• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diversifikasi untuk Kedaulatan Pangan

Dalam dokumen BPPT OUTLOOK TEKNOLOGI PANGAN 2016 (Halaman 112-123)

BAB 4 PROYEKSI HINGGA TAHUN 2045

4.5. Diversifikasi untuk Kedaulatan Pangan

Kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan sebagai azas dalam penyelenggaraan pangan merupakan hal yang terus diperjuangkan untuk diwujudkan oleh bangsa Indonesia. Ketersediaan pangan yang dihasilkan dari hasil produksi dalam negeri merupakan wujud dari kemandirian pangan. Oleh karena itu, ketergantungan pada pangan impor seperti gandum kedepan harus dikurangi. Bila melihat proporsi pangan karbohidrat bangsa Indonesia sebagian besar adalah beras dan gambaran karbohidrat lainya disajikan pada gambar 4.20.

[VALUE] [VALUE] 339,764 78,000 Beras : 30.919.317 Ubi Kayu : 23.671.535 Jagung : 339.764 Sagu : 78.000

Kondisi ketergantungan pada hanya satu bahan pangan pokok saja akan membahayakan ditinjau dari sisi penyediaan maupun adanya ancaman perubahan iklim. Oleh sebab itu, program diversifikasi menjadi sangat strategis agar terjadi keseimbangan konsumsi karbohidrat bagi penduduk Indonesia. Ke depan penyediaan beras akan semakin berat karena semakin berkurangnya lahan sawah serta berkurangnya penyediaan air irigasi karena semakin besarnya kebutuhan lahan dan air untuk permukiman penduduk dan untuk pembangunan industri.

Di pihak lain ketersediaan beras di luar negeri pun semakin lama semakin sulit. Negara luar penghasil beras mulai memproteksi ketersediaan beras demi mencukupi kebutuhan dalam negerinya. Pengalaman ini terjadi saat Indonesia pemerintah akan mengimpor beras dari Pakistan sebanyak 1 juta ton untuk memperkuat stok Perum Bulog guna mengantisipasi dampak El-Nino.

Seperti diberitakan Pakistan Today (8/1/2016), Menteri Perdagangan Pakistan Khurram Dastgir mengatakan, Pemerintah Pakistan sepakat dengan Indonesia untuk mengekspor 1 juta ton beras senilai 400 juta dollar AS selama 4 tahun terhitung tahun 2016-2019. Penandatangaan ekspor telah dilakukan antara Trading

Corporation of Pakistan (TCP) dan Perum Bulog.

Menurut Menteri Perdagangan RI, Thomas Lembong, Indonesia dan Pakistan telah menandatangani

MoU terkait dengan pengadaan beras. Langkah tersebut diambil guna menambah stok beras di gudang Perum Bulog. Bahrul Chairi, Dirjen Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan, mengatakan Pakistan menjadi pilihan karena Indonesia sulit mendapatkan beras dari negara-negara produsen di ASEAN. Vietnam dan Thailand sudah tidak memiliki stok yang dijual karena untuk stok yang ada digunakan sebagai cadangan pangan dalam negeri.

Stok beras mereka telah dibeli negara lain, seperti Filipina dan Myanmar. Filipina membeli beras untuk cadangan pangan mengantisipasi El-Nino, sedangkan Myanmar memperkuat stok pascabanjir. (Kompas, 9 Januari 2016).

Berdasarkan dengan kondisi di atas, ke depan diversifikasi pangan menjadi

Oleh sebab itu,

program diversifikasi

menjadi sangat

strategis agar terjadi

keseimbangan

konsumsi

karbohidrat bagi

penduduk Indonesia

DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

seperti: jagung, ubi kayu, dan sagu yang cukup besar merupakan modal dasar yang dapat diharapkan dapat menyubsitusi ketersediaan karbohidrat selain beras. Oleh sebab itu, program diversifikasi pangan khususnya karbohidrat menjadi sangat penting untuk mendukung, ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan.

Di Indonesia program diversifikasi pangan sudah dilakukan sejak tahun 1950- an. Perkembangan kebijakan diversifikasi konsumsi pangan sejak tahun 1950 sampai saat ini disajikan pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.7. Perkembangan Kebijakan/Program/Kegiatan Diversifikasi Konsumsi Pangan

No Tahun Kebijakan Tujuan/Kegiatan

1 1950-an 4 Sehat 5 Sempurna Pola makan yang sehat

2 1960-an Anjuran konsumsi selain beras Popular “beras-jagung” (pengertian campu-

ran beras dengan jagung, dan penggantian

konsumsi beras pada waktu-waktu tertentu dengan jagung).

