• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. DIPLOMASI DAN INTERVENSI

A. Diplomasi Belum Berakhir

Pelaksanaan Perundingan Renville dibayang-bayangi oleh adanya sejumlah perbedaan prinsip dan pandangan yang sangat mendasar di antara Indonesia – Belanda dalam menyikapi beberapa substansi yang disengketakan. Belanda berpandangan bahwa substansi di bidang militer harus diselesaikan terlebih dahulu agar gencatan senjata bisa dilaksanakan secara efektif. Proses demiliterisasi dan penentuan batas-batas daerah pendudukan merupakan substansi yang menurut Belanda harus segera dibahas oleh kedua belah pihak dalam melaksanakan gencatan senjata. Belanda berprinsip bahwa selama substansi di bidang militer belum dituntaskan, maka akan sulit bagi pihaknya untuk mempertimbangkan substansi di bidang politik karena lancar tidaknya proses pemulihan keamanan dan ketertiban di bidang militer akan berpengaruh terhadap proses pembahasan substansi politiknya.

Sedangkan Indonesia berpandangan bahwa substansi di bidang militer, khususnya mengenai gencatan senjata akan bisa dilaksanakan secara efektif jika Belanda juga mematuhi resolusi DK PBB secara penuh. Menurut Indonesia proses penentuan batas-batas daerah pendudukan tidak akan berjalan mudah karena pada dasarnya masih terdapat persengketaan di antara kedua belah pihak mengenai kepastian status daerah-derah tersebut, baik ketika sebelum terjadinya agresi maupun setelah dikeluarkannya resolusi DK PBB. Indonesia lebih memilih

untuk memprioritaskan penyelesaian substansi di bidang politik karena substansi-substansi yang ada di dalamnya, seperti misalnya mengenai rencana pembentukan pemerintahan sementara NIS, dan peninjauan kembali hubungan politik antara Indonesia – Belanda merupakan substansi yang lebih penting dan mendesak untuk segera diselesaikan.

Berdasarkan hasil pembicaraan yang diadakan sebelumnya terlihat jelas bahwa di antara kedua belah pihak ternyata masih belum menemukan suatu bentuk kesepakatan yang secara konkret bisa segera dilaksanakan terhadap substansi-substansi yang ada. Meskipun dalam hal ini keberadaan KTN sebagai mediator perundingan setidaknya telah bisa mendekatkan keduanya di dalam suatu perundingan, tetapi masing-masing pihak ternyata masih sering terbentur pada perhitungan-perhitungan politis dalam memahami substansi yang ada, sehingga masih sulit bagi keduanya untuk menempatkan substansi yang dihadapi secara obyektif dan proporsional. Obyektif dalam hal ini adalah perlunya membahas suatu substansi berdasarkan pada kenyataan yang ada, sedangkan proporsional berarti menuntut hak-haknya sesuai dengan kesepakatannya dengan pihak lain.

Adanya usaha yang dilakukan oleh KTN dengan cara melakukan lobi-lobi politik di antara kedua belah pihak sering terganjal oleh sikap Belanda yang cenderung kaku dan sulit untuk diajak memahami substansi yang ada dari sudut pandang kedua belah pihak. Selain itu hambatan terhadap jalannya perundingan juga sering berasal dari dalam DK PBB sendiri. Adanya perbedaan pandangan negara-negara anggota DK PBB dalam menyikapi konflik yang sedang terjadi di

Indonesia menyebabkan DK PBB beberapa kali menemukan kegagalan dalam membuat suatu resolusi baru yang secara teknis diperlukan untuk menindaklanjuti perintah gencatan senjata yang telah ada. Dapat disebutkan bahwa adanya kecenderungan dari negara-negara seperti Inggris, Belgia, dan Perancis untuk memihak Belanda membuat peranan DK PBB justru melemah karena negara-negara tersebut cenderung menentang setiap rancangan resolusi yang akan merugikan posisi Belanda, baik secara militer maupun politik.1 Posisi Belanda yang lebih kuat secara militer membuat Belanda mempunyai daya tawar yang lebih tinggi dalam menghadapi setiap tuntutan Indonesia, sehingga dasar perundingan lebih terlihat sebagai suatu perundingan yang berada di bawah tekanan, bukan sebagai suatu perundingan yang bebas.

