• Tidak ada hasil yang ditemukan

BPPT OUTLOOK TEKNOLOGI PANGAN 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BPPT OUTLOOK TEKNOLOGI PANGAN 2016"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

TIM PENYUSUN PENGARAH Kepala BPPT

Dr. Ir. Unggul Priyanto, M.Sc.

Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi (TAB) Prof. Dr. -Eng. Eniya Listiani Dewi, B.Eng., M.Eng.

PENANGGUNGJAWAB

Direktur Pusat Teknologi Agroindustri Dr. Ir. Hardaning Pranamuda, M.Sc.

KOORDINATOR Bambang Hariyanto

TIM PENYUSUN Harianto

Agus Tri Putranto Henky Henanto Tantry Eko Putri Lully Natharina P Purwa Tri Cahyana Nenie Yustiningsih Suyanto Prawiroharsono Iding Chaidir

Mubekti

RD. Esti Widjayanti Sutardjo

Bambang Triwiyono Supriyanto

Dodo Rusnanda Sastra Mardonius Budi Kusarpoko Sabirin

Joko Purwanto Arief Muhajir

INFORMASI

Sekretariat Tim Penyusun Outlook Teknologi Pangan – BPPT Gedung 612-613 LAPTIAB BPPT Kawasan Puspiptek

(5)

OUTLOOK TEKNOLOGI PANGAN 2016

Diversifikasi Pangan Karbohidrat

Edisi 2016

EDITOR

Dr. Ir. Hardaning Pranamuda, M.Sc. Dr. Aton Yulianto, S.Si, M.Eng. Ir. Arif Arianto, M.Sc.

DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI AGROINDUSTRI DAN BIOTEKNOLOGI

BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

(6)
(7)

KEPALA BPPT

KAMI panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT bahwa buku Outlook

Teknologi Pangan Diversifikasi Pangan Karbohidrat 2016 ini dapat diselesaikan.

Buku Outlook Teknologi Pangan2016 ini adalah terbitan pertama Program Pangan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Buku ini memberikan gambaran ringkas mengenai permasalahan teknologi untuk menunjang diversifikasi (penganekaragaman) pangan saat ini, serta proyeksi kebutuhan dan pasokan pangan lokal untuk kurun waktu 2016-2045.

Pengembangan diversifikasi (penganekaragaman) pangan selalu terkait dengan pengembangan ekonomi. Dalam buku ini dibahas skenario pengembangan diversifikasi pangan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Isu penting dalam pertumbuhan ekonomi adalah upaya untuk melepaskan diri dari ketergantungan impor pangan yang saat ini sudah mencapai 70%. Padahal, potensi sumber daya alam Indonesia sangat besar, namun belum dimanfaatkan secara optimal. Di samping itu, Outlook Teknologi Pangan2016 juga membahas berbagai aspek dalam pengembangan pangan nasional di masa mendatang, khususnya pengembangan pangan lokal (jagung, ubi kayu, dan sagu) untuk mendukung program ketahanan dan kedaulatan pangan nasional.

(8)

DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

pangan (beras) sebagai sumber karbohidrat dan mengoptimalkan sumber pangan lokal yang memiliki nilai gizi yang tidak kalah kalah dibandingkan beras.

Program ketahanan dan kedaulatan pangan nasional, upaya pengembangan sumber daya lokal salah satunya adalah untuk mendukung substitusi impor pangan nonberas dan nonterigu, juga dengan memanfaatkan tanaman sagu yang potensi luasannya nomor satu di dunia, jagung, dan ubi kayu sesuai dengan kearifan lokal daerah. Peran teknologi dalam program diversifikasi (penganekaragaman) pangan sangat penting dan dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas, menghasilkan produk pangan yang berkualitas, dan efisiensi produksi. Sehingga dapat dihasilkan produk pangan lokal yang sehat, rasanya enak, praktis, dengan harga terjangkau sehingga dapat diterima oleh masyarakat.

Buku Outlook Teknologi Pangan 2016 ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan acuan bagi instansi pemerintah, swasta, industri, akademisi dan masyarakat pada umumnya dalam pengembangan teknologi untuk mendukung diversifikasi pangan nasional jangka panjang.

Kami menghargai dan berterima kasih kepada Tim Penyusun serta semua pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan sehingga buku ini bisa diterbitkan. Buku ini masih belum sempurna dan masih banyak kekurangannya, namun dengan segala kerendahan hati kami mohon masukan yang bersifat konstruktif untuk penyempurnaan buku berikutnya.

Jakarta, Juli 2016 Kepala

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

(9)

MENTERI

RISET,

TEKNOLOGI, DAN

PENDIDIKAN TINGGI

Assalamu’alaikum wa Rahmatullaahi wa Barakatuh

PERMASALAHAN global yang melanda dunia termasuk Indonesia adalah

masalah energi dan pangan. Sama halnya dengan masalah di bidang energi maka masalah pangan merupakan tantangan yang harus disikapi dengan serius karena terkait dengan beberapa faktor yang saling terkait secara kompleks, antara lain ketergantungan impor pangan yang semakin besar (mencapai 70%), pertambahan penduduk (1,49% per-tahun), iklim dan bencana alam, alih fungsi lahan, kondisi sosekbud masyarakat termasuk perubahan pola makan, masalah keamanan pangan sampai pada kondisi belum optimalnya implementasi kebijakan pemerintah di bidang diversifikasi yang kemudian kesemuanya itu terakumalasi menjadi semakin rendahnya ketahanan pangan Indonesia.

(10)

DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

Terkait hal tersebut, berbagai kebijakan Pemerintah telah dikeluarkan antara lain ditetapkannya Kebijakan Umum Ketahanan Pangan yang tertuang dalam UU-RI No. 18 tahun 2012 tentang Pangan, Perpres No.22 tahun 2009 dan Inpres No. 1 tahun 2010 tentang percepatan penganekaragaman pangan lokal yang pada hakikatnya memperkokoh Ketahanan Pangan Nasional untuk menjamin ketersediaan dan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan sehat, baik pada tingkat nasional, daerah hingga rumah tangga.

Peran pangan lokal dalam program diversifikasi pangan semakin penting untuk ditingkatkan, karena memiliki nilai tambah sebagai komoditas bisnis dalam penyediaan pangan daerah, serta mempunyai peranan sosial, ekonomi dan budaya karena sebenarnya masyarakat telah mengenal produk-produk pangan lokal sejak dahulu.

Saat ini telah terjadi penurunan konsumsi pangan lokal, termasuk di wilayah yang sebelumnya mempunyai pola pangan pokok berbasis pangan lokal, sebaliknya telah terjadi peningkatan konsumsi terigu dan turunannya. Pengembangan diversifikasi pangan sebagai bagian untuk mewujudkan kedaulatan pangan hendaknya dilakukan oleh semua kalangan. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan menyusun dan implementasi strategi kebijakan terkait optimalisasi pemanfaatan potensi lahan dan kebiasaan mengonsumsi pangan lokal, serta pengembangan produksi, industri, dan konsumsi pangan lokal, penciptaan pasar pangan lokal di tingkat nasional dan wilayah, diikuti penyediaan produk pangan lokal yang mampu bersaing dengan produk asing.

Untuk itu, buku Outlook Teknologi Pangan - Diversifikasi Karbohidrat

yang membahas skenario pengembangan diversifikasi pangan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, juga membahas berbagai aspek dalam pengembangan pangan nasional di masa mendatang, khususnya pengembangan pangan lokal (jagung, ubi kayu, dan sagu) untuk mendukung program ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Buku Outlook Teknologi Pangan ini memberikan gambaran ringkas mengenai permasalahan teknologi untuk menunjang diversifikasi pangan saat ini. Selain itu juga menjelaskan proyeksi kebutuhan dan pasokan teknologi pangan 25 tahun ke depan.

(11)

kebijakan pembangunan pangan, semua pihak pemangku kepentingan, untuk menyusun pola dan strategi pembangunan pemenuhan pangan secara komprehensif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Buku Outlook Teknologi Pangan 2016 ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan acuan bagi instansi pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat pada umumnya dalam pengembangan teknologi untuk mendukung diversifikasi pangan nasional jangka panjang.

Kami mengimbau baik kepada seluruh jajaran pemerintah pusat dan kepala daerah serta masyarakat agar dapat turut serta menyukseskan program diversifikasi pangan menuju Indonesia yang sehat dan berdaulat.

Kepada para perekayasa dan peneliti BPPT, kami sampaikan terima kasih atas komitmen akademik dalam upaya mendorong implementasi kebijakan pembangunan pangan secara konsisten.

Wassalamu’alaikum wa Rahmatullaahi wa Barakatuh

Jakarta, Juli 2016

Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi

(12)
(13)

TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini, kami Tim Penyusun Outlook mengucapkan terima kasih kepada para profesional di bawah ini yang telah membagi waktu dan informasi yang berharga sehingga buku Outlook Teknologi Pangan Diversifikasi Pangan Karbohidrat 2016 ini dapat diterbitkan. Terima kasih ditujukan kepada:

• Ir. Sri Sulihanti M.Sc, Kepala Pusat Penganekaragaman Pangan dan Keamanan Pangan, Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian Republik Indonesia

• Dr. Ir. Nur Mahmudi Isma’il, M.Sc., Penggagas dan Penggerak Program

One Day No Rice (ODNR)

• Dr. Ageng S. Heriyanto, National Program Officer FAO Indonesia Jakarta • Ir. Adhi S. Lukman Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman

Indonesia (GAPMMI) Jakarta

• Dr. Dwi Asmono, Direktur Riset dan Pengembangan PT. Sampurna Agro Jakarta

• Prof. Dr. M. Husein Sawit, Pakar Beras dan Advisor Bulog • Drs. Puguh Suharso, Peneliti dan Praktisi Ekonomi Bisnis • Dr. Risnarto, Praktisi Kebijakan Publik

(14)
(15)

