• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diplomasi Maritim Indonesia di Asia Tenggara dalam Upaya Mewujudkan Visi Poros Maritim Dunia

Najamuddin Khairur Rijal Universitas Muhammadiyah Malang

najamuddin@umm.ac.id Abstrak

Tulisan ini membahas mengenai diplomasi maritim Indonesia di Asia Tenggara dalam upaya mewujudkan visi Poros Maritim Dunia. Visi PMD merupakan cita-cita pemerintahan Joko Widodo untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim yang maju, mandiri, kuat serta mampu memberikan kontribusi positif bagi keamanan dan perdamaian kawasan dan dunia sesuai dengan kepentingan nasional. Salah satu pilar strategi untuk mewujudkan visi PMD tersebut adalah melalui diplomasi maritim, dengan fokus perhatian utama adalah di kawasan Asia Tenggara dan organisasi regional ASEAN. Melalui kerangka konseptual diplomasi maritim oleh Christian Le Miere, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia mengintegrasikan berbagai bentuk diplomasi maritim. Pertama, cooperative maritime diplomacy dengan mendorong kerja sama dengan negara tetangga seperti Malaysia, Filipina dan Vietnam. Kedua, persuasive maritime diplomacy dengan menginisiasi dan mengusulkan berbagai kesepakatan regional di bidang maritim melalui mekanisme ASEAN. Ketiga, coercive maritime diplomacy dengan menunjukkan tindakan tegas melalui pembakaran dan penenggelaman kepada kapal asing yang melakukan pelanggaran di wilayah maritim Indonesia.

Kata Kunci: ASEAN, Asia Tenggara, diplomasi maritim, poros maritim

This paper discusses Indonesia's maritime diplomacy in Southeast Asia in effort to realize the vision of the World Maritime Nexus (WMN). WMN's vision is the idea of Joko Widodo's administration to realize Indonesia as a maritime country that is advanced, independent, strong and able to contribute positively to the security and peace in the region and in the world. One of the pillars of the strategy to realize the WMN's vision is through maritime diplomacy, with the main focus of attention is in the Southeast Asia region and ASEAN regional organizations. Used the conceptual framework of maritime diplomacy by Christian Le Miere, the results indicate that the Indonesian government integrates various forms of maritime diplomacy. First, cooperative maritime diplomacy by encouraging cooperation with neighboring countries such as Malaysia, the Philippines and Vietnam. Second, persuasive of maritime diplomacy by initiating and proposing various regional agreements in the maritime field through the ASEAN mechanism. Third, coercive maritime diplomacy by demonstrating decisive action through burning and drowning on foreign vessels that have committed violations in Indonesia's maritime territory.

Keywords: ASEAN, Maritime diplomacy, Southeast Asia, World Maritime Nexus

Pendahuluan

Tulisan ini membahas mengenai diplomasi maritim yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dalam upaya untuk mewujudkan

visi menjadi Poros Maritim Dunia (PMD). PMD sendiri merupakan salah satu “jargon”

unggulan dari pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang maju, mandiri, kuat serta mampu memberikan kontribusi positif bagi keamanan dan perdamaian kawasan dan dunia sesuai dengan kepentingan nasional.

Pada level internasional, gagasan PMD diungkapkan oleh Jokowi saat berpidato di forum Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur (East Asia Summit/EAS) ke-9 di Naypyidaw, Myanmar pada 13 November 2014. Lebih lanjut, salah satu pilar dari visi PMD yang secara khusus berkaitan dengan posisi dan peran Indonesia di level internasional, dan terkait relasi Indonesia dengan negara-negara lain sebagai realisasi karakter politik luar negeri yang bebas-aktif, adalah diplomasi maritim.

Menurut Madu, diplomasi maritim merupakan sokoguru politik luar negeri Indonesia. Melalui diplomasi maritim, lanjutnya, kebijakan luar negeri perlu diabdikan dan ditujukan untuk mencapai kepentingan nasional sesuai dengan Trisakti (Madu, 2014), yakni berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan kepribadian dalam kebudayaan. Adapun diplomasi yang dijadikan sebagai haluan politik luar negeri Indonesia adalah middle power diplomacy.

