• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

H. Hipotesis

Perundingan Renville merupakan suatu proses perundingan yang harus ditempuh oleh Indonesia dan Belanda di bawah pengawasan PBB melalui KTN pasca Agresi Militer Belanda I 21 Juli 1947. Di dalam perundingan itu perdamaian ternyata bukanlah hal yang mudah untuk segera diwujudkan karena terdapat banyak perbedaan antara Indonesia – Belanda dalam menyoroti beberapa substansi yang ada. Perbedaan tidak hanya menyangkut tentang prioritas substansi yang akan dibahas, tetapi juga menyangkut tentang substansi itu

10

Ibid., hlm. 207.

11

sendiri. Proses Perundingan Renville diwarnai dengan perbedaan argumen dan tuntutan dari Indonesia dan Belanda yang pada dasarnya menghendaki agar perdamaian diwujudkan sesuai dengan pendirian masing-masing pihak. Akibatnya adalah sulit bagi kedua belah pihak untuk membuat kesepakatan yang secara efektif bisa digunakan untuk mengakhiri konflik selama ini.

Hipotesis I :

Jika di antara Indonesia – Belanda terdapat perbedaan pandangan dalam menentukan batas-batas daerah pendudukan, maka akan terjadi persengketaan yang cukup serius di dalam Perundingan Renville.

Agresi Militer Belanda I pada tanggal 20 Juli 1947 merupakan suatu bentuk pelanggaran Belanda terhadap pasal 1 Perjanjian Linggajati. Agresi tersebut melanggar pernyataan Belanda sendiri yang telah mengakui kedaulatan Indonesia atas Pulau Jawa, Sumatera, dan Madura karena dengan agresinya tersebut Belanda telah melakukan pendudukan secara sepihak di beberapa wilayah Indonesia tersebut, antara lain di Jakarta, Karawang, Cirebon, dan Malang.12 Resolusi DK PBB tanggal 1 Agustus 1947 yang berisi tentang perintah untuk melaksanakan gencatan senjata antara Indonesia – Belanda untuk sementara memang telah berhasil meredakan ketegangan, namun perintah tersebut ternyata tidak sepenuhnya dipatuhi Belanda. Dengan alasan pemeliharaan keamanan Belanda sering memperluas daerah pendudukannya ke dalam wilayah Indonesia meskipun hal tersebut jelas bertentangan dengan

12

Robert Bridson Cribb, 1990, Gejolak Revolusi di Jakarta 1945 – 1949 : Pergulatan antara Otonomi dan Hegemoni, terj., Grafiti, Jakarta, hlm. 150-152.

resolusi DK PBB tersebut. Setelah konflik antara Indonesia – Belanda tersebut dibahas di dalam suatu perundingan, Belanda menuntut agar sebelum perundingan berjalan lebih lanjut harus ditentukan dahulu batas wilayah masing-masing negara agar diketahui secara pasti posisi masing-masing-masing-masing negara. Secara sepihak Belanda menuntut bahwa garis terdepan kedudukan tentara Belanda sebelum tanggal 4 Agustus 1947 dijadikan batas wilayah antara Indonesia – Belanda. Garis ini dikenal dengan nama garis Van Mook.13 Indonesia tentu saja keberatan dengan tuntutan Belanda tersebut karena Indonesia menganggap bahwa batas wilayah setidaknya harus mengacu pada resolusi DK PBB pada tanggal 1 Agustus 1947, bukan seperti yang dituntut Belanda pada tanggal 29 Agustus 1947 karena garis tersebut didapatkan Belanda dengan cara melakukan pendudukan terhadap wilayah Indonesia secara ilegal. Bagi Indonesia hal tersebut tidak hanya sekedar batas wilayah saja, tetapi juga menyangkut masalah kedaulatan negara. Di antara Indonesia – Belanda terdapat perbedaan yang cukup tajam dalam mengajukan argumentasi untuk mengklaim wilayah kedaulatan masing-masing pihak pasca terjadinya Agresi Militer Belanda I, sehingga terjadi persengketaan yang cukup serius di dalam perundingan.

Hipotesis II :

Jika di antara Indonesia – Belanda terdapat banyak perbedaan pandangan dalam menentukan batas-batas daerah pendudukan dan perbedaan itu sulit untuk dijembatani, maka hubungan antara Indonesia – Belanda selama perundingan akan memanas.