3 1974 Inpres No. 14, 1974; 1979:

UPMMR

Tujuan: lebih menganekaragamkan jenis pan- gan dan meningkatkan mutu gizi makanan

rakyat baik secara kualitas maupun kuantitas

sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

4 1991/1992 Program diversifikasi pangan

dan gizi (DPG)

Tujuan: (a) ketahana pangan rumah tangga, dan (b) kesadaran masyarakat terutama di pedesaan untuk mengonsumsi pangan yang beraneka ragam dan bermutu gizi seimbang. Fokus program DPG diarahkan pada upaya pemberdayaan kelompok rawan pangan di wilayah miskin dengan memanfaatkan peka- rangan.

5 1998/1999 Revitalisasi program DPG Perubahan orientasi dari hanya pemanfaatan

pekarangan ke pekarangan/kebun sekitar rumah guna pengembangan pangan lokal al-

ternatif. Pembinaan: aspek budidaya, penan-

ganan dan pengolahan pascapanen agar pan-

gan lokal alternatif ini dapat memenuhi selera

masyarakat.

6 1995/1996 Pedoman Umum Gizi Seim-

bang (PUGS)

Terdapat 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang

(menggantikan 4 sehat 5 sempurna). Pesan

no. 1: makanlah aneka ragam makanan.

7 2010 Percepatan Penganekarag-

aman Konsumsi Pangan (P2KP)

Ada 4 kegiatan, antara lain: sosialisasi dan pro- mosi penganekaragaman konsumsi pangan.

8 2010 One Day No Rice (ODNR) Imbauan untuk tidak mengonsumsi beras satu

9 2010 M-KRPL (Model Kawasan Ru- mah Pangan Lestari)

Peningkatan kualitas konsumsi pangan rumah

tangga melalui optimalisasi pemanfaatan pe-

karangan secara lestari

10 2011 Gerakan Nasional Sadar Gizi Gerakan perilaku pola konsumsi pangan

11 2013 MP3L (Model Pengembangan

Pangan Pokok Lokal)

Menggalakkan produk pangan pokok lokal yang sudah terbiasa dikonsumsi oleh mas- yarakat setempat

Sumber: Laporan Akhir Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia, 2013

Menurut hasil kajian Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan Kementerian perdagangan (2013), program diversifikasi konsumsi pangan masih terkendala karena hal-hal berikut:

a. Belum ada institusi tingkat pusat yang menangani diversifikasi konsumsi pangan. Kalau pun ada, bersifat parsial, tidak kontinyu, dan dapat tumpang tindih. Seperti kasus Kementerian Pertanian yang mempunyai program P2KP yang dalam operasionalnya memanfaatkan kelembagaan Badan Ketahanan Pangan Daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.

b. Konsep makan, pola pangan pokok, dan lambang kemakmuran adalah beras. Nasi adalah primadona bagi sebagian masyarakat Indonesia. Hal ini berdampak pada tingkat partisipasi konsumsi beras yang mencapai hampir 100%. Bahkan, beras dijadikan makanan pokok utama dan tunggal.

c. Kebijakan diversifikasi konsumsi pangan yang tidak konsisten pelaksanaannya, sehingga kebijakan pemerintah pun juga tumpang-tindih. Di satu sisi pro dan di sisi lain kontra dengan kebijakan diversifikasi konsumsi pangan.

d. Kebijakan konsumsi pangan vs kebijakan produksi pangan. Pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan agar pangan yang dikonsumsi masyarakat beragam dan penurunan tingkat konsumsi beras. Di sisi lain, program peningkatan pangan sejak tahun 2008 diutamakan untuk peningkatan produksi beras melalui Program Peningkatan Produksi Beras (P2BN). Sebaliknya anggaran untuk komoditas lain seperti umbi-umbian dan jenis komoditas lain relatif kecil yang tidak merupakan target sukses Kementerian Pertanian. e. Variasi kelembagaan ketahanan pangan di daerah. Dampak dari otonomi

DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

Hal ini ditunjukkan dengan penempatan kelembagaan yang menangani ketahanan pangan.

f. Institusi yang menangani kebijakan diversifikasi konsumsi pangan terbatas. Seolah-olah kegiatan ini hanya tugas Kementerian Pertanian dan Kementerian Kesehatan karena tampaknya belum ada kebijakan langsung atau tidak langsung yang dikeluarkan oleh instansi lainnya.

