• Tidak ada hasil yang ditemukan

RENVILLE 1947 : MENCARI TERANG DI ANTARA SISI GELAP PERUNDINGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "RENVILLE 1947 : MENCARI TERANG DI ANTARA SISI GELAP PERUNDINGAN"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

RENVILLE 1947 : MENCARI TERANG DI ANTARA

SISI GELAP PERUNDINGAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Disusun oleh

YUHAN CAHYANTARA NIM : 024314007

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2007

(2)
(3)
(4)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya orang lain, baik itu sebagian maupun seluruhnya, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya suatu karya ilmiah.

Yogyakarta, 7 Agustus 2007 Penulis

Yuhan Cahyantara

(5)

! !

"

!

! !

"

!

! !

"

!

! !

"

!

!

!

!

!

!

!

!

!

#$

!"

#$

!"

#$

!"

#$

!"

$

!

!%

$

!

!%

$

!

!%

$

!

!%

&

' ('

&

' ('

&

' ('

(6)

)

!

)

!

)

!

)

!

! !

! !

! !

! !

*

!

" + ,

!

" * -

.!- /! !

*

!

" + ,

!

" * -

.!- /! !

*

!

" + ,

!

" * -

.!- /! !

*

!

" + ,

!

" * -

.!- /! !

0 !

0 !

0 !

0 !

1 !

!

!

!

1 !

!

!

!

1 !

!

!

!

1 !

!

!

!

!

!

!

!

"

"

"

"

!

!

!

!

!!!!

v

(7)

KATA PENGANTAR

Rasa syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala kasih dan kekuatan yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan karya ini. Sungguh, Dia yang menjadi sandaran segala harapan penulis karena Dia adalah kehidupan abadi.

Selain itu, karya ini juga terwujud atas bantuan dan perhatian dari berbagai pihak yang sungguh berarti bagi penulis. Untuk itulah dalam kesempatan yang indah ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. P.J. Suwarno, S.H.

Sebagai Dosen Pembimbing Tunggal yang telah membimbing, memberikan saran, kebebasan dalam menulis, dan mengoreksi karya ini. Berkat bimbingan Bapak penulis merasa tenang dan optimis dalam menyusun karya ini.

2. Drs. H. Purwanta, M.A.

Sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang selalu peduli pada perkembangan akademis penulis. Terima kasih atas koreksi, perbaikan awal, dan penjelasannya, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan.

3. Drs. H. Hery Santosa, M.Hum.

Sebagai Kaprodi Ilmu Sejarah yang telah memberikan dorongan bagi penulis untuk segera menyelesaikan penelitian ini.

4. Bapak dan Ibu Dosen Ilmu Sejarah

Drs. Ign. Sandiwan Suharso, Dra. Lucia Juningsih, M.Hum, Drs. Silverio R.L. Aji Sampurno, M.Hum, dan Dr. Baskara T. Wardaya, S.J. yang telah memberikan banyak bekal pengetahuan kepada penulis.

(8)

5. Bapak F.X. Sugiyono, Bsc. dan Ibu Serafica Listi Sulaxmi, Mas Koko dan Ester. Terima kasih atas kebahagiaan yang telah kalian bagi padaku.

6. Reni, yang telah membuat abstrak untukku. Bersamamu aku merasakan kasih dan sayangmu.

7. Qeqe, yang selalu bisa membuatku tertawa dan bahagia. Terima kasih juga atas hari-hari yang menyenangkan bersamamu, bercerita, tertawa, berantem adalah kita. Bersamamu selalu bisa membuatku merasa nyaman. Mengenalmu, rasanya seperti mempunyai adik yang bisa diajak berbagi.

8. Ada dan Iren, senang mengenal kalian. Banyak juga kebahagiaan yang kudapat dari kalian.

9. Teman-temanku di 2002 :

Ida, Mamik, Gusti, Vila, Ela, Nana, Feny, Yosi, Hananto, Markus, Eko, Daniel, Roger, Vianney, Devi, Yuda, Halim, Ekarama, Opet, Elang, Soekarno. Senang bisa sekelas dengan kalian semua. Terus berjuanglah.

10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah skripsi ini. Terima kasih juga atas koreksinya.

11. Musik-musik yang selalu menjadi teman dan pengiringku selama ini :

Dewa-Dewi, Ungu – Bayang Semu, Linkin Park – Numb, Evo – Terlalu Lelah, Pinkan Mambo – Kasmaran, Siti Nurhaliza – Betapa Ku Cinta Padamu.

12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih.

Yogyakarta, 7 Agustus 2007

Penulis

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT... x

DAFTAR ISI... xi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ... 6

C. Pokok Permasalahan ... 8

D. Tujuan Penelitian ... 9

E. Manfaat Penelitian ... 9

F. Tinjauan Pustaka ... 10

G. Kerangka Konseptual ... 14

H. Hipotesis ... 15

I. Metodologi Penelitian ... 20

(10)

J. Sistematika Penulisan ... 21

BAB II. JALAN TERJAL MENUJU PERUNDINGAN ... 23

BAB III. DIPLOMASI DAN INTERVENSI ... 36

A. Diplomasi Belum Berakhir ... 36

B. Alotnya Perundingan di Kapal Renville ... 52

BAB IV. MELANGKAH DI ANTARA KETIDAKPASTIAN ... 62

A. Meneliti Jejak-jejak Perbedaan ... 62

B. Satu Perjanjian Dua Penafsiran ... 69

C. Mencari Jalan Tengah ... 77

D. Perjanjian di Tengah Gejolak Politik Dua Negara ... 81

BAB V. PENUTUP... 89

DAFTAR PUSTAKA ... 95 LAMPIRAN

(11)

ABSTRAK

RENVILLE 1947 : MENCARI TERANG DI ANTARA SISI GELAP PERUNDINGAN

Suatu Usaha Memahami Perundingan Renville Dalam Konteks Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

Oleh : Linus Yuhan Cahyantara NIM : 024314007

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda pada periode 1947 – 1948 terkait dengan dilaksanakannya Perundingan Renville untuk mengatasi konflik keduanya pasca Agresi Militer Belanda I pada tanggal 21 Juli 1947. Ada tiga permasalahan utama yang ditampilkan dalam penelitian ini, yaitu : Pertama, apa yang menjadi substansi persengketaan di dalam Perundingan Renville? Kedua, mengapa hubungan antara Indonesia – Belanda semakin memanas ketika perundingan sedang berjalan? Ketiga, bagaimana hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda pasca penandatanganan Perjanjian Renville?

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis. Melalui metode tersebut penulis mendeskripsikan fakta-fakta yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, kemudian mengolahnya melalui suatu analisis untuk kemudian ditarik suatu pemahaman yang komprehensif atas topik yang diteliti. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan politik, sehingga menghasilkan pemahaman dari perspektif politik.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah : Pertama, yang menjadi substansi persengketaan di dalam Perundingan Renville secara garis besar terdiri dari dua bidang, yaitu bidang militer dan bidang politik. Di bidang militer, penghentian permusuhan dan penentuan garis demarkasi menjadi substansi utama yang menjadi perdebatan antara Indonesia – Belanda dalam melaksanakan gencatan senjata. Di bidang politik, substansi utamanya adalah mengenai distribusi kekuasaan dan peninjauan kembali bentuk hubungan politik antara Indonesia – Belanda.

Kedua, tidak adanya bentuk kesepakatan konkret antara Indonesia – Belanda dalam melaksanakan hasil-hasil Perjanjian Renville membuat proses perundingan terhambat dan bahkan adanya pelanggaran-pelanggaran perjanjian gencatan senjata yang terus terjadi antara pasukan Indonesia dan pasukan Belanda membuat hubungan Indonesia – Belanda semakin memanas.

Ketiga, hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda pasca penandatanganan Perjanjian Renville ternyata tidak semakin membaik, tetapi justru semakin menjauh. Hal tersebut disebabkan karena tidak adanya kesepakatan konkret dalam membuat rancangan-rancangan teknis pelaksanaan hasil-hasil perjanjian yang bisa untuk segera dilaksanakan. Tidak adanya kesepakatan tersebut membuat hasil-hasil Perjanjian Renville tidak bisa dilaksanakan secara efektif dalam mengatasi konflik antara Indonesia – Belanda.

(12)

ABSTRACT

RENVILLE 1947 : FINDING THE GOOD POINT BETWEEN THE DARK SIDE OF NEGOTIATION

An Exertion to Understand Renville Negotiation in Bilateral Relation Contex Between Indonesia and Dutch

By Linus Yuhan Cahyantara NIM : 024314007

This research is purposed to find out the development of bilateral relation between Indonesia and Dutch at 1947 – 1948, after Renville negotiation that used contend the conflict between Indonesia and Dutch after military aggression that did by Dutch on 21st July 1947. There are three problems; first, what is the main conflict in Renville negotiation? Second, why the relation between Indonesia and Dutch is become suspense when the negotiation is going on? Third, how is the bilateral relation between Indonesia – Dutch after the negotiation was signed?

The method that used in this research is descriptive analysis method. The writer describes the relevant fact with the problem which is researched then analyze it to find out a comprehensive conclusion on it. The approach that is use is politic approach then produce the understanding from politic perspective.

