• Tidak ada hasil yang ditemukan

Satu Perjanjian Dua Penafsiran

BAB IV. MELANGKAH DI ANTARA KETIDAKPASTIAN

B. Satu Perjanjian Dua Penafsiran

Perjanjian Renville yang telah disepakati oleh Indonesia dan Belanda merupakan suatu langkah dasar yang masih memerlukan tindak lanjut untuk mencapai hasil-hasil yang konkret dalam penyelesaian konflik kedua belah pihak. Sejumlah substansi yang ada di dalam Perjanjian Renville tampaknya memang masih sulit untuk bisa segera dilaksanakan karena masih adanya perbedaan pandangan dari kedua belah pihak dalam membuat rancangan-rancangan teknis pelaksanaannya. Perdebatan demi perdebatan sering muncul kembali ketika masing-masing pihak memulai pembahasan mengenai hak-hak pemerintahnya di dalam setiap bagian substansi yang sedang dibahas. Setidaknya masih tersisa dua substansi di dalam Perjanjian Renville yang masih menjadi perdebatan oleh Indonesia dan Belanda. Masih besarnya kepentingan-kepentingan politis yang mencakup posisi dan kekuasaan politik dari masing-masing pihak terhadap Perjanjian Renville membuat pembahasan substansi yang ada menjadi semakin rumit dan tidak menentu. Dua substansi di dalam Perjanjian Renville yang masih memerlukan pembahasan lebih lanjut adalah :

1. Rencana pembentukan Pemerintah Federal Sementara dan NIS.

2. Status hubungan politik kedua negara di dalam bentuk pemerintahan tersebut.

9

Mengenai substansi tentang rencana pembentukan Pemerintah Federal Sementara dan NIS yang perlu dibahas adalah mengenai bagaimana membuat rancangan-rancangan teknis pembentukannya yang mencakup susunan alat-alat kekuasaannya, proses pembentukannya, cakupan kekuasaannya, dan yang terpenting adalah mengenai posisi masing-masing pihak di dalam pemerintahan tersebut. Sedangkan di dalam substansi tentang status hubungan politik kedua negara, yang masih belum jelas adalah bagaimana sebenarnya bentuk hubungan politik kedua negara tersebut, baik selama di dalam Pemerintah Federal Sementara maupun di dalam NIS. Meskipun secara eksplisit kedua substansi tersebut tidak muncul sebagai substansi yang secara langsung dibahas tetapi kedua substansi itulah yang sebenarnya menjadi esensi dari perundingan-perundingan lanjutan antara Indonesia – Belanda.

Rencana pembentukan Pemerintah Federal Sementara dan NIS tidak dapat dipisahkan dari adanya keharusan juga untuk membahas tentang pandangan masing-masing pihak mengenai kejelasan hubungan politik kedua belah pihak di dalamnya. Jadi, dapat dikatakan bahwa kedua substansi tersebut mempunyai nilai yang strategis bagi Indonesia dan Belanda dalam menentukan hubungan bilateral ke depannya. Kedekatan kerangka pemikiran keduanya dalam memandang kedaulatan negara akan sangat berpengaruh pada usaha penyelesaian konflik yang terjadi.

Sebelum lebih jauh membahas tentang masalah tersebut perlu untuk diketahui bahwa setelah Perjanjian Renville ditandatangani terjadi pergantian keanggotaan di dalam KTN. Anggota dari Australia, Richard Kirby digantikan

oleh Thomas Critchley. Anggota dari AS, Frank Graham digantikan oleh Coert Dubois. Sedangkan anggota dari Belgia, Paul Van Zeeland digantikan oleh Raymond Herremans.10

Seiring dengan dimulainya kembali perundingan lanjutan antara Indonesia – Belanda muncul permasalahan baru, yaitu adanya perbedaan penafsiran di antara kedua belah pihak dalam memahami sejumlah pasal yang ada di dalam Perjanjian Renville. Perbedaan penafsiran ini tak jarang menimbulkan perdebatan baru di antara Indonesia – Belanda selama perundingan berlangsung, sehingga perundingan seringkali mengalami kemacetan seperti pada tahap awal. Setidaknya ada empat perbedaan penafsiran yang terjadi antara Indonesia – Belanda dalam memahami Perjanjian Renville.

