• Tidak ada hasil yang ditemukan

Meneliti Jejak-jejak Perbedaan

BAB IV. MELANGKAH DI ANTARA KETIDAKPASTIAN

A. Meneliti Jejak-jejak Perbedaan

Perjanjian Renville yang telah ditandatangani pada tanggal 17 dan 19 Januari 1948 secara formal telah menjadi suatu dasar kesepakatan yang penting bagi usaha Indonesia dan Belanda dalam rangka menyelesaikan konflik yang terjadi melalui jalur perdamaian. Pasal-pasal yang termuat di dalam Perjanjian Renville merupakan pokok-pokok kesepakatan antara Indonesia – Belanda, baik dalam bidang militer maupun politik, yang oleh kedua belah pihak diharapkan bisa digunakan sebagai pedoman dalam melanjutkan perundingan yang diperlukan untuk melaksanakan kesepakatan-kesepakatan tersebut secara konkret. Tercapainya Perjanjian Renville dapat dikatakan sebagai suatu tahapan baru yang lebih krusial dalam rangkaian perundingan antara Indonesia – Belanda karena selain telah merumuskan pokok-pokok kesepakatan untuk menyelesaikan konflik bilateral, perjanjian tersebut juga memuat beberapa kesepakatan penting lainnya yang berkaitan dengan pembahasan hubungan bilateral kedua belah pihak di masa yang akan datang. Secara substansial Perjanjian Renville memuat dua substansi pokok yang selama ini menjadi sumber konflik di dalam hubungan Indonesia – Belanda, yaitu : proses penghentian permusuhan dan peninjauan kembali hubungan bilateral kedua belah pihak selanjutnya. Di dalam kerangka yang lebih luas Perjanjian Renville adalah suatu usaha Pemerintah Indonesia dan

Pemerintah Belanda dalam mengakomodasikan posisi dan haknya nasing-masing dalam peta kekuasaan politik di wilayah Indonesia.

Jika diamati secara lebih mendetail Perjanjian Renville belumlah merupakan suatu bentuk perjanjian yang secara langsung bisa segera dilaksanakan, tetapi memerlukan perundingan lebih lanjut untuk membuat keputusan-keputusan yang bersifat definitif dan secara konkret bisa dilaksanakan oleh kedua belah pihak berdasarkan prinsip-prinsip yang termuat di dalamnya. Secara teknis Perjanjian Renville masih berbentuk garis-garis besarnya saja dan memerlukan perundingan lanjutan untuk mempersiapkan tata cara teknis pelaksanaannya. Setidaknya ada tiga substansi utama di dalam Perjanjian Renville yang sangat berpengaruh di dalam proses penyelesaian konflik antara Indonesia – Belanda, yaitu :

1. Pelaksanaan gencatan senjata

2. Rencana pembentukan Pemerintah Federal Sementara dan NIS 3. Kedaulatan atas Indonesia

Ketiga substansi tersebut masih menggantung sebagai pertanyaan besar yang masih belum juga berhasil dipecahkan oleh Indonesia dan Belanda dalam proses perdamaian yang tengah diusahakannya.

Meskipun masih berbentuk garis-garis besarnya saja, Perjanjian Renville cukup dapat dikatakan sebagai suatu langkah yang progressif dalam usaha penyelesaian konflik bilateral antara Indonesia – Belanda. Progressif karena proses perundingannya tidak hanya telah berhasil menciptakan beberapa formulasi kesepakatan yang bersifat pragmatis saja, tetapi juga berhasil

merumuskan kesepakatan dasar yang mempunyai pandangan jauh ke depan. Hal ini terlihat pada bagian enam Prinsip Tambahan yang memuat substansi tentang rencana pembentukan NIS dan Uni yang secara eksplisit menjadi bukti bahwa Perjanjian Renville juga membahas tentang adanya perencanaan kembali hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda di masa yang akan datang, setelah di dalam Perjanjian Linggajati Indonesia dan Belanda gagal melaksanakan kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat. Hanya saja pelaksanaan hasil-hasil Perjanjian Renville tampaknya masih memerlukan waktu yang lebih lama karena masih adanya sejumlah perbedaan pandangan di antara Indonesia – Belanda yang belum bisa diatasi. Meskipun dapat dikatakan sebagai langkah yang progressif, di sisi lain hasil-hasil Perjanjian Renville ternyata juga menimbulkan adanya beberapa hal yang melemahkan posisi Indonesia karena di dalam perjanjian tersebut ada beberapa pasal yang cenderung merugikan Indonesia. Ada beberapa pasal di dalam Perjanjian Renville yang merugikan Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Akibat yang secara langsung terjadi di pihak Indonesia adalah Indonesia harus kehilangan beberapa wilayah kekuasaannya, antara lain atas sebagian Jawa Barat, Jawa Timur, dan Madura karena adanya penerimaan pasal 1 dan 8 pada bagian Perjajian Gencatan Senjata.1 Pasal 1 menetapkan bahwa Indonesia harus menerima Garis Van Mook Belanda sebagai batas daerah pendudukan kedua belah pihak pasca Agresi Militer 21 Juli 1947. Penerimaan atas Garis Van Mook jelas merugikan Indonesia karena garis tersebut dibuat oleh Belanda dengan cara

