerkak, 15 buah guritan, 1 buah esai, dan 1 buah kritik sastra. Atas saran dan usulan sejumlah anggota SSJY, mulai nomor 3 (Agustus 1992) Pagagan menambah rubrik macapat, dan sejak nomor 8 (Juni 2003) Pagagan menyediakan rubrik cerita rakyat. Namun, porsi utama- nya tetap disediakan untuk cerkak dan guritan.

Kehadiran Pagagan setidak-tidaknya dapat menjadi penye- juk bagi para pengarang dan pemerhati sastra Jawa, khususnya di kawasan Yogyakarta dan sekitarnya. Oleh karena itu, ke- hadiran majalah tersebut selalu diupayakan dan juga ditunggu oleh pelanggan setianya, meskipun dalam kondisi yang tertatih- tatih. Kondisi yang demikian dapat diperhatikan dari jumlah tiras yang hanya terbatas dan bentuk fisik majalah yang seder- hana. Jumlah tiras yang terbatas itu dapat menunjukkan bahwa

konsumen (pelanggan) setianya hanya orang-orang tertentu saja yang peduli terhadap sastra Jawa. Bahkan, tidak semua anggota SSJY menjadi pelanggan majalah tersebut. Akibatnya, beban biaya produksi majalah itu selalu lebih besar daripada hasil penjualannya, padahal tim redaksi dan penulis tidak mendapatkan imbalan finansial.

Beban yang amat berat tersebut memang sudah diprediksi sebelumnya sebagaimana yang dihadapi sejumlah pengelola majalah sastra Jawa sebelumnya sehingga mereka tidak mampu mempertahankannya. Namun, idealisme pengelola majalah Pagagan sungguh amat tangguh. Ia tetap berjuang mempertahan- kan kehadiran majalahnya, meskipun terpaan badai menerjangnya. Hal itu dibuktikan dengan terjadinya krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1997. Pagagan tetap dapat dihadirkan di tengah-tengah pemerhati setianya, meskipun waktunya agak mundur, rata-rata tiga bulan sekali. Sambil berjalan, pembenahan selalu dilakukan sehingga penerbitan Pagagan nomor 64 (Agustus 2007) mengalami perubahan penampilan. Ukuran majalah dibuat menjadi 15 cm x 21 cm, kemasan sampul tampak lebih bagus. Namun, Pagagan nomor berikutnya (65 dan seterusnya) kembali pada ukuran se- mula, yakni berukuran kuarto, dan terbit setiap empat bulan sekali. Sementara itu, tebal Pagagan yang baru itu antara 18 dan 30 ha- laman.

Kehadiran Pagagan secara berkesinambungan juga tidak terlepas dari dedikasi dan kegigihan pengelolanya, termasuk tim redaksinya. Tim redaksi yang menanganinya tergolong orang- orang yang tangguh, tahan bantingan, sehingga Pagagan pun pernah mendapatkan predikat “majalah sastra Jawa yang tahan bantingan” (Riyadi, 2008). Tim redaksi yang menangani majalah itu sering mengalami perubahan sesuai dengan kebijakan Pengurus SSJY sebagai pemrakarsanya. Demikian pula percetakan yang memproduksi majalah itu juga mengalami perubahan; sebelumnya Pagagan diproduksi di percetakan Wiropen, sedangkan berikutnya di Trikayon sampai terbitan nomor 79 (2013).

Pagagan—yang tahan bantingan—tersebut sejak awal telah memenuhi persyaratan penerbitan pers. Bahkan, dapat dikatakan bahwa Pagagan merupakan satu-satunya majalah sastra Jawa— yang telah terbit—yang memiliki izin terbit dari Departemen Penerangan, yakni STT Nomor 1921/SD/Ditjen PPG/STT/1992, tanggal 21 Oktober 1992, dan memiliki ISSN yang diterbitkan oleh Pusat Dokumentasi Ilmiah Indonesia LIPI dengan kode ISSN 0854-1035. Kedua persyaratan itu beserta tim redaksi yang baru dapat dilihat pada contoh berikut ini.