TIM PENYUSUN ... 4

SAMBUTAN KEPALA BPPT ... 7

SAMBUTAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI ... 9

UCAPAN TERIMA KASIH ... 13

DAFTAR ISI ... 15

BAB 1 PENDAHULUAN ... 23

1.1. Latar Belakang ... 23

1.2. Urgensi Pengembangan Pangan Sumber Karbohidrat Nonberas ... 26

1.3. Ruang Lingkup ... 28

1.4. Pengertian dan Batasan ... 29

1.5. Metodologi ... 29

BAB 2 POTRET KONDISI PANGAN SAAT INI ... 33

2.1. Konsumsi ... 33

2.1.1. Produksi dan Kebutuhan Pangan Penduduk Indonesia ... 33

2.1.2. Pangan Pokok ... 34

2.1.3. Diversifikasi Konsumsi Pangan ... 36

2.2. Ketersediaan Pangan Karbohidrat ... 40

2.3. Produksi Pangan Utama ... 43

2.4. Impor Pangan Utama ... 45

(16)

DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

2.7. Diversifikasi Pangan ... 53

2.8. Subsidi Pangan ... 59

BAB 3 KETERSEDIAAN TEKNOLOGI UNTUK DIVERSIFIKASI PANGAN ... 65

3.1. TEKNOLOGI ON-FARM ... 65

3.1.1. Teknologi Estimasi Peramalan Produksi Pangan ... 65

3.1.2. Survei Pertanian Berdasarkan Kerangka Sampel ... 69

3.1.3. Teknologi Modifikasi Cuaca ... 71

3.1.4. Teknologi Budidaya ... 72

3.2. TEKNOLOGI OFF-FARM... 78

3.2.1. Teknologi Pascapanen dan Pengolahan Jagung ... 78

3.2.2. Teknologi Pascapanen dan Pengolahan Ubi Kayu ... 79

3.2.3. Teknologi Pasca-Panen dan Pengolahan Sagu ... 82

3.2.4. Teknologi Produksi Pangan Olahan Nonberas ... 88

BAB 4 PROYEKSI HINGGA TAHUN 2045 ... 97

4.1. Proyeksi Jumlah Penduduk... 97

4.2. Proyeksi Konsumsi dan Produksi Pangan Pokok Beras ... 98

4.2.1. Proyeksi Permintaan / Konsumsi Beras ... 98

4.2.2. Proyeksi Ketersediaan Lahan Baku Sawah ... 99

4.2.3. Proyeksi Produksi Beras ... 100

4.2.4. Neraca Perberasan ... 102

4.2.5. Realita Impor Beras ... 103

4.2.6. Dinamika Harga Beras ... 104

4.3. Proyeksi Konsumsi Jagung, Ubi Kayu, dan Sagu ... 105

4.3.1. Konsumsi Jagung ... 105

4.3.2. Konsumsi Ubi Kayu ... 107

4.3.3. Konsumsi Sagu ... 109

4.4. Konsumsi Gandum/Terigu ... 110

4.5. Diversifikasi untuk Kedaulatan Pangan ... 112

4.6. Strategi Pengurangan Konsumsi Beras ... 123

4.6.1. Segmen Kelas Menengah ke Atas ... 123

(17)

4.7. Roadmap Diversifikasi Pangan Karbohidrat ... 125

4.8. Roadmap Teknologi untuk Diversifikasi Pangan Karbohidrat ... 126

BAB 5 PENUTUP ... 139

DAFTAR PUSTAKA ... 143

LAMPIRAN ... 147

DAFTAR

GAMBAR

NO JUDUL HALAMAN 1. Alur Pikir Penyediaan Pangan Karbohidrat dan Solusi Penyediaannya ... 25

2. Bentuk Aneka Sumber Karbohidrat Yang Telah Dimanfaatkan Oleh Masyarakat Secara Turun-menurun ... 41

3. Peta distribusi jagung ... 42

4. Peta distribusi ubi kayu ... 42

5. Peta distribusi sagu ... 43

6. Diagram Penerima Raskin dan Anggaran Raskin Dari Tahun 2005 - 2015 ... 50

7. Mekanisme Penyaluran Raskin di Lapangan ... 51

8. Peta Masa Tanam Padi Dengan Data Radar ERS-1 ... 67

9. Peta Produktivitas Padi Dari Data Satelit Landsat TM ... 69

10. Kerangka Sampel Area ... 71

11. Pola Pertumbuhan Tanaman Sagu Dari Anakan Sampai Pohon Dewasa ... 77

12. Proses Produksi Pati Alami ... 80

13. Diagram Alir Proses Produksi Tapioka Generasi I ... 80

14. Diagram Alir Proses Produksi Tapioka Generasi II ... 81

15. Diagram Alir Proses Produksi Tapioka Generasi III ... 82

16. Pembuatan Pati Sagu Secara Tradisional di Papua ... 84

17. Skema Proses Pengolahan Pohon Sagu Secara Tradisional ... 84

(18)

DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

20. Salah Satu Kilang Sagu di Kabupaten Meranti Kepulauan Riau ... 87

21. Kegiatan Produksi Salah Satu Kilang Sagu di Kabupaten Meranti Provinsi Kepulauan Riau ... 88

22. Proses Pembuatan Beras Analog dan Produk Pasta Lainnya Dari Tepung Lokal ... 89

23. Alat Ekstruder Desain BPPT Untuk Membuat Beras Analog (Skala 200 Kg/Hari) ... 90

24. Beras Analog Dari Singkong dan Sagu Serta Mie Dari Jagung ... 90

25. Desain Unit Produksi Beras Analog Skala Industri (2 Ton/Hari) ... 93

26. Proyeksi Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk 1971 - 2035 ... 97

27. Proyeksi Penduduk dan Kebutuhan Beras ... 98

28. Kebutuhan Baku Lahan, Lahan Sawah Tersedia dan Jumlah Penduduk ... 100

29. Proyeksi Luas Panen dan Produksi Padi Sampai Tahun 2045 ... 101

30. Proyeksi Luas Panen dan Produktivitas Beras Nasional Sampai Tahun 2045 ... 101

31. Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras Sampai Tahun 2045 ... 102

32. Neraca Beras Dilihat Dari Penyediaan Nasional dan Ketersediaan per Kapita ... 103

33. Realita Impor Beras 20 Tahun Terakhir di Indonesia ... 104

34. Perkembangan Harga Beras Dari Tahun 1983 - 2015 ... 104

35. Proyeksi Produksi dan Konsumsi Jagung Rumah Tangga Dari 2010 - 2035 ... 105

36. Proyeksi Luas Panen dan Produktivitas Jagung ... 106

37. Konsumsi Jagung Rumah Tangga ... 106

38. Proyeksi Produksi dan Konsumsi Jagung Rumah Tangga ... 107

39. Penurunan Konsumsi Ubikayu per Kapita per Tahun ... 107

40. Proyeksi, Produksi dan Konsumsi Ubikayu ... 108

41. Penurunan Konsumsi Sagu Sebagai Bahan Makanan ... 109

42. Tren Konsumsi Terigu per Kapita Indonesia ... 111

43. Proyeksi Impor Terigu Sampai Tahun 2035 ... 112

44. Proporsi Pangan Karbohidrat Bangsa Indonesia ... 112

45. Kecenderungan Prevalensi DM (Dalam Juta Jiwa) Menurut Provinsi Tahun 2007 dan 2013 ... 118

46. Roadmap Diversifikasi Pangan Karbohidrat ... 126

47. Roadmap Teknologi Untuk Pencapaian Target Diversifikasi Pangan Karbohidrat . 48. Roadmap Teknologi On-farm ... 127

(19)

DAFTAR

TABEL

NO JUDUL HALAMAN

1. Neraca Produksi dan Kebutuhan Beras per Provinsi Tahun 2015 ... 34

2. Perkembangan Pola Konsumsi Pangan Pokok Di Indonesia 1954 - 2014 ... 35

3. Pola Pangan Harapan Tahun 2010-2014 ... 39

4. Produksi Padi, Jagung dan Kedelai Tahun 2010 - 2014 ... 44

5. Perkembangan Produktivitas Beberapa Komoditas Pangan Utama Tahun 2002-2014 ... 44

6. Impor Pangan Indonesia per Januari - Agustus 2015 ... 46

7. Impor Beras Indonesia Periode Januari - Agustus 2015 ... 47

8. Impor Jagung Indonesia Periode Januari - Agustus 2015 ... 47

9. Pelaksanaan Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal Tahun 2012 ... 56

10. Pangan Olahan Berbahan baku Lokal Menurut Kabupaten ... 58

11. Subsidi Pangan, Pupuk dan Benih Tahun 2013 dan 2014 ... 59

12. Spesifikasi Varietas Unggul Ubikayu di Indonesia ... 76

13. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Ubikayu Tahun 2010 - 2014 ... 79

14. Jumlah Penduduk, Kebutuhan Lahan dan Defisit Kebutuhan Lahan ... 99

15. Potensi Produksi Sagu Indonesia ... 110

16. Perkembangan Kebijakan/Program/Kegiatan Diversifikasi Konsumsi Pangan ... 114

17. Nilai Indeks Glikemik Pangan Olahan Sagu dan Beberapa Produk Karbohidrat Lain ... 120

18. Skenario Target Penurunan Konsumsi Beras Hingga 2045 ... 125

(20)

DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

DAFTAR

LAMPIRAN

NO. JUDUL HALAMAN

1. Tabel Jumlah Penduduk, Kebutuhan Lahan dan Defisit Kebutuhan Lahan ... 147

2. Tabel Hasil Proyeksi Luas Panen, Produksi, dan Konsumsi Beras ... 148

3. Tabel Neraca Bahan Makanan Beras ... 149

4. Tabel Perkembangan Harga Produsen Padi dan Harga Konsumen Beras Indonesia tahun 1983-2014 ... 150

5. Tabel Konsumsi Jagung per Kapita, Rumah Tangga dan Permintaan Industri di Indonesia Tahun 1985-2014 ... 151

6. Tabel Hasil Proyeksi Luas Panen, Produksi, dan Konsumsi Jagung ... 152

7. Tabel Neraca Bahan Makanan – Jagung ... 153

8. Perkembangan Konsumsi Ubi Kayu di Rumah tangga Tahun 1993-2019 ... 154

9. Tabel Neraca Bahan Makanan – Ubi Kayu ... 155

10. Tabel Hasil Proyeksi Luas Panen, Produksi, dan Konsumsi Ubi Kayu... 156

11. Tabel Neraca Bahan Makanan Sagu ... 157

12. Tabel Nilai Impor Terigu ... 158

13. Tabel Hasil Proyeksi Impor Gandum ... 158

14. Gambar Jumlah dan persentase penduduk miskin tahun 2009-2014 ... 160

15. Pagu Raskin setiap Provinsi tahun 2015 ... 160

(21)

Dusun sagu di Kabupaten Sorong Selatan – Papua Barat

BAB 1

(22)
(23)

BAB

1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

PANGAN merupakan kebutuhan dasar kehidupan manusia. Oleh sebab itu, ketersediaan pangan menjadi keharusan sesuai dengan amanat Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 tahun 2012 tentang Pangan. Dalam Undang-undang Pangan tersebut disebutkan bahwa penyelenggaraan penyediaan pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan.

