• Tidak ada hasil yang ditemukan

Disposisi Matematis

Burhanudin1), Masrukan2)

1SMA Negeri 1 Belik Jl Raya Gunungtiga Belik Pemalang 2Universitas Negeri Semarang Jl Raya Sekaran Gunungpati Semarang

e-mail: 1)burhanudyn@yahoo.com

Abstrak

Artikel ini mengkaji efektivitas pembelajaran matematika model Creative Problem Solving (CPS) terhadap kemampuan pemecahan masalah dan disposisi matematis. Dalam hal ini CPS adalah model pembelajaran yang dilakukan melalui tahap-tahap klarifikasi masalah, pengungkapan gagasan, evaluasi dan seleksi, serta implementasi. Kemampuan pemecahan masalah adalah kompetensi strategik yang ditunjukkan siswa dalam memahami, memilih pendekatan dan strategi pemecahan masalah, dan menyelesaikan masalah dengan indikator meliputi: (1) kemampuan mengidentifikasi masalah, (2) kemampuan merencanakan penyelesaian masalah, (3) kemampuan menyelesaikan masalah sesuai rencana, dan (4) kemampuan menafsirkan solusi. Disposisi matematis adalah kecenderungan untuk berpikir dan bertindak secara positif dalam menyelesaikan masalah matematis. Indikator disposisi matematis yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada NCTM (1989) dan disesuaikan nilai-nilai karakter bangsa meliputi: (1) percaya diri dalam menyelesaikan masalah, (2) bekerja keras dan pantang menyerah dalam menyelesaikan masalah, (3) kreatif, (4) rasa ingin tahu, (5) tanggung jawab terhadap tugas yang diberikan. Artikel ini didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan terhadap siswa kelas X SMAN 1 Belik kabupaten Pemalang Tahun Pelajaran 2011/2012. Penelitian dilakukan melalui metode eksperimen. Variabel penelitian meliputi aktivitas belajar siswa, kemampuan pemecahan masalah, dan disposisi matematis yang disesuaikan dengan nilai-nilai karakter bangsa. Data aktivitas belajar siswa diperoleh melalui pengamatan. Data kemampuan pemecahan masalah diperoleh melalui tes, sedangkan data disposisi matematis siswa diperoleh melalui pengisian skala disposisi matematis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) tercapai ketuntasan belajar siswa, (2) kemampuan pemecahan masalah pada siswa kelas eksperimen lebih tinggi daripada kemampuan pemecahan masalah pada siswa kelas kontrol, (3) terdapat pengaruh aktivitas belajar siswa terhadap kemampuan pemecahan masalah, (4) terjadi peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan (5) terjadi peningkatan disposisi matematis. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran model CPS efektif.

Kata kunci: creative problem solving, kemampuan pemecahan masalah,dan disposisi matematis.

Pendahuluan

Kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu aspek penting yang harus dikembangkan dalam pendidikan. Karena begitu pentingnya maka kemampuan ini menjadi fokus dalam pembelajaran matematika (Depdiknas, 2006). Selain itu NCTM tahun 2000 (dalam Lee, 2003) juga menyatakan bahwa untuk menyongsong abad XXI para siswa seharusnya dibekali dengan kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi matematis, dan kemampuan melakukan penalaran matematis.

Pembelajaran matematika tidak hanya dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan kognitif matematis melainkan juga aspek afektif, seperti disposisi matematis. NCTM (1989) menyatakan bahwa “disposition refers not simply to attitudes but to a tendency to think and to act in positive ways. Hal ini berarti bahwa disposisi bukan sekedar menunjukkan sikap secara sederhana tetapi merupakan suatu kecenderungan untuk berpikir

80

dan bertindak secara positif. Disposisi matematis siswa terwujud melalui sikap dan tindakan dalam memilih pendekatan menyelesaikan tugas. Apakah dilakukan dengan percaya diri, keingintahuan mencari alternatif, tekun, dan tertantang serta kecenderungan siswa merefleksi cara berpikir yang dilakukannya.