Sementara itu situasi menjelang perundingan terasa kurang kondusif karena selain masih adanya sejumlah pertempuran di lapangan, hal tersebut juga disebabkan oleh adanya perang urat saraf yang terus dilakukan oleh Indonesia maupun Belanda. Masing-masing pihak dengan sengaja melancarkan berbagai bentuk sentimen politisnya kepada pihak lain untuk menunjukkan eksistensi dan kekuatannya. Ada berbagai bentuk manuver politik yang dilancarkan oleh masing-masing pihak yang tentu saja bertujuan untuk menghimpun dukungan dari dunia internasional dan untuk menciptakan situasi-situasi yang mungkin bisa dimanfaatkan. Indonesia sendiri yang sejak penandatanganan Perjanjian Linggajati telah mendapatkan pengakuan kedaulatan dari berbagai negara, baik secara de facto maupun de jure seperti dari Inggris, AS, Mesir, Libanon, Suria,

1

Alastair M. Taylor, 1960, Indonesian Independence and the United Nations, Stevens and Sons Limited, London, hlm. 54, 57, dan 62.

Afganistan, Burma, Arab Saudi, Yaman, Rusia, dan India tetap berpandangan bahwa jalur diplomasi akan lebih menjamin posisinya, meskipun secara substansial pihaknya harus menghadapi tuntutan-tuntutan Belanda yang cukup memberatkan.2 Keyakinan Indonesia terhadap jalur diplomasi tidak lepas dari adanya faktor simpati dan dukungan dari dunia internasional dan keterlibatan DK PBB melalui KTN yang secara teoritis bisa diharapkan membantu menyelesaikan konfliknya dengan Belanda selama ini. Bagi Belanda sendiri perundingan ini mungkin menjadi sesuatu hal yang tidak diharapkan sejak Van Kleffens gagal menolak keterlibatan DK PBB dalam menengahi konflik negaranya dengan Indonesia.3 Masuknya konflik Indonesia – Belanda ke dalam agenda pembahasan DK PBB membuat Belanda harus menghentikan segala bentuk kesewenang-wenangannya terhadap Indonesia.

Sikap Indonesia dalam menghadapi Perundingan Renville secara jelas dinyatakan oleh PM Amir Syarifuddin dalam pidato politiknya di depan sidang Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) pada tanggal 2 Oktober 1947. Dalam pidatonya tersebut PM Amir Syarifuddin menyatakan bahwa:

Segala akibat agresi Belanda mesti kita hilangkan. Selekas mungkin stelsel keuangan kita, stelsel perhubungan kita, perdagangan kita, perekonomian kita meski dikembalikan di seluruh daerah Republik. Ini berarti bahwa pertama kali kita akan menuntut pengunduran tentara Belanda ke garis demarkasi tanggal 14 Oktober 1946, atau sekurang-kurangnya pada keadaan tanggal 20 Juli 1947. Sudah barang tentu, tujuan ini tidak lengkap dan tidak sempurna, tetapi mesti ditambah dengan tujuan satu lagi, yaitu menuntut pengunduran tentara Belanda

2

G. Moedjanto, 1989, Indonesia Abad Ke-20 Jilid I, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 138.

3

Charles Wolf Jr., 1948, The Indonesian Story, The John Day Company, New York, hlm. 138.

dari seluruh daerah Republik dan kemudian dari seluruh Kepulauan Indonesia.”4

Cukup singkat memang inti dari pidato PM Amir Syarifuddin tersebut, tetapi secara jelas telah bisa menggambarkan posisi Indonesia dalam menempuh perundingannya dengan Belanda. Pernyataan tersebut setidaknya menggambarkan bahwa posisi Indonesia adalah tetap sebagai negara yang berdaulat dan tetap akan mempertahankan eksistensinya terhadap Belanda di dalam Perundingan Renville.

