• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep, Teori dan Taksonomi Keadilan

Pengelolaan Sumberdaya dan Ekonomi Perbatasan: Kajian Ekonomi Politik Kemaritiman Berkeadilan

C. Konsep, Teori dan Taksonomi Keadilan

Menurut Daniel Webster” keadilan adalah kepentingan manusia yang paling luhur di atas permukaan bumi” (Daniel dalam Paton, 1951). Terminologi hakekat keadilan dapat dilihat

dari aliran filsafat hukum mengartikan keadilan sebagai hubungan yang ideal antara manusia, dari aliran historical yurisprudence dimana keadilan diwujudkan dalam jiwa dan bangsa, aliran sociological yurisprudence keadilan diwujudkan dalam hukum kehidupan, aliran marxis yurisprudence keadilandiwujudkan dalam ideologi kelas, sedangkan aliran legal positivisme keadilan diwujudkan dalam kepastian dalam undang-undang, etika, politik,

ekonomi dan ilmu hukum.

Keadilan juga dilihat dari sudut ilmu politik ekonomi sangat berkaitan dengan aliran utilitarisme, yaitu menggambarkan tentang kebahagiaan, kenikmatan hidup dan tidak adanya kesengsaraan Ricard A. Prosner (1981), sedangkan Charles E Merriam (1945) keadilan dari segi politik berkaitan dengan tujuan negara yaitu, eksternal security, internal order, freedom,

justice, general walfare.

Plato berpendapat “ada keadilan individual dan ada keadilan kolektif dalam negara. Keadilan individu dimana individu itu dapat menguasai dan mengendalikan dirinya sesuai dengan panggilanya yang ditentukan oleh bakat, kemampuan dan keterampilannya. Sedangkan keadilan kolektif dalam negara didasarkan kepada kebutuhan dan keinginan manusia yang begitu banyak dan beraneka ragam dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menurut Plato perlu adanya pembagian kerja sesuai dengan bakat, bidang keahlian dan ketrampilan setiap warga negara (Friedmann, 1994).

Aristoteles dalam nicomachean ethics memandangkeadilan sebagai suatu pemberian hak persamaan tapi bukan persamarataan, pengertian keadilan menjadi (1) distributive justice,

petunjuk tentang pembagian barang-barang dan kehormatan kepada masing-masing orang menurut tempatnya di masyarakat.

Keadilan ini menghendaki perlakuan yang sama menurut hukum, sedangkan corrective

atau remedial justice (keadilan memperbaiki) adalah terutama mengenai ukuran prinsip-prinsip

teknis yang mengatur adminitrasi hukum yang menghendaki suatu ukuran umum guna tindakan yang objektif.

Program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan yaitu; Pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang; Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung (Rawls, 1973).

Hans Kelsen, mengkonsepkan keadilan menjadi: Pertama keadilan dan perdamaian. Keadilan yang bersumber dari cita-cita irasional, yang dirasionalkan melalui pengetahuan yang berwujud suatu kepentingan-kepentingan, namun kepentingan pada akhirnya dapat menimbulkan suatu konflik kepentingan. Penyelesaian terhadap konflik kepentingan dicapai melalui suatu tatanan yang memuaskan salah satu kepentingan dengan mengorbankan kepentingan yang lain atau dengan berusaha mencapai suatu kompromi menuju suatu perdamaian bagi semua kepentingan (Rawls, 1973). Kedua, konsep keadilan dan legalitas.

Keadilan” mengandung makna legalitas. Suatu peraturan umum adalah “adil” jika ia benar-benar diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum adalah “tidak adil” jika diterapkan pada

suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa (Rawls, 1973).