Jika diperhatikan maka tampak adanya kesamaan antara unsur-unsur yang terdapat dalam aspek disposisi matematis dan nilai-nilai karakter bangsa yang pada saat ini sedang gencar untuk didorong pelaksanaannya dalam dunia pendidikan. Tabel 1 berikut ini merupakan perbandingan antara indikator-indikator disposisi matematis dan nilai-nilai karakter bangsa yang terkait dengan pelajaran matematika.

Tabel 1 Perbandingan antara Indikator Disposisi Matematis dan Nilai-nilai Karakter Bangsa

Indikator Disposisi Matematis Nilai Karakter Bangsa - Percaya diri dalam menyelesaikan

masalah matematika - Berpikir fleksibel dalam

menyelesaikan masalah

- Gigih dalam mengerjakan tugas matematika

- Memiliki keingintahuan (curiosity dalam aktivitas bermatematika

- Teliti - Kreatif

- Kerja keras, pantang menyerah - Rasa ingin tahu

Untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan disposisi matematis seharusnya siswa didorong untuk belajar secara aktif dan konstruktif melalui kegiatan pemecahan masalah. Salah satu model pembelajaran yang sesuai pandangan konstruktivis adalah Creative Problem Solving (CPS). Menurut Karen (dalam Cahyono, 2009), CPS adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada keterampilan pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan kreatifitas. Ketika dihadapkan dengan situasi pertanyaan, siswa dapat melakukan keterampilan memecahkan masalah untuk memilih dan mengembangkan tanggapannya. Tidak hanya dengan cara menghafal tanpa dipikir, keterampilan memecahkan masalah memperluas proses berpikir. CPS merupakan representasi dimensi-dimensi proses yang alami, bukan suatu usaha yang dipaksakan. CPS merupakan pendekatan yang dinamis, siswa menjadi lebih terampil sebab siswa mempunyai prosedur internal yang lebih tersusun dari awal.

Pepkin (2004) menuliskan langkah-langkah CPS dalam pembelajaran matematika sebagai hasil gabungan prosedur Oech dan Osborn yang meliputi klarifikasi masalah, pengungkapan gagasan, evaluasi dan seleksi, dan implementasi. Klarifikasi masalah meliputi pemberian penjelasan kepada siswa tentang masalah yang diajukan, agar siswa dapat memahami tentang penyelesaian yang diharapkan. Pada tahap pengungkapan gagasan, siswa dibebaskan untuk mengungkapkan gagasan tentang berbagai macam strategi penyelesaian masalah. Pada tahap evaluasi dan seleksi, setiap kelompok mendiskusikan pendapat-pendapat atau strategi-strategi yang cocok untuk menyelesaikan masalah, memodifikasi mana yang mungkin dan mengeliminasi yang tidak diperlukan dengan tujuan setiap kelompok menentukan pada satu pilihan. Sementara itu, pada tahap implementasi siswa menentukan strategi yang dapat diambil untuk menyelesaikan masalah, kemudian menerapkannya sampai menemukan penyelesaian dari masalah tersebut.

Langkah-langkah pembelajaran model CPS dalam penelitian ini diuraikan seperti pada Tabel 2 berikut ini.

81

Tabel 2 Langkah-langkah Pembelajaran Model CPS dan Nilai-nilai yang Dikembangkan Langkah

Pembelajaran Kegiatan Pembelajaran

Nilai yang Dikembangkan I. Pendahuluan - Mengingat materi atau konsep

pada pelajaran sebelumnya - Guru mengajukan masalah yang

menarik dan menantang.

Rasa ingin tahu

II. Kegiatan Inti 2.1 Klarifikasi masalah 2.2 Pengungkapan gagasan 2.3 Evaluasi dan seleksi 2.4 Implementasi

- Guru memberikan penjelasan kepada siswa tentang masalah yang diajukan.

- Siswa berupaya menemukan, mengungkapkan dan

memodifikasi sejumlah ide atau strategi yang dapat digunakan. - Setiap kelompok mendiskusikan

gagasan yang cocok dan menentukan pada satu pilihan strategi yang paling tepat dalam menyelesaikan masalah.

- Siswa menggunakan strategi yang dipilih untuk

menyelesaikan masalah.