1

Robert J. McMahon, 1981, Colonialism and Cold Ward : The United States and the Struggle for Indonesian Independence 1945 – 1949, Correll University Press, London, hlm. 207.

melakukan pendudukan secara sepihak tanpa mematuhi adanya perintah gencatan senjata dari DK PBB. Kerugian Indonesia menjadi semakin jelas jika melihat pada pasal 8 yang menyatakan bahwa pasukan Indonesia yang masih berada di belakang kedudukan pasukan Belanda harus ditarik mundur meninggalkan daerah yang dimaksud menuju daerahnya sendiri. Dengan adanya pasal tersebut, maka pasukan Indonesia yang sebenarnya masih berposisi di daerah pendudukannya sendiri dengan terpaksa harus meninggalkan posisinya karena diterimanya Garis Van Mook. Secara otomatis hal tersebut membuat daerah kekuasaan Indonesia menjadi semakin sempit karena sudah termakan oleh Garis Van Mook Belanda. Yang lebih tragis lagi adalah sekitar 35.000 pasukan Indonesia harus mengungsi ke daerah yang telah ditetapkan sebagai akibat dari pasal 8 tersebut yang dalam hal ini telah menimbulkan permasalahan tersendiri bagi Indonesia.2

Akibat lain dari diterimanya Perjanjian Renville oleh Indonesia secara tidak langsung adalah jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin pada tanggal 23 Januari 1948, hanya beberapa hari setelah Perjanjian Renville ditandatangani. Jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin disebabkan karena Masyumi dan PNI menarik dukungannya terhadap kabinet, sehingga secara otomatis tanpa adanya dukungan lagi dari dua partai politik terbesar tersebut Kabinet Amir Syarifuddin tidak bisa menjalankan tugasnya. Penarikan dukungan oleh Masyumi dan PNI tersebut dilakukan karena kedua partai tersebut merasa kecewa terhadap hasil-hasil Perjanjian Renville yang dianggap terlalu banyak memberi keuntungan

2

Ada di dalam Sejarah Diplomasi Republik Indonesia dari Masa ke Masa Periode 1945 – 1950, 2004, Deplu, Jakarta, hlm. 658.

kepada Belanda.3 Meskipun secara kelembagaan mayoritas suara di dalam kabinet mendukung kinerja PM Amir Syarifuddin, tetapi secara garis kepartaian Masyumi dan PNI tetap merasa kecewa, sehingga memutuskan untuk menarik dukungan terhadap kabinetnya.

Setelah Kabinet Amir Syarifuddin jatuh, kemudian Presiden Soekarno menunjuk Mohammad Hatta untuk segera membentuk kabinet baru yang diharapkan bisa dibentuk dalam waktu yang singkat untuk melanjutkan perundingan politik dengan Belanda dan untuk melaksanakan hasil-hasil Perjanjian Renville. Hasilnya, kabinet baru yang terbentuk berbentuk presidensiil dan ternyata didukung oleh mayoritas partai politik yang ada, bahkan partai-partai dari golongan sayap kiri pun mendukungnya.4 Dalam kabinet ini Mohammad Hatta yang menjabat Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan. Program Kabinet Hatta adalah :

1. Melaksanakan ketentuan-ketentuan Persetujuan Renville dan melanjutkan perundingan dengan Belanda dengan perantaraan KTN. 2. Mempercepat pembentukan NIS

3. Rasionalisasi tentara dan ekonomi RI 4. Pembangunan5

Satu hal yang cukup menarik adalah masuknya kembali dukungan dari Masyumi dan PNI dalam Kabinet Hatta yang secara jelas mendukung Perjanjian Renville dan bahkan pelaksanaan hasil-hasil Perjanjian Renville menjadi salah satu

3

Deliar Noer, 1987, Partai Islam di Pentas Nasional 1945 – 1965, Grafitipers, Jakarta, hlm. 175.