Sementara itu di dalam negeri Indonesia sendiri telah terjadi perubahan politik yang cukup mengejutkan berbagai pihak. Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang sejak Perjanjian Linggajati telah menarik dukungannya terhadap pemerintah pada bulan November 1947 menyatakan ikut mendukung Kabinet Amir Syarifuddin.5 Secara lebih jauh Masyumi mendukung langkah-langkah PM Amir Syarifuddin dalam usahanya menghadapi Belanda secara diplomatis. Kemudian PM Amir Syarifuddin pun segera merombak kabinetnya dengan memasukkan sejumlah nama baru yang berasal dari Masyumi ke dalam kabinetnya.6

Secara politis momentum ini jelas merupakan suatu keuntungan bagi perjuangan Indonesia dalam menghadapi Belanda karena kini dukungan politik terhadap kabinet Amir Syarifuddin semakin kuat. Masuknya Masyumi telah

4

A.H. Nasution, 1978, Sekitar Perang Kemerdekaan I Jilid 6 : Perang Gerilya Semesta I, Angkasa, Bandung, hlm. 5-6.

5

Pramoedya Ananta Toer dkk., 2001, Kronik Revolusi Indonesia Jilid III (1947), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, hlm. 400.

6

Masyumi mendapat enam kursi di dalam Kabinet Amir Syarifuddin yang telah dirombak pada tanggal 11 November 1947. Lihat Susan Finch and Daniel S. Lev, 1965, Republic of Indonesia Cabinets 1945 – 1965, Interim Reports Series, New York, hlm. 12-14.

berhasil menciptakan suatu konstelasi politik yang solid bagi pemerintahan PM Amir Syarifuddin karena kini dapat dikatakan bahwa sebagian besar partai politik telah meleburkan diri dalam kabinetnya. Dapat ditambahkan juga bahwa masuknya Masyumi telah melengkapi kekuatan politik Kabinet Amir Syarifuddin yang didukung oleh partai-partai dari Sayap Kiri maupun Nasional. Dari Sayap Kiri terdapat Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Partai Buruh Indonesia (PBI). Dari golongan nasional terdapat Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII), dan Masyumi.7 Langkah PM Amir Syarifuddin untuk merombak kabinetnya dengan menggandeng Masyumi ke dalamnya merupakan suatu bentuk usaha penghimpunan kekuatan politik dalam negeri untuk menghadapi Belanda di dalam perundingan.

Belanda pun tak henti-hentinya melakukan propaganda-propaganda politiknya yang bertujuan untuk memojokkan posisi Indonesia di dunia internasional. Propaganda-propaganda politik tersebut sengaja dilakukannya untuk memberikan alasan pembenaran terhadap aksinya pada tanggal 21 Juli 1947 dan dalam rangka mencari dukungan internasional atas kebijakan pemerintahnya dalam menghadapi Indonesia. Propaganda Belanda yang cenderung meremehkan eksistensi Indonesia sebagai suatu negara secara jelas tercermin dalam pidato politik para pemimpinnya. Salah satu pidato politik Belanda adalah pidato yang diucapkan Van Mook di dalam suatu siaran radio Belanda pada tanggal 4 September 1947 yang menyatakan bahwa :

7

……… “Mungkin kami salah, karena terlalu sabar, sehingga elemen-elemen

jahat dalam Republik semakin merajalela melakukan penculikan, pembunuhan, perusakan dan pembakaran di daerah-daerah yang mereka tidak dapat pertahankan dengan membawa serta sandera-sandera Belanda yang berhasil mereka tangkap. Semuanya dilakukan untuk mempertahankan kejahatan mereka. Pemerintah Republik tidak mampu membangun suatu pemerintahan, sekalipun hanya yang menyerupai suatu sistem pemerintahan yang mempunyai peraturan keuangan, ekonomi, dan sosial. Pendeknya, jika Republik dibiarkan menyelesaikan urusannya sendiri, mereka tidak akan mampu mencapai sesuatu yang dapat diandalkan untuk memperoleh kemerdekaan yang berdaulat.”8