Rasa ingin tahu

Tanggung jawab, mandiri

Kreatif, demokratis

Kerja keras, teliti dan pantang menyerah

Depdiknas (2004) menyebutkan bahwa pemecahan masalah merupakan kompetensi strategik yang ditunjukkan siswa dalam memahami, memilih pendekatan dan strategi pemecahan masalah, dan menyelesaikan model untuk menyelesaikan masalah. Berdasarkan pengertian tersebut, Shadiq (2009) menguraikan indikator yang menunjukkan kemampuan pemecahan masalah antara lain adalah sebagai berikut: (1) menunjukkan pemahaman masalah, (2) mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan masalah, (3) menyajikan masalah secara matematika dalam berbagai bentuk, (4) memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah secara tepat, (5) mengembangkan strategi pemecahan masalah, (6) membuat dan menafsirkan model matematika dari suatu masalah, (7) menyelesaikan masalah yang tidak rutin.

Menurut Marshal (dalam Mahmudi, 2010) terdapat beberapa aspek penting dalam mengevaluasi kemampuan pemecahan masalah. Aspek pertama adalah penguasaan pengetahuan faktual yang relevan dengan situasi masalah. Aspek ini berkaitan dengan pemahaman terhadap masalah. Aspek kedua adalah penguasaan pengetahuan prosedural. Aspek ini berkaitan dengan penggunaan strategi yang sesuai situasi masalah. Aspek ketiga adalah penguasaan terhadap prosedur matematis untuk mencari solusi masalah. Hal ini menunjukkan bahwa memahami masalah, melakukan prosedur matematis, dan mengidentifikasi serta menerapkan strategi yang sesuai untuk menyelesaikan masalah merupakan aspek-aspek penting yang perlu diperhatikan dalam mengevaluasi kemampuan pemecahan masalah.

NCTM (1989) menyebutkan bahwa untuk siswa pada kelas 9-12, kurikulum matematika seharusnya menyertakan dan mengembangkan metode-metode problem solving sedemikian sehingga para siswa dapat: (1) menggunakan, dengan percaya diri, pendekatan- pendekatan problem solving untuk melakukan investigasi dan memahami materi matematika, (2) menerapkan strategi-strategi problem solving secara terintegrasi untuk menyelesaikan

82

masalah-masalah dalam matematika maupun di luar matematika, (3) mengenali dan merumuskan masalah-masalah matematika maupun di luar matematika, (4) melakukan pemodelan matematika terhadap permasalahan nyata.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah adalah kompetensi strategik yang ditunjukkan siswa dalam memahami, memilih pendekatan dan strategi pemecahan masalah, dan menyelesaikan model untuk menyelesaikan masalah. Indikator dari kemampuan pemecahan masalah yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: (1) kemampuan mengidentifikasi masalah, (2) kemampuan merencanakan penyelesaian masalah, (3) kemampuan menyelesaikan masalah sesuai rencana, dan (4) kemampuan menafsirkan solusi.

Salah satu faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar matematika siswa adalah disposisi mereka terhadap matematika. Katz (dalam Mahmudi, 2010) mendefinisikan disposisi sebagai kecenderungan untuk berperilaku secara sadar (consciously), teratur (frequently), dan sukarela (voluntary) untuk mencapai tujuan tertentu. Perilaku-perilaku tersebut diantaranya adalah percaya diri, gigih, ingin tahu, dan berpikir fleksibel. Dalam konteks matematika, disposisi matematis (mathematical disposition) berkaitan dengan bagaimana siswa menyelesaikan masalah matematis; apakah percaya diri, tekun, berminat, dan berpikir fleksibel untuk mengeksplorasi berbagai alternatif penyelesaian masalah. Dalam konteks pembelajaran, disposisi matematis berkaitan dengan bagaimana siswa bertanya, menjawab pertanyaan, mengkomunikasikan ide-ide matematis, bekerja dalam kelompok, dan menyelesaikan masalah.