The finding of the research are; first, the main conflict on Renville negotiation can be divided into two main conflicts, military and politic. In military, the stopping of hostility and the act of determining demarcation lines are the main conflict which become the subject of debate between Indonesia and Dutch in implementation of cease fired. In politic, distribution of power and review of the form politic relation between Indonesia – Dutch are the main conflict.

Second, there is no concrete agreement between Indonesia and Dutch to realize the result of Renville negotiation made the process of negotiation is obstructed. In fact that there are some violating in cease fired negotiation that always happened between Indonesia military and Dutch military.

Third, the bilateral relation between Indonesia – Dutch after Renville negotiation was signed in fact its not make the situation better, but worse. It caused of there is no concrete agreement to realize the result of the negotiation. It made the result of Renville negotiation can’t be realize effectively to content the conflict between Indonesia and Dutch.

(13)

1

A. Latar Belakang Masalah

Perjuangan melawan penjajahan tidak selalu harus dilakukan dengan mengangkat senjata dan berkonfrontasi secara fisik di medan tempur, tetapi ada bentuk perjuangan lain yang bisa dilakukan dalam menghadapi penjajah. Strategi perjuangan bersenjata memang merupakan salah satu bentuk perjuangan yang bersifat radikal revolusioner, tetapi ada juga strategi lain yang bersifat politis untuk mengimbangi strategi perjuangan bersenjata tersebut. Strategi tersebut adalah strategi diplomasi yang sungguh diperlukan untuk menghadapi penjajah secara politis. Hal tersebut mewarnai perjalanan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan Belanda, terutama pada masa 1946 – 1949 ketika bangsa Indonesia berusaha untuk mengalahkan Belanda, baik dengan cara berperang maupun dengan cara melakukan perundingan dengan Belanda. Dapat dikatakan bahwa pada masa 1946 – 1949 merupakan masa-masa pasang surut perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan Belanda karena peperangan dan perundingan datang silih berganti.

(14)

suatu bentuk pelanggaran Belanda terhadap Perjanjian Linggajati yang telah disepakatinya dengan Indonesia pada tanggal 15 November 1946.1 Agresi Militer Belanda I merupakan suatu usaha Belanda untuk menguasai kembali Indonesia, meskipun dalam Perjanjian Linggajati Belanda telah mengakui kedaulatan Indonesia sebatas Pulau Jawa, Sumatera, dan Madura. Jelas bahwa Agresi Militer Belanda I telah melanggar salah satu pasal dalam Perjanjian Linggajati, terutama menyangkut masalah kedaulatan negara Indonesia.

Agresi Militer Belanda I ternyata cukup banyak mendapat sorotan dari dunia internasional. India dan Australia adalah dua negara yang secara tegas mengecam agresi tersebut dan membela negara Indonesia karena alasan rasa solidaritas mereka terhadap perjuangan bangsa Indonesia. Desakan dari berbagai negara terhadap Dewan Keamanan PBB (DK PBB) agar ikut terlibat dalam proses peredaan konflik antara Indonesia – Belanda pun akhirnya membuat DK PBB mengeluarkan sebuah resolusi pada tanggal 1 Agustus 1947 yang intinya memerintahkan Indonesia dan Belanda agar segera menghentikan segala bentuk permusuhan dan menganjurkan agar konflik diselesaikan dengan melibatkan pihak ketiga sebagai mediatornya.2 Dengan adanya resolusi ini maka setidaknya konflik antara Indonesia – Belanda bisa sedikit mereda karena kini mulai banyak negara yang mengamati manuver-manuver Belanda terhadap Indonesia, sehingga Belanda tidak bisa bertindak sembarangan terhadap Indonesia. Konflik antara Indonesia – Belanda kini bukan lagi hanya merupakan masalah bilateral saja, tetapi sudah menjadi perhatian dunia internasional, terlebih lagi adanya resolusi

1

K.M.L. Tobing, 1986, Perjuangan Politik Bangsa Indonesia : Renville, Gunung Agung, Jakarta, hlm. 2.

2

(15)

dari DK PBB jelas merupakan suatu bentuk nyata perhatian dunia internasional terhadap konflik yang terjadi antara Indonesia – Belanda.

Setelah melalui sejumlah persidangan, maka akhirnya DK PBB pun mengeluarkan resolusi baru yang secara khusus menyangkut tentang pembentukan Komisi Jasa-jasa Baik atau lebih dikenal dengan nama Komisi Tiga Negara (KTN) yang akan bertindak sebagai mediator dalam perundingan antara Indonesia – Belanda. KTN ini nantinya terdiri dari tiga negara, yaitu : satu negara yang ditunjuk oleh Indonesia, satu negara yang ditunjuk oleh Belanda, dan satu negara lagi yang merupakan hasil pilihan dua negara yang ditunjuk oleh Indonesia dan Belanda tersebut. Akhirnya Indonesia menunjuk Australia, Belanda menunjuk Belgia, sedangkan Australia dan Belgia menunjuk Amerika Serikat (AS) sebagai anggota KTN yang ketiga, dengan demikian lengkaplah sudah komposisi KTN.3 Pada tanggal 27 Oktober 1947 KTN telah tiba di Jakarta bersama dengan sejumlah peninjau militer yang akan melakukan survei lapangan untuk membantu KTN dalam mengetahui secara konkret konflik yang terjadi antara Indonesia – Belanda, sehingga akan mempermudah pekerjaan KTN dalam merumuskan permasalahan yang terjadi di lapangan. Sementara itu permasalahan lain pun muncul menyangkut masalah tempat perundingan. Indonesia tidak mau berunding di daerah kekuasaan Belanda, begitu pula sebaliknya, sehingga KTN pun berusaha mencari tempat perundingan yang dapat dianggap netral dan tentu saja bisa disetujui oleh kedua negara tersebut. Setelah melalui lobi-lobi politiknya akhirnya KTN pun bisa menentukan tempat perundingannya, yaitu di sebuah

3

(16)

kapal pengangkut milik AS yang rencananya akan segera berlabuh di Tanjung Priok. Kapal tersebut bernama U.S.S. Renville, sehingga nantinya perundingan ini akan lebih dikenal dengan nama Perundingan Renville.

Bagi Indonesia perjuangan menuju Perundingan Renville bukan hanya untuk menahan manuver-manuver militer Belanda saja, tetapi juga untuk mempertahankan status kedaulatannya yang telah diakui oleh Belanda di dalam Perjanjian Linggajati yang kemudian dilanggar oleh Belanda dengan Agresi Militer I. Untuk itulah kemudian delegasi pun dibentuk, delegasi Indonesia yang berjumlah delapan orang dipimpin oleh Amir Syarifuddin, sedangkan delegasi Belanda yang berjumlah tiga belas orang dipimpin oleh Abdoelkadir Widjojoatmodjo.4

Alasan penulis memilih judul ini karena selama ini wacana mengenai Perundingan Renville hanya berkutat pada hasil-hasil perjanjiannya yang lebih bersifat pragmatis tanpa menampilkan peranan penting perundingan tersebut bagi hubungan Indonesia – Belanda pasca penandatanganan perundingan tersebut. Disamping itu Menurut Hans J. Morgenthau - seorang ahli ilmu politik dari Jerman - ada sembilan faktor yang menjadi unsur kekuatan nasional suatu negara, salah satunya adalah faktor kualitas diplomasi.

Dari segenap faktor yang menyebabkan kekuatan suatu negara, yang terpenting bagaimanapun tidak stabilnya, ialah kualitas diplomasi. ……… Kualitas diplomasi suatu negara menggabungkan faktor-faktor yang berlainan itu membangkitkan kemampuan yang tidak aktif dengan memberi napas kekuatan yang sesungguhnya. Cara melaksanakan hubungan luar negeri suatu negara oleh para diplomatnya untuk kekuatan nasional dalam masa damai, sama artinya dengan siasat, dan

4

(17)

taktik militer oleh para pemimpin militernya untuk kekuatan dalam masa perang.”5

Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa sebenarnya diplomasi mempunyai arti penting sebagai salah satu kekuatan nasional dalam membina hubungan suatu negara dengan negara lain, dalam keadaan damai maupun perang. Hal ini pun tak luput juga terjadi pada bangsa Indonesia bila merujuk pada peristiwa Perundingan Renville yang dimulai pada tanggal 8 Desember 1947. Berbagai hal yang berhubungan dengan sisi-sisi diplomasi antara Indonesia – Belanda dalam Perundingan Renville pantas untuk diketahui agar dinamika strategi perjuangan bangsa Indonesia bisa dipahami secara lebih optimal, tentunya dengan perspektif yang semakin berkembang. Penelitian tentang Perundingan Renville tentu akan mampu memperluas perspektif dalam penulisan sejarah perjuangan bangsa Indonesia karena adanya sisi-sisi penonjolan dinamika perjuangan diplomasi yang akan bermanfaat dalam rangka memahami pola-pola perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan. Dengan demikian penulis akan mencoba untuk mengambil esensi dari Perundingan Renville untuk mendeskripsikan dan menganalisis peranan pentingnya bagi hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda, karena tak jarang peperangan maupun perdamaian bisa terjadi dan bisa ditentukan di dalam suatu perundingan. Pembahasan mengenai Renville tidak cukup berhenti sebatas pada hasil-hasil perundingannya, tetapi juga harus ditampilkan implikasi-implikasi yang timbul dari hasil perundingan tersebut bagi hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda.