Prinsip-prinsip keadilan seperti persamaan dihadapan hukum, toleransi, konsistensi dan prosedural, merupakan prinsip konstitusi bagi terciptanya keadilan dalam semua sistem hukum. Keadilan yang merupakan makna dan tujuan utama kehidupan negara hukum akan berhubungan dengan hak milik yang pada intinya berwujud pada: keadilan dalam pembagian atau distribusi dalam hubungan ini penatagunaan potensi kemaritiman yang meliputi; penguasaan, pemilikan dan peruntukan kepada aktor/subjek kemaritiman berdasarkan sejumlah regulasi yang ada yakni Uundang-Undang, Peraturan secara hirarkis, yakni penatagunaan potensi kemaritiman yang dalam implementasinya sesuai dengan Regulasi yang secara Materiil berpihak kepada subjek kemaritiman dengan memenuhi prinsip-prinsip berkeadilan.

M. Hatta (1932), menegaskan bahwa: “supaya tercapainya suatu masyarakat

yang berdasarkan berkeadilan dan kebenaran, haruslah rakyat insaf akan haknya dan harga dirinya, kemudian haruslah ia berhak menentukan nasibnya sendiri dan perihal bagaiman ia mesti hidup dan bergaul. Pendeknya, cara mengatur pemerintahan negeri, cara menyusun

perekonomin negeri, semuanya harus diputuskan oleh rakyat dengan mufakat.”Menurut

Laksmono (2012) terdapat tiga dimensi dan latar belakang kemiskinan dan khususnya ketidakadilan yang relevan dibicarakan: keadilan sosial, keadilan ekonomi dan keadilan lingkungan. Keadilan sosial mencakup dua elemen yakni pemasalahan keterbelakangan

(underdevelopment) serta praktek diskriminasi.

Keadilan ekonomi dapat terlihat ketika terjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun terjadi kesenjangan (tingginya angka kemiskinan, diskrimanasi terhadap penduduk lokal) sebagai akibat persoalan ketidakadilan. Keadilan lingkungan berkaitan dengan potensi konflik sosial dan konflik komunal, konflik bersumber dari berbagai bentuk persingungan atau friksi akibat ekspansi industry. Persoalan di sekitar isu agraria dan kebijakan agraria memang merupakan masalah yang paling sensitive di negeri ini (Laksmono, 2012). Seiring dengan berjalanya peran pasar yang meluas, maka banyak ruang publik yang berangsur dikuasai swasta untuk kepentingan usaha.

Menurut Sarbini (2004)4 dalam pengembangan ekonomi kerakyatan kita menolak isi dan jiwa kapitalisme yang bersifat negative, yaitu berusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa peduli akibat-akibatnya, akhirnya selalu menimbulkan eksploitasi, kemiskinan dan konsentrasi kekuatan-dan kekuasaan dalam bentuk monopoli. Pemerataan bukan memeratakan hasil pembangunan tetapi memeratakan kesempatan dan kemampuan untuk berproduksi, memeratakan alat-alat produksi.

Karena rakyat Indonesia banyak di pedesaan, maka dalam rangka pemerataan asset, pertama yang harus menerima adalah desa (Sarbini, 2004). Asset-asset itu antara lain, kepemilikan dan penguasaan faktor produksi tanah, modal peralatan teknologi, kesempatan untuk mendapatkan kredit, kesempatan dan kemampuan memasarkan produksi, serta pendidikan dan keterampilan (Sarbini, 2004). Berbagai masalah yang berakar dari paradigma pasar bebas yang mencari laba sebesar-besarnya bisa dicarikan solusinya dengan mendorong paradigma pembangunan global yang lebih berkeadilan. "Paradigma pembangunan harus

4Kapitalisme secara relative lebih unggul dalam memajukan efisiensi dan produktifitas. Kita tidak bisa menoolak kapitalisme sebagai keseluruhan, tetapi yang kita tolah adalah isi dan jiwa kapitalisme yang bersifat sangat negative (Sarbini, 1989).

diubah, bukan lagi mengejar laba, tapi martabat kemanusiaan. Prinsipnya keadilan adalah prasyarat kelestarian," (Dillon, 2013).