NCTM (1989) menyatakan bahwa “disposition refers not simply to attitudes but to a tendency to think and to act in positive ways. Hal ini berarti bahwa disposisi bukan sekedar menunjukkan sikap secara sederhana tetapi merupakan suatu kecenderungan untuk berpikir dan bertindak secara positif. Disposisi matematis siswa terwujud melalui sikap dan tindakan dalam memilih pendekatan menyelesaikan tugas. Apakah dilakukan dengan percaya diri, keingintahuan mencari alternatif, tekun, dan tertantang serta kecenderungan siswa merefleksi cara berpikir yang dilakukannya.

Indikator dalam disposisi matematis menurut NCTM (1989) meliputi (1) percaya diri dalam menggunakan matematika untuk menyelesaikan masalah, (2) mengkomunikasikan ide- ide matematis dan memberikan argumentasi, (3) berpikir fleksibel dalam mengeksplorasi ide- ide matematis dan mencoba metode alternatif dalam menyelesaikan masalah, (4) gigih dalam mengerjakan tugas matematika, (5) berminat, memiliki keingintahuan (curiosity), dan memiliki daya cipta (inventiveness) dalam aktivitas bermatematika, (6) memonitor dan merefleksi pemikiran dan kinerja, (7) menghargai aplikasi matematika pada disiplin ilmu lain atau dalam kehidupan sehari-hari, dan (8) mengapresiasi peran matematika sebagai alat dan sebagai bahasa.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa disposisi matematis adalah kecenderungan untuk berpikir dan bertindak secara positif dalam menyelesaikan masalah matematis. Indikator disposisi matematis yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada NCTM (1989) dan disesuaikan nilai-nilai karakter bangsa meliputi: (1) percaya diri dalam menyelesaikan masalah matematika, (2) bekerja keras dan pantang menyerah dalam menyelesaikan masalah matematika, (3) kreatif, (4) rasa ingin tahu, (5) tanggung jawab terhadap tugas yang diberikan.

Metode

Untuk mengetahui efektivitas model pembelajaran CPS dilakukan melalui metode eksperimen. Populasi penelitian adalah siswa kelas X SMAN 1 Belik Kabupaten Pemalang tahun pelajaran 2011/2012 yang terdiri dari lima kelas. Sampel terdiri dari dua kelas, satu kelas sebagai kelas eksperimen, dan satu kelas sebagai kelas kontrol yang dipilih secara acak

83

(simple random sampling). Adapun variabel yang digunakan meliputi aktivitas belajar siswa, kemampuan pemecahan masalah, dan disposisi matematis.

Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data meliputi lembar pengamatan aktivitas belajar siswa, tes kemampuan pemecahan masalah, dan skala disposisi matematis. Lembar pengamatan digunakan untuk mendapatkan data aktivitas belajar siswa. Skala disposisi matematis digunakan untuk mendapatkan data disposisi matematis siswa, sedangkan tes digunakan untuk mendapatkan data kemampuan pemecahan masalah matematis.

Untuk melakukan analisis data dilakukan melalui uji banding, uji beda rata-rata, uji pengaruh, dan analisis gain. Uji banding dilakukan untuk menguji ketuntasan belajar siswa yaitu dengan cara membandingkan proporsi siswa yang telah mencapai KKM terhadap proporsi yang telah ditentukan. Uji beda rata-rata dilakukan untuk mengetahui perbedaan kemampuan pemecahan masalah antara siswa pada kelas eksperimen dan kemampuan pemecahan masalah siswa pada kelas kontrol. Uji pengaruh dilakukan melalui analisis regresi sederhana, yakni untuk mengetahui pengaruh aktivitas belajar siswa terhadap kemampuan pemecahan masalah.

Sementara itu untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah maupun disposisi matematis dilakukan melalui analisis rata-rata nilai gain yang dinormalisasi (〈 〉) yaitu perbandingan dari skor gain aktual dengan skor gain maksimum. Skor gain aktual yaitu skor gain rata-rata yang diperoleh siswa dari selisih skor tes awal (Si) dan skor tes akhir (Sf) sedangkan skor gain maksimum yaitu skor gain tertinggi yang mungkin diperoleh siswa.

