• Tidak ada hasil yang ditemukan

Merawat Korban ‘Susi –Effect’ di Philipina Selatan

Sidik Jatmika

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Dr.sidikjatmika@gmail.com

Abstrak

Pada tahun 2014, Susi Pudjiastuti, begitu dilantik sebagai Menteri Kelautan Republik Indonesia langsung mengimplementasikan kebijakan pembakaran / penenggelaman kapal “ilegal-fishing”. Hanya dalam hitungan satu tahun, sudah ada lebih dari 100 kapal yang ditenggelamkan. Kebijakan tersebut dalam

kenyataannya telah menimbulkan masalah baru bagi sekitar 8.000 warga keturunan Indonesia (People of Indonesian Descents, PIDs) di Philipina Selatan. Mereka yang sebagian besar menggantungkan kehidupannya sebagai anak buah kapal milik pengusaha Philipina, tiba-tiba menjadi kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Akibatnya, mereka rawan terjebak pada lingkaran setan kemiskinan : penganguran, miskin, kriminal atau bahkan terorisme.

Kajian ini mengulas berbagai permasalahan yang terjadi pada warga keturunan Indonesia dan berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia melalui Konsulat Jendral RI di Davao, Philipina Selatan. Pengumpulan data dilakukan dengan kunjungan lapangan, wawancara dan kajian pustaka. Analisa dilakukan dengan kajian teoritik mengenai ‘multi-track diplomacy’. Kajian ini mendapatkan temuan bahwa pemerintah Indonesia perlu melakukan ‘multi-track diplomacy’ dengan pemerintah Philipina dalam bentuk Government to Government, Local Government – Local Government, Bussines to Bussines, People to People. Termasuk di dalamnya peningkatan koordinasi antar- kementrian dan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah di Indonesia.

Kata kunci : Susi-Effect, PIDs, multi track diplomacy

Abstract

This study focus on human right –issues of PIDs (People of Indonesian Descents) in the Southern Philipina. In 2014, Minister of Ocean and Fishering Affairs of Indonesia, Susi Pudjiastuti implements strickt policy to destroy, burning and sinking ‘illegal-fishing’ boats. Only in one year, she has sank more than 100 boats. Thats policy, actualy, affects seriuous impact to about 8.000 PIDs in the Southern Philipina who majority works at Philipinas boss of those ‘illegal fishing’ boats. They are very fragile to trapped on ‘poverty-cyrcle’, there are : jobless, poverty, criminal or terrorism.

Data gathering use method of visit and grounded- research, interview and literature research. Analize use ‘multi-track diplomacy’ explanation. This research find fact that Indonesian Government conducts ‘multi-track diplomacy’ to Philipina Government, by Government to Government, Local Government – Local Government, Bussines to Bussines, People to People. Also strengtens to coordination of intra-,minister, central and local government.

Keywords: Susi-Effect, PIDs, multi track diplomacy

Pengantar

“Susi Effect” adalah sebutan bagi kebijakan dan berbagai dampaknya yang dilakukan

oleh Susi Pudjiastuti yang begitu dilantik sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia langsung mengimplementasikan kebijakan pembakaran / penenggelaman

kapal “ilegal-fishing”. Karena itu, ia lekat dengan tiga istilah yaitu : tenggelam, penenggelaman

dan tenggelamkan. Menteri Susi menyatakan bahwa apa yang ia lakukan adalah sebuah tugas negara. Tugas negara yang dimaksud adalah melaksanakan poin dalam Undang-Undang nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan Republik Indonesia. Tujuannya adalah mengamankan

sumber daya laut Indonesia, yaitu sektor perikanan, untuk sebesar-besarnya memakmurkan rakyat Indonesia, terutama para nelayan (Kompas.com. 9 Januari 2018).