Penyediaan pangan untuk masyarakat Indonesia akan terus menghadapi masalah karena berbagai hal, di antaranya; pertumbuhan

penduduk sebesar 1,49 %/tahun, adanya gangguan iklim, sering terjadinya bencana serta menyempitnya lahan produktif di Pulau Jawa, serta produktivitas padi yang terus melandai.

Kondisi ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah sebelumnya bahwa pangan pokok adalah beras. Dengan demikian, keberadaan pangan lokal seperti jagung, ubi kayu, dan sagu makin berkurang dan sedikit sekali mendapat perhatian. Secara psikologis, mengonsumsi

pangan nonberas terutama yang berbahan pangan lokal seringkali memberikan

"Peran pangan lokal

dengan program

diversifikasi pangan

sangat strategis

untuk masa sekarang

(24)

DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

Pandangan tersebut merupakan distorsi cara berpikir lama yang sungguh tidak tepat. Sedangkan di pihak lain, peran pangan lokal dengan program diversifikasi pangan sangat strategis untuk masa sekarang dan masa yang akan datang.

Kita menyadari bahwa ketergantungan pangan pada satu jenis pangan pokok saja dalam hal ini beras akan membahayakan, ditinjau dari segi ketahanan pangan, sosial, maupun politik. Di sisi lain, penyediaan pangan dalam bentuk beras semakin lama semakin berat dan mahal karena produktivitas tanaman padi yang sudah

maksimal, menyempitnya lahan subur sebagai akibat beralihnya fungsi lahan pertanian ke nonpertanian, kerusakan saluran irigasi, mengecilnya sumber air untuk penanaman padi, timbulnya kekeringan dan banjir akibat perubahan iklim dan sebagainya. Alih fungsi lahan setiap tahun mencapai 140 ribu ha sedangkan pertambahan lahan untuk pertanian hanya 100 ribu ha sehingga terjadi selisih 40 ribu ha luas lahan pertanian.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) berpengaruh terhadap pola makan bangsa Indonesia. Masyarakat Indonesia kini beralih mengonsumsi pangan karbohidrat beras ke pangan berbasis terigu yang mencapai rata-rata 21 kg per kapita per tahun pada tahun 2015. Konsumsi pangan berbasis terigu tersebut sebagian besar dalam bentuk mie, roti, dan aneka kue lainnya.

Upaya untuk menghambat laju konsumsi pangan beras dan terigu diusahakan menggunakan bahan baku lokal yang telah tersedia di antaranya; jagung, ubi kayu, dan sagu. Dua sumber karbohidrat yakni jagung dan ubi kayu sudah biasa digunakan sebagai bahan pangan. Demikian juga sagu banyak dikonsumsi sebagai pangan pokok di Indonesia bagian timur seperti pada masyarakat Papua, Maluku, Riau, dan sebagian Kalimantan Barat.

Untuk mengoptimalkan peran karbohidrat lokal seperti jagung, ubi kayu, dan sagu sebagai penyediaan pangan dalam mendukung program diversifikasi pangan, konsep penyediaannya disajikan pada Gambar 1.

Masyarakat

Indonesia kini

beralih mengonsumsi

pangan karbohidrat

beras ke pangan

berbasis terigu yang

mencapai rata-rata

21 kg per kapita per

(25)

Konversi lahan produktif 110

ribu ha/th Produktivitas padi terus menurun Pertambahan Penduduk Terbatasnya sumber air Diversifikasi Pangan Penyediaan Pangan Karbohidrat Intensifikasi dan Ekstensifikasi Pertanian

Mie, Beras Sagu

Pangan Lokal (Jagung, Ubu KayuSagu, dll)

Beras, Terigu Impor

Gambar 1. Alur pikir penyediaan pangan karbohidrat dan solusi penyediaannya

Penyediaan pangan nasional dalam bentuk beras dilakukan melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi. Sedangkan pangan lokal nonberas dapat dimanfaatkan dalam program diversifikasi. Program intensifikasi padi dipengaruhi oleh ketersediaan lahan subur, ketersediaan air untuk irigasi, sarana produksi (bibit, pupuk) dan produktivitas yang terus melandai. Apabila

terjadi kekurangan beras di dalam negeri, pemerintah merespons dengan segera melakukan impor. Hal ini menunjukkan ketergantungan terhadap beras sangat tinggi. Peran jagung, ubi kayu, dan sagu menjadi sangat penting guna mengurangi impor beras.

Dalam mengembangkan sumber karbohidrat nonberas seperti jagung, ubi kayu, dan sagu terdapat

persepsi bahwa mengonsumsi pangan karbohidrat nonberas memiliki status sosial yang rendah atau inferior. Selain itu terdapat imej bahwa yang dimaksudkan makan adalah makan nasi. Meski sudah mengonsumsi jagung, ubi kayu, sagu, atau roti sekalipun belum dianggap makan. Kondisi demikian merupakan hambatan sendiri untuk mengurangi konsumsi beras.

Dibutuhkan teknologi sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan

Peran jagung, ubi

kayu, dan sagu

menjadi sangat

penting guna

mengurangi impor

(26)

DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

nonberas dapat dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia sebagai makanan pokok dengan memanfaatkan sumber karbohidrat yang tersedia di Indonesia.

Outlook teknologi pangan 2016 disusun dengan tujuan agar menjadi sumber informasi dan acuan bagi instansi pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan masyarakat pada umumnya dalam pengembangan teknologi untuk mendukung diversifikasi pangan nasional jangka panjang. Selain itu dapat digunakan oleh pihak pemangku kepentingan untuk menyusun pola dan strategi pembangunan pemenuhan pangan secara komprehensif guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

1.2. Urgensi Pengembangan Pangan Sumber

Karbohidrat Nonberas

Ketersediaan pangan pokok yang mengandalkan beras saja tidak pernah akan mencukupi kebutuhan jumlah penduduk yang terus bertambah setiap tahun 1,49%. Kondisi ini akibat upaya peningkatan produksi beras selalu tertinggal saat mengimbangi populasi penduduk Indonesia. Pertumbuhan penduduk selalu mengikuti pola deret ukur, sedangkan peningkatan produksi pangan mengikuti pola deret hitung.

Sesuai dengan Nawacita No. 7 tentang Kemandirian Ekonomi, sudah selayaknya bangsa Indonesia harus mandiri dalam penyediaan pangan dan sedapat mungkin menghindari impor beras apabila terjadi gagal panen padi, akibat gangguan cuaca, maupun serangan hama. Data impor beras tahun 2015 periode Januari sampai dengan Agustus 2015 mencapai 225.028 ton dengan nilai sebesar 97 juta dolar Amerika.

Impor beras Indonesia dari Thailand terbesar mencapai 88,6 ribu ton, disusul Pakistan sebesar 78,6 ribu ton dan diikuti India, Vietnam, lalu Myamar. Impor dilakukan oleh pemerintah guna mengisi stok cadangan pangan dalam bentuk beras di Indonesia. Namun perlu disadari bahwa saat ini beras yang beredar di dunia jumlahnya terbatas dan negara-negara yang surplus beras juga mencoba menahan

Dibutuhkan

teknologi sebagai

salah satu upaya

untuk meningkatkan

pemanfaatan sumber

pangan karbohidrat

(27)

untuk mencukupi cadangan pangan di dalam negerinya. Oleh sebab itu, pemerintah perlu mengantisipasi ketersediaan pangan beras tersebut agar stok beras dalam negeri tetap terjaga yang dipenuhi melalui program intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi pangan.

Upaya penyediaan pangan melalui program diversifikasi dengan menyubstitusi pangan pokok dilakukan dengan memanfaatkan karbohidrat dari jagung, ubi kayu, dan sagu. Tetapi sejauh ini masalah ketersediaan pangan

pokok belum terpecahkan dengan baik. Substitusi pangan pokok dengan terigu justru menimbulkan masalah baru karena masyarakat beralih mengonsumsi roti yang terbuat dari terigu. Kita pahami bahwa mindset orang Indonesia untuk makanan pokok itu hanya berkutat di tiga komoditas; beras, mie, dan roti. Umumnya mie dan roti yang di-display di toko itu hampir 99% dari terigu. Padahal negara kita sama sekali tidak memiliki potensi terigu. Inilah yang menimbulkan masalah. Karenanya, impor terigu akan terus meningkat seirama dengan pertambahan penduduk. Hal tersebut tentu akan membahayakan kedaulatan pangan nasional.

Ketergantungan Indonesia pada gandum mengakibatkan pemborosan devisa sekaligus mematikan kehidupan petani penghasil pangan pokok dalam negeri. Kecenderungan semakin menguatnya ketergantungan pada terigu dan semakin mengecilnya (bahkan hilang) peranan pangan sumber karbohidrat jenis umbi-umbian dari kekayaan hayati dari bumi sendiri. Keberadaan sumber karbohidrat Indonesia seperti jagung, ubi kayu, dan sagu membutuhkan perhatian yang serius dan pelaksanaan yang lebih intensif untuk pengembangan pangan sumber karbohidrat nonberas dan nonterigu.