〈 〉 〈 〉〈 〉

(〈 〉 〈 〉)

〈 〉

Untuk memberikan interpretasi terhadap nilai gain yang didapatkan digunakan acuan seperti pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3 Interpretasi Nilai Gain.

Nilai gain 〈 〉 Kategori

〈 〉 〈 〉 〈 〉 Tinggi Sedang Rendah (Hake, 1998). Hasil

Ketuntasan belajar siswa sebagai akibat dari proses pembelajaran dengan menggunakan perangkat pembelajaran model CPS dalam penelitian ini dilihat dari proporsi siswa yang secara individu nilai hasil tesnya telah mencapai KKM. Adapun proporsi yang ditetapkan dalam penelitian ini sebesar 75%. Untuk menentukan ketercapaian kriteria ketuntasan klasikal dilakukan menggunakan uji proporsi π melalui uji pihak kanan. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan nilai Sementara itu dengan didapat harga

. Dengan demikian diketahui bahwa harga lebih besar dari

sehingga ditolak. Hal ini mengatakan bahwa proporsi siswa yang mencapai KKM sudah melampaui 75%.

Uji beda rata-rata digunakan untuk membandingkan antara rata-rata kemampuan pemecahan masalah siswa kelas eksperimen dan kemampuan pemecahan masalah siswa kelas kontrol. Untuk melakukan uji banding tersebut digunakan uji pihak kanan dengan hipotesis H0 : 1 2 dan H1 : 1 2 dengan 1 adalah kemampuan pemecahan masalah rata-rata pada siswa kelas eksperimen dan 2 adalah kemampuan pemecahan masalah rata-rata pada siswa kelas kontrol.

84

Untuk menentukan statistik uji yang akan digunakan terlebih dahulu dilakukan uji kesamaan dua varians menggunakan statistik F dengan cara membandingkan varians terbesar dengan varians terkecil. Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai F = 2,5. Sementara itu dengan derajat kebebasan untuk pembilang = 25 dan penyebut = 23 dengan , dari daftar distribusi F didapat F0,025(25, 23) = 2,00. F hitung lebih besar dari F tabel maka tolak H0, artinya bahwa dua kelompok data sampel berasal dari populasi yang memiliki variansi yang tidak sama.

Karena kedua kelompok data sampel berasal dari populasi yang memiliki variansi yang tidak sama maka untuk melakukan uji banding digunakan statistik ̅̅̅ ̅̅̅

. Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai = 2,078. Sementara itu untuk

perhitungan

diperoleh nilaisebesar 1,41. Karena

maka H

0 yang

menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah pada siswa kelas eksperimen lebih rendah atau sama dengan kemampuan pemecahan masalah pada siswa kelas kontrol ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah pada siswa kelas eksperimen lebih tinggi daripada kemampuan pemecahan masalah pada siswa kelas kontrol.

Untuk mengetahui adanya pengaruh aktivitas belajar siswa terhadap kemampuan pemecahan masalah dilakukan melalui analisis regresi linear sederhana. Dengan menggunakan program SPSS didapatkan persamaan regresi: ̂ . Adapun besar pengaruh aktivitas belajar siswa terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis dilihat dari nilai R Square = 0,780. Hal ini menunjukkan bahwa 78% kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dipengaruhi oleh aktivitas belajar siswa yang dalam pembelajarannya menggunakan model CPS. Sementara sisanya dipengaruhi oleh sebab-sebab lain. Sementara itu berdasarkan analisis gain untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan disposisi matematis diperoleh nilai gain untuk peningkatan kemampuan pemecahan masalah sebesar 0,65. Sedangkan nilai gain untuk peningkatan disposisi matematis sebesar 0,31.

Karena kelima kriteria keefektifan yang ditetapkan terpenuhi, yakni (1) tercapai ketuntasan belajar, (2) kemampuan pemecahan masalah pada siswa kelas eksperimen lebih tinggi daripada kemampuan pemecahan masalah siswa pada kelas kontrol, (3) terdapat pengaruh aktivitas belajar terhadap kemampuan pemecahan masalah, (4) terjadi peningkatan kemampuan pemecahan masalah, dan (5) terjadi peningkatan disposisi matematis maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran model CPS berbantuan multimedia bersifat efektif.