Maksud dari “diplomasi kekuatan menengah” yang ditegaskan Jokowi dalam penjabaran visi-misinya adalah, “menempatkan Indonesia sebagai kekuatan regional dengan keterlibatan global

secara selektif, dan memberi prioritas pada permasalahan yang secara langsung berkaitan

Oleh karena itu, untuk mendukung realisasi PMD, diplomasi Indonesia akan mendorong penguatan kerja sama maritim dalam berbagai mekanisme bilateral regional maupun multilateral (Kementerian Luar Negeri RI, 2015). Melalui mekanisme regional dan guna menempatkan Indonesia sebagai kekuatan regional, dapat dimaknai bahwa sasaran pertama dan utama kebijakan pemerintah untuk perwujudan visi PMD, adalah pada kawasan Asia Tenggara dan organisasi regional ASEAN. Untuk itulah, tujuan utama penelitian ini adalah melihat realisasi diplomasi maritim di kawasan Asia Tenggara dan ASEAN untuk mewujudkan visi PMD.

Hasil kajian penelitian terdahulu yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa ada beberapa penelitian sebelumnya yang telah membahas mengenai PMD, khususnya terkait diplomasi maritim dan kebijakan luar negeri Indonesia, namun dengan sudut pandang dan fokus yang berbeda. Riska mengkaji mengenai diplomasi maritim pemerintah Indonesia terhadap aktivitas illegal fishing yang dilakukan oleh nelayan China di wilayah perairan Natuna (Riska, 2017). Nugraha dan Sudirman memandang perlunya diplomasi maritim sebagai strategi pembangunan keamanan maritim Indonesia (Nugraha & Sudirman, 2016). Putra mengkaji mengenai keterlibatan Indonesia dalam diplomasi pertahanan untuk mewujudkan keamanan maritim di kawasan Asia Tenggara (Putra, 2017).

Selanjutnya, Muhamad membahas mengenai upaya yang perlu dilakukan oleh Indonesia menuju PMD (Muhamad, 2014). Yusran dan Asnelly mengkaji tantangan politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif dalam tinjauan posmodernisme dalam mewujudkan Indonesia sebagai PMD (Yusran & Asnelly, 2016). Dinarto mengkaji mengenai pentingnya tata kelola keamanan maritim Indonesia di era Presiden Joko Widodo dari sisi kelembagaan, kerangka hukum, dan sumber daya (Dinarto, 2016). Yakti dan Susanto mengkaji mengenai apakah konsep-konsep terkait PMD merupakan perubahan atau kesinambungan dari strategi maritim Indonesia dalam periode-periode sebelumnya (Yakti & Susanto, 2017). Namun demikian, dalam berbagai penelitian tersebut, kajian tentang upaya mewujudkan PMD melalui diplomasi maritim di Asia Tenggara dan ASEAN belum ditemukan.

Lebih lanjut, diplomasi maritim secara sederhana dapat dipahami sebagai manajemen hubungan antar negara melalui domain maritim. Menurut Miere, diplomasi maritim tidak hanya berarti penggunaan diplomasi untuk mengelola konflik dan ketegangan antar negara terkait permasalahan maritim melalui penyusunan instrumen hukum internasional. Namun juga, diplomasi maritim merupakan penggunaan aset atau sumber daya dalam domain maritim untuk mengatur hubungan antar negara (Miere, 2014).

Jika diplomasi secara umum melibatkan diplomat sebagai representasi negara, maka diplomasi maritim tidak hanya melibatkan policy maker (aktor negara) untuk mencapai tujuan (kepentingan nasional). Diplomasi maritim dapat pula melibatkan analis dan akademisi untuk mengkaji mengenai tren dan perkembangan yang terjadi dalam hubungan internasional dan keamanan global. Dalam kaitannya dengan itu, Miere mengkategorikan diplomasi maritim ke dalam tiga bentuk, yakni cooperative, persuasive, dan coercive (Miere, 2014).

Diplomasi maritim cooperative mensyaratkan kerja sama antaraktor dalam menyelesaikan berbagai masalah yang berkaitan dengan aspek kemaritiman, meliputi pertukaran personel, program pendidikan, pertemuan kolaboratif, dan lainnya yang bertujuan untuk confidance-building. Diplomasi maritim persuasive berbeda dengan cooperative dalam hal kolaborasi antar aktor. Tujuan dari persuasive diplomacy adalah untuk meningkatkan pengakuan negara atau pihak lain terhadap kekuatan nasional yang dimiliki oleh suatu negara

sekaligus membangun “wibawa” (prestige) negara tersebut dalam sistem internasional.