3.15Kabar saka Tlatah Jati

Kira-kira 12 tahun setelah kelahiran Pagagan, terbit buletin Kabar saka Tlatah Jati (dalam bentuk fotokopian ketikan komputer). Kemasan buletin sastra Jawa nomor 1, tahun 2004, itu tergolong amat sederhana, tidak jauh berbeda dengan bu- letin Baluwarti dan Rara Jonggrang (yang telah disebutkan di

depan). Penerbitan buletin itu diprakarsai oleh Sasngar Sastra Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB) bersamaan dengan penyelenggaraan Sarasehan Pengarang Sastra Jawa di Dander, Bojonegoro, tanggal 28—29 Agustus 2004. Nama buletin itu nunggak semi (melestarikan nama yang sama) dengan nama kumpulan guritan yang diterbitkan oleh PSPB tersebut pada tahun 1983 (Hutomo, 1997:13—14). Contoh sampul buletin itu sebagai berikut.

Kabar saka Tlatah Jati nomor 1/Agustus 2004 terbit dengan ukuran folio, tebal 20 halaman. Sajiannya, setelah “Cecala” ’Prakata’ ditampilkan “Sambutan Ketua Sarasehan/Temu Pengarang Sastra Jawa 2004” dan susunan Panitia Sarasehan (hlm. 1—5), “Wedharan Sabda Pangandika Bupati Bojonegoro”, ”Sambutan Pengarahan Bupati Bojonegoro”’ (6—8), “Tembang” (9—10), kemudian rubrik “Sastra” yang terdiri atas “Hadiah Sastra Rancage” (11) dan kumpulan guritan karya para pengarang yang sudah meninggal dunia (Muryalelana, St. Iesmaniasita, Poer Adhie Prawoto, Tamsir A.S., Ngalimu Ana Salim, Yes Ismie Suryaatmaja, dan Suripan Sadi Hutomo) sebagai persembahan (12—19), serta pajangan iklan majalah Parikesit dan Jaya Baya (sebagai mitra kerja sarasehan).

Penerbitan buletin itu ditangani oleh tim redaksi dengan susunan sebagai berikut.

Di antara anggota tim redaksi itu, yakni Djajus Pete dan J.F.X. Hoery merupakan pengarang tangguh yang pernah me- nerima hadiah Rancage, masing-masing dengan antologi cerpennya Kreteg Emas Jurang Gupit tahun 2002 dan antologi guritannya Pagelaran tahun 2004.

Sebagaimana majalah Cendrawasih dan buletin Baluwarti, buletin Kabar saka Tlatah Jati tidak berkelanjutan karena sampai dengan penyelenggaraan Kemah Budaya di Dander, Bojonegoro, 25—27 Oktober 2009, belum ada terbitan nomor/edisi berikutnya. Ketidakberdayaan melanjutkan penerbitan majalah sastra Jawa seperti itulah yang berulang kali terjadi sehingga timbul anggapan bahwa hal semacam itu merupakan hal yang biasa.

3.16Tunggak Semi

Imbauan dan seruan “Jogja Bangkit” pasca terjadinya mu- sibah gempa bumi (26 Mei 2006) dan erupsi Gunung Merapi membangkitkan pula greget ’semangat’ sejumlah pemerhati bu- daya Jawa pengisi (acara) Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta. Mereka, pada tanggal 27 Agustus 2006 di RRI, ber- sepakat mendirikan suatu paguyuban yang diberi nama “Tunggak Semi”. Tujuan didirikannya paguyuban “Tunggak Semi” itu, antara lain “awit saking kepenginipun badhe ndherek leladi tuwin ngleluri lan ngletarekaken kabudayan Jawi, mligi bab Seni Sastra Jawi” ’karena keinginan untuk turut berjuang serta menghormati

dan melestarikan budaya Jawa, khususnya seni sastra Jawa’. Berkenaan dengan tujuan itu, paguyuban tersebut kemudian menerbitkan buletin sastra Jawa yang diberi nama Tunggak Semi juga. Tunggak Semi edisi perdana (nomor 1) diterbitkan pada bulan September 2006 sekaligus menyambut hari jadi yang ke- 61 Radio Republik Indonesia (lihat contoh berikut).