Penenggelaman kapal tersebut merupakan cermin dari semangat Indonesia merebut kembali kedaulatan di bidang maritim, yaitu kelautan dan perikanan. kapal tersebut Hingga bulan Agustus 2018, dalam masa empat tahun, Menteri Susi telah menenggelamkan 488 unit kapal pencuri ikan. Kapal tersebut antara lain berasal dari : Vietnam (276 kapal), Philipina (90), Thailand (50), Malaysia (41), Indonesia (26, Papua Nugini (2). dan satu kapal dari RRC, Belize serta tanpa negara. Jika dari kapal-kapal tersebut, ada diantaranya yang menggunakan bendera Indonesia, sesungguhnya hanyalah modus agar lolos dari pantauan KKP (Tribun News.com, 21 Agustus 2018).

Kebijakan tersebut dalam kenyataannya telah menimbulkan masalah baru bagi lebih dari 8.000 warga keturunan Indonesia (People of Indonesian Descents, PIDs) di Philipina Selatan. Di tahun 2018 ada 8.745 orang PIDs tersebar di 16 perkampungan Di Pulau

Mindanao bagian Selatan ada 2 provinsi yaitu General Santos (Gensan, Kota Tuna) dan Glan (Serangani). Mereka yang sebagian besar menggantungkan kehidupannya sebagai anak buah kapal milik pengusaha Philipina, tiba-tiba menjadi kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Akibatnya, mereka rawan terjebak pada lingkaran setan kemiskinan : penganguran, miskin, kriminal atau bahkan terorisme (Napitupulu, 2018).

Berbagai penjelasan di atas akhirnya menimbulkan pertanyaan utama yaitu, apa saja upaya dilakukan pemerintah Indonesia mengatasi masalah keturunan Indonesia di Philipina Selatan ?

Metode

Upaya pemahaman terhadap fenomena di atas antara .lain dapat dilakukan dengan menggunakan penjelasan konseptual mengenai multi-track diplomacy, yang bermula dari pertanyaan : What is diplomacy?

Diplomacy is the art and practice of conducting negotiations between representatives of groups or states. It usually refers to international diplomacy, the conduct of international relations through the intercession of professional diplomats with regard to issues of peace-making, trade, wars, economics, cultures, environment and human rights.

International treaties are usually negotiated by diplomats prior to endorsement by national politicians. In an informal or social sense, diplomacy is the employment of tact to gain strategic advantage or to find mutually acceptable solutions to a common challenge, one set of tools being the phrasing of statements in a non-confrontational or polite manner.

Pengertian diplomasi, secara konvensional dapat dipahami sebagai aktivitas politik yang memungkinkan para aktor diplomasi untuk mengejar kepentingan serta mempertahankan kepentingan, melalui kegiatan negosiasi, dengan tanpa menggunakan paksaan, propaganda, maupun hukum. Sederhananya, kegiatan diplomasi ini di dalamnya mencakup kegiatan komunikasi yang bertujuan untuk mencapai kepentingan lewat adanya itikad baik (Barston, 2014 ).

Konsep diplomasi ini terus mengalami perkembangan, sehingga saat ini dikenal pula konsep diplomasi tradisional dan diplomasi modern. Diplomasi tradisional erat kaitannya dengan kegiatan kenegaraan dan aktor berupa aktor negara, yang mencakup perwakilannya. Topik bahasan diplomasi tradisional secara umum hanya berfokus pada perdamaian, keamanan dan penyelesaian konflik. Begitu pula dengan proses diplomasinya, dilakukan dengan berdasarkan pada protokoler kenegaraan yang rigid. Sedangkan pada diplomasi modern, terdapat perkembangan yang membuat cakupan diplomasi ini menjadi semakin luas. Aktor diplomasi tidak lagi hanya aktor negara, melainkan bisa mencakup organisasi, badan usaha, pebisnis, kelompok kepentingan juga individu.

Munculnya aneka aktor baru dalam hubungan internasional dan diplomasi ini memunculkan adanya konsep multitrack diplomacy. Hubungan masyarakat internasional yang baik, sekaligus sebagai kontrol terhadap pemerintah dianggap memerlukan campur tangan dari para aktor diplomasi non negara.