Adapun coercive dilakukan dengan penggunaan instrumen kekuatan militer untuk mengamankan kepentingan nasional suatu negara di perairan. Oleh Miere, bentuk ini disebut juga dengan hard maritime diplomacy yang melibatkan penggunaan senjata atau kekuatan militer dalam menghadapi ancaman keamanan maritim. Sementara bentuk cooperative disebut

juga soft maritime diplomacy yang menggunakan instrumen non-militeristik dan

mengedepankan kerja sama. Ketiga bentuk diplomasi maritim tersebut selanjutnya menjadi kerangka untuk melihat bentuk diplomasi maritim menuju visi PMD yang dilakukan pemerintah Indonesia di Asia Tenggara dan ASEAN.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini berfokus pada deskripsi mengenai upaya diplomasi maritim Indonesia di Asia Tenggara untuk mewujudkan visi sebagai PMD. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Adapun pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi melalui studi kepustakaan. Data primer bersumber dari telaah terhadap berbagai laporan kinerja tahunan pemerintah, khususnya Kementerian Luar Negeri. Adapun data sekunder yang dikumpulkan bersumber dari berbagai literatur yang relevan melalui penelusuran data dan informasi dari sumber-sumber tertulis seperti buku, jurnal, dan artikel online. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini melibatkan empat komponen, yaitu data collection (koleksi data), data

reduction (reduksi data), data display (penyajian data), dan conclusions drawing (penarikan

kesimpulan) (Miles & Huberman, 1992).

Hasil Penelitian

Gagasan dan Konsep Poros Maritim Dunia

Gagasan PMD telah dikemukakan oleh Jokowi-Jusuf Kalla sejak awal kampanyenya sebagai Calon Presiden (capres) dan Calon Wakil Presiden (cawapres) pada pemilihan umum tahun 2014. Kemudian, dalam pidato kemenangannya pada 22 Juli 2014, Jokowi menegaskan pentingnya semangat gotong-royong untuk mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai negara

maritim. Kata Jokowi, “Semangat gotong royong itulah yang akan membuat bangsa Indonesia

bukan saja akan sanggup bertahan dalam menghadapi tantangan, tapi juga dapat berkembang menjadi poros maritim dunia, locus dari peradaban besar politik masa depan” (Prasetya, 2014). Selanjutnya, dalam pidato kenegaraan setelah resmi dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober 2014, Jokowi kembali menegaskan visi maritimnya untuk mewujudkan Jalesveva

Jayamahe, yaitu untuk mengembalikan kejayaan Indonesia di masa lalu sebagai negara

maritim. Menurutnya, samudra, laut, selat dan teluk adalah masa depan peradaban Indonesia.

Dalam pidato tersebut, Jokowi mengutip pernyataan Presiden Soekarno, “bahwa untuk

membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai, kita harus memiliki jiwa cakrawarti samudera; jiwa pelaut yang berani mengarungi gelombang dan hempasan ombak yang menggulung” (Setiadji, 2014).

Adapun di level internasional, gagasan PMD diungkapkan oleh Jokowi dalam pidatonya di hadapan para pemimpin negara anggota EAS pada 13 November 2014 di Myanmar. Jokowi menegaskan bahwa PMD ditopang oleh lima pilar utama (Kementerian Luar Negeri RI, 2014). Kelima pilar tersebut adalah pembangunan kembali budaya maritim Indonesia melalui redefinisi identitas nasional sebagai bangsa maritim; menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut; mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim; melakukan diplomasi maritim untuk membangun bidang kelautan; dan membangun kekuatan pertahanan maritim.

Menurut Kementerian Luar Negeri dalam laporan kinerjanya, melalui penyampaian konsep PMD di fora internasional, Indonesia telah menegaskan posisinya yang siap membuka kerja sama di bidang maritim dengan berbagai negara untuk mendukung kemajuan perekonomian Indonesia (Kementerian Luar Negeri RI, 2015). Kebijakan ini juga disebut terobosan baru dalam sejarah kebijakan luar negeri Indonesia, sebab selama ini pemerintahan

sebelumnya belum sepenuhnya memposisikan aspek maritim sebagai fokus utama, dan pembangunan nasional lebih banyak berorientasi darat. Menurut Lembong, konsepsi poros maritim ini menunjukkan adanya upaya pengarusutamaan pembangunan nasional di laut untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim (Lembong, 2015).