Dahrul Syah (2009) menyebutkan, pangan pokok mempunyai peran strategis dalam membangun konsumsi pangan masyarakat, terutama karena: 1) rata-rata kuantitas konsumsi pangan pokok sekitar 60% dari total bahan pangan yang dikonsumsi penduduk setiap hari; 2) rata-rata pengeluaran penduduk untuk pangan

Upaya penyediaan

pangan melalui

program

diversifikasi dengan

menyubstitusi

pangan pokok

dilakukan dengan

memanfaatkan

karbohidrat dari

jagung, ubi kayu, dan

(28)

DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

cukup dominan dalam menentukan inflasi; dan 4) kegagalan pemenuhan kebutuhan akan pangan pokok dalam sejarah bangsa Indonesia sering kali menjadi pemicu instabilitas nasional.

Sejarah menunjukkan bahwa awalnya kehidupan bangsa Indonesia biasa mengonsumsi makanan yang beragam dari aneka jenis sumber karbohidrat yang tersedia di Tanah Air sendiri sebagai pangan pokok. Saat ini, pangan pokok berubah dan cenderung monokultur, yaitu jenis padi-padian saja. Kesadaran mengonsumsi pangan pokok yang beragam menjadikan menu makanan harian lebih sehat dan bervariasi, perlu dihidupkan kembali menjadi gerakan bersama, sebab “Sumber pangan karbohidrat dari kekayaan hayati sendiri yang dijadikan makanan pokok merupakan fondasi kemandirian, keanekaragaman, dan pendukung ketahanan pangan

bangsa, dengan tidak menafikkan sumber pangan lainnya di dunia.

Dalam pertemuan para ahli pangan dan gizi dunia di Bangkok 1989 yang diselenggarakan oleh Food and Agriculture Organization (FAO/Badan Pangan Dunia) merumuskan perihal kebutuhan karbohidrat, protein, dan lemak untuk kecukupan asupan gizi seseorang agar produktif dan sehat. Dinyatakan bahwa kebutuhan pangan karbohidrat sebesar 57-68%; protein 10-13%; dan lemak 20-30%. Perumusan yang dinyatakan FAO yakni pangan karbohidrat >60% tersebut, menunjukkan bahwa kebutuhan pangan pokok (utama), yaitu kandungan karbohidratlah yang paling dominan. Pangan sumber karbohidrat adalah sumber tenaga bagi tubuh manusia.

Dengan demikian, kita menyadari bahwa pentingnya kita mengembangkan pangan sumber karbohidrat yang berbasis kekayaan hayati sendiri yang beragam dan dapat tumbuh di masing-masing daerah di bumi Indonesia ini menjadi keharusan agar ketergantungan pada pangan pokok beras dapat dihindari. Menjaga kearifan pangan lokal adalah sebuah kebiasaan yang harus membudaya bagi bangsa Indonesia.

1.3. Ruang Lingkup

(29)

Melihat kondisi demikian, diperlukan langkah guna mengantisipasi makin meredupnya pangan pokok berbasis komoditas lokal. Diversifikasi pangan karbohidrat menjadi solusi pemenuhan kebutuhan pangan yang sehat sesuai dengan kearifan lokal.

Buku ini mencoba mengulas peran teknologi dalam mengolah pangan lokal menjadi makanan pokok yang dapat menyubstitusi beras dan terigu. Pembahasan dimulai sejak hulu hingga hilir. Proyeksi konsumsi, produksi, dan distribusi hingga tahun 2045 menjadi bagian yang dipaparkan. Sedangkan karbohidrat yang dipilih adalah jagung, ubi kayu, dan sagu dipilih sebagai langkah diversifikasi pangan lokal dengan pertimbangan bahwa pangan lokal tersebut sudah dikenal sejak lama oleh bangsa kita.

1.4. Pengertian dan Batasan

Secara umum pengertian diversifikasi adalah sebuah program yang mendorong masyarakat untuk memvariasikan makanan pokok yang dikonsumsinya sehingga tidak terfokus pada satu jenis. Indonesia memiliki

beragam sumber karbohidrat dan tercatat sebanyak 77 jenis tanaman sumber karbohidrat dapat dimanfaatkan. Beberapa jenis sumber karbohidrat tersebut antara lain jagung, ubi kayu, sagu, ubi jalar, sukun, talas, sorghum, dan sebagainya yang dapat menjadi faktor pendukung utama diversifikasi pangan.

Diversifikasi pangan pada pemerintahan Indonesia

menjadi salah satu cara untuk menuju swasembada beras dengan minimalisasi konsumsi beras sehingga total konsumsi tidak melebihi produksi. Definisi diversifikasi pangan tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Diversifikasi pangan juga berperan dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat sehingga nutrisi yang diterima oleh tubuh dapat bervariasi dan seimbang.

1.5. Metodologi

Menyadari akan berbagai keterbatasan sumber data terutama tentang

Definisi diversifikasi

pangan tertuang

dalam

Peraturan

Pemerintah

No. 68

(30)

DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

dalam penyusunan outlook ini adalah dengan melalui berbagai pendekatan. Sumber pangan lokal banyak tersedia di wilayah kabupaten dan kadang juga tidak tercatat dengan baik. Oleh sebab itu, pendekatan untuk memperoleh data melalui sumber yang dapat dipercaya seperti; buku laporan, buku statistik, serta data dari media cetak maupun on-line.

(31)

BAB 2

POTRET

KONDISI PANGAN

(32)
(33)

POTRET

KONDISI PANGAN

SAAT INI

2.1. KONSUMSI

2.1.1. Produksi dan Kebutuhan Pangan Penduduk Indonesia

SEBAGAI negara kepulauan, Indonesia mempunyai luas wilayah 5.193.252 km2 yang terdiri dari daratan 1.904.569 km2 (36,67%) dan lautan 3.288.683 km2 (63,33%). Daratan terdiri dari gugus pegunungan dan gunung-gunung berapi, hutan, dan tanah dataran tinggi dan rendah yang banyak terdapat sungai dan tanahnya subur serta memiliki kekayaan tanaman pangan yang beragam.

(34)

DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

Tabel 2.1. Neraca Produksi dan Kebutuhan Beras per Provinsi tahun 2015

No Provinsi Produksi (Ton)2) Kebutuhan (Ton)2) Defisit (Ton)3)

1 Riau 247,144 728,345 481,201

2 Jambi 339,728 421,514 81,786

3 Kepulauan Babel 17,632 158,533 140,901

4 Kepulauan Riau 762 225 537

5 NTT 59,483 645,466 594,983

6 Kalimantan Timur 269,225 48,814 220,411

7 Kalimantan Utara 74,774 -

-8 Maluku 67,735 22,301 45,434

9 Maluku Utara 48,374 154,823 106,449

10 Papua 11,387 480,545 469,158

11 Papua Barat 21,058 132,401 111,343

Total 1,157,302 2,801,967 1,719,439

Sumber: 1) BPS 2015; 2) Hasil olahan dari jumlah penduduk (Kemendagri, 2015) dan rata-konsumsi nasional 124 kg/orang/tahun; 3) Hasil olahan produksi-kebutuhan

2.1.2. Pangan Pokok

Dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan, pengertian pangan pokok adalah pangan yang diperuntukkan sebagai makanan utama sehari-hari sesuai dengan potensi sumber daya dan kearifan lokal. Sedangkan pangan lokal adalah makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan kearifan lokal. Jenis makanan pokok pada umumnya adalah beras, jagung, ubi kayu, sagu, ubi jalar, dan umbi lainnya.

Pada saat ini, telah terjadi pergeseran pola pangan pokok yang ditunjukkan dengan perubahan pangsa energi dari masing-masing jenis pangan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat. Pada tahun 1950-an, walaupun beras sudah menjadi pangan pokok, pangan lokal seperti umbi-umbian dan jagung masih berperan juga menjadi pangan pokok. Namun, peran pangan lokal semakin lama semakin berkurang dan tergantikan dengan beras sebagai pangan pokok, bahkan terigu sebagai bahan pangan utama. Padahal, upaya peningkatan produksi beras dihadapkan pada banyak kendala, sehingga kemampuan memenuhi permintaan beras untuk konsumsi ke depan menjadi potensi masalah yang kritikal. Selain itu dari sisi kesehatan, beras tergolong pangan yang indeks glikemiksnya tinggi yang menjadi salah satu penyebab timbulnya penyakit degeneratif.

(35)

kapita, antara lain; pertumbuhan luas panen sangat terbatas karena laju perluasan lahan pertanian baru sangat rendah, konversi lahan pertanian ke nonpertanian sulit dikendalikan, degradasi sumber daya air dan kinerja irigasi serta turunnya tingkat kesuburan fisik dan kimia lahan pertanian, serta adanya gejala stagnan dalam pertumbuhan produktivitas.

Beras adalah salah satu pangan strategis di dunia yang dikonsumsi oleh sekitar 3 miliar orang setiap harinya. Di Asia, beras merupakan makanan pokok bagi sekitar 600 juta penduduk. Lebih dari 60 persen penduduk dunia

atau satu miliar orang yang tinggal di Asia bergantung pada beras sebagai makanan pokok termasuk di Indonesia.

Gambaran konsumsi beras per kapita negara-negara di Asia adalah sebagai berikut: Indonesia 124 kg/ kapita/tahun, Korea 40 kg/kapita/tahun, Jepang 50 kg/ kapita/tahun, Malaysia 80 kg/kapita/tahun, Thailand 70

kg/kapita/tahun dan rata- rata konsumsi beras dunia sebesar 60 kg/kapita/tahun. Tingginya konsumsi beras bangsa Indonesia tersebut memunculkan sebuah ungkapan di negeri ini yang menyebutkan bahwa belum makan kalau belum makan nasi itu ada benarnya. Sesuatu yang kontras dengan potensi 77 jenis sumber karbohidrat yang tumbuh subur di negeri yang bergelar zamrud khatuliswa ini.