5

(18)

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah

Perundingan Renville merupakan suatu bentuk tindak lanjut sekaligus merupakan bentuk kepedulian dunia internasional – melalui DK PBB – terhadap Agresi Militer Belanda tanggal 21 Juli 1947 ke Indonesia. Banyak negara yang mengecam agresi tersebut karena telah melanggar prinsip-prinsip perdamaian dunia. Perundingan Renville juga merupakan suatu bentuk pemastian terhadap keberadaan Perjanjian Linggajati antara Indonesia – Belanda tentang upaya penghentian konflik yang telah dilanggar oleh Belanda. Melalui KTN yang merupakan komisi yang dibentuk oleh DK PBB, Indonesia dan Belanda harus menempuh perundingan untuk menyelesaikan konfliknya selama ini. Perundingan Renville memuat masalah-masalah yang selama ini diperdebatkan oleh Indonesia maupun Belanda, antara lain adalah menyangkut tentang wilayah kedaulatan masing-masing negara dan status hubungan kedua negara.6 Dalam hal wilayah kedaulatan, Indonesia mempermasalahkan Agresi Militer Belanda yang telah menduduki wilayah-wilayah Indonesia yang secara resmi telah diakui oleh Belanda dalam Perjanjian Linggajati. Sedangkan dalam hal status hubungan kedua negara, Indonesia berharap agar kedaulatan negara Indonesia tetap dihormati dan tidak diganggu oleh Belanda.

Dinamika Perundingan Renville yang di dalamnya penuh dengan proses tuntutan, negosiasi, dan kesepakatan menjadi suatu hal yang perlu untuk dicermati dalam memahami peranan perundingan tersebut bagi hubungan Indonesia – Belanda. Adanya sejumlah perbedaan mendasar dalam hal

6

(19)

prinsip dan kepentingan politis di antara Indonesia – Belanda membuat sejumlah substansi persengketaan menjadi semakin rumit dan sulit untuk dijembatani. Untuk mengetahui sampai sejauh mana pengaruh Perundingan Renville terhadap hubungan Indonesia Belanda waktu itu, diperlukan beberapa pertanyaan menyangkut Perundingan Renville itu sendiri, yaitu :

1. Apa yang sebenarnya menjadi substansi persengketaan di dalam Perundingan Renville ?

2. Bagaimana proses Perundingan Renville berjalan ?

3. Mengapa di antara Indonesia Belanda terdapat perbedaan yang cukup tajam dalam mengajukan tuntutan di dalam Perundingan Renville ?

4. Apa pengaruh Perundingan Renville bagi masing-masing negara ?

5. Apa pengaruh Perundingan Renville bagi hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda ?

Untuk lebih memfokuskan pembahasan maka penulis sengaja akan membatasi permasalahan tersebut dengan hanya akan menampilkan tiga permasalahan saja, yaitu :

1. Apa yang menjadi substansi persengketaan di dalam Perundingan Renville ? 2. Mengapa hubungan antara Indonesia – Belanda semakin memanas ketika

perundingan sedang berjalan ?

3. Bagaimana hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda pasca penandatanganan Perjanjian Renville ?

(20)

tersebut, yaitu dari tahun 1947 – 1948. Secara lebih khusus, penulis hanya akan membahas Perundingan Renville sebatas pada dinamika prosesnya dan pengaruhnya bagi hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda sampai dengan tahun 1948.

C. Pokok Permasalahan

Perundingan Renville bukanlah hanya suatu usaha dalam menindaklanjuti peristiwa Agresi Militer Belanda I saja, tetapi juga merupakan suatu perundingan yang di dalamnya memuat masalah-masalah krusial lainnya yang perlu diklarifikasi dan dipecahkan bersama antara Indonesia – Belanda. Perundingan Renville juga diperlukan dalam rangka memperjelas status hubungan kedua negara selama ini agar diketahui posisi dan kapasitas masing-masing negara dalam konteks hubungan bilateralnya. Arti penting Perundingan Renville tidak berhenti sebatas pada hasil-hasil perundingannya, tetapi yang lebih penting adalah peran penting yang dapat diambil dari proses perundingan tersebut bagi hubungan kedua negara yang saling bertikai tersebut. Untuk lebih memfokuskan pembahasan, maka dalam penelitian ini penulis akan menguraikan tiga permasalahan yang berkaitan dengan Perundingan Renville, yaitu :

1. Apa yang menjadi substansi persengketaan di dalam Perundingan Renville ? 2. Mengapa hubungan antara Indonesia – Belanda semakin memanas ketika

perundingan sedang berjalan ?

(21)

D. Tujuan Penelitian

Secara akademis penelitian ini bertujuan untuk menampilkan sisi-sisi penting dari proses Perundingan Renville yang berpengaruh terhadap hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda periode 1947 – 1948. Dengan menggunakan perspektif politik penulis akan mencoba untuk menganalisis pertentangan yang terjadi antara Indonesia – Belanda di dalam Perundingan Renville dan pengaruhnya terhadap proses penyelesaian konflik kedua belah pihak.

Secara praktis penelitian ini bertujuan untuk menambah suatu wawasan kepada masyarakat tentang arti penting suatu proses diplomasi di dalam kehidupan bernegara. Secara implisit penulis ingin agar penelitian ini mampu menjadi suatu pembelajaran kepada masyarakat bahwa proses diplomasi mempunyai peran dan pengaruh yang penting terhadap penyelesaian setiap masalah yang ada di dalam masyarakat maupun dalam kerangka kehidupan bernegara secara bilateral.

E. Manfaat Penelitian

(22)

F. Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini penulis akan memberikan sedikit gambaran tentang beberapa buku yang memuat masalah Perundingan Renville untuk digunakan sebagai dasar bagi penulis untuk semakin melengkapi wacana tentang Perundingan Renville.

Buku yang pertama adalah Ide Anak Agung Gde Agung, 1983, Renville, terj., Sinar Harapan, Jakarta. Buku ini berisi tentang pandangan dan gagasan penulisnya tentang dinamika yang terjadi pada hubungan Indonesia – Belanda selama Perundingan Renville berlangsung, maupun sesudahnya. Secara lebih khusus, penulisnya mencermati jalannya Perundingan Renville dengan mengkaji setiap perkembangannya secara teliti dan mendalam. Berbagai masalah yang terjadi selama perundingan berlangsung pun turut dikaji, antara lain mencakup tentang perbedaan pemahaman dalam setiap tuntutan, perbedaan penafsiran terhadap hasil-hasil perjanjiannya, sampai dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh Indonesia – Belanda dalam melaksanakan hasil perjanjian. Perundingan Renville tidak hanya ditampilkan dalam konteks hubungan Indonesia – Belanda saja, tetapi juga dilengkapi dengan tinjauan-tinjauan politik luar negerinya, kepentingan-kepentingan yang ada di dalamnya, dan juga pandangan dari dunia internasional terhadap konflik antara Indonesia – Belanda.

(23)

dalam buku ini penulisnya mampu memberikan argumentasi yang jelas terhadap pentingnya suatu diplomasi di kancah internasional. Buku ini juga menampilkan gagasan-gagasan penulisnya bahwa diplomasi mempunyai arti penting bagi suatu negara sebagai kekuatan politik dalam hubungannya dengan negara lain. Keunggulan dari buku ini adalah penulisnya mampu untuk memberikan perspektif yang positif terhadap diplomasi yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah RI. Selain itu sisi-sisi diplomasi tidak hanya dipandang dari sisi pragmatisnya saja, tetapi juga ditampilkan relevansinya dengan masalah-masalah di dunia internasional, sehingga wacana yang dihasilkan berupa suatu analisa yang menyeluruh tentang keberadaan suatu negara dan kehidupan diplomasinya dengan negara lain.

Buku yang ketiga adalah tulisan Basuki Suwarno yang berjudul

(24)

Buku yang keempat adalah karya K.M.L. Tobing, 1986, Perjuangan Politik Bangsa Indonesia : Renville, Gunung Agung, Jakarta. Buku ini berisi tentang pembahasan tentang proses Perundingan Renville, dari tahap persiapan sampai dengan rencana-rencana pelaksanaan hasil-hasil perjanjiannya. Buku ini secara khusus memfokuskan pembahasannya pada situasi selama perundingan berlangsung dan lobi-lobi politik yang terjadi antara Indonesia – Belanda dalam memperjuangkan tuntutannya. Keunggulan buku ini adalah aspek kronologisasinya yang jelas dan runtut, sehingga memudahkan penulis dalam menyimak alur perkembangan dari Perundingan Renville. Selain itu keunggulannya terletak pada penyajian setiap peristiwanya yang mengutamakan segi kausalitas, sehingga setiap bagiannya mempunyai penjelasan yang jelas dan berkesinambungan. Buku ini juga memuat beberapa pandangan dari penulisnya dalam menanggapi beberapa petikan pernyataan dari pemerintah Indonesia maupun Belanda terhadap keberadaan Perundingan Renville, sehingga memberi tambahan penting bagi penulis dalam mencari akar permasalahan yang terjadi antara Indonesia – Belanda.