Tunggak Semi edisi perdana tersebut menampilkan 5 buah crita lelakon ’cerita pengalaman’ (sejenis cerpen), 35 buah guritan, dan 12 bait macapat dengan berbagai metrum. Karya-karya yang ditampilkan itu seluruhnya merupakan gubahan para pemerhati pengisi siaran kebudayaan Jawa di RRI Yogyakarta. Sementara itu, sajian pada terbitan nomor-nomor berikutnya terbuka bagi karya-karya pemerhati lainnya.

Tunggak Semi direncanakan terbit setiap dua bulan sekali. Buletin itu terbit dengan ukuran 14 cm x 21 cm, dengan tebal rata-rata 60 halaman, dan jumlah tiras ±150 eksemplar. Hingga bulan Desember 2009, buletin itu telah mencapai nomor 20. Pe- nyebarluasannya dilakukan setiap penyelenggaraan pertemuan dan melalui pesanan. Pertemuan itu dilakukan secara bergiliran sambil bersilahturahmi dan wisata budaya.

Sebagaimana Pagagan, Tuggak Semi termasuk majalah sastra Jawa yang tahan bantingan karena hingga akhir 2009 masih dapat terbit secara rutin. Rutinitas penerbitan itu berkat kegigihan pengelolanya, yakni Pengurus Paguyuban Tunggak Semi yang sekaligus sebagai Dewan Redaksinya. Mereka itu adalah sebagai berikut.

Sementara itu, alamat redaksi seperti tercantum pada sam- pul depan, berikut.

4.1 Perkembangan Majalah Sastra Jawa 1945—2006

Penerbitan dan pengelolaan majalah sastra Jawa bukanlah pekerjaan yang mudah. Pekerjaan itu memerlukan perjuangan yang tidak mengenal lelah, apalagi menghendaki majalah yang berkualitas, baik yang berkenaan dengan penampilan fisik maupun isinya. Kegigihan, keuletan, dan ketabahan sangat diperlukan untuk mewujudkan keinginan mulianya itu. Soebagijo I.N., Poerwadhie Atmodihardjo, dan Any Asmara, misalnya, merupakan sosok-sosok tangguh dan penuh dedikasi dalam menghadapi tantangan yang begitu berat di bidang pers dan sastra Jawa (modern). Soebagijo I.N. dan Poerwadhie Atmodihardjo pernah berpengalaman mengelola pers di era pendudukan Jepang, 1940-an. Pada masa pendudukan Jepang itu, mereka diserahi tugas oleh pemerintah kolonial Jepang untuk mengelola lembar bahasa Jawa majalah Panji Pustaka (berbahasa Melayu/ Indonesia). Di dalam tugas jurnalistiknya, mereka tidak hanya mengelola lembar asuhannya, tetapi—secara sembunyi- sembunyi—juga turut berekspresi tulis mengisinya dengan menyamarkan namanya. Penyamaran itu dilakukan untuk menghindari tindakan dan sanksi berat apabila tulisan-tulisan mereka dianggap tidak sehaluan dengan pemerintah Jepang. Any Asmara—yang usianya lebih tua—bahkan telah terlibat dalam dunia pers pada tahun 1930-an. Any Asmara (nama aslinya

BAB IV

PERKEMBANGAN MAJALAH

SASTRA JAWA 1945—2006

DAN PERANANNYA DALAM PEMBINAAN

DAN PENGEMBANGAN SASTRA JAWA

Achmad Ngubaeni Ranusastra Asmara)—dengan nama samaran “Any” pernah menjadi juara pertama lomba penulisan cerita anak yang diselenggarakan oleh Kajawen dan “Taman Bocah” tahun 1930-an. Berkat keberhasilannya itu, ia kemudian diserahi tugas untuk mengasuh rubrik “Taman Bocah” dalam majalah tersebut dengan nama samaran “Bu Mar”.