g. Promosi mie instan yang gencar dan jenis produknya yang cukup banyak dan bervariasi. Adanya kebijakan impor gandum untuk diproses menjadi tepung di dalam negeri yang berlangsung lama dan subsidi harga terigu oleh pemerintah sehingga harga terigu menjadi murah. Selain itu, kampanye yang intensif melalui berbagai jenis media, product development yang diperluas dengan harga yang bervariasi dan mudah diperoleh turut mendorong peningkatan partisipasi konsumsi produk gandum terutama berupa mie dan roti.

h. Pengembangan teknologi pengolahan nonberas dan nonterigu. Beras dan terigu dapat dijumpai di pasaran dengan mudah. Sebaliknya, untuk tepung dari jagung, ganyong, talas, dan lainnya tersedia dalam jumlah terbatas dan tidak kontinyu. Selain itu, teknologi pengolahan termasuk peralatannya untuk pangan lokal belum berkembang optimal dibandingkan dengan beras dan terigu.

i. Kebijakan yang sentralistik dan penyeragaman, mengabaikan aspek budaya dan potensi pangan lokal. Ketidakadaan alat ukur keberhasilan program, program bersifat parsial tidak berkelanjutan, dan tidak memiliki target kuantitatif untuk disepakati bersama.

j. Riset diversifikasi konsumsi pangan masih lemah, bias pada beras, terpusat di Jawa-Bali. Fokus pada on-farm, dana hanya dari pemerintah pusat. Selain itu juga kurangnya kemitraan dengan swasta/industri dan LSM.

k. Menyempitkan arti diversifikasi konsumsi pangan. Seolah-olah diversifikasi hanya untuk makanan pokok. Padahal, diversifikasi konsumsi pangan seperti juga pada konsep PPH, mencakup semua komoditas pangan, dalam arti makanan pokok dan makanan pendamping.

l. Masih kurangnya sinergi untuk mendorong dan memberikan insentif bagi dunia usaha dan masyarakat dalam mengembangkan aneka produk olahan pangan lokal. Demikian pula masih kurangnya fasilitas pemberdayaan ekonomi dan

pengetahuan untuk meningkatkan aksesibilitas pada pangan beragam, bergizi, seimbang, dan aman.

m. Jumlah penduduk miskin dan pengangguran masih relatif besar walaupun dari tahun ke tahun menurun. Mereka mempunyai kemampuan akses pangan yang rendah, padahal pendapatan mempunyai korelasi positif dengan pola dan tingkat konsumsi pangan termasuk kualitasnya.

n. Pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap diversifikasi pangan dan gizi masih rendah. Dalam pola makan, kadang-kadang bertindak irasional, faktor gengsi kadang lebih dominan daripada aspek kesehatan, termasuk kesadaran masyarakat terhadap keamanan pangan.

Dalam rangka mendorong pelaksanaan program diversifikasi konsumsi pangan karbohidrat, program ini menjadi sangat strategis. Beberapa pertimbangan di antaranya adalah, ketersediaan beras sebagai makanan pokok bangsa Indonesia semakin sulit dan mahal untuk dipenuhi karena keterbatasan lahan dan makin mahalnya sarana produksi seperti pupuk, bibit, lahan subur, air irigasi, pembasmi hama dan adanya perubahan iklim yang sulit diprediksi. Selain itu, ketersediaan beras bagi negara yang memiliki beras juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya sendiri guna mengantisipasi adanya perubahan iklim yang menyebabkan kekeringan maupun banjir. Oleh sebab itu, diversifikasi pangan karbohidrat menjadi sangat penting dilakukan.

Pertimbangan lain pentingnya progam diversifikasi

pangan karbohidrat ini juga adanya tendensi bahwa saat ini masyarakat Indonesia memiliki prevalensi diabetes mellitus yang terus meningkat akibat pola makan yang tidak sehat. Yang dimaksud diabetes mellitus (DM) adalah penyakit metabolisme yang merupakan suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai normal. Penyakit ini disebabkan gangguan metabolisme glukosa akibat kekurangan insulin baik secara absolut maupun relatif. Terdapat 2 tipe diabetes mellitus, tipe I diabetes juvenile yaitu

pentingnya progam

diversifikasi

pangan karbohidrat

ini juga adanya

tendensi bahwa

saat ini masyarakat

Indonesia memiliki

prevalensi diabetes

mellitus yang terus

meningkat akibat

pola makan yang

tidak sehat

DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

diabetes yang didapat setelah dewasa. Gambaran tentang prevalensi diabetes disajikan pada Gambar 4.21.