Buku yang kelima adalah tulisan Alastair M. Taylor yang berjudul

(25)

dengan Konferensi Meja Bundar. Buku ini banyak membantu penulis dalam mengetahuai secara lebih jauh mengenai substansi-substansi yang disengketakan oleh Indonesia dan Belanda di dalam Perundingan Renville dan mengetahui peranan PBB dalam membantu Indonesia dan Belanda dalam menyelesaikan konflik.

Selain itu penulis juga menggunakan beberapa buku lain sebagai referensi dalam penelitian ini. Ada buku yang berjudul Di Bawah Bendera Revolusi tulisan Soekarno, khususnya Jilid II, yang memuat tentang pandangan-pandangan politik Soekarno sebagai presiden dalam menghadapi kolonialisme Belanda. Buku karya Ide Anak Agung Gde Agung yang berjudul Pernyataan Rum-Van Roijen 7 Mei 1949 juga digunakan karena buku tersebut berisi tentang perubahan-perubahan politik yang terjadi di negeri Belanda pada periode 1948 yang pada dasarnya sangat berpengaruh pada hubungan bilateralnya dengan Indonesia. Sebagai penyeimbangnya penulis juga menggunakan karya Hersri Setiawan yang berjudul

Negara Madiun? Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan untuk mengamati perubahan-perubahan politik yang terjadi di Indonesia pasca Perundingan Renville.

(26)

Indonesia – Belanda selama proses Perundingan Renville dan pengaruhnya terhadap penyelesaian konflik kedua belah pihak selanjutnya, sehingga penelitian ini lebih komprehensif dalam melihat Perundingan Renville sebagai suatu proses perundingan yang belum berhasil dalam mewujudkan perdamaian antara Indonesia – Belanda.

G. Kerangka Konseptual

Baik secara eksplisit maupun implisit penelitian tentang Perundingan Renville ini akan memuat suatu hal yang berhubungan dengan konflik yang terjadi antara Indonesia – Belanda, sehingga diperlukan adanya suatu pemahaman yang jelas tentang pengertian konflik itu sendiri. Selain itu dalam penelitian ini juga digunakan beberapa istilah seperti perundingan, perjanjian, diplomasi, dan bilateral yang juga akan diberi pengertian sesuai dengan konteks dalam penelitian ini. Konflik adalah perbedaan kepentingan, perbedaan pendapat atau ide, walaupun dalam kadar yang rendah.7 Dalam konteks ini konflik diartikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi perbedaan dan benturan kepentingan dalam hubungan antara satu negara dengan negara lain. Dalam konteks ini perundingan diartikan sebagai pembicaraan terhadap sesuatu hal.8 Dalam konteks ini perjanjian diartikan sebagai suatu persetujuan yang dibuat oleh kedua belah pihak masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.9 Dalam konteks ini diplomasi diartikan sebagai pengalaman dan kecakapan dalam

7

Menurut Alfian dalam Prisma, edisi 3 Maret 1977, hlm. 89.

8

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990, Depdikbud, Jakarta, hlm. 759.

9

(27)

hal perhubungan antara negara dan negara.10 Dalam konteks ini bilateral diartikan sebagai hubungan antara dua pihak.11

Setelah diketahui pengertian dari masing-masing istilah tersebut, maka di dalam penelitian ini penulis akan menampilkan tiga pernyataan yang menjadi garis besar dari penelitian ini, yaitu :

1. Konflik bisa terjadi di antara dua negara karena adanya perbedaan kepentingan ekonomi maupun politik.

2. Masing-masing negara mempunyai strategi yang berbeda dalam menyelesaikan konflik di dalam suatu perundingan yang tentu saja sangat dipengaruhi oleh pandangan maupun kepentingannya masing-masing.

3. Konsistensi suatu negara dalam melaksanakan hasil perjanjian internasional sangat dipengaruhi oleh adanya faktor keuntungan yang diperoleh dari hasil perjanjian tersebut.

H. Hipotesis

Perundingan Renville merupakan suatu proses perundingan yang harus ditempuh oleh Indonesia dan Belanda di bawah pengawasan PBB melalui KTN pasca Agresi Militer Belanda I 21 Juli 1947. Di dalam perundingan itu perdamaian ternyata bukanlah hal yang mudah untuk segera diwujudkan karena terdapat banyak perbedaan antara Indonesia – Belanda dalam menyoroti beberapa substansi yang ada. Perbedaan tidak hanya menyangkut tentang prioritas substansi yang akan dibahas, tetapi juga menyangkut tentang substansi itu

10

Ibid., hlm. 207.

11

(28)

sendiri. Proses Perundingan Renville diwarnai dengan perbedaan argumen dan tuntutan dari Indonesia dan Belanda yang pada dasarnya menghendaki agar perdamaian diwujudkan sesuai dengan pendirian masing-masing pihak. Akibatnya adalah sulit bagi kedua belah pihak untuk membuat kesepakatan yang secara efektif bisa digunakan untuk mengakhiri konflik selama ini.

Hipotesis I :

Jika di antara Indonesia – Belanda terdapat perbedaan pandangan dalam menentukan batas-batas daerah pendudukan, maka akan terjadi persengketaan yang cukup serius di dalam Perundingan Renville.

Agresi Militer Belanda I pada tanggal 20 Juli 1947 merupakan suatu bentuk pelanggaran Belanda terhadap pasal 1 Perjanjian Linggajati. Agresi tersebut melanggar pernyataan Belanda sendiri yang telah mengakui kedaulatan Indonesia atas Pulau Jawa, Sumatera, dan Madura karena dengan agresinya tersebut Belanda telah melakukan pendudukan secara sepihak di beberapa wilayah Indonesia tersebut, antara lain di Jakarta, Karawang, Cirebon, dan Malang.12 Resolusi DK PBB tanggal 1 Agustus 1947 yang berisi tentang perintah untuk melaksanakan gencatan senjata antara Indonesia – Belanda untuk sementara memang telah berhasil meredakan ketegangan, namun perintah tersebut ternyata tidak sepenuhnya dipatuhi Belanda. Dengan alasan pemeliharaan keamanan Belanda sering memperluas daerah pendudukannya ke dalam wilayah Indonesia meskipun hal tersebut jelas bertentangan dengan

12

(29)

resolusi DK PBB tersebut. Setelah konflik antara Indonesia – Belanda tersebut dibahas di dalam suatu perundingan, Belanda menuntut agar sebelum perundingan berjalan lebih lanjut harus ditentukan dahulu batas wilayah masing-masing negara agar diketahui secara pasti posisi masing-masing-masing-masing negara. Secara sepihak Belanda menuntut bahwa garis terdepan kedudukan tentara Belanda sebelum tanggal 4 Agustus 1947 dijadikan batas wilayah antara Indonesia – Belanda. Garis ini dikenal dengan nama garis Van Mook.13 Indonesia tentu saja keberatan dengan tuntutan Belanda tersebut karena Indonesia menganggap bahwa batas wilayah setidaknya harus mengacu pada resolusi DK PBB pada tanggal 1 Agustus 1947, bukan seperti yang dituntut Belanda pada tanggal 29 Agustus 1947 karena garis tersebut didapatkan Belanda dengan cara melakukan pendudukan terhadap wilayah Indonesia secara ilegal. Bagi Indonesia hal tersebut tidak hanya sekedar batas wilayah saja, tetapi juga menyangkut masalah kedaulatan negara. Di antara Indonesia – Belanda terdapat perbedaan yang cukup tajam dalam mengajukan argumentasi untuk mengklaim wilayah kedaulatan masing-masing pihak pasca terjadinya Agresi Militer Belanda I, sehingga terjadi persengketaan yang cukup serius di dalam perundingan.

Hipotesis II :

Jika di antara Indonesia – Belanda terdapat banyak perbedaan pandangan dalam menentukan batas-batas daerah pendudukan dan perbedaan itu sulit untuk dijembatani, maka hubungan antara Indonesia – Belanda selama perundingan akan memanas.

13

(30)

Selain masalah wilayah kedaulatan, ada juga masalah lain yang muncul di tengah perundingan. Masalah itu adalah menyangkut tentang status hubungan masing-masing negara. Ketika ada suatu wacana tentang pembentukan pemerintahan sementara dan negara serikat, Belanda terus-menerus memojokkan Indonesia dengan usul-usulnya yang sangat keras. Belanda menuntut agar konflik diselesaikan dengan cara membentuk terlebih dahulu suatu Pemerintah Federal Sementara yang bertugas untuk menjalankan pemerintahan bersama antara Indonesia – Belanda untuk sementara selama masa peralihan menuju pembentukan Negara Indonesia Serikat.14 Tuntutan Belanda yang lain adalah agar Indonesia masuk sebagai negara bagian dalam pemerintahan sementara itu dengan segala konsekuensinya, yaitu kedaulatan dipegang oleh Belanda, sehingga Indonesia harus menyerahkan sebagian hak-haknya sebagai negara bagian kepada Belanda. Belanda juga menuntut agar hak-hak atas penyelenggaraan hubungan luar negeri dan penyelenggaraan angkatan perang Indonesia diambil alih olehnya.15 Tentu saja Indonesia keberatan atas rencana tersebut karena hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip kedaulatan Indonesia sebagai negara yang merdeka. Indonesia tidak mau menjadi negara bagian karena hal itu jelas merupakan suatu pengurangan terhadap kedaulatannya. Perbedaan pandangan inilah yang menyebabkan perundingan memasuki tahap yang sulit. Belanda menginginkan agar Indonesia menjadi negara bagian di dalam pemerintahan sementara yang dipimpin oleh Belanda, sedangkan Indonesia tetap menginginkan kedudukan yang sejajar dengan Belanda. Terlebih lagi adanya

14

Ide Anak Agung Gde Agung, op. cit., hlm. 86-87.