Ide dari multi-track diplomacy telah berevolusi selama bertahun-tahun. Pada tahun 1981, Joseph Montvile menulis artikel mengenai politik luar negeri yang menciptakan konsep track satu dan track dua. Selanjutnya pada 1985, Duta besar John W. McDonald menulis buku pertama yang berjudul Conflict Resolution : Track Two Diplomacy yang dilanjutkan pada 1989 dengan memperluas konsep multitrack diplomasi dua hingga lima. Dan terakhir, pada 1991 disempurnakan dalam buku McDonald dan Dr. Louise Diamond yang berjudul Multi-Track Diplomacy, yakni sebuah sistem untuk mencapai perdamaian (McDonald, 2012). Jadi, Multi-Track Diplomacy adalah cara konseptual untuk melihat proses perdamaian internasional sebagai satu living system yang dapat dilihat dari berbagai kegiatan individu, lemabaga dan

komunitas yang saling terkoneksi dan beroperasi bersama untuk mencapai tujuan bersama yakni perdamaian dunia (imtd.org, 2013).

Konsep multitrack diplomacy berbicara mengenai penempatan aktor-aktor non-negara yang dianggap berpengaruh terhadap proses diplomasi. Masing-masing track, memiliki peran dan karakteristik tersendiri. Tingkatan dalam diplomasi ini dibagi dalam 9 track (McDonald, 2012), antara lain :

Track 1, pemerintah tentunya sebagai aktor utama terletak pada track teratas. Meski aktor non-pemerintah terus bertambah dalam hubungan internasional, namun pemerintah tetap mengambil peran vital dalam relasi ini. Jadi, track 1 tetap diduduki oleh pemerintah.

Track 2, terdapat aktor non-pemerintah yang bersifat professional. Mereka bertindak dengan mengandalkan profesionalitasnya masing-masing. Dengan keahliannya, misal ahli bidang hukum, politik maupun sosial mereka dapat berpartisipasi memberikan masukan bagi perbaikan rezim internasional. Mereka dapat mempromosikan pemikiran mereka melalui tulisan, seminar, juga terjun langsung dalam aksi kemanusiaan dan penyelesaian konflik. Dengan demikian, mereka dapat melengkapi hal-hal yang belum mampu digarap pemerintah.

Track 3, oleh pelaku bisnis. Keberadaan kegiatan bisnis dapat mempengaruhi aktivitas lain dalam menejemen konflik. Perusahaan seringkali harus berurusan dengan pemerintahan lokal, organisasi non-pemerintah, masyarakat sipil, dunia pendidikan, bahkan termasuk rezim internasional.

Track 4, warga negara berperan dalam melaksanakan praktek diplomasi secera tidak resmi. Dalam artian, mereka tidak bekerja untuk atau mewakili negara. Praktek diplomasi dilakukan masyarakat sipil dengan berbagai kegiatan.

Track 5, diplomasi yang dilakukan oleh dunia pendidikan, termasuk di bidang penelitian dan pelatihan. Track 6, oleh aktivis perdamaian di bidang lingkungan hidup, ekonomi, sosial dan politik. Track 7, oleh kelompok agama dan kepercayaan. Track 8, oleh kelompok funding (pendanaan) yang memfasilitasi dan mendanai berbagai kegiatan. Track 9, oleh media massa yang berperan penting menyampaikan isu seputar perdamaian dan resolusi konflik.

Dalam konteks PIDs di Philipina Selatan, pemahaman terhadap fenomena tersebut antara .lain dapat dilakukan dengan menggunakan penjelasan konseptual mengenai

multi-track diplomacy dimana diplomasi tidak hanya dilakukan oleh pemerintah (Government to

Government, LG to LG); Bisnis (Bussines to Bussines, B to B) maupun masyarakat (People to People, P to P) .