Jelas bahwa dengan pidatonya tersebut secara implisit Van Mook meragukan kedaulatan yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia. Van Mook menuduh bahwa pemerintah Indonesia saat ini tidak mampu menjalankan roda pemerintahan dengan baik, terutama di bidang keamanan dan ketertiban dimana masih sering terjadi aksi-aksi penculikan, pembunuhan, perusakan, dan pembakaran terhadap orang-orang asing, khususnya orang Belanda.9 Pidato Van Mook tersebut penuh dengan nuansa sentimen politis terhadap Indonesia yang secara sekilas apa yang dikatakannya seolah-olah benar, tetapi tanpa disertai dengan akar permasalahan yang ada sebenarnya.

Selain melontarkan propaganda-propaganda politiknya, Belanda juga melakukan manuver-manuver politik lainnya untuk menekan Indonesia, yaitu dengan cara mendisintegrasi beberapa daerah yang sebenarnya masih termasuk dalam wilayah kedaulatan Indonesia untuk kemudian dibentuk pemerintahan sendiri yang berada di bawah pengaruh kekuasaan politiknya. Pemerintahan

8

K.M.L Tobing, 1986, Perjuangan Politik Bangsa Indonesia : Linggajati, Gunung Agung, Jakarta, hlm. 170-171.

9

sendiri itulah yang oleh Belanda disebut sebagai negara federal, sedangkan Indonesia menyebutnya sebagai negara boneka karena dibentuk tanpa mempunyai kapabilitas politik yang jelas. Pembentukan negara-negara federal tersebut dilakukan Belanda dengan cara memfasilitasi orang-orang tertentu yang merasa tidak puas dengan pemerintahan Indonesia saat ini dan lebih menginginkan untuk membentuk pemerintahan sendiri di daerahnya.10 Selanjutnya Belanda pun membantu membentuk alat-alat kelengkapannya seperti layaknya suatu negara yang kemudian diberinya status otonom sebagai suatu pemerintahan. Menurut Belanda pembentukan negara-negara federal merupakan persiapan untuk menuju pembentukan NIS yang sudah direncanakan sejak adanya Perjanjian Linggajati.11

Pembentukan negara-negara federal oleh Belanda sebenarnya sudah dilakukan sejak bulan Desember 1946 dengan membentuk Negara Indonesia Timur (NIT).12 Kemudian diikuti dengan adanya gerakan Partai Rakyat Pasundan di Jawa Barat pada bulan Mei 1947, dimana dalam kasus ini ada indikasi bahwa Belanda terlibat dalam gerakan tersebut. Gerakan tersebut diindikasikan merupakan percobaan dari Belanda untuk mempersiapkan pembentukan Negara Jawa Barat. Selain itu Belanda juga membentuk Negara Kalimantan Barat dan kemudian memberikan status daerah otonom atas Kalimantan Timur pada bulan Agustus 1947, setelah itu Belanda juga membentuk Negara Sumatera Timur pada

10

Audrey Kahin, 1985, Regional Dynamics of the Indonesia Revolution : Unity from Diversity, University of Hawai Press, Honolulu, hlm. 220-221.

11

Alastair M. Taylor, op. cit., hlm. 58-59.