Menurut Dillon (2013) pembangunan ke depan semestinya dilakukan dengan pendekatan basis (bottom up), berdasarkan hak untuk pembangunan (right to develop). "Sehingga semua orang memberikan kontribusi sesuai dengan fitrah dia, tanggung jawab dia, hak dia dan kemampuannya," (Dillon 2013). "Karena itu pembangunan itu haruslah dimulai dari pertanian dan perdesaan. Dillon menekankan bahwa strategi pertumbuhan ke depan haruslah bersifat jangka panjang (long term), komprehensif, ambitious, memberikan peluang kepada semua kelompok untuk berkontribusi (public private people partnership).

Dalam penguasaan asset-aset oleh sektor ekonomi rakyat, maka yang paling rentan adalah status kepemilikan dan penguasaan, para petani dan nelayan serta merta dipandang sebagai orang miskin oleh sektor modern (terutama perbankan) karena ketiadaan bukti legal akan kepemilikan dan penguasaanya. Keterbatasan power masyarakat yang ditunjukan dengan angka kemiskinan dan ketidakberdayaan rakyat secara umum dalam setiap aspek

pembangunan, mengharusakan bergesernya konsep negara “peronda” ke konsep negara “kesejahteraan”, artinya pembatasan negara dan pemerintah dari kehidupan sosial, pemerintah

pasif dalam ekonomi masyarakat, dimana hanya sebagai penjaga ketertiban dan keamanan harus bergeser untuk bertindak aktif di tengah kehidupan masyarakat.

Kerangka Konsep dan Ukuran

Berdasarkan literatur yang ada maka dimensi pokok “tidak berkeadilan” dan Kelautan

, Kemaritiaman yang terdapat dalam konsep pembangunan diantaranya;

(1) Marginalisasi yakni: upayah menggiring ke posisi peminggiran suatu subjek oleh subjek penatagunaan kemaritiman lainya, yang terlihat pada tiga aspek utama yaitu; pada akses, pada kontrol dan pada kemanfaatan. Dengan kata lain marginalisasi merupakan sebuah proses sosial yang membuat masyarakat menjadi marginal, baik terjadi secara alamiah maupun hasil kreatifitas sehingga masyarakat tertentu ditransformasikan kepada kedudukan sosial eklusif yang terpinggirkan yakni menurut sifatnya terjadi dan berakibat adanya ketidakadilan dalam distribusi sumber daya dalam masyarakat (individu dalam masyarakat

tidak mampu mengakses dan menikmati pelayanan publik, program serta kebijakan yang dibuat oleh pemerintah).5

(2) Monopoli yakni penguasaan pihak-pihak yang didahului sebuah peran dominan sejak aspek hulu sampai ke aspek hilirnya, sehingga tercipta monopoli secara dominasi kepada pihak lain pada aspek sumberdaya yang khusus (sebagai penyedia/produsen jenis barang yang dihasilkan). Pada aspek skala ekonomi atau ruang lingkup pasar secara luas (hara-hara produksi dari barang yang di hasilkan, teknologi yang exlusive, promosi) dan aspek kebijakan yang mendukung aspek pertama dan kedua (peraturan perundangan yang mendorong atau menghambat);

(3) Dominasi yaitu penguasaan subjek kemaritiman tertentu terhadap subjek kemaritiman lainya, melalui perusahaan negara dan perusahaan swasta yang bekerja pada aspek perencanaan dan implementasi penatagunaan (penguasaan potensi, pemilikan, peruntukan) untuk pembangunan .

(4) Ekonomi Kelautan (marine economy) adalah kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (lahan atas) yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang dibutuhkan umat manusia (Dahuri, 2003).

(5) Ekonomi maritim (maritime economy) hanya mencakup trasnportasi laut (sea transportation), industri galangan kapal dan perawatannya (ship building and maintenance), pembangunan dan pengoperasioan pelabuhan (port construction and operations) beserta industri dan jasa terkait (Stopford, 2004).

Pembahasan Benua Maritim Berkeadilan.