Efektivitas model pembelajaran tersebut sudah diduga sebelumnya karena dalam model CPS terdapat beberapa kelebihan. Menurut Treffinger (dalam Pepkin, 2004) model CPS merepresentasikan proses pembelajaran yang dilakukan secara alamiah dan fleksibel, bukan suatu usaha yang dipaksakan. Proses alamiah ini menekankan kepada para siswa untuk membentuk pemahamannya sendiri melalui kegiatan pemecahan masalah kontekstual. Pengetahuan didapat tidak dengan cara menghafal tanpa dipikir. Dengan demikian siswa akan menjadi lebih terampil karena mereka mempunyai prosedur internal yang tersusun dari awal.

Dari uraian tersebut tampak bahwa salah satu kelebihan model CPS terletak pada adanya penekanan kegiatan pemecahan masalah yang terpusat pada siswa. Melalui model CPS dan pemberian masalah yang menarik dan menantang kemampuan pemecahan masalah bagi siswa akan tumbuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Cooney et al. (dalam Hudojo, 2001) yang menyatakan bahwa mengajar siswa untuk menyelesaikan masalah-masalah memungkinkan siswa tersebut menjadi lebih analitik di dalam mengambil keputusan di dalam kehidupan sebab siswa yang bersangkutan menjadi mempunyai keterampilan tentang

85

bagaimana mengumpulkan informasi yang relevan, menganalisa informasi dan menyadari betapa perlunya meneliti kembali hasil yang telah diperolehnya..

Sementara itu berdasarkan analisis nilai gain diperoleh nilai gain rata-rata untuk peningkatan kemampuan pemecahan masalah sebesar 0,65. Berdasarkan interpretasi nilai gain diketahui bahwa peningkatan disposisi matematis tersebut tergolong dalam kategori sedang. Selain terjadi peningkatan kemampuan pemecahan masalah, dalam penelitian ini juga terjadi peningkatan disposisi matematis dengan nilai gain sebesar 0,31. Berdasarkan interpretasi nilai gain diketahui bahwa peningkatan disposisi matematis tersebut tergolong dalam kategori sedang, yakni berkisar antara .

Peningkatan disposisi tersebut terjadi karena dalam pembelajaran menggunakan model CPS menekankan pada kegiatan pemecahan masalah yang menarik dan menantang yang dapat diselesaikan dengan lebih dari satu cara. Hal ini menyebabkan para siswa menjadi tertarik dan termotivasi untuk menyelesaikan

masalah. Dengan menghadirkan masalah kontekstual, para siswa juga menjadi lebih menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan. Hal ini sesuai dengan NCTM (1991) yang menyatakan bahwa untuk mendorong disposisi matematis dapat dilakukan melalui pemberian masalah yang dapat diselesaikan melalui beberapa cara. Selain itu, dapat juga melalui penggunaan matematika untuk menyelesaikan masalah nyata.

Sementara itu keterkaitan antara tahap-tahap kegiatan pada pembelajaran matematika model CPS dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada tahap klarifikasi masalah, guru memberikan penjelasan kepada siswa mengenai masalah yang harus dicari solusinya. Kegiatan ini dapat menumbuhkan rasa keingintahuan siswa mengenai masalah yang diberikan dan bagaimana cara menyelesaikannya. Pada tahap pengungkapan gagasan, setiap siswa diminta secara individu memberikan gagasannya mengenai strategi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah. Kegiatan ini dapat memupuk kemandirian dan tanggung jawab siswa untuk melakukan tugas yang diberikan. Pada tahap evaluasi dan seleksi setiap kelompok mendiskusikan gagasan yang terkumpul dan menentukan pada satu pilihan strategi yang paling tepat dalam menyelesaikan masalah. Kegiatan ini selain memupuk nilai demokratis juga dapat mendorong kreativitas siswa dalam melakukan strategi penyelesaian masalah dengan melihat berbagai sudut pandang yang berbeda. Sementara itu kegiatan siswa dalam melakukan perhitungan matematika untuk mendapatkan penyelesaian masalah pada tahap implementasi dapat mendorong ketelitian siswa, semangat kerja keras, dan jiwa pantang menyerah.