Perbedaan penafsiran yang pertama terjadi pada pasal 1 bagian Enam Prinsip Tambahan yang menyatakan bahwa, “Kedaulatan atas Hindia Belanda seluruhnya ada dan akan tetap berada di tangan Kerajaan Belanda sampai waktu yang ditetapkan.” Berdasarkan adanya pasal tersebut ternyata Belanda secara sepihak telah merencanakan pembentukan Pemerintah Federal Sementara pada 13 Januari 1948 tanpa membicarakannya dengan Indonesia.11 Pemerintahan tersebut rencananya akan dibentuk Belanda dengan mengkonsolidasikan negara-negara federal ciptaannya tanpa mengikutsertakan Indonesia di dalamnya. Jika dilihat secara sisi kronologis, maka jelas bahwa Belanda memang telah merencanakan pembentukan Pemerintah Federal Sementara mendahului Persetujuan Renville. Belanda menyatakan bahwa berdasarkan pasal 1 tersebut

10

Ide Anak Agung Gde Agung, 1995, Renville, terj., Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 81-82.

11

Ada di dalam Sejarah Diplomasi Republik Indonesia dari Masa ke Masa Periode 1945 – 1950, op. cit., hlm. 748.

pihaknya mempunyai kedaulatan atas seluruh Hindia Belanda dengan segala hak dan tanggung jawabnya yang salah satunya adalah mengenai pembentukan pemerintahan sementara.12 Belanda ingin kedaulatannya harus diterima sebagai suatu hal yang mutlak dan tanpa syarat. Belanda menafsirkan pasal tersebut sebagai suatu dasar bahwa kedaulatannya atas Hindia Belanda mencakup juga kewenangannya untuk membentuk Pemerintah Federal Sementara, dimana Letnan Gubernur Jendralnya akan menjadi kepala pemerintahannya.13

Indonesia tidak setuju dengan penafsiran Belanda tersebut. Hal mendasar yang memberatkan bagi Indonesia adalah Belanda tidak melibatkan pihaknya di dalam pembentukan Pemerintahan Federal Sementara, sehingga Indonesia merasa tidak dihargai oleh Belanda. Menurut Indonesia pembentukan Pemerintahan Federal Sementara seperti itu jelas menyalahi aturan dan tidak sah karena dibentuk dengan cara-cara yang tidak demokratis.14 Indonesia mendasarkan argumennya pada pasal 2 bagian Enam Prinsip Tambahan yang menyatakan bahwa, “Dalam Pemerintahan Federal Sementara sebelum diadakan perubahan dalam Undang-Undang NIS, kepada negara-negara bagian akan diberikan perwakilan yang adil.” Pasal tersebut dengan jelas mengatur bahwa pembentukan Pemerintahan Federal Sementara dilakukan dengan sistem perwakilan yang adil, bukan secara sepihak seperti yang dilakukan oleh Belanda. Selain itu Indonesia juga menolak penafsiran Belanda bahwa kedaulatan yang dimiliki oleh pemerintahnya atas Hindia Belanda bersifat mutlak dan final karena

12

Ide Anak Agung Gde Agung, op. cit., hlm. 34.

13

Alastair M. Taylor, op. cit., hlm. 35.

14

A. Arthur Schiller, 1955, The Formation of Federal Indonesia 1945 – 1949, The Hague, Bandung, hlm. 46.

menurut Indonesia kedaulatan Belanda tersebut hanya berlaku selama masa peralihan menuju pembentukan NIS.15 Indonesia hanya bersedia mengakui kedaulatan Belanda tersebut secara de jure saja dan itu pun harus dilakukan pembatasan sejauh apa kedaulatan tersebut dijalankan. Pengakuan kedaulatan Belanda oleh Indonesia menuntut syarat bahwa kedaulatan tersebut tidak merampas hak dan kedaulatannya sebagai suatu negara yang telah merdeka. Jadi, dalam substansi Pemerintahan Federal Sementara ini Indonesia tidak mau mengakui keberadaan Pemerintahan Federal Sementara yang dibentuk oleh Belanda karena bertentangan dengan Perjanjian Renville.