12

bulan Desember 1947.13 Dari keterangan tersebut hal yang dapat dikatakan adalah Belanda berusaha mencaplok wilayah Indonesia dengan cara memecah-mecahnya menjadi negara-negara federal untuk melemahkan kekuatan Indonesia. Menurut Indonesia tindakan Belanda tersebut telah merugikan pihaknya karena tindakan tersebut dapat dianggap sebagai suatu perampasan terhadap wilayahnya. Indonesia memprotes tindakan Belanda tersebut karena telah melecehkan kedaulatannya. Keberatan Indonesia didasarkan pada tindakan Belanda yang telah mempengaruhi bahkan memfasilitasi aksi-aksi separatisme di Indonesia. Tindakan Belanda tersebut merupakan salah satu strateginya untuk memecah-mecah wilayah Indonesia, sehingga diharapkan kekuatan Indonesia akan semakin melemah. Negara-negara federal tersebut sengaja diciptakan oleh Belanda untuk mengepung posisi Indonesia secara politis dengan cara menciptakan gerakan-gerakan yang pada intinya menentang keberadaan pemerintahan Indonesia.

Dalam mempersiapkan tuntutan-tuntutannya, baik Indonesia maupun Belanda ternyata masih terhambat oleh adanya perbedaan prinsip dalam memulai suatu persiapan perundingan. Belanda menyatakan bahwa pembahasan substansi militer harus didahulukan, sedangkan Indonesia justru berpendapat sebaliknya, substansi politiklah yang harus didahulukan. Selain itu masing-masing pihak pun masih mempunyai perbedaan yang cukup tajam dalam menafsirkan substansi-substansi yang ada. Pada substansi-substansi gencatan senjata misalnya, kedua belah pihak ternyata belum menemukan definisi yang sama dalam menyikapinya, sehingga

13

Charles Wolf Jr., op. cit., hlm. 106 dan 108. Lihat juga dalam Anthony Reid, 1974, Indonesian National Revolution 1945-1950, Longman, Australia, hlm, 116.

gencatan senjata tidak berjalan efektif. Indonesia menafsirkan bahwa gencatan senjata berarti perintah bagi pasukannya untuk tetap tinggal di tempat dan menghentikan segala bentuk permusuhan, sedangkan Belanda menafsirkannya sebagai suatu perintah untuk memulihkan keamanan dan ketertiban di daerah-daerah yang telah didudukinya, yaitu dengan cara melakukan gerakan pembersihan terhadap pasukan Indonesia yang masih berada di dalam garis Van Mook.14 Oleh karena adanya perbedaan penafsiran itulah kedua belah pihak sering terlibat dalam perdebatan karena Indonesia menuduh Belanda tidak mau mematuhi resolusi DK PBB karena secara sepihak pasukan Belanda masih saja memperluas daerah pendudukannya dengan alasan gerakan pembersihan.

Pihak Indonesia sendiri pun mempunyai argumen yang kuat bahwa pasukannya secara otomatis tentu akan memberikan perlawanan jika diserang oleh pasukan Belanda. Hal itulah yang membuat pertempuran antara pasukan Indonesia dan pasukan Belanda tak kunjung berhenti karena masing-masing pihak merasa posisinya terancam oleh pihak lain. Masalah-masalah tersebut secara sistematis diuraikan oleh Komisi Konsuler dalam laporannya kepada KTN pada bulan Oktober 1947 yang juga menyatakan bahwa gencatan senjata tidak berjalan efektif karena masing-masing pihak mempunyai penafsiran yang berbeda atas perintah tersebut.15

Perbedaan penafsiran juga terjadi dalam substansi daerah-daerah pendudukan yang akan direkapitulasi setelah terlebih dahulu dibuat garis

14

Robert J. McMahon, 1981, Colonialism and Cold War : The United States and the Strunggle for Indonesian Independence 1945 – 1949, Cornell University Press, London, hlm. 190.