Metodologi penelitian yang digunakan dalam kajian ini, adalah dengan metode

deskriptif kualitatif dengan mengumpulkan dan mengkomplikasikan sumber-sumber data baik itu dokumen-dokumen atau website (Library research). Pengumpulan data primer dilakukan dengan kunjungan lapangan ke Mindanao, Philipina Selatan.Penulis di sana melakukan wawancara dengan Konsul Jendral Republik Indonesia di Davao City; warga keturunan Indonesia (IDPS) dan mahasiswa peserta Kuliah Kerja Nyata Internasional UMY 2018. Sedangkan data sekunder dilakukan dengan kajian pustaka yang berkenaan dengan

Diplomasi, Hukum Internasional, Kewajiban Negara Terhadap Warga Negara, Politik Luar Negeri dan Laporan Mhs KKN UMY 2016 serta 2018. Analisa dilakukan dengan kerangka

teoritik mengenai ‘multi-track diplomacy’ untuk menggambarkan penanganan masalah ini

tidak bisa hanya sekedar Government to Government (G to G) tetapi juga Local Government to Local Government (LG to LG), Bussines to Bussines (B to B) serta People to People (P to P). Analisa juga dilakukan dengan membandingkan fakta yang didapat kajian ini dengan beberapa kajian lainnya.

Hasil

Para warga keturunan Indonesia di Philipina Selatan (Person of Indonesian Descents, PIDS), menurut penjelasan Konjen RI secara garis besar dapat dikelompokkan dalam tiga gelombang kehadiran (Napitupulu, 2018), yaitu :

1. Migrasi alami sebelum kemerdekaan Indonesia (1945) 2. Lahir di Indonesia sesudah 1945, bermigrasi ke Philipina 3. Lahir dan besar di Philipina

Mereka yang berjumlah sekitar 9.000 orang tersebut pada umumnya tersebar di 16 perkampungan yang ada di Pulau Mindanao bagian Selatan, yaitu provinsi General Santos (Gensan, Kota Tuna) dan Glan (Serangani, produsen kopra, pisang, nanas). Secara keagamaan mereka pada umumnya mememeluk agama Islam dan Kristiani. Sebelum diberlakukannya kebijakan penangkapan dan pembakaran kapal-kapal penangkap ikan (ilegal-fishing) oleh Menteri Susi Pudjiastuti mulai tahun 2014, sebagian besar kepala keluarganya bekerja di sektor perikanan. Mereka bekerja sebagai anak buah kapal maupun penjaga jermal ikan milik pengusaha Philipina. Pekerjaan ini, dengan pengasilan rata-rata sekitar Rp. 10 juta setiap bulannya, bisa dikatakan relatif untuk mencukup perekonomian keluarga mereka. Mereka

secara kehidupan jugan relatif tenteram karena pemerintah dan warga Philpina tidak pernah mempermasalah keberadaan mereka.

Mereka sering disebut sebagai ‘alien’ , yaitu tidak memiliki dokumen kerwaganegaan

(Philipina ataupun Indonesia), namun hanya memegang surat keterangan dari Pemerintah Philipina bahwa mereka adalah kaum pendatang. Pemerintah Philipina selama ini tidak pernah melakukan sweeping dokumen maupun melakukan deportasi kepada mereka. Memang mereka tidak boleh memiliki hak atas tanah, namun diberi toleransi mendirikan bangunan pondok dari kayu. Mereka juga boleh mencari nafkah di Philipina.

Berbagai permasalahan mulai muncul sebagai dampak dari diberlakukannya kebijakan Menteri Susi tersebut. Mereka yang semula bekerja senbagai buruh perikanan menjadi kehilangan pekerjaan. Kemudian mereka beralih ke pekerjaan yang penghasilannya jauh lebih kecil ( rata-rata sekitar Rp. 2 juta sebulan), yaitu menjadi buruh perkebunan, tukang ojek maupun penjaja makanan kelilingan. Hal ini pada akhirnya bisa memunculkan fenomena yang oleh Konjen Berlian Napitupulu sebut sebagai lingkaran setan kemiskinan ( Napitupulu, 2018), yaitu keterbelakangan, kemiskinan dan kriminalitas.