Pengalaman yang mereka peroleh pada masa kolonial (Belanda dan Jepang) tersebut menjadi bekal utama untuk membantu masyarakat yang sedang memerlukan informasi aktual dan bahan bacaan pada masa awal kemerdekaan. Sehubungan dengan itu, setelah tinggal sebentar di Yogyakarta dan berhasil menerbitkan dan mengelola Api Merdika (1945) dan Jiwa Islam (1945), Soebagijo I.N. hijrah ke Surabaya, kemudian bergabung ke majalah Panyebar Semangat menjadi anggota redaksi. Tidak lama kemudian, ia bersama R.M. Bintarti, Any asmara, dan Poerwadhie Atmodihardjo mendirikan majalah sastra Jawa Pustaka Roman (April 1953). Majalah itu diterbitkan tengah bulanan oleh Penerbit Panyebar Semangat. Berkat pimpinan Soebagijo I.N., majalah itu dapat berjalan dengan lancar, dengan sajian roman pelipurlara sebagai bacaan hiburan yang mulai laris kala itu. Di samping Soebagijo I.N., Any Asmara, dan Poerwadhie Atmodihardjo yang mengisinya, pengarang- pengarang lain juga memanfaat-kannya. Banyak toko buku dan agen dibuka untuk memasarkan Pustaka Roman tersebut.

Di samping menjadi Pemimpin Redaksi Pustaka Roman, Soe- bagijo I.N. beropsesi menerbitkan majalah sastra Jawa yang berkualitas sebagaimana majalah Kisah dalam sastra Indonesia. Opsesinya itu dapat terlaksana enam belas bulan kemudian setelah penerbitan Pustaka Roman. Tepat pada bulan Agustus 1955, majalah bulanan sastra Jawa yang diberi nama Crita Cekak dapat ditebitkan. Majalah itu direncanakan memuat setidaknya 10 buah cerita pendek setiap edisi. Sesuai dengan opsesinya, majalah itu dikelola dengan sungguh-sungguh sehingga cerpen-cerpen yang ditampilkan kebanyakan lebih berbobot daripada cerpen-cerpen (dalam majalah) lainnya. Di dalam majalah Crita Cekak juga disediakan rubrik kritik

sastra yang diberi nama “Sorotan” dan rubrik yang berisi informasi atau penjelasan tentang karangan-karangan yang dapat dimuat dan sebaliknya yang diberi nama “Kabar saka Redaksi”, yang kemudian diubah menjadi “Pos Kagem”. Dengan penyediaan rubrik-rubrik itu, antara lain, Crita Cekak mendapatkan respons positif sehingga karangan-karangan yang masuk keba-nyakan merupakan karang- an-karangan yang bagus. Di samping itu, majalah tersebut juga menampilkan guritan-guritan yang bagus pula, meskipun jumlahnya amat terbatas. Dengan pemuatan guritan itu, Crita Cekak juga peduli terhadap pembinaan dan pengembangan puisi Jawa modern.

Terbitnya Pustaka Roman dan Crita Cekak tampak menarik perhatian tokoh (pemerhati) sastra Jawa lainnya di Surabaya. Tokoh pemerhati itu bernama Satim Kadarjono. Sambil bekerja sebagai Staf Redaksi Panyebar Semangat, ia menerbitkan majalah triwulanan sastra Jawa Kekasihku pada bulan Januari 1956. Dalam pengelo- laannya, ia antara lain dibantu oleh Basuki Rachmat. Majalah itu menampilkan roman-roman populer dan menyediakan ruang yang agak longgar untuk pemuatan puisi Jawa modern (guritan). Untuk menarik perhatian konsumen (pembaca) sebanyak-banyaknya, Pemimpin Redaksi Kekasihku, antara lain, berusaha menjaringnya melalui pemasangan iklan di majalah Panyebar Semangat, tempat Satim Kadarjono bekerja sebagai staf redaksi. Dengan bertambah- nya penerbitan Kekasihku, setidaknya (di Surabaya) terjadi per- saingan perolehan konsumen, meskipun kemungkinan tidak tampak secara mencolok.