Penutup

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran CPS bersifat efektif. Hal ini didasarkan atas ketercapaian lima kriteria efektivitas yang ditetapkan, yakni: (1) tercapai ketuntasan belajar, (2) kemampuan pemecahan masalah pada siswa kelas eksperimen lebih tinggi dari kemampuan pemecahan masalah pada siswa kelas kontrol, (3) terdapat pengaruh aktivitas belajar terhadap kemampuan pemecahan masalah, (4) terjadi peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis, dan (5) terjadi peningkatan disposisi matematis. Terjadinya peningkatan disposisi matematis ini juga berarti bahwa pembelajaran dengan model CPS efektif dalam upaya menumbuhkan nilai-nilai karakter bangsa. Hal ini dikarenakan bahwa dalam indikator dari disposisi matematis dalam penelitian ini telah disesuaikan dengan nilai-nilai karakter bangsa yang meliputi percaya diri dalam menyelesaikan masalah, bekerja keras dan pantang menyerah dalam menyelesaikan masalah, kreatif, rasa ingin tahu, dan tanggung jawab terhadap tugas yang diberikan

Terkait dalam pelaksanaan pembelajaran menggunakan model CPS ini, supaya setiap kelompok mendapat kesempatan yang sama untuk berhasil dalam memecahkan masalah yang

86

diberikan maka guru perlu menempatkan siswa berkemampuan tinggi pada setiap kelompok untuk menjadi pemandu dalam kegiatan kelompok tersebut. Selain itu peneliti juga menyarankan untuk memisah antara tahap kegiatan pengungkapan gagasan dan kegiatan evalusi dan seleksi secara jelas. Kegiatan pada tahap pengungkapan gagasan sebaiknya dilakukan siswa secara individual, sedangkan kegiatan secara berkelompok hanya digunakan untuk kegiatan pada tahap evaluasi dan seleksi gagasan serta tahap implementasi.

Daftar Pustaka

Cahyono, A.N. 2009. “Pengembangan Model Creative Problem Solving berbasis Teknologi dalam Pembelajaran Matematika di SMA” Makalah. Seminar Nasional Matematika V yang diselenggarakan oleh Jurusan Matematika FMIPA UNNES. Semarang, 24 Oktober.

Depdiknas. 2004. Penilaian Perkembangan Anak Didik Sekolah Menengah Pertama (SMP). Jakarta: Ditjen Dikdasmen.

---. 2006. Standar Isi. Jakarta: Permendiknas No. 22 tahun 2006.

Hake, R.R. 1998. “Interactive-Engagement vs Traditional Methods: A Six-Thousand-Student Survey of Mechanics Test Data for Introductory Physics Courses”. Am. J. Phys. Vol. 66 P.64 -74.

Hudojo, H. 2001. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: Pendidikan Matematika FMIPA Universitas Negeri Malang.

Lee, K.S. 2003. “A Development of the Test for Mathematical Creative Problem Solving Ability”. Journal of the Korea Society of Mathematical Education Series D: Research in Mathematical Education, Vol. 7 No. 3 P. 163–189

Mahmudi, A. 2010. “Tinjauan Asosiasi antara Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan Disposisi Matematis”. Makalah. Seminar Nasional Pendidikan Matematika HMJ Pendidikan Matematika FMIPA UNY. Yogyakarta, 17 April.

NCTM. 1989. Prinsiples and standards for school mathematics. http://fayar.net/east/teacher.web/math/Standards/Previous/CurrEvStds/evals10.htm (diunduh 9 Desember 2011).

---. 1991. Prinsiples and standards for school mathematics. http://fayar.net/east/teacher.web/math/Standards/Previous/CurrEvStds/evals10.htm (diunduh 9 Desember 2011).

Pepkin, K.L. 2004. Creative Problem Solving in Math. http://hti.math.uh.edu/curriculum/units/2000/02/00.02.04.pdf (diunduh 18 januari 2012).