Konjen RI menyikapi keadaan itu dengan melakukan pendataan permasalahan yang dialami oleh PIDs, antara lain :

1. Kepastian Hukum (Tiada identitas jelas kewarganegaan, baik Philipina ataupun Indonesia )

2. Kepemilikan Tanah (Sebagai Warga Negara Asing, tidak boleh memiliki sertifikat tanah)

3. Akses Pendidikan (Sebagai warga negara asing, mereka tidak mendapatkan jaminan sosial pendidikan sehingga para orang tua tidak kuat menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan tinggi. Sebagian besar hanya mengenyam pendidikan formal mksimal SLTP)

3. Pekerjaan ( Sebagai wargai negara asing tidak dapat menjadi pegawai negeri (ASN), sehingga hanya menjadi buruh rendahan dengan gaji rendah)

4. Pekerjaan Ilegal ( kemiskinan bisa mendorong mereka terjebak berbagai pekerjaan ilegal, kriminal, bahkan hingga masuk penjara).

Konjen RI di Davao, setelah melakukan identifikasi permasalahan, kemudian mengambil beberapa langkah kebijakan. Berbagai langkah tersebut secara garis besar dapat

dibagi dalam dua kelompok. Pertama adalah tindakan atau koordinasi lebih bersifat “internal Indonesia”, baik di tanah air Indonesia maupun di Philipina Selatan. Kedua, adalah lebih

bersifat “eksternal”, yaitu koordinasi fihak Indonesia dengan Pemerintah maupun masyarakat

Philipina.

Kebijakan “internal” Indonesia yang dilaksanakan oleh KJRI Davao, yang pertama

adalah membangun jaringan komunikasi Konjen dengan para warga keturunan Indonesia

(PID’s). Hal itu antara lain dilakukan melalui para tokoh yang ada di masing-masing titik pemukiman PIDs. Tokoh yang sering disebut sebagai ‘pamong’ ini biasanya diambil dari

mereka yang relatif bagus bahasa Indonesia dan tingkat pendidikannya. Mereka berfungsi menjadi penghubung antara KJRI dengan segenap warga PIDs yang sebagian besar kurang lancar (lagi) bahasa Indonesianya. Berbagai program yang dilakukan Konjen RI kepada PIDs antara lain : pembinaan nasionalisme; peningkatan ketrampilan PID’s hingga pemberian dokumen (paspor). Sejak tahun 2017, Konjen RI Davao mulai memperkenalkan istilah baru

pengganti ‘allien’ dan ‘PIDs’ menjadi Registered Indonesian Nationality (RIN).

Konjen RI juga mengadakan berbagai kegiatan pembinaan nasionalisme Indonesia maupuan peningkatan ketrampilan warga keturunan Indonesia. Hal itu antara lain tercermin pada penurutran Konjen Berlian Napitupulu, "Suasananya mengharukan dan membanggakan karena ternyata mayoritas peserta mampu menyanyikan tidak hanya lagu nasional Filipina, tetapi juga lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya. Soalnya mayoritas mereka sudah 2-3 generasi lahir di Filipina dan tidak pernah pulang ke Indonesia, tetapi masih bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan baik. Nasionalisme mereka tetap terjaga walaupun tinggal di pelosok Filipina dan mayoritas tidak pernah pulang ke Indonesia" (Napitupulu, 2018).

Komunikasi “internal Indonesia”, yang lain yang dilakukan adalah komunikasi Konjen

RI Davao dengan Pemerintah Pusat dan Daerah Indonesia. Komunikasi dengan Pemerintah Pusat, salah satu yang menjadi perhatian adalah proses pemberian dokumen kepada para PIDs, karena hal itu harus melibatkan Kementrian Luar Negeri dan Kementrian Hukum dan HAM. Selain itu juga koordinasi dengan Kementrian Pendidikan Nasional berkaitan dengan pengelolaan Community Learning Center (CLC) sebagai pusat kegiatan / sekolah bagi para warga keturunan Indonesia di Philipina Selatan.