13

Selain masalah wilayah kedaulatan, ada juga masalah lain yang muncul di tengah perundingan. Masalah itu adalah menyangkut tentang status hubungan masing-masing negara. Ketika ada suatu wacana tentang pembentukan pemerintahan sementara dan negara serikat, Belanda terus-menerus memojokkan Indonesia dengan usul-usulnya yang sangat keras. Belanda menuntut agar konflik diselesaikan dengan cara membentuk terlebih dahulu suatu Pemerintah Federal Sementara yang bertugas untuk menjalankan pemerintahan bersama antara Indonesia – Belanda untuk sementara selama masa peralihan menuju pembentukan Negara Indonesia Serikat.14 Tuntutan Belanda yang lain adalah agar Indonesia masuk sebagai negara bagian dalam pemerintahan sementara itu dengan segala konsekuensinya, yaitu kedaulatan dipegang oleh Belanda, sehingga Indonesia harus menyerahkan sebagian hak-haknya sebagai negara bagian kepada Belanda. Belanda juga menuntut agar hak-hak atas penyelenggaraan hubungan luar negeri dan penyelenggaraan angkatan perang Indonesia diambil alih olehnya.15 Tentu saja Indonesia keberatan atas rencana tersebut karena hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip kedaulatan Indonesia sebagai negara yang merdeka. Indonesia tidak mau menjadi negara bagian karena hal itu jelas merupakan suatu pengurangan terhadap kedaulatannya. Perbedaan pandangan inilah yang menyebabkan perundingan memasuki tahap yang sulit. Belanda menginginkan agar Indonesia menjadi negara bagian di dalam pemerintahan sementara yang dipimpin oleh Belanda, sedangkan Indonesia tetap menginginkan kedudukan yang sejajar dengan Belanda. Terlebih lagi adanya

14

Ide Anak Agung Gde Agung, op. cit., hlm. 86-87.

15

sikap Letnan Gubernur Jenderal Van Mook yang tetap tidak mau berkompromi lagi tentang tuntutan tersebut mengakibatkan situasi perundingan menjadi tegang.16 Hal tersebut tentu saja juga berpengaruh pada hubungan kedua negara.

Hipotesis III :

Jika terjadi perbedaan penafsiran di antara Indonesia – Belanda dalam melaksanakan hasil-hasil Perjanjian Renville, maka hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda tidak akan membaik.

Meskipun secara teknis Perjanjian Renville sudah ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948, namun bukan berarti hasil-hasil dari perjanjian tersebut bisa dengan mudah untuk dilaksanakan. Secara garis besar pasal-pasal di dalam Perjanjian Renville dapat dikatakan hanyalah sebagai pokok-pokok persetujuan saja yang cara-cara untuk mewujudkannya belum dirumuskan secara rinci. Dari sekian pasal yang ada di dalam Perjanjian Renville, pasal yang paling krusial dan sensitif bagi Indonesia adalah tetap menyangkut tentang pembentukan Pemerintah Federal Sementara. Bagi Indonesia tidak mudah untuk melaksanakannya karena masih ada perbedaan pandangan dengan Belanda. Pada intinya Indonesia setuju tentang pembentukan Pemerintah Federal Sementara itu, namun Indonesia tidak sependapat dengan Belanda dalam hal cara-cara teknis pembentukannya karena usulan Belanda tentang pemerintahan sementara tersebut terkesan memandang rendah kedaulatan Indonesia. Belanda menuntut agar Indonesia masuk sebagai negara bagian dalam pemerintahan tersebut, sedangkan

16

Indonesia tetap menginginkan kedudukan yang sejajar dengan Belanda.17 Dengan adanya perbedaan yang cukup besar tersebut maka situasi pasca penandatanganan Perjanjian Renville terlihat mengambang dan tanpa kepastian karena adanya perbedaan penafsiran dalam memahami hasil perjanjian antara Indonesia – Belanda. Dengan demikian hubungan keduanya tidak semakin membaik, tapi justru akan semakin renggang karena tidak adanya persamaan pandangan dalam melaksanakan hasil-hasil Perundingan Renville.

I. Metodologi Penelitian

Selama melakukan penelitian ini penulis telah melalui berbagai tahapan untuk menghasilkan penelitian yang akurat, komperehensif, dan berimbang dengan cara :

1. Heuristik

Penulis mencari dan mengumpulkan sumber-sumber yang berhubungan dengan topik Perundingan Renville yang sebagian besar berupa buku di perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Kritik Sumber

Secara khusus penulis mengutamakan segi kritik internnya. Pada tahap ini penulis mulai membandingkan satu sumber dengan sumber lainnya apakah terdapat suatu kesesuaian mengenai datanya, sehingga dapat dipastikan kevalidannya.

17

3. Analisis

Setelah mendapatkan sumber-sumber yang cukup lengkap dan valid, maka penulis mulai melakukan interpretasi atas data tersebut dengan tetap mengacu pada topik yang sedang diteliti. Interpretasi akan selalu berpedoman pada pokok permasalahan, sehingga nantinya semua permasalahan akan dapat terjawab secara runtut dan jelas.

4. Penulisan

Setelah proses analisis disaring beberapa kali, maka selanjutnya adalah tahap penulisan. Dalam penulisan ini penulis juga terus melakukan editing, baik dari segi materi maupun tata bahasanya, sehingga tulisan yang dihasilkan nantinya bisa lebih mudah dipahami.

Dokumen terkait