Perbedaan penafsiran yang kedua terjadi pada pasal 2 bagian Persetujuan Politik yang menyatakan bahwa, “Telah sewajarnya bahwa kedua belah pihak tidak berhak menghalang-halangi pergerakan rakyat untuk mengemukakan suaranya dengan leluasa dan merdeka, yang sesuai dengan Perjanjian Linggajati”. Belanda memanfaatkan pasal tersebut sebagai pembenaran bagi pihaknya untuk semakin menggiatkan pembentukan negara-negara federal di Indonesia. Sebenarnya hal tersebut sudah dilakukan Belanda sejak tahun 1946, yaitu ketika membentuk Negara Indonesia Timur (NIT), dimana pada saat itu Belanda menggunakan Perjanjian Linggajati sebagai dasarnya.16 Kini dengan adanya pasal 2 tersebut Belanda dengan leluasa telah memperbanyak pembentukan negara-negara federal yang dibentuk melalui campur tangan politiknya, sehingga hasilnya adalah munculnya negara-negara federal baru yang dipengaruhi oleh politik pemerintahnya. Negara-negara federal tersebut antara

15

Soekarno, 1965, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid II, Panitia Penerbit, Jakarta, hlm. 62.

16

lain : Negara Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, dan Negara Pasundan (Jawa Barat).17 Belanda menyatakan bahwa pasal tersebut telah memberikan kebebasan bagi pihaknya untuk membentuk negara federal karena pada dasarnya pembentukan negara-negara tersebut merupakan salah satu bentuk kebebasan seperti yang dimaksud dalam pasal 2 tersebut.18 Belanda menyerukan kepada Indonesia bahwa tidak ada larangan bagi setiap rakyat di daerah untuk menyuarakan aspirasinya, khususnya dalam hal keinginan untuk membentuk pemerintahan sendiri. Dalam hal ini Belanda menambahkan bahwa kegiatannya dalam membentuk negara-negara tersebut lebih bertujuan untuk mempersiapkan pembentukan NIS.19

Indonesia menolak pemahaman Belanda atas pasal 2 tersebut karena menurutnya pemahaman Belanda tersebut hanya digunakan demi kepentingan politiknya di dalam NIS saja, tanpa mempertimbangkan pihaknya. Indonesia tidak setuju jika Belanda menafsirkan isi pasal 2 tersebut sebagai lampu hijau untuk membentuk negara-negara federal tanpa membicarakannya terlebih dahulu dengan pihaknya. Indonesia berpandangan bahwa pembentukan negara-negara tersebut memang sengaja dilakukan Belanda untuk mengasingkan Indonesia dari bagian-bagian wilayahnya yang lain.20 Selain itu keberatan Indonesia juga didasarkan pada prosedur dan tujuan pembentukannya. Dalam hal prosedur, Indonesia keberatan karena ada beberapa negara federal yang dibentuk dari daerah-daerah yang sebenarnya masih dalam sengketa pasca terjadinya agresi 21

17

Ibid., hlm. 61-65.

18

Alastair M. Taylor, op. cit., hlm. 112.

19

A. Arthur Schiller, op. cit., hlm. 147.

20

Juli 1947. Sedangkan dalam hal tujuan, Indonesia tidak melihat suatu alasan apapun untuk membentuk negara-negara federal tersebut, jika hal itu dikaitkan dengan rencana pembentukan NIS karena NIS dibentuk dengan cara yang berbeda.