15

(31)

sikap Letnan Gubernur Jenderal Van Mook yang tetap tidak mau berkompromi lagi tentang tuntutan tersebut mengakibatkan situasi perundingan menjadi tegang.16 Hal tersebut tentu saja juga berpengaruh pada hubungan kedua negara.

Hipotesis III :

Jika terjadi perbedaan penafsiran di antara Indonesia – Belanda dalam melaksanakan hasil-hasil Perjanjian Renville, maka hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda tidak akan membaik.

Meskipun secara teknis Perjanjian Renville sudah ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948, namun bukan berarti hasil-hasil dari perjanjian tersebut bisa dengan mudah untuk dilaksanakan. Secara garis besar pasal-pasal di dalam Perjanjian Renville dapat dikatakan hanyalah sebagai pokok-pokok persetujuan saja yang cara-cara untuk mewujudkannya belum dirumuskan secara rinci. Dari sekian pasal yang ada di dalam Perjanjian Renville, pasal yang paling krusial dan sensitif bagi Indonesia adalah tetap menyangkut tentang pembentukan Pemerintah Federal Sementara. Bagi Indonesia tidak mudah untuk melaksanakannya karena masih ada perbedaan pandangan dengan Belanda. Pada intinya Indonesia setuju tentang pembentukan Pemerintah Federal Sementara itu, namun Indonesia tidak sependapat dengan Belanda dalam hal cara-cara teknis pembentukannya karena usulan Belanda tentang pemerintahan sementara tersebut terkesan memandang rendah kedaulatan Indonesia. Belanda menuntut agar Indonesia masuk sebagai negara bagian dalam pemerintahan tersebut, sedangkan

16

(32)

Indonesia tetap menginginkan kedudukan yang sejajar dengan Belanda.17 Dengan adanya perbedaan yang cukup besar tersebut maka situasi pasca penandatanganan Perjanjian Renville terlihat mengambang dan tanpa kepastian karena adanya perbedaan penafsiran dalam memahami hasil perjanjian antara Indonesia – Belanda. Dengan demikian hubungan keduanya tidak semakin membaik, tapi justru akan semakin renggang karena tidak adanya persamaan pandangan dalam melaksanakan hasil-hasil Perundingan Renville.

I. Metodologi Penelitian

Selama melakukan penelitian ini penulis telah melalui berbagai tahapan untuk menghasilkan penelitian yang akurat, komperehensif, dan berimbang dengan cara :

1. Heuristik

Penulis mencari dan mengumpulkan sumber-sumber yang berhubungan dengan topik Perundingan Renville yang sebagian besar berupa buku di perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Kritik Sumber

Secara khusus penulis mengutamakan segi kritik internnya. Pada tahap ini penulis mulai membandingkan satu sumber dengan sumber lainnya apakah terdapat suatu kesesuaian mengenai datanya, sehingga dapat dipastikan kevalidannya.

17

(33)

3. Analisis

Setelah mendapatkan sumber-sumber yang cukup lengkap dan valid, maka penulis mulai melakukan interpretasi atas data tersebut dengan tetap mengacu pada topik yang sedang diteliti. Interpretasi akan selalu berpedoman pada pokok permasalahan, sehingga nantinya semua permasalahan akan dapat terjawab secara runtut dan jelas.

4. Penulisan

Setelah proses analisis disaring beberapa kali, maka selanjutnya adalah tahap penulisan. Dalam penulisan ini penulis juga terus melakukan editing, baik dari segi materi maupun tata bahasanya, sehingga tulisan yang dihasilkan nantinya bisa lebih mudah dipahami.

J. Sistematika Penulisan

Penulis akan menyajikan tulisan ke dalam lima bab, yaitu :

Bab I berisi tentang latar belakang masalah, pokok permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka konseptual, tinjauan pustaka, dan metode penelitian.

Bab II berisi tentang penguraian masalah yang pertama, yaitu : substansi permasalahan yang ada dalam Perundingan Renville.

(34)

Bab IV berisi tentang penguraian masalah yang ketiga, yaitu : pengaruh Perundingan Renville dalam konteks hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda 1947 – 1948.

(35)

BAB II

JALAN TERJAL MENUJU PERUNDINGAN

Sebelum membahas secara lebih jauh tentang substansi-substansi persengketaan antara Indonesia – Belanda yang akan dibahas dalam Perundingan Renville, kiranya perlu untuk sedikit mengulas kaitan antara Agresi Militer Belanda I pada tanggal 21 Juli 1947 dengan Perjanjian Linggajati yang akan sangat berpengaruh pada akar substansi dalam Perundingan Renville. Secara pragmatis Agresi Militer Belanda I tersebut jelas bertentangan dengan Perjanjian Linggajati, khususnya pasal I yang menyatakan bahwa : “Pemerintah Belanda mengakui kenyataan kekuasaan de facto Pemerintah Indonesia atas Jawa, Madura, dan Sumatera”.1 Jelas bertentangan, karena dengan agresinya tersebut Belanda telah menduduki daerah-daerah kekuasaan Indonesia, antara lain di Bandung, Cirebon, Semarang, Surabaya, Palembang, Medan, dan Madura.2

Menurut Belanda aksi tersebut bukanlah suatu bentuk agresi, tetapi hanya suatu bentuk aksi polisionil saja yang bertujuan untuk memelihara keamanan di daerah-daerah yang dianggap masih rawan tingkat keamanannya. Selain itu alasan Belanda mengadakan aksi tersebut karena mereka menilai bahwa Indonesia tidak mampu menjaga keamanan dan ketertiban di daerah pendudukannya sendiri dan bahkan menolak pesan usulan Belanda tanggal 27 Mei 1947 tentang pembentukan pasukan bersama (gendarmerie) di daerah pendudukan, khususnya di daerah

1

Pramoedya Ananta Toer dkk., 2001, Kronik Revolusi Indonesia Jilid III (1947), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, hlm. 431.

2

Ibid., hlm. 234-295.

(36)

pendudukan Indonesia.3 Belanda menganggap bahwa dirinya mempunyai tanggung jawab atas apa yang terjadi di seluruh Hindia Belanda, meskipun pada kenyataannya kini pihaknya telah berbagi kedaulatan dengan Indonesia.

Sampai di sini dapat diketahui bahwa salah satu motif awal Belanda melancarkan agresinya adalah adanya pertentangan antara pihaknya dengan Indonesia dalam hal pemeliharaan keamanan dan ketertiban di Indonesia. Indonesia memang tidak pernah menyetujui usul Belanda tentang pembentukan pasukan bersama tersebut karena pada akhirnya hal itu hanya akan memperkeruh keadaan saja. Dengan adanya pasukan bersama berarti sama saja dengan mengijinkan pasukan Belanda untuk masuk ke dalam daerah pendudukan Indonesia secara bebas karena hal itulah yang menjadi maksud Belanda. Jelas tidak mungkin bagi Indonesia untuk menerima hal tersebut karena Indonesia menilai bahwa masalah keamanan adalah urusan internal negara yang secara otomatis menjadi wewenang negara itu sendiri yang tidak perlu melibatkan pihak asing. Pembentukan pasukan bersama bisa juga dilihat sebagai suatu taktik Belanda saja agar mereka bisa menempatkan pasukannya dengan bebas ke dalam daerah pendudukan Indonesia untuk selanjutnya tetap melancarkan motif-motif tertentu, seperti misalnya pengintaian ataupun pendudukan terhadap daerah pendudukan Indonesia.

Jauh sebelum Perundingan Renville dimulai, di antara Indonesia Belanda sebenarnya sudah sering memperdebatkan aksi 21 Juli 1947 tersebut di dalam sidang DK PBB. Hal tersebut tak lepas dari adanya perhatian dan peranan sejumlah negara anggota DK PBB seperti India dan Australia yang telah berhasil mendesak DK PBB

3

(37)

untuk membahas masalah Indonesia di dalam sidang DK PBB. Pada awalnya Belanda merasa keberatan bila masalah tersebut dibahas di dalam forum internasional karena mereka menganggap bahwa hal tersebut adalah urusan internal Belanda sendiri, apalagi dengan adanya keputusan DK PBB untuk menghadirkan pihak Indonesia untuk didengar keterangannya membuat Belanda semakin gusar.

Belanda menganggap hal tersebut tidak perlu karena Indonesia tidak mempunyai kompetensi untuk menjelaskan konflik yang terjadi. Namun hal tersebut ternyata tidak banyak berpengaruh, negara-negara anggota DK PBB seperti Australia, India, dan Polandia ternyata telah berhasil membujuk dewan untuk menghadirkan pihak Indonesia dalam sidang DK PBB karena masalah Indonesia adalah konfilk yang melibatkan dua negara yang bertikai yang jika tidak segera diatasi bisa mengancam perdamaian dunia. Masalah Indonesia – Belanda mulai dibahas dalam sidang DK PBB pada tanggal 4 Agustus 1947.4 Pada sidang-sidang selanjutnya di bulan Agustus pada dasarnya masih membahas tentang gencatan senjata antara Indonesia – Belanda.