Gambar 4.21. Kecenderungan prevalensi DM (dalam juta jiwa) menurut provinsi tahun 2007 dan 2013 (Riskesdas 2013)

Gambar di atas menunjukkan bahwa dalam tempo 5 tahun peingkatan penederita DM meningkat 1 %. Bila jumlah penduduk Indonesia sebesar 250 juta jiwa maka penderita DM meningkat 2,5 juta jiwa selama 5 tahun atau setiap tahun meningkat sebanyak 500 ribu jiwa.

Pola pikir orang Indonesia yakni belum makan kalau belum makan nasi. Bahkan di Papua yang historisnya mengonsumsi sagu, kini perlahan sudah meninggalkannya dan beralih ke nasi dari padi. Sungguh ironis. Pusat sagu dunia tapi karena tidak maksimal dalam memanfaatkan tanaman sagu untuk kebutuhan karbohidratnya kini kondisinya terbelenggu oleh nasi dari padi.

Jenis nasi putih memiliki Indeks Glikemiks (IG) yang tinggi. IG adalah berubahnya makanan yang kita konsumsi menjadi glukosa dalam tubuh. Berbagai penelitian menunjukkan, nasi putih ini berisiko meningkatkan gula darah dan berbahaya bila dikonsumsi secara berlebihan dapat mengakibatkan penyakit diabetes.

Kita baru merasakan dampaknya ketika tubuh mulai menampakkan penurunan daya tahan tubuh karena gejala penyakit degeneratif. Perubahan pola makan dari sagu dan keladi beralih ke nasi memengaruhi daya tahan pada penyakit di masyarakat Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Itu ditandai kian banyak warga Mentawai terkena penyakit tidak menular, sepeti sindrom metabolis dan diabetes mellitus. Menurut Safarina, penyakit-penyakit noninfeksi ini disebabkan perubahan gaya hidup, terutama karena perubahan pola makan. Perubahan pola konsumsi akan memengaruhi mikroflora dan mikroba usus. Ini memengaruhi daya tahan tubuh terhadap penyakit.

Herawati S (2016), mengatakan, ditemukan kaitan variasi basa T16189C pada DNA (asam deoksiribonukleat) mitokondria dengan risiko diabetes mellitus. Makin tinggi T16189C-nya, kian tinggi risiko diabetes. Warga Indonesia rata-rata punya kadar basa T16189C di atas 30-40% dan masyarakat Nias 60% atau yang tertinggi. (Kompas, 7 April 2016).

Seperti diketahui bahwa penduduk yang sudah terkena diabetes, perlu dijaga selalu minum obat untuk menjaga kadar gula darah serta mengatur pola makan agar kadar gula darah stabil. Dari seluruh pasien diabetes, 382.680 orang yang berobat dengan penyakit utama diabetes atau diabetes sebagai penyakit penyerta. Sisanya, 430.693 pasien, berobat karena penyakit lain walaupun menderita diabetes. Mereka umumnya sudah mengalami komplikasi berbagai penyakit lain, seperti luka gangrene, gangguan penglihatan, gagal ginjal, penyakit jantung, dan stroke.

Besarnya jumlah pasien diabetes dengan komplikasi, dipicu lemahnya kesadaran masyarakat mengontrol gula darah dan mengubah pola hidup. Masyarakat baru ke dokter setelah ada gangguan (Yumir, 2016).

Di fase awal, diabetes tidak menimbulkan gangguan sehingga banyak orang mengabaikan. Meski demikian, beban riil negara terhadap penderita diabetes mencapai Rp3,27 triliun. Hingga tahun 2015, peserta yang mengikuti Jaminan Kesehatan Nasional baru 60% penduduk. Masih banyak pasien diabetes yang membayar sendiri pengobatannya. Selain itu, penderita diabetes yang terdiagnosis baru mencapai 30%. Itu pun belum semua mendapatkan pengobatan optimal. Menurut Yunir, salah satu faktor penyulit penanganan diabetes, adalah rendahnya kepatuhan pasien minum obat. Terlebih, umumnya pasien harus minum banyak obat sekaligus. Belum lagi, tiap bulan, sebagian pasien harus beberapa kali ke fasilitas kesehatan untuk mengambil obat.