KJRI Davao juga mendorong Kementrian Dalam Negeri Indonesia untuk memfasilitasi para warga keturunan yang ingin kembali menetap di Indonesia. Hal itu, sangat terkait dengan koordinasi Kementrian dalam negeri dengan pemerintah daerah, khususnya Provinsi Sulawesi Utara dan beberapa kabupaten yang berbatasan langsung dengan Philipina. KJRI juga mendorong Kementrian Dalam Negeri Indonesia untuk memfasilitasi berbagai upaya peningkatan kualitas pelayanan publik di kawasan perbatasan Indonesia, supaya para RIN

bersedia kembali ke Indonesia. Misalnya dalam upaya dua daerah di Perbatasan Filipina untuk

dimekarkan, sebagaimana dikutip Liputan6.com 30 Maret 2016 dengan Judul “Dua Daerah di

Perbatasan Filipina Ini Bakal Dimekarkan (Yoseph Ikanubun, 2016)

Meski pemerintah pusat beberapa waktu lalu telah mengeluarkan moratorium untuk pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB), namun tidak demikian halnya dengan dua wilayah di Sulawesi Utara (Sulut) yang berbatasan langsung dengan Filipina.

Kabupaten Talaud Selatan dan Kota Tahuna tetap diperjuangkan pemekarannya dengan

alasan kebutuhan penguatan wilayah. “Kami melihatnya dari aspek penguatan wilayah dan

ekonomi lokal. Sehingga penguatan wilayah ini harus tetap dilakukan dengan pemekaran

Talaud Selatan dan Kota Tahuna,” kata anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI,

Marhany VP Pua di Manado, Rabu (30/03/2016). Dia mengatakan banyaknya persoalan yang dialami warga di daerah-daerah perbatasan Filipina menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam melakukan pemekaran wilayah. Misalnya saja soal status kewarganegaraan ganda atau tidak jelas, pelayanan publik yang jauh dari pusat pemerintahan. Dengan pemekaran wilayah itu diharapkan pelayanan publik lebih dekat.

Sementara itu, Koordinasi dengan Pemerintah Philipina, antara lain dilakukan dalam hal menjamin kepemilikan dokumen, keselamatan dan hak hidup para warga keturunan Indonesia. Misalnya, pada 17 November 2017 Konsulat Jenderal RI Davao City bersama UNHCR, Kementerian Kehakiman, Biro Imigrasi dan Public Attorneys Office Filipina melakukan kunjungan kerja ke Pulau Balut (300 km Selatan Davao City). Selama di Pulau Balut rombongan melakukan dua kegiatan yaitu Pembinaan tehadap WNI dan Pemberian Akte Kelahiran bagi masyarakat keturunan Indonesia yang selama ini tidak memiliki dokumen tersebut. Acara pembinaan WNI diikuti oleh 85 WNI asal Pulau Balut dan Pulau Sarangani bertempat di Ruang Pertemuan Walikota Munisipal Sarangani. Acara pembinaan dimulai dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan Lagu Nasional Filipina “Lupang

Hinirang.”

Konsulat Jendral RI Davao juga memfasilitasi peningkatan kerjasama dalam kerangka Local Government to Local Government (LG to LG) antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, Indonesia dengan Philipina Selatan (General Santos dan Glan, Serenangi). Siapapun yang menjadi gubernur Sulut 2015-2020, harus menjaga persahabatan dengan Filipina. Dalam pandangan Konjen Berlian Napitupulu, provinsi Sulawesi Utara (Sulut) dan Filipina bak kakak beradik yang selalu bekerja sama dalam bidang perdagangan, politik, keamanan, ekonomi, sosial, budaya dan pariwisata. Apalagi, dalam kerangka ASEAN Economic Community 31

Desember 2015 kedua negara harus mampu meningkatkan kerjasama di sektor perdagangan dalam kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), yang diterapkan sejak awal 2016. Misalnya, di tahun 2015, ekspor Filipina ke Indonesia saat ini mencapai US$11,7 juta, sedangkan ekspor Indonesia ke Filipina mencapai US$1,29 juta. Tak hanya itu, ancaman terorisme, harus menjadi perhatian bersama seluruh komponen masyarakat serta upaya pencegahan terhadap masuknya pengaruh ISIS di kedua negara. Dubes RI untuk Philipina Dr Sinyo Harry Sarundajang (SHS, di Manado 9 Desember 2015).