15

Basuki Suwarno, 1999, Hubungan Indonesia – Belanda Periode 1945 – 1950 Jilid I, Upakara, Jakarta, hlm. 262.

demarkasi. Menurut Indonesia garis demarkasi harus mengacu pada posisi masing-masing pihak pada saat perintah gencatan senjata mulai diberlakukan, yaitu pada tanggal 4 Agustus 1947, sedangkan Belanda berpendapat bahwa garis demarkasi ditentukan berdasarkan pada posisi terakhir di daerah-daerah yang telah diduduki, dalam hal ini Belanda menuntut agar garis Van Mook dijadikan garis demarkasi.16 Demikianlah sejumlah perbedaan yang terjadi di antara Indonesia – Belanda dalam menyikapi substansi militer. Perbedaan pendapat yang berlarut-larut tersebut membuat sejumlah agenda pembahasan substansi politik menjadi terbengkalai karena kedua belah pihak terus cenderung untuk memperdebatkan substansi militer.

Sebenarnya sudah ada sejumlah rancangan resolusi yang sering dibahas di dalam sidang DK PBB untuk mengatasi perbedaan pendapat antara Indonesia – Belanda, tetapi rancangan tersebut sering menemukan kegagalan karena di dalam DK PBB pun sering terjadi perbedaan pendapat. Dalam hal ini dapat ditambahkan juga bahwa kecenderungan Inggris, Perancis, dan Belgia untuk memihak Belanda membuat setiap mekanisme pembahasan rancangan resolusi berjalan alot, karena negara-negara tersebut sering menolak rancangan resolusi yang cenderung akan merugikan Belanda. Dalam sidang DK PBB sendiri terjadi beberapa kali penolakan rancangan resolusi yang pada intinya berisi tentang perintah untuk menarik mundur pasukan Belanda pada posisi semula, yaitu sebelum tanggal 21 Juli 1947. Salah satunya adalah ketika pada tanggal 11 Oktober 1947 Rusia mengajukan rancangannya untuk menarik mundur pasukan

16

George McTurnan Kahin, 1995, Nasionalimse dan Revolusi di Indonesia, terj., UNS Press, Jakarta, hlm. 274.

Belanda ke daerah yang mereka duduki sebelum terjadinya agresi 21 Juli 1947.17 Rancangan tersebut juga didukung oleh Australia, Kolombia, dan Polandia, tetapi tentangan datang dari AS. Warren Austin yang menjadi wakil AS menyatakan bahwa DK tidak mempunyai data dan informasi yang cukup untuk menilai posisi kedua belah pihak dan ia menyarankan agar DK memerintahkan KTN untuk meninjau langsung ke Indonesia dan membantu kedua belah pihak untuk melaksanakan gencatan senjata.18 Hasilnya, DK justru menerima rancangan resolusi yang diajukan AS tersebut dan menolak rancangan Rusia karena hanya didukung oleh tiga suara, sedangkan Belgia, Perancis, dan Inggris menolaknya.19

Adanya sejumlah suara penolakan dari negara-negara seperti Inggris, Perancis, dan Belgia untuk merumuskan resolusi yang berisi tentang penarikan pasukan Belanda membuat DK PBB tidak berhasil menemukan cara yang efektif untuk menghentikan permusuhan antara Indonesia – Belanda. Demikianlah situasi perundingan awal yang penuh dengan perbedaan pendapat, sehingga sampai bulan Oktober pun belum tercapai suatu kesepakatan yang secara konkret bisa dilaksanakan.

Selanjutnya, meskipun substansi gencatan senjata belum bisa diselesaikan perundingan tetap dilanjutkan untuk membahas tentang rekapitulasi daerah-daerah pendudukan masing-masing pihak pasca agresi 21 Juli 1947. Pada tanggal 15 November 1947, Glenn Abbey (AS) yang bertindak sebagai Ketua Komite Khusus Perundingan mengajukan beberapa pasal di dalam rancangannya yang bisa dipakai dalam membahas substansi militer yang isinya :

17

Alastair M. Taylor, op.cit., hlm. 61.

18

Robert J. McMahon, op. cit., hlm. 191.