Berdasarkan gambaran konsumsi beras di Asia, Indonesia termasuk konsumen beras terbesar di Asia. Beberapa upaya untuk mengurangi konsumsi beras sudah dilakukan sejak tahun 1950-an dan gambaran perkembangan konsumsi pangan pokok masyarakat Indonesia sejak tahun 1954 sampai saat ini disajikan pada tabel 2.2 di bawah ini:

Tabel 2.2 Perkembangan Pola Konsumsi Pangan Pokok di Indonesia 1954–2014

Tahun Pola Konsumsi Pangan Pokok

1954

1987

1999

2010-2014

Konsumsi beras (53,5%), ubi kayu (22,6%), jagung (18,9%)

Pergeseran konsumsi beras (81,1%), ubi kayu (10,0%), jagung (7,8%) Pergeseran berlanjut, jagung hanya 3,1%, dan ubi kayu 8,8%

Pangsa nonberas (ubi kayu, jagung, sagu, dll) ‘’hampir tidak ada’’, diganti oleh

terigu (naik 500% dalam waktu 30 tahun)

Konsumsi (kg/kapita/tahun): beras 114 , terigu 14,5 , sagu 0,41 , jagung 2,05,

Pangan lokal adalah

makanan yang

dikonsumsi oleh

masyarakat setempat

sesuai dengan potensi

(36)

DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

Perubahan pola pangan masyarakat Indonesia dari dominan pangan lokal seperti jagung, umbi-umbian, dan sagu berubah ke arah pola pangan nasional (beras), kemudian berubah ke arah pola pangan internasional (berbasis terigu). Pola pangan yang demikian selain berdampak negatif bagi kesehatan masyarakat karena konsumsi pangannya makin jauh dari pola gizi seimbang yang diinginkan juga berdampak negatif bagi neraca perdagangan pangan. Kecenderungan konsumsi terigu dan turunannya yang meningkat terus berpengaruh pada peningkatan impor gandum atau terigu. Akibatnya, devisa negara akan terkuras hanya untuk mengimpor gandum.

Kebijakan impor gandum yang dilakukan secara masif dan berkelanjutan berbeda dengan kebijakan pengembangan pangan lokal yang dilakukan secara parsial. Hal tersebut mengakibatkan konsumsi terigu dan turunannya (mie basah, mie instan, dan aneka kue) terus mengalami peningkatan yang tajam. Gandum sebagai bahan baku utamanya, 100% didatangkan dari luar negeri melalui mekanisme impor. Penduduk Indonesia mengonsumsi mie instan per orang sebesar 63 bungkus/tahun. Sedangkan Korea Selatan mengonsumsi 69 bungkus/orang/tahun, Jepang 39,9 bungkus /orang/ tahun, dan Cina konsumsi per kapita hanya 32 bungkus /orang/tahun (Yahoo Indonesia, 2013).

2.1.3. Diversifikasi Konsumsi Pangan

Bicara diversifikasi pangan, tentu tak lepas dari peran pemerintah terkait dengan ketahanan pangan negara. Untuk itu, diversifikasi pangan menjadi bagian penting untuk menjaga agar ketahanan dan kedaulatan pangan tetap kokoh terjaga. Implementasinya adalah dengan kebijakan yang digulirkan oleh pemerintah mulai Perpres hingga Perbup atau Perwal yang mendukung percepatan penganekaragaman pangan lokal.

Berdasarkan kebijakan dari pemerintah tersebut, Program Diversifikasi Pangan menjadi salah satu kontrak kerja antara Menteri Pertanian dengan Presiden dengan tujuan untuk meningkatkan keanekaragaman pangan sesuai dengan karakteristik

Tindak lanjut dari

Peraturan Presiden

(Perpres) No.

22 Tahun 2009

tentang Kebijakan

Percepatan

Penganekaragaman

Konsumsi Pangan

Berbasis Sumber

(37)

daerah. Kontrak kerja tersebut merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden (Perpres) No. 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal yang ditindaklanjuti oleh Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 43 Tahun 2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) Berbasis Sumber Daya Lokal.

Peraturan tersebut menjadi acuan yang dapat mendorong percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal melalui kerja sama sinergis antara pemerintah dan pemerintah daerah. Di tingkat provinsi, kebijakan tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Gubernur (Pergub) dan di kabupaten/kota ditindaklanjuti dengan Peraturan Bupati/Walikota (Perbup/Perwal).

Diversifikasi konsumsi pangan secara sederhana dapat dikatakan sebagai upaya peningkatan keanekaragaman konsumsi pangan ke arah yang sesuai prinsip atau kaidah gizi seimbang sehingga kualitas pangan menjadi semakin baik. Oleh karena itu, salah satu ukuran untuk mengetahui tingkat diversifikasi konsumsi pangan dikenal dengan konsep Pola Pangan Harapan (PPH). Semakin tinggi skor PPH mengindikasikan konsumsi pangan semakin beragam dan bergizi seimbang (maksimal 100).

Skor PPH sebetulnya meningkat dari tahun ke tahun, pada tahun 2007 dan 2008 mencapai skor 80-an, namun untuk tahun-tahun berikutnya skor PPH mengalami penurunan. Capaian skor PPH semakin jauh dari target yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Padahal pemerintah telah menetapkan kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal yang ditindaklanjuti dengan Gerakan Percepatan Penganekaragaman Pangan. Konsumsi Pangan berbasis Sumber daya Lokal oleh Kementerian Pertanian, dengan target terjadi penurunan konsumsi beras sebesar 1,5% /tahun dan kenaikan skor PPH sebesar 1%/tahun.

(38)

DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

tahun 1994, konsep PPH pertama kali yang diterapkan di Indonesia berdasarkan hasil kesepakatan para ahli di bidang pangan dan gizi diakomodasi oleh Menteri Negara Pangan.

Secara detail, persentase energi dari masing-masing kelompok pangan, pembobotan (bobot) yang digunakan dan skor dari masing-masing kelompok. PPH merupakan manifestasi konsep gizi seimbang yang didasarkan pada konsep Triguna Makanan. Keseimbangan jumlah antarkelompok pangan merupakan syarat terwujudnya keseimbangan gizi. Dalam PPH, pangan dikelompokkan menjadi sembilan kelompok pangan, yaitu kelompok: (a) padi-padian, (b) umbi-umbian, (c) pangan hewani, (d) minyak dan lemak, (e) buah dan biji berminyak, (f) kacang-kacangan, (g) gula, (h) sayuran dan buah-buahan, (i) lain-lain.

Konsep Pola Pangan Harapan (PPH)

Sesuai dengan kegunaannya, makanan dikelompokkan dalam tiga kelompok (Tri Guna Makanan) yaitu makanan sebagai sumber zat tenaga, zat pembangunan dan zat pengatur. Oleh karena itu, pangan yang dikonsumsi sehari-hari harus dapat memenuhi fungsi makanan tersebut. Semua zat gizi yang diperlukan oleh tubuh dapat diperoleh dengan mengonsumsi pangan yang beraneka ragam dalam jumlah yang cukup dan seimbang. Hal ini disebabkan karena tidak ada satu jenis bahan makanan yang dapat menyediakan zat gizi secara lengkap.

Pola Pangan Harapan (PPH) atau desirable dietary pattern (DDP) adalah susunan beragam pangan atau kelompok pangan yang didasarkan atas sumbangan energinya dan zat gizi pada komposisi yang seimbang, baik secara absolut maupun relatif, terhadap total energi baik dalam hal ketersediaan maupun konsumsi pangan yang mampu mencukupi kebutuhan dengan mempertimbangkan aspek-aspek sosial, ekonomi, budaya, agama, cita rasa.

Konsep PPH mencerminkan susunan konsumsi pangan anjuran untuk hidup sehat, aktif, dan produktif. Dengan pendekatan PPH, mutu pangan dapat dinilai berdasarkan skor pangan dari 9 bahan pangan. PPH dapat digunakan untuk

Konsep PPH

mencerminkan

susunan konsumsi

(39)

menilai jumlah dan komposisi konsumsi atau ketersediaan pangan, indikator mutu gizi dan keragaman konsumsi atau ketersediaan pangan, sebagai baseline

data untuk mengestimasi kebutuhan pangan ideal di suatu wilayah, baseline data untuk menghitung proyeksi penyediaan pangan ideal untuk suatu wilayah, serta perencanaan konsumsi, kebutuhan, dan penyediaan pangan wilayah.

Dengan terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai dengan PPH, secara implisit kebutuhan zat gizi lainnya juga terpenuhi. Oleh karena itu, skor PPH mencerminkan mutu gizi konsumsi pangan dan tingkat keragaman konsumsi pangan. Untuk tingkat nasional telah disepakati susunan Pola Pangan Harapan (PPH) berdasarkan hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VIII tahun 2004 sebagai acuan dalam pembangunan pangan dan gizi. Angka Kecukupan Energi (AKE) di tingkat konsumsi sebesar 2.000 Kkal/kap/hari, dan 2.200 Kkal/kap/hari di tingkat ketersediaan. Sedangkan Angka Kecukupan Protein (AKP) di tingkat konsumsi adalah sebesar 52 gram/kap/hari, dan 57 gram/kap/hari di tingkat ketersediaan. Perhatikan tabel di bawah ini:

Tabel 2.3. Pola Pangan Harapan Tahun 2010-2014

TAHUN PPH PERTUMBUHAN

2010 2011 2012 2013

85,7 85,6 83,5 81,4

(0,1) (2,1) (2,1)

Rata-rata

2010 – 2014 84,93 1,42

Sasaran 2013 91,5

Sumber : Renstra Kementan Tahun 2015-1019

(40)

DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

Belum tercapainya sasaran tersebut diduga akibat tingginya konsumsi padi-padian, minyak, dan lemak. Selain itu juga disebabkan masih rendahnya konsumsi sayur-buah, umbi-umbian, pangan hewani, dan kacang-kacangan. Pada tahun 2014, konsumsi pangan bersumber dari padi-padian mencapai 59,48% dari total konsumsi energi penduduk. Beras masih mendominasi konsumsi pangan masyarakat yang bersumber dari karbohidrat.

Pola pangan masyarakat yang mengacu pada Pola Pangan Harapan dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan pelaksanaan program diversifikasi pangan. Diversifikasi pangan adalah suatu proses pemanfaatan dan pengembangan suatu bahan pangan sehingga penyediaannya semakin beragam. Program diversifikasi bukan bertujuan untuk mengganti bahan pangan pokok beras dengan sumber karbohidrat lain, tetapi untuk mendorong peningkatan sumber zat gizi yang cukup kualitas dan kuantitas, baik komponen gizi makro maupun gizi mikro.