Pada tanggal 14 Agustus 1947 Syahrir yang menjadi ketua delegasi Indonesia menyampaikan pidato dalam sidang DK PBB yang berisi tuntutan agar DK PBB bersedia mendesak Belanda untuk menarik kembali pasukannya dari wilayah Republik Indonesia pada posisi seperti sebelum agresi.5 Pada intinya Syahrir sebagai wakil Indonesia sangat mengharapkan bahwa posisi Indonesia, baik secara teritorial maupun politis harus dipulihkan terlebih dahulu seperti sebelum terjadinya agresi, sehingga Indonesia mendapatkan hak-haknya sebagai negara yang berdaulat secara

4

Pramoedya Ananta Toer dkk., op. cit., hlm. 243.

5

(38)

proporsional di dalam perundingan yang akan ditempuh selanjutnya. Tuntutan tersebut ternyata hanya ditanggapi dengan sikap dingin saja oleh Belanda. Tanpa menghiraukan perintah gencatan senjata, Belanda masih tetap saja melakukan pendudukan-pendudukan secara sepihak terhadap daerah pendudukan Indonesia.6

Perundingan Renville adalah suatu pembukaan kembali pintu dialog antara Indonesia – Belanda untuk kesekian kalinya. Selain bertumpu pada peristiwa Agresi Militer Belanda I, Perundingan Renville juga bertujuan untuk memperjelas posisi dan status masing-masing pihak dalam rangka menyelesaikan konflik yang kini semakin kompleks. Substansi persengketaan yang akan dibahas di dalam tahap awal Perundingan Renville sebenarnya masih berkutat pada masalah pelaksanaan gencatan senjata, hanya saja substansinya semakin kompleks ketika harus membahas tentang rekapitulasi daerah-daerah kekuasaan dan penarikan pasukan. Selain itu ada juga substansi lain yang tidak kalah penting, yaitu tentang rencana pembentukan suatu Pemerintahan Federal Sementara dan suatu persemakmuran yang bernama Negara Indonesia Serikat (NIS).

Bila dicermati lebih dalam substansi-substansi tersebut sebenarnya bukanlah hal yang baru, substansi-substansi tersebut sudah diperdebatkan antara Indonesia – Belanda sejak tahun 1945, yaitu ketika pasukan-pasukan Inggris datang ke Indonesia untuk membebaskan tahanan perang dan melucuti pasukan Jepang.7 Hanya saja substansi-substansi tersebut tak kunjung terpecahkan karena masih adanya sejumlah perbedaan pandangan antara kedua belah pihak dalam pelaksanaannya, sehingga substansi-substansi tersebut berlarut-larut tanpa adanya suatu penyelesaian yang

6

M.C. Ricklefs, 2004, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, terj., Serambi, Jakarta, hlm. 454.

7

(39)

tuntas. Dapat dikatakan bahwa Perundingan Renville ini memuat substansi-substansi lama dalam hubungan Indonesia – Belanda semasa konflik yang belum terpecahkan. Kini setidaknya ada tiga substansi persengketaan di dalam Perundingan Renville yang harus dibahas lagi oleh Indonesia dan Belanda. Substansi-substansi tersebut, yaitu : 1. Persetujuan gencatan senjata

2. Rekapitulasi daerah-daerah pendudukan

3. Rencana pembentukan Pemerintah Federal Sementara dan NIS

Substansi-substansi tersebut saling berhubungan erat, tiap pembahasan substansi akan sangat berpengaruh pada proses pembahasan substansi selanjutnya.

Substansi pertama adalah mengenai pelaksanaan gencatan senjata pasca terjadinya Agresi Militer Belanda I. Dalam hal ini yang diperdebatkan antara Indonesia – Belanda adalah masih mengenai dampak dari agresi dan tindakan-tindakan pendudukan pasukan Belanda setelah perintah gencatan senjata dikeluarkan oleh DK PBB. Bila dalam agresinya Belanda telah berhasil menduduki kota-kota yang cukup strategis milik Indonesia, seperti Bandung, Bogor, Cirebon, Semarang, Surabaya, Palembang, dan Medan, maka hal itu pun terus berlanjut di daerah-daerah Indonesia yang lain meskipun DK PBB sudah mengeluarkan perintah untuk menghentikan peperangan. Pasukan Belanda tetap saja menyerang daerah-daerah pendudukan Indonesia di Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Madura, dan sebagian Sumatera.8 Akibatnya wilayah Indonesia menjadi semakin sempit karena Belanda telah menduduki sebagian Jawa, Sumatera, dan Madura.

Pada dasarnya Indonesia memprotes tindakan-tindakan Belanda di beberapa daerah kekuasaan Indonesia yang secara jelas telah melakukan kekerasan militer

8

(40)

dengan alasan pemeliharaan keamanan dan menuntut agar Belanda menghentikan aksinya tersebut. Belanda masih sependapat dengan Indonesia bahwa gencatan senjata adalah substansi dasar yang harus segera dilaksanakan terlebih dahulu agar perundingan bisa berjalan secara kondusif, tetapi pada kenyataannya Belanda masih saja terus melakukan pendudukan dengan alasan pemeliharaan keamanan.

Substansi mengenai pelaksanaan gencatan senjata mulai menemukan jalan buntu ketika kedua belah pihak membahas tentang batas-batas daerah pendudukan yang akan dijadikan pedoman dalam pelaksanaan gencatan senjata. Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, Indonesia menuntut agar pasukan Belanda ditarik mundur sampai pada posisi sebelum agresi, yang berarti bahwa Indonesia tetap berpegang pada posisinya yang diakui dalam Perjanjian Linggajati sebagai batas wilayah kedaulatannya. Belanda tidak mau menyetujui tuntutan Indonesia, bahkan Belanda membuat rancangan sendiri dengan mengajukan tuntutan bahwa garis demarkasi yang dipakai adalah garis pendudukan pasukannya pada saat gencatan senjata, yaitu tanggal 4 Agustus 1947.9 Garis itu dinamakan garis Van Mook karena dinyatakan oleh Letnan Gubernur Jenderal Belanda H.J. Van Mook. Sebagai gambaran garis Van Mook itu meliputi Jawa Barat kecuali Banten, sebagian Jawa Tengah meliputi Pekalongan dan Semarang, sebagian Jawa Timur meliputi Malang, Surabaya, Banyuwangi, dan Pulau Madura, itu pun belum termasuk di Pulau Sumatera.10

9

Garis demarkasi, daerah kosong, atau daerah yang tidak bertuan, pada umumnya sesuai dengan garis status quo. Garis status quo itu merupakan batas daerah yang diduduki oleh tentara Belanda sesuai dengan proklamasi Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 29 Agustus 1947. Ada di dalam Slametmulyana, 1986, Kesadaran Nasional Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan Jilid 3, Inti Idayu Press, Jakarta, hlm. 99.

10

(41)

Indonesia menolak tuntutan Belanda tersebut karena dinilai terlalu sepihak dan tidak memiliki dasar yang legal. Indonesia menilai bahwa garis Van Mook adalah suatu hal yang dipaksakan karena didapat Belanda dengan cara menyerang daerah-daerah yang secara efektif masih dikuasai oleh pasukan Indonesia, dan terlebih lagi hal tersebut dilakukan tanpa mematuhi adanya perintah gencatan senjata dari DK PBB.

Sebagai syarat awal suatu perundingan, substansi tentang gencatan senjata memang menjadi substansi yang cukup alot dalam pembahasannya. Baik Indonesia maupun Belanda lebih cenderung mempermasalahkan status daerah-daerah pendudukan sebagai akibat dari pembahasan mengenai pelaksanaan gencatan senjata dan penentuan batas-batas wilayah kedaulatan. Di antara kedua belah pihak belum terdapat suatu persamaan pandangan dalam menentukan kembali daerah pendudukannya masing-masing pasca agresi 21 Juli 1947.

(42)

menyangkut tentang penguasaan atas daerah-daerah tersebut, tetapi juga menyangkut tentang status sementara daerah-daerah tersebut selama perundingan berjalan, jaminan keamanan, penarikan pasukan yang masih ada di sana, dan proses penentuan status daerah-daerah tersebut selanjutnya, baik dalam hubungannya dengan Pemerintah Federal Sementara maupun NIS.

Substansi yang ketiga adalah mengenai rencana pembentukan Pemerintahan Federal Sementara dan NIS. Dari beberapa substansi perundingan yang telah disebutkan sebelumnya, substansi inilah yang merupakan substansi paling krusial dan sangat menentukan bagi kelanjutan hubungan antara Indonesia – Belanda karena di dalamnya termuat beberapa masalah yang menyangkut tentang posisi dan status masing-masing pihak di masa yang akan datang. Substansi tentang pembentukan NIS ini merupakan suatu rencana jangka panjang yang cukup rumit dalam proses perencanaannya, karena selain harus membahas tentang tata cara teknis pembentukannya, substansi ini juga menyangkut tentang pengakuan kedaulatan masing-masing pihak yang harus terlebih dahulu dinyatakan sebagai salah satu bagian terpentingnya.11

Negara Indonesia Serikat adalah substansi yang dimunculkan oleh Belanda di dalam Perundingan Renville yang menurut Belanda adalah sebagai suatu bentuk hubungan kerja sama antarnegara yang berdasarkan atas persamaan status. Secara lebih lanjut Belanda menjelaskan bahwa pada dasarnya NIS adalah suatu bentuk persemakmuran (commonwealth) yang di dalamnya melibatkan banyak negara bagian lain yang akan tergabung dalam persemakmuran itu, termasuk juga Indonesia dan

11

(43)

Belanda.12 Belanda menambahkan bahwa selama masa peralihan menuju pembentukan NIS tersebut, kedaulatan Belanda atas Indonesia tetap berlaku dan akan diserahkan kepada NIS setelah NIS itu terbentuk. Masing-masing negara bagian akan diberi status merdeka di bawah NIS yang akan dikepalai oleh Belanda.13 Tetapi substansi tersebut baru merupakan wacana besar saja karena pembahasan lebih lanjut mengenai tata cara teknis pembentukannya masih memerlukan persetujuan dengan Indonesia.