Gagasan PMD, menurut Suropati dkk., secara substantif mengandung dua aspek. Pertama, tekad pemerintah untuk mengubah paradigma berpikir bangsa dari berorientasi pada pembangunan darat (continental oriented) menjadi berorientasi kelautan atau maritim (maritim

oriented). Kedua, perwujudan visi maritim tidak sebatas pada lingkup nasional, melainkan juga

pada tataran dunia (Suropati, Sulaiman, & Ian Montratama, 2016). Namun di sisi lain, gagasan PMD juga menimbulkan ambiguitas dan perdebatan terkait definisi dan tujuan operasional tentang apa dan bagaimana konsepsi PMD itu.

Dalam berbagai diskusi dan kajian ilmiah, mengemuka tiga istilah dalam mendefinisikan PMD, terutama tentang definisi dari kata “poros” (Suropati et al., 2016).

Pertama, kata “poros” dimaknai sebagai pusat atau sumbu (Global Maritime Fulcrum),

sehingga PMD sebagai visi untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat dari aktivitas kelautan

dunia. Kedua, “poros” sebagai alignment (Global Maritime Axis), seperti pada tahun 1965,

Soekarno membentuk poros politik Beijing-Pyongyang-Hanoi-Jakarta. Melalui PMD, Indonesia hendak membangun alignment dengan kekuatan lain sehingga dapat menunjang posisi strategis dan kepentingan nasional Indonesia. Ketiga, “poros” sebagai jalur pelayaran maritim (Global Maritim Nexus). Visi PMD bertujuan untuk menguasai jalur pelayaran maritim yang penting bagi dunia, yang melewati perairan Indonesia.

Dalam konteks tulisan ini, konsep PMD kemudian dimaknai sebagai sebuah cita-cita untuk, bukan hanya mengamankan tetapi juga, menguasai seluruh perairan Indonesia, sebagaimana pemaknaan yang ketiga di atas. Asumsi itu sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia yang menjadi rujukan tentang konsepsi kebijakan poros maritim. Dalam buku putih Kebijakan Kelautan Indonesia, terdapat tujuh pilar strategi kebijakan maritim untuk mewujudkan visi poros maritim: (i) pengelolaan sumber daya kelautan dan pengembangan sumber daya manusia; (ii) pertahanan, keamanan, penegakan hukum, dan keselamatan di laut; (iii) tata kelola dan kelembagaan laut; (iv) ekonomi dan infrastruktur kelautan serta peningkatan kesejahteraan; (v) pengelolaan ruang laut dan pelindungan lingkungan laut; (vi) budaya bahari; dan (vii) diplomasi maritim (Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman RI, 2017).

Adapun pembahasan mengenai diplomasi maritim menjadi penting sasaran utama agenda pembangunan nasional terkait realisasi politik luar negeri bebas aktif, sebagaimana dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, adalah meneguhkan jati diri Indonesia sebagai negara maritim. Adapun arah kebijakan dan strategi yang dilakukan salah satunya adalah memperkuat diplomasi maritim. Tujuannya adalah untuk mempercepat penyelesaian perbatasan Indonesia dengan 10 negara tetangga, menjamin integritas wilayah NKRI, kedaulatan maritim dan keamanan/kesejahteraan pulau-pulau terdepan, dan mengamankan sumber daya alam dan ZEE (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, 2014).

Hal itu tersirat pula dalam pidato yang disampaikan Joko Widodo di EAS ke-9, bahwa,

“Melalui diplomasi maritim, kami mengajak semua mitra-mitra Indonesia untuk bekerja sama

di bidang kelautan ini. Bersama-sama kita harus menghilangkan sumber konflik di laut, seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut. Laut harus menyatukan, bukan memisahkan, kita semua” (Setiadji, 2014).

Adapun agenda aksi untuk mewujudkan itu, salah satunya adalah dengan mengonsolidasikan kepemimpinan Indonesia di ASEAN serta memperkuat kerja sama dan menjamin sentralitas ASEAN. Hal itu tidak terlepas dari permasalahan-permasalahan maritim yang dialami Indonesia banyak bersentuhan dengan negara-negara tetangga di kawasan, seperti sengketa batas maritim, klaim kepemilikan wilayah maritim, kasus illegal fishing, perompakan, penyelundupan dan lainnya. Berdasarkan uraian di atas, maka bagian selanjutnya menguraikan mengenai bagaimana diplomasi maritim sebagai bagian dari implementasi misi untuk mewujudkan visi sebagai PMD yang dilakukan Indonesia di kawasan Asia Tenggara dan di level ASEAN.