.Dubes RI untuk Philipina juga berharap kerjasama antar pemerintah bisa berkembang hingga antar masyarakat dalam skema People to People (P to P) dan Bussines to Bussines (B to B). Alasannya Sulawesi Utara merupakan tempat terpusatnya pebisnis, investor, profesional, dan pelaut asal Filipina kedua terbanyak di Indonesia, setelah Jakarta. Karena itu, mereka harus memanfaatkan kedekatan geografis dan sejarah perdagangan antar Mindanao Filipina dan Sulawesi Utara dalam kerangka ASEAN Economic Community.

Berbagai harapan tersebut antara lain ditindaklanjuti Presiden Indonesia Joko Widodo dan Presiden Philipina Rodrigo Duterte yang pada tanggal 30 April 2017 dengan resmi buka jalur pelayaran kapal Roll-on Roll-off (RoRo). Jalur pelayaran itu dapat membuat pengiriman barang lebih cepat dan murah dari Davao City menuju ke Sulawesi Utara. (Kompas.com. 30 April 2017)

Kampus adalah salah satu lembaga yang bisa memainkan peran People to People dalam upaya penanganan RIN ini. Misalnya, apa yang telah dilakukan oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta melalui Kuliah Kerja Nyata Internasional ke Mindanao, Philipina pada tahun 2016 dan 2018. Beberapa kegiatan yang dilakukan antara lain, (1) Koordinasi dengan Konjen RI Davao; (2) Mengirim mahasiswa KKN. Misalnya pada tahun 2018, mengirim 18 mahasiswa KKN selama 1 bulan di kawasan General Santos dan Glan. Bahkan UMY telah bersepakat dengan Konjen RI untuk tetap mengirim mahasiswa hingga, paling tidak, 5 tahun ke depan (2019 hingga 2023). (3) UMY juga merintis kerjasama dengan kampus di Philipina dalam bentuk kegiatan Lecture & Student Exchange; joint seminar, research, publication; social activities dan sebagainya.

Diskusi

Berbagai paparan di atas dalam beberapa hal, secara epistimologis, memiliki kesesuaian dengan konsep Diplomasi dan Multi-track Diplomacy. Kesesuaian dengan konsep Diplomasi antara lain tercermin pada tindakan pemerintah Indonesia dan Philipina yang

memilih jalur perundingan dalam menyelesaikan permasalahan warga keturunan Indonesia yang tinggal di Philipina. Bahkan bisa dikatakan, hingga kini di antara kedua belah fihak belum pernah terjadi ketegangan politik yang berkaitan dengan isu tersebut. Pemerintah Philipina selama ini tidak pernah melakukan sweeping identitas kewarganegaraan apalagi deportasi terhadap pada warga keturunan Indonesia di sana. Di arena politik dalam negeri Philipina di tingkat pusat maupun daerah Mindanao juga tidak pernah terjadi upaya politisasi atau sekuritisasi terhadap isu ini.

Hal tersebut tentu saja jauh berbeda atau bahkan berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Malaysia sebagaimana terpapar pada kajian Ramli Dollah & Kamarulnizam Abdullah,

2018, “The Securitization of Migrant Workers in Sabah, Malaysia.” Journal of International

Migration and Integration, August 2018, Volume 19, Issue 3. pp. 717 – 735

In the past decades, the Malaysia’s economy, particularly in Sabah, faced high

dependence on migrant workers, predominantly Indonesian and Filipino workers. This over-reliance on migrant workers made the ruling elites in the country fear that their dominant