Pada dasarnya pihak Indonesia sendiri masih bingung dengan substansi tersebut karena ada banyak hal yang terkesan kurang jelas dan terkesan tidak adil. Substansi pembentukan NIS belum menyentuh tentang hal-hal teknis yang berhubungan dengan posisi dan status Indonesia dalam persemakmuran tersebut. Banyak masalah yang belum dibahas oleh Indonesia maupun Belanda menyangkut tentang prinsip-prinsip dasar keberadaan negara-negara bagian tersebut di dalam persemakmuran, yaitu menyangkut tentang hak dan kewajiban negara bagian tersebut : bagaimana statusnya, bentuk hubungannya, undang-undangnya, sistem pemerintahannya, dan hubungan dengan luar negeri. Masalah-masalah tersebut harus dijernihkan terlebih dahulu agar Indonesia dapat mengambil keputusan yang tepat dalam proses pembentukannya. Indonesia sendiri tampaknya enggan untuk membicarakan tentang NIS sebelum dicapainya kesepakatan untuk hal-hal teknis tersebut karena hal-hal tersebut berpengaruh terhadap hak dan kedaulatannya sebagai suatu negara.

12

Ibid., hlm. 49 dan Pramoedya Ananta Toer dkk., op. cit., hlm. 432.

13

(44)

Bila ditelusuri secara lebih jauh ide awal tentang adanya rencana pembentukan NIS tersebut sebenarnya sudah ada jauh sebelum adanya Perundingan Renville, bahkan sebelum adanya Perjanjian Linggajati, hanya saja hal tersebut tidak secara cepat dapat dilaksanakan karena masih adanya perbedaan pandangan antara Indonesia – Belanda dalam tata cara teknis pembentukannya. Ide tersebut datang dari hasil kompromi antara Letnan Gubernur Jenderal Van Mook dengan Syahrir pada awal bulan Desember 1945 yang kemudian disampaikan oleh Van Mook kepada Menteri Urusan Tanah Seberang Belanda, Logemann.14 Dapat diketahui bahwa ide tersebut sebenarnya sudah ada sejak pasukan Inggris datang ke Indonesia untuk membebaskan tahanan perang, melucuti dan memulangkan pasukan Jepang ke negerinya sehubungan dengan kemenangan Sekutu pada Perang Dunia II (PD II). Jadi sebenarnya ada kaitan antara kedatangan Inggris dan proses perundingan antara Indonesia – Belanda yang sudah ada pada saat itu.

Kedatangan Inggris pada bulan September 1945 di bawah pimpinan Jenderal Philips Christisons mengubah beberapa pola pandangan Belanda terhadap Indonesia.15 Pada awalnya Belanda menaruh harapan besar pada Inggris yang datang untuk merekapitulasi kemenangan Sekutu atas Jepang untuk bisa membantunya memulihkan kekuasaannya di Indonesia seperti sebelum tahun 1942. Pada saat itu Belanda ingin memanfaatkan kesempatan tersebut untuk datang ke Indonesia dan kembali memulihkan kekuasaannya meskipun Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 – karena pada saat itu terjadi kekosongan kekuasaan di Indonesia karena pemerintahan Jepang di Indonesia secara otomatis

14

Ibid., hlm. 45-50.

15

(45)

berakhir setelah kemenangan Sekutu pada PD II dan berharap Inggris akan membantunya. Tetapi dugaan Belanda tersebut meleset, dalam beberapa pernyataan yang disampaikan oleh pimpinan pasukan Inggris mereka menyatakan bahwa kedatangannya ke Indonesia hanya untuk membebaskan tahanan perang, melucuti, dan memulangkan pasukan Jepang ke negerinya dan sama sekali tidak untuk membantu memulihkan kekuasaan Belanda di Indonesia. Mereka menegaskan lagi bahwa mereka tidak mempunyai kepentingan-kepentingan politik dalam negeri Indonesia dan mendesak Belanda untuk segera melakukan perundingan dengan Indonesia agar proses pembebasan tahanan perang dapat berjalan dengan lancar.16

Kejelasan sikap Inggris inilah yang membuat Van Mook mulai sadar bahwa sudah tidak mungkin lagi bagi Belanda untuk menguasai kembali Indonesia dan mulai berpikir ulang dalam menerapkan garis-garis politiknya terhadap Indonesia karena jelas bahwa sikap Inggris adalah tidak setuju dengan maksud pemerintahnya tersebut. Terlebih lagi adanya pengamatan-pengamatan dari para asistennya yang menyatakan bahwa keadaan di Indonesia kini sudah berubah, dimana gerakan rakyat untuk menuntut kemerdekaan semakin kuat dan meluas membuat Van Mook pun menyadari bahwa Belanda sudah tidak mempunyai posisi yang cukup kuat di Indonesia. Atas dasar itulah kemudian Van Mook menyampaikan rekomendasi kepada pemerintahnya di Belanda bahwa dengan situasi yang seperti saat ini tidaklah mungkin bagi Belanda berkuasa kembali di Indonesia seperti sebelum tahun 1942 dan

16

(46)

menyarankan pemerintah pusat agar mulai menempuh jalur diplomasi dengan Indonesia untuk memperlancar tugas Sekutu di Indonesia.17

Awalnya, Pemerintah Belanda yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Urusan Tanah Seberang Logemann menentang sikap Van Mook tersebut dan memaksa agar Van Mook dapat melaksanakan kebijakan pemerintahnya dengan memanfaatkan situasi yang ada. Tetapi setelah diyakinkan oleh Van Mook, Pemerintah Belanda baru bisa sedikit melunak dan mulai membicarakan rekomendasi Van Mook tersebut. Hasil pembicaraan antara Van Mook dan Syahrir pada awal bulan Desember 1945 itulah yang akhirnya dijadikan dasar pemikiran bagi Logemann untuk mengeluarkan beberapa garis-garis politiknya terhadap Indonesia, yang antara lain menyatakan :

1. Di masa depan akan diadakan suatu persemakmuran (commonwealth) yang mencakup Indonesia dan Kerajaan Belanda.

2. Di dalam persemakmuran itu Indonesia akan menjadi mitra (Deelgenoot) dari Kerajaan Belanda.

3. Persemakmuran (gemenebest) Indonesia dipimpin oleh seorang gubernur yang diangkat oleh Pemerintah Belanda.18

Ide untuk membentuk NIS itu lebih tampak sebagai suatu langkah alternatif Belanda dalam menghadapi situasi politik di Indonesia yang cukup dilematis. Di satu sisi Belanda tetap ingin menanamkan pengaruhnya di Indonesia, tetapi di sisi lain keberadaan Inggris yang tetap tegas pada misi utamanya jelas merupakan situasi yang tidak menguntungkan bagi tujuannya tersebut. Membuka perundingan dengan Indonesia untuk membahas kemungkinan adanya kerja sama dalam suatu persemakmuran adalah suatu jalan tengah yang ditempuh oleh Belanda untuk

17

Ide Anak Agung Gde Agung, op. cit., hlm. 31-50.

18

(47)
(48)

BAB III

DIPLOMASI DAN INTERVENSI

A. Diplomasi Belum Berakhir

Pelaksanaan Perundingan Renville dibayang-bayangi oleh adanya sejumlah perbedaan prinsip dan pandangan yang sangat mendasar di antara Indonesia – Belanda dalam menyikapi beberapa substansi yang disengketakan. Belanda berpandangan bahwa substansi di bidang militer harus diselesaikan terlebih dahulu agar gencatan senjata bisa dilaksanakan secara efektif. Proses demiliterisasi dan penentuan batas-batas daerah pendudukan merupakan substansi yang menurut Belanda harus segera dibahas oleh kedua belah pihak dalam melaksanakan gencatan senjata. Belanda berprinsip bahwa selama substansi di bidang militer belum dituntaskan, maka akan sulit bagi pihaknya untuk mempertimbangkan substansi di bidang politik karena lancar tidaknya proses pemulihan keamanan dan ketertiban di bidang militer akan berpengaruh terhadap proses pembahasan substansi politiknya.