Latar belakang pengupayaan diversifikasi pangan adalah melihat potensi negara kita yang sangat besar dalam sumber daya hayati. Diversifikasi pangan merupakan solusi untuk mengatasi ketergantungan masyarakat di Indonesia terhadap beberapa jenis bahan pangan yakni beras atau terigu.

2.2. Ketersediaan Pangan Karbohidrat

Indonesia merupakan negara terbesar nomor 2 yang memiliki keanekaragaman hayati termasuk sumber karbohidrat. Badan Ketahanan Pangan (2016) mencatat bahwa Indonesia memiliki 77 jenis tanaman sebagai sumber karbohidrat, 75 jenis tanaman sumber lemak, 26 jenis tanaman penghasil kacang-kacangan, 389 jenis tanaman penghasil buah-buahan sebagai sumber mineral yang dibutuhkan tubuh. Selanjutnya terdapat 228 jenis tanaman sayuran sebagai sumber serat serta 110 jenis rempah-rempah dan bumbu. Sumber-sumber tersebut belum dimanfaatkan secara optimal dan menjadi peluang untuk pengembangan penganekaragaman konsumsi pangan.

Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan memiliki keanekaragaman kearifan lokal memiliki sumber karbohidrat untuk memasok energi tubuh yang

Pada tahun 2014,

konsumsi pangan

bersumber dari

padi-padian mencapai

59,48% dari total

konsumsi energi

(41)

bervariasi. Secara tradisional masyarakat telah memanfaatkan karbohidrat yang tumbuh baik di daerah masing-masing seperti ubi kayu, ubi jalar, pisang, jagung, sukun, ganyong, sagu, talas, gembili, dan sebagainya. Gambaran sumber karbohidrat yang secara turun temurun dimanfaatkan masyarakat disajikan pada Gambar 2.1 di bawah ini:

Gambar 2.1. Bentuk aneka sumber karbohidrat yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat secara turun-temurun

Meski jumlah karbohidrat yang digunakan masyarakat mencapai 77 jenis sebagai sumber energi dalam menu konsumsinya namun dalam kenyataannya yang relatif masih bertahan terdapat beberapa jenis sumber karbohidrat yang memang dikenal sebagai pangan lokal. Komoditas tersebut meliputi; jagung, ubi kayu, dan sagu.

(42)

DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

N T T - NTB Kab. Lembata, Kab. Flores Timur , Kab.

TTS, Kab. TTU Kab. Alor, Kab. Ende (1.645.054 Ton)

GORONTALO (643.512 Ton)

Sulawesi Utara, Tengah, Tenggara,

Selatan

JAWA TIMUR

Kab. Kediri, Kab. Bangkalan, Kab. Tulung Agung, Kab. Lumajang, Kab.

Ponorogo (6.131.163 Ton)

JAWA TENGAH

Kab. Magelang, Kab. Temanggung, Kab. Semarang, Kab. Boyolali, Kab. Batang

(3.212.391 Ton) Sumatera Utara, Sumatera

Barat, Sumatera Selatan (2.410.963 Ton )

LAMPUNG

1.502.800

Gambar 2.2. Peta distribusi jagung

Sedangkan sumber pangan ubi kayu terkonsentrasi di Sumatera Utara, Bangka Belitung, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Nusa tenggara Barat, Sulawesi Tenggara dan Maluku seperti yang ditampilkan pada gambar di bawah ini:

LAMPUNG

Kab. Lampung Timur, Kab Lampung Utara, Kab. Lampung Tengah, Kab. Tulang Bawang (7.387.084 Ton)

BANGKA BELITUNG

Kab. Bangka Barat, Kab. Bangka, Kab. Belitung, Belitung Timur (35.024 Ton)

SUMATERA UTARA

Kab. Serdang Bedaga 1.619.495 Ton)

KALTENG - KALBAR

(219.151 Ton)

KALTIM - KALSEL

(124.717 Ton)

D I Y

Kab. Bantul, Kab. Kulon Progo, kab. Gn. Kidull (873.362 ton)

SULTRA - SULSEL (741.053 Ton)

MALUKU

Kab. Maluku Tenggara Barat, Kab. Maluku Tenggara

(254.944 Ton)

JAWA TIMUR

Kab. Trenggalek, Kab. Malang, Kab. Pacitan

(3.161.573 Ton).

NTB - NTT

Kab. Lombok Barat, Kab. Lombok Tengah, Kab. Lombok Timur, Kab.

Sumbawa Barat (744.569 Ton)

JAWA BARAT

(2.000.224 Ton)

JAWA TENGAH

Kab. Banjarnegara, Kab. Boyolali, Kab. Kebumen, Kab. Wonogiri

(3.571.594 Ton)

Gambar 2.3. Peta distribusi ubi kayu

(43)

Barat yang ditampilkan dengan gambar di bawah ini:

R I A U

Kab. Pekanbaru (124.320 Ton) KALBAR Kab. Pontianak (29.580 Ton) KALSEL

(107.060 Ton)

SULTRA

Kota Kendari (99.020 Ton)

PAPUA

Kab. Keerom, Kab. Jayapura

(56.078.800 Ton)

MALUKU

Kota Ambon, Kab. Seram bag timur, Kab. Maluku tengah

( 34.300 Ton)

PAPUA BARAT

Kab. Sorong selatan (7.387.640 Ton)

KEP. RIAU

Kab. Karimun, Kab. Natuna (114.400 Ton)

SULAWESI TENGAH

Kab. Parigi Moutong, Kota Poso (141.900 Ton)

SULAWESI BARAT

(36.040 Ton)

Gambar 2.4. Peta distribusi sagu

2.3. Produksi Pangan Utama

Menyadari pangan pokok bangsa Indonesia ini mayoritas adalah beras, upaya pemerintah dalam penyediaan pangan pokok sangat fokus terhadap penyediaan beras. Berbagai program baik di tingkat perencanaan nasional seperti di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) program penyediaan pangan terutama dari tanaman padi sangat dominan. Selanjutnya untuk mendukung ketersediaan jagung sebagai penyedia pakan ternak prioritas kedua, dan prioritas ketiga adalah kedelai. Oleh sebab itu, program Kabinet 2015-2019 adalah “Pajale” (Padi, Jagung, dan Kedelai).

Selain Pajale, ketersediaan bawang merah dan cabe juga sering mengalami gangguan pasokan, dengan demikian program fokus yang dikerjar adalah padi, jagung, daging sapi, kedelai, bawag merah dan cabe dan disingkat menjadi “Pajale Babe”.

(44)

DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

Tabel 2.4. Produksi padi , jagung dan kedelai tahun 2010-2014

No Komoditas

2010 2011 2012 2013 2014 Rerata

Pertumbuhan

(%) (ribu ton)

1 Padi

Jawa 36.375 34.405 36.527 37.493 36.659 0,29

Luar Jawa 30.094 31.352 32.529 33.787 34.173 3,24

Indonesia 66.469 65.757 69.056 71.280 70.832 1,63

2 Jagung

Jawa 9.944 9.467 10.712 10.095 10.159 0,81

Luar Jawa 8.383 8.176 8.675 8.416 8.874 1,52

Indonesia 18.328 17.643 19.387 18.512 19.033 1,11

3 Kedelai

Jawa 633 574 604 522 622 0,37

Luar Jawa 274 277 240 258 332 5,98

Indonesia 907 851 844 780 954 1,93

Sedangkan gambaran produktivitas berbagai komoditas pangan utama tahun 2010 sampai tahun 2014 disajikan pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5. Perkembangan Produktivitas Beberapa Komoditas Pangan Utama Tahun 2002-2014

No Komoditas

Produktivitas (Kuintal/Ha) Pertumbuhan

2002 2007 2012

2002-2007

(%)

2007-2012

(%)

1 Padi sawah 46,76 49,09 51,36 4,98 4,62

2 Jagung 30,88 36,61 48,99 18,56 33,82

3 Ubi Kayu 132,00 165,00 214,02 25,00 29,71

4 Kedelai 12,36 12,91 14,85 4,45 15,03

5 Kacang Tanah 11,10 11,95 12,74 7,66 6,61

6 Ubi Jalar 100,00 106,52 139,29 6,52 30,76

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2008 dan 2015 (diolah).

(45)

2.4. Impor Pangan Utama

Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa. Tidak sedikit negara yang memiliki sumber daya alam dan sumber ekonomi yang cukup memadai namun mengalami kehancuran karena tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan bagi rakyatnya. Di samping sebagai kebutuhan dasar masyarakat, pangan juga merupakan “komoditas politik”. Dengan adanya ketergantungan impor pangan, suatu bangsa akan sulit lepas dari cengkeraman negara pengekspor pangan yang dikenal dengan istilah “food trap”. Sehingga upaya

untuk mencapai kemandirian dalam pemenuhan pangan nasional harus dipandang sebagai bagian dari kedaulatan dan ketahanan nasional.

Berdasarkan data Susenas 2014 dan 2015, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, jumlah penduduk Indonesia mencapai 254,9 juta jiwa. Jumlah tersebut naik dari 2014 yang berjumlah 252 juta jiwa. Hal ini tentunya akan menuntut besarnya bahan pangan yang harus tersedia. Beberapa upaya telah dilakukan pemerintah antara lain dengan meningkatkan produksi pangan nasional. Namun pada kenyataannya upaya tersebut

masih dihadapkan pada beberapa kendala, antara lain: rendahnya laju peningkatan produksi pangan di Indonesia yang disebabkan oleh masih rendahnya produktivitas tanaman pangan serta penurunan luas areal penanaman dan panen yang stagnan, khususnya lahan pertanian di Pulau Jawa.

Penetapan kebijakan impor oleh pemerintah, lebih ditujukan dalam penyelamatan perekonomian nasional melalui pengendalian harga dan ketersediaan komoditas untuk menekan inflasi sebagai upaya untuk mencapai perekonomian nasional yang stabil melalui stabilitas konsumsi. Pemerintah mengharapkan agar ketersedian pangan tetap terjaga, harga terkendali, stabilitas harga tercapai, dan inflasi bisa ditekan karena konsumsi atau daya beli tetap tinggi dengan cara tetap memperlancar arus impor.