Kenyataannya bahwa diabetes tidak dapat disembuhkan namun hanya bisa dikelola, membuat pasien juga mudah frustasi. Selain itu, besarnya jumlah pasien diabetes serta keterbatasan dokter-tenaga kesehatan membuat penanganan pasien di fasilitas kesehatan pertama dan rujukan tak optimal. Jika tak segera di atasi, ke depan akan ada ledakan pasien diabetes di Indonesia. Indonesia masuk dalam ketujuh negara dengan penderita diabetes.

Menurut catatan Federasi Diabetes Internasional 2015 menyebutkan, penduduk berumur 20-79 tahun terbanyak, yakni 10 juta orang. Jumlah itu diperkirakan akan

DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

glukosa terganggu (TGT), fase transisi antara kadar gula darah normal dan diabetes juga terus melonjak. Di Indonesia terdapat 29 juta orang TGT pada 2015. Jika gaya hidup tidak berubah, mereka menjadi pengidap diabetes (Kompas, 7 April 2016)

Oleh sebab itu, perlunya disosialisasikan berbagai bentuk pangan karbohidrat yang memiliki indeks glikemik (IG) rendah. Yang dimaksudkan dengan IG adalah angka yang menunjukkan seberapa cepat karbohidrat diubah menjadi glukosa yang digunakan oleh tubuh manusia. Kisaran nilai IG adalah tinggi bila IG > 70, sedang 55>IG>70 dan rendah bila IG< 55. Beberapa produk pangan karbohidrat dengan berbagai nilai IG disajikan pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8. Nilai Indeks Glikemik Pangan Olahan Sagu dan Beberapa Produk Karbohidrat Lain

No Jenis Makanan Nama Makanan Indeks Glikemik Kriteria

1 Sagu Olahan Sagu serut 85 Tinggi

Bagea 71 Tinggi

Sinoli 70 Tinggi

Papeda 63 Sedang

Bubur sagu 53 Rendah

Sagu lempeng 48 Rendah

Mie sagu 28 Rendah

Makaroni sagu 28 Rendah

2 Sereal Nasi Merah 50 Rendah

Nasi Putih 89 Tinggi

Oatmeal instant 83 Tinggi

Jagung Rebus 60 Sedang

Cornflakes 93 Tinggi

3 Pasta Makaroni 47 Rendah

Spageti 58 Sedang

Mie instan 47 Rendah

4 Umbi Talas 54 Rendah

Ubi 70 Tinggi

5 Buah Sukun 59 Sedang

Pisang 62 Sedang

Berangkat dari kenyataan bahwa perlunya ketersediaan pangan karbohidrat lokal agar tidak bergantung kepada salah satu pangan pokok saja, maka sumber pangan karbohidrat jagung, ubi kayu, dan sagu memiliki kelebihan yang diuraikan secara singkat sebagai berikut:

Jagung

Menurut International Food Information Council Foundation, USA (http:// foodinsight.org diunduh 5 April 2016) jagung berpotensi mengandung komponen fungsional:

1. Lutein,Zeaxanthin (mendukung menjaga kesehatan mata)

2. Free stanols/Sterols (mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler)

3. Serta dalam bentuk corn bran mengandung komponen: serat tidak larut (insoluble fiber)

Sementara menurut Brown-Riggs, (2013) jagung berpotensi mengandung serat larut (soluble corn fiber). Serat jagung larut dihasilkan melalui proses hidrolisis enzimatik tepung jagung. Serat jagung larut memang sulit dicerna di usus kecil tapi sebagian lagi difermentasi oleh bakteri usus di usus besar dan memberikan manfaat fisiologis yang sama dengan serat makanan pada umumnya. Serat jagung larut memiliki viskositas rendah, larut dalam air, dan stabil di panas tinggi, pH, dan kondisi pengolahan lainnya.

Bukti menunjukkan bahwa serat jagung larut memiliki banyak manfaat kesehatan yang sama dengan serat yang ditemukan dalam biji-bijian, sayuran, kacang- kacangan, dan buah. Diet tinggi serat sering dihubungkan dengan ketidaknyamanan yang diakibatkan IG tinggi, seperti produksi gas yang berlebihan di pencernaan. Penelitian menunjukkan bahwa serat jagung larut dapat ditoleransi bahkan pada tingkat asupan tinggi yakni 65 g / hari jika diberikan dalam bentuk multiple dose dan bahkan mempunya toleransi yang lebih baik daripada inulin, yaitu serat alami yang diekstrak dari root.3,4 chicory.