Sedangkan Indonesia berpandangan bahwa substansi di bidang militer, khususnya mengenai gencatan senjata akan bisa dilaksanakan secara efektif jika Belanda juga mematuhi resolusi DK PBB secara penuh. Menurut Indonesia proses penentuan batas-batas daerah pendudukan tidak akan berjalan mudah karena pada dasarnya masih terdapat persengketaan di antara kedua belah pihak mengenai kepastian status daerah-derah tersebut, baik ketika sebelum terjadinya agresi maupun setelah dikeluarkannya resolusi DK PBB. Indonesia lebih memilih

(49)

untuk memprioritaskan penyelesaian substansi di bidang politik karena substansi-substansi yang ada di dalamnya, seperti misalnya mengenai rencana pembentukan pemerintahan sementara NIS, dan peninjauan kembali hubungan politik antara Indonesia – Belanda merupakan substansi yang lebih penting dan mendesak untuk segera diselesaikan.

Berdasarkan hasil pembicaraan yang diadakan sebelumnya terlihat jelas bahwa di antara kedua belah pihak ternyata masih belum menemukan suatu bentuk kesepakatan yang secara konkret bisa segera dilaksanakan terhadap substansi-substansi yang ada. Meskipun dalam hal ini keberadaan KTN sebagai mediator perundingan setidaknya telah bisa mendekatkan keduanya di dalam suatu perundingan, tetapi masing-masing pihak ternyata masih sering terbentur pada perhitungan-perhitungan politis dalam memahami substansi yang ada, sehingga masih sulit bagi keduanya untuk menempatkan substansi yang dihadapi secara obyektif dan proporsional. Obyektif dalam hal ini adalah perlunya membahas suatu substansi berdasarkan pada kenyataan yang ada, sedangkan proporsional berarti menuntut hak-haknya sesuai dengan kesepakatannya dengan pihak lain.

(50)

Indonesia menyebabkan DK PBB beberapa kali menemukan kegagalan dalam membuat suatu resolusi baru yang secara teknis diperlukan untuk menindaklanjuti perintah gencatan senjata yang telah ada. Dapat disebutkan bahwa adanya kecenderungan dari negara-negara seperti Inggris, Belgia, dan Perancis untuk memihak Belanda membuat peranan DK PBB justru melemah karena negara-negara tersebut cenderung menentang setiap rancangan resolusi yang akan merugikan posisi Belanda, baik secara militer maupun politik.1 Posisi Belanda yang lebih kuat secara militer membuat Belanda mempunyai daya tawar yang lebih tinggi dalam menghadapi setiap tuntutan Indonesia, sehingga dasar perundingan lebih terlihat sebagai suatu perundingan yang berada di bawah tekanan, bukan sebagai suatu perundingan yang bebas.

Sementara itu situasi menjelang perundingan terasa kurang kondusif karena selain masih adanya sejumlah pertempuran di lapangan, hal tersebut juga disebabkan oleh adanya perang urat saraf yang terus dilakukan oleh Indonesia maupun Belanda. Masing-masing pihak dengan sengaja melancarkan berbagai bentuk sentimen politisnya kepada pihak lain untuk menunjukkan eksistensi dan kekuatannya. Ada berbagai bentuk manuver politik yang dilancarkan oleh masing-masing pihak yang tentu saja bertujuan untuk menghimpun dukungan dari dunia internasional dan untuk menciptakan situasi-situasi yang mungkin bisa dimanfaatkan. Indonesia sendiri yang sejak penandatanganan Perjanjian Linggajati telah mendapatkan pengakuan kedaulatan dari berbagai negara, baik secara de facto maupun de jure seperti dari Inggris, AS, Mesir, Libanon, Suria,

1

(51)

Afganistan, Burma, Arab Saudi, Yaman, Rusia, dan India tetap berpandangan bahwa jalur diplomasi akan lebih menjamin posisinya, meskipun secara substansial pihaknya harus menghadapi tuntutan-tuntutan Belanda yang cukup memberatkan.2 Keyakinan Indonesia terhadap jalur diplomasi tidak lepas dari adanya faktor simpati dan dukungan dari dunia internasional dan keterlibatan DK PBB melalui KTN yang secara teoritis bisa diharapkan membantu menyelesaikan konfliknya dengan Belanda selama ini. Bagi Belanda sendiri perundingan ini mungkin menjadi sesuatu hal yang tidak diharapkan sejak Van Kleffens gagal menolak keterlibatan DK PBB dalam menengahi konflik negaranya dengan Indonesia.3 Masuknya konflik Indonesia – Belanda ke dalam agenda pembahasan DK PBB membuat Belanda harus menghentikan segala bentuk kesewenang-wenangannya terhadap Indonesia.

Sikap Indonesia dalam menghadapi Perundingan Renville secara jelas dinyatakan oleh PM Amir Syarifuddin dalam pidato politiknya di depan sidang Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) pada tanggal 2 Oktober 1947. Dalam pidatonya tersebut PM Amir Syarifuddin menyatakan bahwa:

Segala akibat agresi Belanda mesti kita hilangkan. Selekas mungkin stelsel keuangan kita, stelsel perhubungan kita, perdagangan kita, perekonomian kita meski dikembalikan di seluruh daerah Republik. Ini berarti bahwa pertama kali kita akan menuntut pengunduran tentara Belanda ke garis demarkasi tanggal 14 Oktober 1946, atau sekurang-kurangnya pada keadaan tanggal 20 Juli 1947. Sudah barang tentu, tujuan ini tidak lengkap dan tidak sempurna, tetapi mesti ditambah dengan tujuan satu lagi, yaitu menuntut pengunduran tentara Belanda

2

G. Moedjanto, 1989, Indonesia Abad Ke-20 Jilid I, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 138.

3

(52)

dari seluruh daerah Republik dan kemudian dari seluruh Kepulauan Indonesia.”4

Cukup singkat memang inti dari pidato PM Amir Syarifuddin tersebut, tetapi secara jelas telah bisa menggambarkan posisi Indonesia dalam menempuh perundingannya dengan Belanda. Pernyataan tersebut setidaknya menggambarkan bahwa posisi Indonesia adalah tetap sebagai negara yang berdaulat dan tetap akan mempertahankan eksistensinya terhadap Belanda di dalam Perundingan Renville.

Sementara itu di dalam negeri Indonesia sendiri telah terjadi perubahan politik yang cukup mengejutkan berbagai pihak. Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang sejak Perjanjian Linggajati telah menarik dukungannya terhadap pemerintah pada bulan November 1947 menyatakan ikut mendukung Kabinet Amir Syarifuddin.5 Secara lebih jauh Masyumi mendukung langkah-langkah PM Amir Syarifuddin dalam usahanya menghadapi Belanda secara diplomatis. Kemudian PM Amir Syarifuddin pun segera merombak kabinetnya dengan memasukkan sejumlah nama baru yang berasal dari Masyumi ke dalam kabinetnya.6

Secara politis momentum ini jelas merupakan suatu keuntungan bagi perjuangan Indonesia dalam menghadapi Belanda karena kini dukungan politik terhadap kabinet Amir Syarifuddin semakin kuat. Masuknya Masyumi telah

4

A.H. Nasution, 1978, Sekitar Perang Kemerdekaan I Jilid 6 : Perang Gerilya Semesta I, Angkasa, Bandung, hlm. 5-6.

5

Pramoedya Ananta Toer dkk., 2001, Kronik Revolusi Indonesia Jilid III (1947), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, hlm. 400.

6

(53)

berhasil menciptakan suatu konstelasi politik yang solid bagi pemerintahan PM Amir Syarifuddin karena kini dapat dikatakan bahwa sebagian besar partai politik telah meleburkan diri dalam kabinetnya. Dapat ditambahkan juga bahwa masuknya Masyumi telah melengkapi kekuatan politik Kabinet Amir Syarifuddin yang didukung oleh partai-partai dari Sayap Kiri maupun Nasional. Dari Sayap Kiri terdapat Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Partai Buruh Indonesia (PBI). Dari golongan nasional terdapat Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII), dan

Referensi

Dokumen terkait

Kita tidak tahu berapa banyak orang yang BERARTI dalam hidup kita ; sampai saat kita sadar bahwa kita MERINDUKAN kehadiran mereka.. Sahabat sejati lebih mudah ditemui ketika

Ummi, Devi, Lena, Krisman, Fachri, Febri, Alex dan teman-teman Ekstensi Teknik Sipil USU yang telah banyak membantu, memberikan semangat kepada penulis dalam

Puji syukur kepada Allah SWT berkat Rahmat, Hidayah, dan Karunia-Nya kepada kita semua sehingga saya dapat menyelesaikan Proposal Penelitian Tindakan Kelas denga judul

Hasil yang diperoleh dari proses radiografl neutron dengan daya 700 kW menunjukkan bahwa simulasi ini cukup baik untuk meniru keadaan yang mungkin terjadi pada iradiasi elemen

PACHECO.- ( Estalla) Pero deje de hinchar las pelotas con esas porquerías!No tiene otra cosa más linda para andar pensando?! Si quiere trabajar conmigo se ensaya un lindo numerito

Tujuan Pembelajaran Siswa menggali informasi tentang tujuan pembelajaran yaitu Menjelaskan definisi barisan aritmatika, Menjelaskan definisi deret aritmatika,

Perguruan tinggi yang dimiliki oleh kabupaten Pamekasan, bukan hanya mempersiapkan guru-guru ekonomi, guru-guru bahasa dan guru-guru biologi dan lain sebagainya,

Dari hasil pengujian prototype kepada pakar, siswa one-to-one dan siswa small group di dapatkan soal matematika tipe PISA menggunakan konteks banyumas dan cilacap