Pasal 2 bagian Persetujuan Politik tersebut secara tidak langsung dan bersama dengan pasal 1 bagian Enam Prinsip Tambahan juga menjadi perdebatan baru antara Indonesia – Belanda ketika keduanya membahas tentang rencana pembentukan NIS. Menurut Belanda NIS dibentuk dengan cara memasukkan negara-negara federal yang telah dibentuknya tersebut ke dalam NIS yang wewenang demikian tersebut dimiliki oleh Belanda melalui Letnan Gubernur Jenderal sebagai pemegang kedaulatan atas seluruh Indonesia seperti yang dinyatakan di dalam pasal 1 bagian Enam Prinsip Tambahan.21 Dengan demikian, maka menurut Belanda nantinya setiap negara bagian akan menyerahkan semua wewenang federalnya kepada NIS yang akan dikepalai oleh Letnan Gubernur Jenderal, sehingga nantinya Letnan Gubernur Jenderal akan mempunyai kekuasaan di bidang politik, ekonomi, dan militer yang diperolehnya dari negara-negara bagian tersebut.

Indonesia menolak pemahaman Belanda tersebut karena berdasarkan pasal 6 bagian Persetujuan Politik dan pasal 4 bagian Enam Prinsip Tambahan yang menyatakan bahwa, “Dalam waktu tidak kurang dari enam bulan tapi tidak lebih dari satu tahun sesudah persetujuan ini ditandatangani, maka di daerah-daerah di Jawa, Sumatera dan Madura akan diadakan pemungutan suara

21

(plebisit) untuk menentukan apakah rakyat di daerah-daerah tersebut akan turut dalam Republik Indonesia atau masuk bagian yang lain di dalam lingkungan Negara Indonesia Serikat.” NIS dibentuk dengan cara yang demokratis, yaitu melalui suatu pemilihan umum untuk menentukan suara penduduk terhadap NIS, apakah akan tetap menjadi bagian dari Indonesia atau memisahkan diri. Jadi, menurut Indonesia pembentukan NIS harus didasarkan pada aspirasi penduduk yang akan menjadi bagian dari NIS, bukan dengan cara memasukkannya secara sepihak tanpa membicarakan dengan pihaknya.22 Perdebatan tidak berhenti sampai di situ saja karena kedua belah pihak masih belum bisa merumuskan formulasi yang bisa disepakati dalam menyusun struktur dan kekuasaan NIS yang akan dibentuk.

Perbedaan penafsiran juga terjadi menyangkut tentang rencana diadakannya pemilihan umum seperti yang termuat di dalam pasal 6 bagian Persetujuan Politik dan pasal 4 bagian Enam Prinsip Tambahan tersebut. Perdebatan yang muncul adalah di daerah mana saja pemilihan umum tersebut harus diadakan? Meskipun pasal 4 telah menyatakan bahwa pemilihan umum akan diadakan di Jawa, Sumatera, dan Madura, tetapi yang masih tidak jelas adalah apakah diadakan di seluruh daerah tersebut atau hanya di daerah-daerah tertentu saja mengingat daerah-daerah yang disebut di atas masih menjadi sengketa antara Indonesia – Belanda. Belanda menuntut agar pemilihan umum diadakan di seluruh Indonesia agar tercapai prinsip keadilan untuk seluruh daerah

22

di Indonesia.23 Sebaliknya, Indonesia menuntut agar pemilihan umum diadakan hanya di daerah-daerah pendudukan Belanda saja karena sudah menjadi hal yang wajar jika penentuan suara penduduk hanya dilakukan di daerah-daerah yang diduduki Belanda, bukan di daerah Indonesia sendiri.24 Indonesia berpendapat bahwa sejak Belanda membentuk negara-negara baru di wilayahnya, kebebasan rakyat untuk menyuarakan aspirasinya praktis terbungkam karena negara-negara tersebut dibentuk hanya melalui elit-elit lokal tertentu saja, sehingga perlu untuk dijajaki kembali aspirasi penduduk di daerah tersebut melalui suatu pemilihan umum untuk mengetahui keinginan penduduk yang sebenarnya.

Dokumen terkait