Selain itu, serat jagung larut memperbaiki sistim kerja usus dan juga mempunyai aktivitas sebagai prebiotik. Jika digunakan sebagai pengganti karbohidrat, serat

DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

rendah. Serat jagung larut juga mendukung kesehatan tulang dengan meningkatkan penyerapan kalsium.

Serat jagung larut dapat digunakan dalam berbagai macam makanan olahan, minuman, dan bumbu, termasuk sereal, baked goods, permen, produk susu, makanan beku, sup, salad dressing, jus, minuman berkarbonasi, minuman pengganti makanan,

dan flavored water. Dalam daftar ingredient pangan, sering ditulis sebagai serat

jagung larut, sirup jagung, atau sirup jagung padat.

Plant sterol (sterol nabati) dari jagung didapat dari corn fiber oil (minyak serat jagung). Minyak serat jagung diperoleh dari ekstraksi serat jagung. Berbeda dengan minyak jagung yang diperoleh dengan mengekstrasi corn germ dan mengandung

99% triacylglyserols serta 1% fitosterol, maka minyak serat jagung mengandung 10-

15% fitosterol. Minyak serat jagung mengandung tiga macam fitosterol (Robert A.

Moreau in Phytosterol as Functional Food Components and Nutraceuticals, 2004). Lago et al (2014) berhasil mengembangkan kultivar jagung berwarna (coloured

sublines) yang kaya akan antosianin. Kadar antosianin dari kultivar baru ini adalah

antara 55.78-161.42 mg/100g. Angka ini sangat signifikan bila dibandingkan dengan

kultivar yang tidak berwarna.

Ubi Kayu

Ubi kayu atau singkong telah dikenal sebagai sumber serat terutama resistant

starch. Pereira dan Lionel (2014) menemukan bahwa kandungan digestible starch

(DS) dan resistant starch (RS) dari ubi kayu di Brazil lebih tinggi dari kandungan DS dan RS pati jagung.

Ubi kayu juga mengandung scopoletin. Suatu senyawa aktif yang merupakan senyawa fenolik berbasis kumarin (6-metoksi-7-hidroksikumarin). Scopoletin

berfungsi menurunkan tekanan darah melalui fungsinya memperlebar pembuluh darah sehingga mengurangi risiko terkena stroke (http://www.zhion.com/ phytonutrients/Scopoletin.html).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ramadhan di Eka dkk (2014), diketahui bahwa ubi kayu varietas “Manggu: memiliki kadar scopoletin 16.550mg/ kg bobot kering. Pengolahan ubi kayu akan menurunkan kadar scopoletin dan cara pengolahan juga akan mempengaruhi besar kecilnya kadar scopoletin. Tepung ubi

kayu yang diperoleh dengan cara penyawutan mengandung scopoletin sebesar 6.94 mg/kg bobot kering sedangkan tepung ubi kayu yang diperoleh dengan cara pengirisan mempunyai kadar scopoletin sebesar 5.918 mg/kg bobot kering.

Scopoletin telah diisolasi dan diidentifikasi dalam Gari, makanan dari singkong

yang dikonsumsi di Nigeria (Afrika Barat). Kadar scopoletin dari tepung singkong tidak berubah oleh pengolahan pasca panen seperti sun drying, pendinginan dan selama penyimpanan. Scopoletin juga telah diidentifikasi mempunyai fungsi seperti herbal tradisional buah Tetrapleura tetraptera Taub seperti disebutkan dalam Ethnopharmacology Afrika Barat. Scopoletin mempunyai aktivitas yang ampuh sebagai zat hipotensi dan agen spasmolitik nonspesifik. Efek farmakologi dari

scopoletin mungkin memperlambat terjadinya neuropati tropis di masyarakat yang

mengonsumsi Gari (Obidao and Obasi, 1991).

Sagu

Berdasarkan berbagai hasil penelitian, sagu memiliki berbagai keunggulan di antaranya: (i) menggunakan bahan baku lokal dan tersedia melimpah di Indonesia terutama di Maluku, Papua, dan Riau (ii) memiliki karbohidrat kompleks dalam bentuk resistant starch (RS) dengan kadar 4,5% (iii) bersifat organik, (iv) memiliki indeks glikemik (IG) rendah dan bebas gluten (gluten free), (v) tahan terhadap perubahan iklim, (vi) dapat diusahakan dengan berbagai skala produksi, (vii) patinya tahan disimpan lama karena komponen protein dan lemaknya kecil.

Dalam dokumen BPPT OUTLOOK TEKNOLOGI PANGAN 2016 (Halaman 112-123)

Dokumen terkait