Diplomasi Maritim Indonesia di Asia Tenggara

Diplomasi maritim Indonesia untuk merealisasikan visinya sebagai PMD dilakukan melalui upaya mendiskusikan, untuk tidak mengatakan menyelesaikan, permasalahan-permasalahan kemaritiman dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, seperti masalah batas maritim maupuan batas ZEE. Pada tahun 2015, Indonesia mendorong pembentukan berbagai forum kerja sama kemaritiman dengan negara lain dan berhasil membentuk sebanyak

dua forum. Menurut Kementerian Luar Negeri (2016), “forum kerja sama kemaritiman

kerja sama dalam bidang kemaritiman antara lain bidang keamanan dan keselamatan laut,

pengelolaan sumber daya kelautan dan pengelolaan perbatasan.”

Adapun forum yang dimaksud adalah forum RI-Malaysia tentang Technical Meeting on

Maritime Delimitation dan forum Indonesia-Vietnam mengenai penetapan batas ZEE kedua

negara. Hasil forum RI-Malaysia menyepakati penunjukan special envoy sebagai upaya akselerasi penyelesaian masalah perbatasan maritim dan darat dengan Malaysia, mengingat kompleksnya permasalahan perbatasan antar kedua negara (Direktorat Jenderal Asia Pasifik dan Afrika, 2016; Kementerian Luar Negeri, 2016).

Dengan Vietnam, Indonesia juga aktif meningkatkan kerja sama kemaritiman melalui berbagai forum pertemuan teknis penetapan batas ZEE RI-Vietnam. Dalam berbagai pertemuan teknis yang telah digelar, hasil pertemuan menunjukkan adanya indikasi perubahan sikap Vietnam untuk menjadikan penyelesaikan penetapan batas ZEE sebagai prioritas dalam kerangka kemitraan strategis Vietnam. Vietnam juga menegaskan kembali persetujuannya untuk menjadikan UNCLOS 1982 sebagai dasar hukum penarikan garis batas ZEE (Direktorat Jenderal Asia Pasifik dan Afrika, 2016). Hasil perundingan dengan Vietnam ini, ke depan akan memberi kejelasan batas hak berdaulat RI untuk pengelolaan perikanan.

Selain menggagas pembentukan forum, Indonesia juga mendorong kesepakatan melalui perundingan. Sepanjang tahun 2017, adanya sebanyak 44 naskah kesepakatan hasil perundingan di bidang diplomasi maritim, politik, keamanan, dan perbatasan yang berhasil dicapai (Direktorat Jenderal Asia Pasifik dan Afrika, 2018), salah satunya dengan Filipina. Indonesia mencapai kesepakatan tentang pembukaan Jalur Konektivitas Laut Bitung-Davao melalui deklarasi bersama di Manila, pada 28 April 2017. Pembukaan jalur konektivitas laut ini merupakan usulan Indonesia yang disampaikan dalam pertemuan Senior Officials’ Meeting (SOM) ke-25 Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area (BIMP EAGA) dan Ministerial Meeting ke-20 BIMP EAGA, di Puerto Princesa, Palawan, Filipina pada 2016.

Indonesia juga mendorong untuk mengaktifkan forum trilateral bersama Malaysia dan Filipina sebagai tindak tindak lanjut dari Trilateral Cooperative Arrangement Indonesia-Malaysia-Filipina tahun 2016. Implementasinya kemudian adalah dengan dilaksanakannya aktivitas patroli bersama, yaitu trilateral maritime patrol di Tarakan, Indonesia; trilateral air

patrol di Subang, Malaysia; dan trilateral port visit di Tawi-tawi, Filipina (Direktorat Jenderal

Diplomasi Maritim melalui Mekanisme ASEAN

Selain secara bilateral atau trilateral, diplomasi maritim Indonesia juga ditujukan untuk mendorong penguatan kerja sama maritim melalui berbagai mekanisme di ASEAN, baik mekanisme internal ASEAN maupun mekanisme ASEAN yang melibatkan negara lain seperti EAS dan ASEAN Regional Forum (ARF). Melalui forum internal ASEAN maupun forum yang melibatkan ASEAN dengan negara lain, Indonesia terus mendorong implementasi Declaration

on the Conduct of Parties in the South China Sea (DoC) dan diselesaikannya Code of Conduct in The South China Sea (CoC) (Kementerian Luar Negeri, 2016). Meskipun Indonesia bukan claimant state, masalah Laut China Selatan (LCS) menjadi perhatian Indonesia karena

kepentingan Indonesia terkait aspek-aspek maritim juga terdampak seiring dinamika ketegangan antar claimant state di LCS.