19

1. Rencana penetapan status quo posisi militer

2. Pelarangan perluasan daerah pendudukan dari posisi saat ini 3. Pelarangan propaganda yang bersifat menghasut

4. Penghentian penerbitan laporan-laporan militer (komunike) dan informasi lain yang berhubungan dengan kegiatan militer. 20

Berdasarkan rancangan tersebut yang perlu untuk segera dibahas adalah mengenai penetapan status quo di bidang militer. Berdasarkan prinsip dari rancangan tersebut, KTN menjelaskan bahwa kini semua kegiatan patroli militer harus dibatasi sejauh 1 km dari posisi pasukan pihak lain dan melarang pergerakan pasukan tanpa izin KTN. Adanya penjelasan dari KTN tersebut membuat Indonesia bisa menerima, tetapi lagi-lagi Belanda menyatakan keberatannya. Belanda menjelaskan bahwa sebagai hasil dari aksi polisionilnya pada tanggal 21 Juli 1947 beberapa kesatuan pasukan Indonesia sudah tidak lagi terorganisasi dengan baik dan posisi mereka terpecah-pecah, bahkan sebagian dari mereka masih berada di dalam daerah pendudukannya. Mereka dengan sengaja terus berusaha mengganggu pasukan Belanda dengan membuat kantong-kantong perlawanan yang dipakai untuk melakukan perlawanan secara gerilya.21

Belanda kemudian justru menyarankan agar dilakukan penarikan pasukan Indonesia yang masih berada di dalam daerah pendudukannya dan membatasi kegiatan patroli di daerah-daerah pendudukan terdepan masing-masing pihak. Indonesia menolak argumentasi Belanda karena menurutnya pasukan Indonesia tersebut masih berada di daerahnya sendiri, bukan di daerah pendudukan Belanda, sehingga tidak masuk akal jika Belanda menuntut agar pasukan Indonesia tersebut ditarik mundur.

20

Ibid., hlm. 69.

21

Sampai dengan minggu pertama di bulan Desember tidak ada kesepakatan yang cukup berarti antara Indonesia – Belanda, baik di bidang militer maupun politik. Penarikan pasukan dan rekapitulasi daerah-daerah pendudukan merupakan dua substansi yang sulit untuk diselesaikan karena masih adanya perbedaan penafsiran terhadap dua substansi tersebut.

Sebenarnya kemacetan di awal perundingan tersebut terjadi karena di antara Indonesia – Belanda cenderung berkutat pada substansi yang bersifat pragmatis saja, yaitu gencatan senjata. Pelaksanaan gencatan senjata dibutuhkan untuk merekapitulasi daerah-daerah pendudukan yang penentuannya dilakukan dengan cara membuat garis demarkasi yang kemudian diikuti dengan penarikan pasukan kedua belah pihak. Adanya alasan Belanda yang menyatakan bahwa penarikan pasukan hanya akan menyebabkan kekacauan di daerah yang ditinggalkan membuat pihaknya mempunyai dasar yang kuat untuk mempertahankan posisi pasukannya dengan alasan untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Alasan tersebut semakin menguat ketika Belanda mulai menuduh Indonesia telah menggerakkan pasukannya untuk melakukan perlawanan secara gerilya di daerah pendudukan Belanda.22 Untuk itulah Belanda kemudian melakukan gerakan pembersihan untuk menghadapi gerakan gerilya tersebut. Pergerakan pasukan masing-masing pihak itulah yang selama ini selalu diperdebatkan oleh keduanya, sehingga permusuhan pun tak kunjung berhenti. Pemicu awalnya adalah bermula ketika Belanda sering melakukan perluasan daerah pendudukan meskipun gencatan senjata sudah diberlakukan, secara otomatis pasukan Indonesia tentu akan melakukan perlawanan juga karena

22

mereka diserang terlebih dahulu oleh pasukan Belanda. Dengan situasi demikian Belanda menyatakan tidak akan menarik pasukannya selama pasukan Indonesia masih melakukan aksi-aksi yang mengganggu keamanan dan ketertiban,

Dokumen terkait