Kehadiran majalah sastra Jawa tidak hanya terpusat di Sura- baya. Sebelas bulan setelah penerbitan Kekasihku, pada bulan Februari 1957 terbit majalah tengah bulanan sastra Jawa Cendera- wasih di Yogyakarta. Majalah itu diterbitkan oleh Badan Penerbit Nasional. Pengelolanya ialah Muhamad Supardi dkk. Majalah terbitan Yogyakarta itu antara lain menampilkan novelet populer, legenda, dan cerita bergambar. Oleh karena tampil dalam bentuk roman saku, majalah Cenderawasih (1957) agak sulit dibedakan dengan roman-roman saku yang semakin menjamur kala itu.

Bahkan, tidak lama setelah penerbitan majalah Cenderawasih, ber- edar pula terbitan serial roman saku berlabel Cendrawasih (±1959) dengan penerbit yang sama, yakni Badan Penerbit Nasional. Kedua nama itu hanya terdapat perbedaan yang (amat) kecil. Nama yang pertama (majalah) mempunyai vokal e pada peng- galan “cendera-”, sedangkan nama yang kedua (roman saku) tanpa vokal e pada penggalan yang sama sehingga langsung “cendra-”. Penerbitan roman saku serial Cendrawasih dapat menambah rancunya status terbitan itu, apakah masuk kategori majalah atau- kah tetap roman saku. Namun, dapat diduga bahwa majalah Cenderawasih dan roman serial Cendrawasih masih ada hubungan (manajeman)-nya. Setelah keduanya menghilang dari peredaran, nama itu kemudian diambil alih atau dipakai oleh majalah Djaka Lodang (di Yogyakarta) untuk dijadikan nama majalah sastra Jawa edisi khusunya, Cendrawasih (1975).

Setelah beberapa pendekar pers berbahasa Jawa yang amat peduli terhadap sastra Jawa di Surabaya dan Yogyakarta berhasil menerbitkan majalah sastra Jawa, sejumlah pendekar pers dan sastra Jawa di Surakarta tidak mau ketinggalan. Mereka juga berhasil menerbitkan majalah sastra Jawa yang diberi nama Candra Pustaka Panglipur (1963). Majalah—yang direncanakan terbit setiap bulan—itu diterbitkan pada bulan Mei 1963. Di dalam tim redaksinya, antara lain, tercantum tokoh sastra Jawa Widi Widajat dan nama-nama beken ’handal’ lainnya, seperti Sudarma K.D., Any Asmara, dan Sri Hadidjaja.

Pada saat kelahirannya (1963), roman saku sedang men- dapatkan angin segar sehingga jumlahnya semakin besar. Hal itu berpengaruh pada penerbitan-penerbitan majalah sastra Jawa sehingga penampilan majalah Candra Pustaka Panglipur didisain mirib dengan roman pelipurlara. Pada sampul depan (bagian luar) yang lazim terpampang nama majalah, malahan diganti dengan judul novelet, “Gandrung Putri Sala” karya Any Asmara, disertai lukisan atau gambar yang mengilustrasikan “Putri Sala”. Nama majalah itu justru tercantum pada halaman susunan redaksi

dengan tulisan yang tidak mencolok. Dengan penampilan seperti itu, pemerhati atau pembaca yang kurang jeli dapat terkelabui bahwa terbitan tersebut (tampak) bukan majalah, melainkan roman pelipurlara sebagaimana roman-roman yang sedang marak kala itu. Dengan penampilan seperti itu pula, perkembang-

Dalam dokumen MAJALAH SASTRA JAWA MASA KEMERDEKAAN 201 (Halaman 81-116)

Dokumen terkait