4

Susan Finch and Daniel S. Lev, 1965, Republic of Cabinets 1945-1965, Interim Departs Series, New Yogyakarta , hlm. 14-15.

5

Hersri Setiawan, 2002, Negara Madiun? : Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan, FuSPAD, Jakarta, hlm. 7.

programnya, padahal sebelumnya mereka telah menyatakan keberatannya terhadap perjanjian tersebut.

Perjanjian Renville juga menyisakan adanya sejumlah ketidakjelasan mengenai maksud dari beberapa pasal di dalamnya yang cenderung bisa menimbulkan permasalahan baru di antara Indonesia – Belanda. Dalam pasal 1 pada bagian Enam Prinsip Tambahan, disebutkan bahwa “Kedaulatan atas Hindia Belanda seluruhnya ada dan akan tetap berada di tangan Kerajaan Belanda sampai waktu yang ditetapkan”.6 Secara substansial hal tersebut cenderung lebih menguntungkan posisi politik Belanda karena dengan pasal tersebut akan mudah bagi Belanda untuk menciptakan suatu wacana politik baru bahwa pemerintahnya mempunyai legalitas atas seluruh wilayah di Indonesia dengan segala haknya sebagai pemegang kekuasaan yang secara otomatis melekat padanya. Yang menjadi sumber ketidakjelasan adalah bagaimana posisi Indonesia berdasarkan pasal tersebut? Bukankah Indonesia juga layak memperhitungkan posisinya karena sebagai suatu negara Indonesia juga mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Yang tidak dijelaskan lebih lanjut adalah sampai sejauh mana kedaulatan tersebut akan dijalankan oleh Belanda? Pada dasarnya pasal tersebut cenderung meminggirkan posisi Pemerintah Indonesia dalam bidang politik karena Pemerintah Indonesia kurang mendapat hak dan tanggung jawabnya sebagai suatu pemerintahan di dalam wilayahnya sendiri.

6

Hindia Belanda adalah sebutan yang digunakan oleh orang-orang Belanda untuk menyebut Indonesia.

Terdapat satu pasal lagi di dalam Perjanjian Renville yang keberadaannya masih menimbulkan ketidakjelasan dan mudah untuk disalahtafsirkan. Pasal tersebut adalah pasal 2 pada bagian Pokok-pokok Persetujuan Politik yang menyatakan bahwa masing-masing pihak, yaitu Indonesia dan Belanda tidak akan menghalangi adanya pergerakan rakyat untuk mengemukakan suaranya dengan leluasa dan merdeka sesuai dengan Perjanjian Linggajati. Masalahnya adalah kebebasan seperti apa yang dimaksud di dalam pasal tersebut dan bagaimana mengatur bentuk kebebasan tersebut? Hal tersebut menjadi begitu penting ketika menyoroti tentang adanya kegiatan Belanda dalam membentuk negara-negara federal yang secara de facto berada di wilayah Indonesia.7 Menurut Belanda pembentukan negara-negara tersebut jelas merupakan salah satu bentuk kebebasan seperti yang dimaksud dalam pasal 2 tersebut. Akibat yang lebih jauh lagi adalah secara sepihak Belanda dengan bebasnya semakin giat dalam membentuk negara-negara baru karena menurutnya pembentukan negara-negara tersebut dilatarbelakangi adanya aspirasi dari penduduk untuk membentuk suatu pemerintahan sendiri yang dalam hal ini aspirasi tersebut tak lain adalah seperti yang dimaksud di dalam pasal 2 tersebut.8

Indonesia jelas saja menolak pendapat Belanda tersebut karena telah merugikannya. Dengan adanya pembentukan negara-negara tersebut ada beberapa daerah Indonesia yang menjadi korban dari kegiatan Belanda tersebut. Ada beberapa negara dibentuk oleh Belanda di daerah-daerah yang secara de facto masih berada di wilayah Indonesia, antara lain : di Sumatera Selatan, Jawa

7

G. Moedjanto, 1989, Indonesia Abad Ke-20 Jilid II, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 66-67.

8

Alastair M. Taylor, 1960, Indonesian Independence and the United Nations, Stevers and Sons Limited, London, hlm. 110-112.

Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, dan Sumatra Timur.9 Jelas bahwa dengan tindakan tersebut wilayah Indonesia menjadi semakin sempit karena telah dicaplok oleh Belanda dengan adanya proyek negara-negara federalnya tersebut.

Dokumen terkait