Namun pada kenyataannya, kebijakan impor yang telah ditetapkan pemerintah

Saat ini Indonesia

menjadi salah

satu negara yang

menggantungkan

kebutuhan

pangannya dari

impor seperti beras,

jagung, kedelai, gula,

kacang tanah, dan

(46)

DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

komoditas impor, dan akhirnya merugikan petani lokal. Kebijakan pemerintah tersebut sangat mempengaruhi ketersediaan dan harga komoditas lokal,. Sebagai contoh harga kedelai dan sapi impor naik karena produksi lokal berkurang, namun jika tidak dilaksanakan maka harga komoditas lokal akan anjlok karena produksi lokal berlebihan. Masalah utamanya adalah terjadinya ketidakseimbangan antara ketersedian dan pengaturan harga oleh pemerintah. Akibat over suplai pangan dari impor, seringkali memaksa harga jual hasil panen petani menjadi rendah tidak sebanding dengan biaya produksinya, sehingga petani terus menanggung kerugian.

Saat ini Indonesia menjadi salah satu negara yang menggantungkan kebutuhan pangannya dari impor seperti beras, jagung, kedelai, gula, kacang tanah, dan lainnya. Hal tersebut akan berlanjut terus apabila tidak ada “revolusi” dalam bidang pertanian. Di bawah ini ditampilkan data impor pangan Januari hingga Agustus 2015.

Tabel 2.6. Impor Pangan Indonesia Per Januari-Agustus 2015

Komoditas Jumlah

(Ton)

Nilai (US$)

Beras 225.029 97.800.000

Jagung 2.300.000 522.900.000

Kedelai 1.520.000 719.800.000

Biji gandum dan meslin 4.500.000 1.300.000.000

Tepung terigu 61.178 22.300.000

Gula pasir 46.298 19.500.000

Gula tebu (Raw sugar) 1.980.000 789.000.000

Garam 1.040.000 46.600.000

Sumber: Badan Pusat Statistik (Diolah)

(47)

Di bawah ini disuguhkan pula data impor beras Indonesia pada rentang Januari-Agustus 2015

Tabel 2.7. Impor Beras Indonesia Periode Januari-Agustus 2015

Negara Asal Jumlah

(Ton)

Nilai (US$)

Thailand 88.622 47.700.000

Pakistan 78.658 27.100.000

India 27.645 10.100.000

Vietnam 22.777 9.600.000

Myanmar 5.775 1.800.000

Lainnya 1.551 1.300.000

Sumber: Badan Pusat Statistik (Diolah)

Impor jagung Indonesia periode Januari-Agustus 2015 mencapai 2,385 juta ton dengan nilai US$ 522,9 juta atau sekitar 7,3 triliun rupiah. Jumlah tersebut meningkat 23% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Argentina merupakan negara pengekspor jagung terbesar ke Indonesia dengan total 1,464 juta atau senilai US$ 310,1 juta. Berikut ditampilkan impor jagung Indonesia periode Januari-Agustus 2015:

Tabel 2.8. Impor Jagung Indonesia Periode Januari-Agustus 2015

Negara Importir Jumlah(Ton) (US$)Nilai

Argentina 1.464.000 310.100.000

Brasil 786.602 171.900.000

India 96.892 24.200.000

Amerika Serikat 33.415 8.330.000

Thailand 1.987 5.240.000

Sumber: Badan Pusat Statistik (Diolah 2015)

(48)

DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

pada tahun sebelumnya. Berdasarkan data BPS, periode Januari hingga Agustus 2015, impor kedelai mencapai 1.525.748 ton dengan nilai US$ 719.807.624. Jumlah ini turun tipis. Periode yang sama di 2014 yang mencapai 1.564.163 dengan nilai US$ 947.245.608. Negara pengekspor kedelai terbesar ke Indonesia adalah Amerika Serikat (AS), Kanada, Malaysia, Cina, dan Uruguay.

2.5. Distribusi Pangan

Aksesbilitas merupakan salah satu subsistem ketahanan pangan yang berfungsi untuk mewujudkan distribusi pangan yang efektif dan efisien agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Dengan demikian, aksesbilitas pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk dapat menjangkau/mendapatkan pemenuhan

kebutuhan pangan sepanjang waktu; jumlah, mutu, aman, serta keragaman guna menunjang hidup yang aktif, sehat, dan produktif.

Distribusi pangan merupakan salah satu aspek strategis dalam subsistem aksesbilitas pangan. Apabila tidak dapat terselenggara secara baik dan lancar, bahan pangan yang dibutuhkan masyarakat tidak akan terpenuhi. Distribusi pangan ini diharapkan dapat terlaksana secara efektif, efisien, dan merata di setiap lokasi berlangsungnya transaksi bahan pangan. Distribusi pangan harus mampu menjamin tersedianya pangan dan pasokannya secara merata sepanjang waktu baik jumlah, mutu yang aman dan beragam untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.

Beberapa masalah pangan yang umum dihadapi adalah keadaan kelebihan pangan, kekurangan pangan, dan ketidakmampuan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan pangan. Masih adanya penduduk miskin, daerah rawan pangan, produksi pangan yang dihasilkan tidak merata antarwilayah dan sepanjang waktu, dan potensi SDA yang berbeda di masing-masing daerah akan berpengaruh terhadap distribusi dan pasokan bahan pangan. Distribusi pangan semakin penting peranannya karena adanya kesenjangan antara produksi dan kebutuhan pangan di setiap wilayah yang tidak semua wilayah tersebut mampu berswasembada pangan.

Distribusi pangan

merupakan salah

satu aspek strategis

(49)

Situasi ketahanan pangan di negara kita masih lemah. Selain adanya kesenjangan antara produksi dan kebutuhan pangan di setiap wilayah juga disebabkan oleh faktor kemiskinan yang menyebabkan daya belinya rendah dan lebih jauh lagi berdampak terhadap pemenuhan kebutuhan kalori dan gizi.

Tersedianya pangan bukan berarti masyarakat mampu memperoleh pangan karena keterbatasan daya beli masyarakat yang rendah akibat kemiskinan. Kebijakan distribusi beras yang dilakukan oleh Pemerintah dikaitkan dengan upaya memperkuat daya beli masyarakat untuk memperkuat aksesibilitas pangan dan managemen cadangan beras nasional.

Kebijakan yang diambil oleh pemerintah adalah meningkatkan daya beli masyarakat miskin dalam mencukupi kebutuhan pangan beras melalui Program Beras untuk Orang Miskin (Raskin). Bantuan yang diberikan kepada Rumah Tangga Sasaran (RTS) dalam Program Raskin adalah beras sebanyak 15 kg/bulan dengan harga tebus Rp1.600/kg yang diterima di Titik Bagi. Angka kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi yaitu berkisar 11,25 % atau sebanyak 28,28 juta orang pada tahun 2014 (Lampiran 2.1.).

Pada tahun 2015 angka kemiskinan sebesar 11,22% atau sebanyak 28,59 juta orang (BPS, 2015) dan Pemerintah pada tahun 2015 telah menetapkan sasaran program raskin dengan memberikan bantuan beras sebanyak 15 kg/bulan dengan harga tebus Rp1.600/kg kepada 15.530.897 RTS. Jumlah tersebut setara dengan 2,8 juta ton beras yang disalurkan kepada 15.530.897 RTS diseluruh Indonesia. Jika setiap RTS terdiri dari 4 orang, berarti Program Raskin telah mendistribusikan bantuan beras kepada 62,12 juta orang. Gambaran program Raskin pada tahun 2015, RTS mencapai 15,53 juta dengan pangan Raskin sebesar 2,8 juta ton, ditambah Raskin ke 13 dan ke 14 masing-masing sebanyak 232 ribu ton. Rincian pangan untuk Raskin disajikan pada Lampiran 2.2.

(50)

DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

masyarakat miskin dalam mencukupi kebutuhan pangan juga berpengaruh terhadap stabilisasi harga beras nasional dan inflasi. Gambaran tentang jumlah dan anggaran untuk raskin disajikan pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5. Diagram Penerima Raskin dan anggaran Raskin dari tahun 2005-2015

(51)

Gambar 2.6. Mekanisme penyaluran raskin di lapangan

Selain bantuan beras untuk Rumah Tangga Miskin, Pemerintah juga setiap tahun mengalokasikan cadangan beras yang disebut Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang disimpan di gudang Bulog untuk tujuan memenuhi kebutuhan pangan dalam penanggulangan keadaan darurat bencana, penanganan kerawanan pangan pascabencana, kerjasama internasional bantuan sosial dan kepentingan lain yang terkait dengan bantuan sosial serta operasi pasar apabila terjadi gejolak harga di pasaran. Penggunaan cadangan beras pemerintah untuk bantuan sosial merupakan otoritas Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan diatur oleh Permenko Kesra Nomor 03 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah untuk Bantuan Sosial.

(52)

DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

Gubernur diberikan kewenangan sebesar 200 ton untuk penanganan tanggap darurat di wilayahnya. Sedangkan operasi pasar merupakan kewenangan Menko Perekonomian yang diatur oleh SKB Menko Kesra dan Menko Perekonomian nomor: Kep 46/M.EKON/08/2005 dan Nomor: 34/KEP/MENKO/KESRA/VIII/2005. Gambaran jumlah realisasi dan cadangan beras per provinsi disajikan pada Lampiran 2.3.

2.6. KEBIJAKAN PANGAN SAAT INI

Berdasarkan data dan berbagai penelusuran informasi tentang kebijakan pangan maka yang tertera dalam program di Bappenas maupun Kementerian Pertanian difokuskan pada penyediaan beras, daging, kedelai, dan gula. Oleh sebab itu semua dokumen yang tertulis sampai pada tahun 2019 mengacu pada Nawacita yang telah ditentukan oleh Presiden. Program Nawacita Pemerintah No. 7 yaitu Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

Untuk melihat dari sisi dukungan kebijakan yang tergambar di arah kebijakan dan strategi Pembangunan Pertanian 2015 s/d 2019 adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan Agroindustri yang terdiri dari:

a. Meningkatnya PDB industri pengolahan makanan dan minuman serta produksi komoditas andalan ekspor dan komoditas prospektif.

b. Meningkatnya jumlah sertifikasi untuk produk pertanian dan ekspor. c. Berkembangnya agroindustri terutama di perdesaan.