Adapun melalui forum EAS, tahun 2015 Indonesia menggagas kerja sama maritim dengan disepakatinya EAS Statement on Enhancing Regional Maritime Cooperation. Gagasan ini menjadi penting karena EAS melibatkan 10 negara ASEAN dan 8 negara non-ASEAN yang memiliki pengaruh dan kepentingan strategis di kawasan. Lima pilar dan kerja sama utama dalam EAS Statement yang menjadi usulan Indonesia adalah pembangunan ekonomi maritim berkelanjutan; pemajuan perdamaian, stabilitas dan keamanan; upaya mengatasi berbagai tantangan lintas batas; konektivitas maritim; dan kerja sama antar lembaga penelitian (Kementerian Luar Negeri, 2016).

Lebih lanjut, dalam forum-forum EAS maupun ARF, diplomasi Indonesia utamanya diarahkan pada upaya pemberantasan Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing yang selama ini merugikan Indonesia, baik dari ekonomi, ekologi, maupun sosial. Indonesia secara aktif mendorong usulan agar IUU Fishing dimasukkan sebagai kejahahatan lintas batas. Dalam forum EAS, Indonesia juga mendorong pembentukan suatu mekanisme atau instrumen hukum ASEAN guna memberantas IUU Fishing dan memasukkannya dalam kategori kejahatan transnasional (Kementerian Luar Negeri, 2016). Kemudian, dalam forum ARF, Indonesia berhasil mendorong disepakatinya ARF Statement on Cooperation to Prevent, Deter, and

Eliminate IUU Fishing pada 24th ARF Minister’s Meeting pada Agustus 2017. Selain itu,

Indonesia mengusulkan agar IUU Fishing diakui secara global sebagai kejahatan lintas batas dalam Pertemuan ke-4 ASEAN-EU High Level Dialogue on Maritime Security Cooperation (Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2018).

Terkait IUU Fishing, dalam forum-forum internal ASEAN, Indonesia juga berhasil mendorong disepakatinya kesepakatan kerja sama di sektor perikanan untuk mencegah

masuknya produk perikanan hasil IUU Fishing ke dalam regional supply chain melalui forum

the 37th Meeting of the ASEAN Ministers on Agriculture and Forestry (37thAMAF). Indonesia

juga memprakarsai ASEAN Guidelines for Preventing the Entry of Fish and Fishery Products

from IUU Fishing Activities into the Supply Chain, yang selanjutnya disahkan dalam oleh

Pertemuan Menteri Pertanian ASEAN di Filipina (Kementerian Luar Negeri, 2016). Kemudian, sebagai tuan rumah pertemuan ke-7 ASEAN Maritime Forum (AMF) dan ke-5 Expanded-AMF tahun 2017 di Jakarta, Indonesia mendorong diangkatnya beberapa isu penting usulan Indonesia seperti IUU Fishing, crimes in fisheries, bajak laut, dan perampokan bersenjata di laut (Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2018).

Perhatian besar Indonesia pada persoalan IUU Fishing juga juga ditunjukkan dengan inisiatif untuk membentuk Konvensi Regional tentang IUU Fishing. Konvensi tersebut diharapkan dapat lahir melalui penyelenggaraan Regional Conference on the Establishment of

a Regional Convention against IUU Fishing and Its Related Crimes secara berkala, yang

pertama kali digelar di Bali pada tahun 2016. Selain itu, pada tahun yang sama, Indonesia juga menyelenggarakan simposium internasional tentang kejahatan perikanan melalui Symposium

Fisheries Crime (FishCRIME) (Riska, 2017)

Lebih lanjut, capaian diplomasi Indonesia juga berhasil memasukkan beberapa poin penting dalam proses perundingan High Level Task Force (HLTF) on ASEAN Community’s

Post-2015 Vision, seperti perluasan kerja sama maritim ASEAN untuk menanggulangi

terorisme, kejahatan lintas negara dan transboundary challenges di wilayah laut, termasuk IUU

fishing, penyelundupan, dan trafficking in persons. Pertemuan HLTF ini dipandang memiliki

arti strategis karena akan melandasi arah kerja sama ASEAN pada periode 2016-2025 (Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN, 2016).

Tahun 2015, Indonesia juga memprakrasi pembentukan ASEAN Seaport Interdiction

Task Force (ASITF) yang mana prakarsa ini didukung oleh seluruh negara anggota ASEAN.

ASITF dipandang penting dan krusial bagi Indonesia mengingat wilayah perairan Indonesia yang luas sehingga rawan bagi pintu masuk bagi berbagai produk ilegal, termasuk narkotika.