2. Peningkatan kedaulatan pangan yang terdiri dari:

a. Peningkatan ketersediaan pangan melalui penguatan kapasitas produksi dalam negeri yang meliputi komoditas padi, jagung, kedelai, daging, gula, bawang merah, dan cabai (Pajele Babe).

b. Peningkatan kualitas distribusi konsumsi pangan dan gizi masyarakat c. Mitigas gangguan terhadap ketahanan pangan untuk mengantisipasi

bencana alam dan dampak perubahan iklim dan serangan organisme tanaman dan penyakit hewan.

d. Peningkatan kesejahteraan pelaku utama penghasil bahan pangan.

(53)

a. Swasembada padi, jagung, kedelai serta peningkatan produksi daging dan gula.

b. Peningkatan diversifikasi pangan.

c. Peningkatan nilai tambah, daya saing, ekspor dan subsitusi ekspor. d. Penyediaan bahan baku dan bioenergi.

e. Peningkatan kesejahteraan petani.

Terkait dengan pangan pokok lokal maka kegiatan pembuatan Outlook

Teknologi Pangan Diversifikasi Pangan Karbohidrat ini akan mendukung program

besar tentang peningkatan diversifikasi pangan. Sejatinya sumber pangan pokok karbohidrat Indonesia cukup banyak dan secara kearifan lokal sudah teruji secara empiris. Oleh sebab itu, untuk mengangkat keberadaan sumber karbohidrat lokal tersebut perlu dukungan teknologi yang memadai.

2.7. DIVERSIFIKASI PANGAN

Keberhasilan swasembada beras pada 1994 dan program bantuan beras untuk keluarga miskin telah mengubah pola makan masyarakat kita menjadi pengonsumsi beras terbesar nomor 4 di dunia. Demikian juga

dengan konsumsi terigu, yang 100 persen merupakan komoditas impor dan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Sementara di sisi lain, kita memiliki sumber daya lokal spesifik lokasi yang berlimpah sedangkan pemanfaatannya belum maksimal sebagai bahan pangan nonberas dan nonterigu. Bahan pangan lokal, seperti: jagung, ubi kayu, sagu, dan berbagai jenis umbi-umbian merupakan sumber karbohidrat alternatif selain beras yang dapat dijadikan sumber pangan potensial dalam upaya mendukung program ketahanan pangan.

Dalam beberapa tahun ke depan produksi pangan, khususnya pangan karbohidrat tidak saja

untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga diarahkan untuk program penganekaragaman pangan (diversifikasi pangan) dan pangan lokal. Hal tersebut sejalan dengan Rencana Strategis Kebijakan Pangan Nasional yang diarahkan pada terwujudnya sistem pertanian berkelanjutan yang menghasilkan beragam

kita memiliki

sumber daya lokal

spesifik lokasi

yang berlimpah

sedangkan

pemanfaatannya

belum maksimal

sebagai bahan

pangan nonberas dan

(54)

DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani. Salah satu sasaran strategisnya adalah peningkatan diversifikasi pangan, antara lain pangan karbohidrat. Beberapa sumber pangan lokal yang dapat dikembangkan di antaranya adalah jagung, ubi kayu, dan sagu.

Saat ini masyarakat Indonesia masih mengonsumsi beras sebagai pangan pokok. Diversifikasi sumber pangan seperti; jagung, ubi jalar, dan ubi kayu sebagai sumber karbohidrat dikonsumsi masih sebatas sebagai panganan, sehingga konsumsinya masih jauh di bawah konsumsi beras.

Tingkat konsumsi ubi kayu dan jagung saat ini masih relatif rendah dibandingkan dengan konsumsi beras, masing-masing 9,6 kg/kapita/tahun dan 4,0 kg/kapita/tahun (BPS). Konsumsi tersebut dapat ditingkatkan, baik melalui penyediaan tepung pangan lokal sebagai produk industri hulu, maupun melalui penganekaragaman produk

pangan olahannya seperti beras, mie, dan makaroni yang berbahan baku jagung atau singkong. Dengan demikian ketergantungan terhadap beras akan dapat dikurangi.

Namun di dalam pelaksanaannya, program penganekaragaman pangan masih dihadapkan pada berbagai kendala; kendala teknis dan nonteknis. Berbagai upaya pemerintah telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Berbagai kebijakan pemerintah telah dikeluarkan, di antaranya telah ditetapkannya Kebijakan Umum untuk mendukung Program Ketahanan Pangan yang tertuang dalam UU-RI No. 18 tahun 2012 tentang Pangan, Perpres No.22 tahun 2009 dan Inpres No. 1 tahun 2010 tentang percepatan penganekaragaman pangan lokal. Bahkan untuk mendukung upaya tersebut pemerintah telah menetapkan Pedoman Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan yang tertuang dalam Permentan No. 18/Permentan/HK.140/4/2015. Namun upaya-upaya tersebut masih belum mencapai hasil yang maksimal.

Kebijakan percepatan penganekaragaman pangan lokal ditujukan untuk memperkokoh Ketahanan Pangan Nasional guna menjamin ketersediaan dan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan sehat, baik pada tingkat nasional, daerah hingga rumah tangga. Beberapa tahun terakhir, pemerintah melalui Badan

Diversifikasi sumber

pangan seperti;

jagung, ubi jalar, dan

ubi kayu sebagai

sumber karbohidrat

dikonsumsi masih

sebatas sebagai

(55)

Ketahanan Pangan (BKP) memiliki program Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L). Di pihak lain, pemerintah juga memiliki program untuk menurunkan konsumsi beras guna mengurangi konsumsi beras yang saat ini mencapai 124 kg/ kapita/tahun (Susenas 2011, BPS) .

Diversifikasi konsumsi pangan pokok tidak dimaksudkan untuk mengganti beras secara total tetapi mengubah pola konsumsi pangan masyarakat untuk mengonsumsi lebih banyak jenis pangan berbahan baku lokal tersebut secara beragam, bergizi, dan berimbang sebagaimana tertuang

dalam PP No. 17 tahun 2015 tentang Kebijakan Pangan dan Gizi. PP tersebut antara lain mengamanatkan bahwa penganekaragaman pangan dilakukan melalui pengoptimalan pangan lokal, pengembangan teknologi dan sistem insentif begi usaha pengolahan pangan lokal, pengenalan jenis pangan baru dan pengembangan industri pangan yang berbasis pangan lokal.

Salah satu langkah untuk mendukung program diversifikasi pangan yakni dengan melakukan Program Reformasi Agraria. Program reformasi agraria adalah proses restrukturisasi penataan ulang kepemilikan,

penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, khususnya tanah. Hal ini dimaksudkan agar petani mempunyai lahannya sendiri. Sehingga hal ini akan mengurangi jumlah petani gurem atau buruh tani. Pemerintah menargetkan agar setiap petani memiliki 1 hektar lahan untuk digarap. Untuk mendukung hal tersebut, pemerintah mencanangkan program pembukaan satu juta hektar lahan pertanian di daerah Jawa dan Bali.

Program pembangunan agribisnis kerakyatan merupakan pembangunan fasilitas bisnis bagi sektor pertanian. Pembangunan agribisnis ini akan diwujudkan dalam bentuk pembangunan bank tani, koperasi, dan UKM. Program ini dimaksudkan untuk mendukung pengembangan sektor pertanian, terutama untuk membantu masalah petani di bidang permodalan.

Kebijakan Pemerintah yang tertuang dalam Program Percepatan

pemerintah juga

memiliki program

untuk menurunkan

konsumsi beras

guna mengurangi

konsumsi beras yang

saat ini mencapai

124 kg/kapita/tahun

(56)

DIVERSIFIKASI PANGAN KARBOHIDRAT 2016

adalah Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L) merupakan salah satu langkah strategis dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan nasional melalui pengembangan bahan pangan lokal. Hasil pelaksanaan MP3L dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.9. Pelaksanaan Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal Tahun 2012

No Kabupaten Provinsi Komoditas/Bahan Baku Produk

1 Aceh Singkil Aceh Sagu Mie sagu

2 Indragiri Hilir Riau Sagu Sagu rending

3 Lampung Selatan Lampung Ubi kayu Beras siger

4 Gunung Kidul DIY Ubi kayu Tiwul instan

5 Jember Jatim Ubi kayu Beras cerdas

6 Lombok Timur NTB Ubi kayu Beras sasambo

7 TTY NTT Jagung Beras jagung

8 Minahasa

Sela-tan

Sulawesi Utara Jagung Beras milu

9 Muna Sulawesi

Teng-gara

Jagung Kagili kahtela

(ber-as j

Gambar

Tabel 2.1. Neraca Produksi dan Kebutuhan Beras per Provinsi tahun 2015
Gambar 2.1. Bentuk aneka sumber karbohidrat yang telah dimanfaatkan oleh
Gambar 2.3. Peta distribusi ubi kayu
Tabel 2.6. Impor Pangan Indonesia Per Januari-Agustus 2015
+7

Referensi

Dokumen terkait

dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang Penetapan Status Penggunaan Barang Milik Negara pada

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita (anak berumur 12-60 bulan) dengan berbagai tingkat status gizi (gizi lebih, baik, kurang dan gizi buruk) yang

Pada tatarn praktek, sejumlah diplomasi yang telah dilaksanakan banyak terkait dengan upaya mengurai konflik baik intra-agama islam (antar sunni- syiah), konflik

Lima pasien kasus kelolaan juga teridentifikasi gangguan pada Trophicognosis konservasi integritas personal kecemasan berhubungan dengan kondisi penyakit dan situasi

Menurut Lemert (dalam Sunarto, 2004, h, 80) penyimpangan yang disebabkan oleh pemberian cap/ label dari masyarakat kepada seseorang yang kemudian cenderung akan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan perusahaan tidak berpengaruh terhadap opini audit going concern, profitabilitas berpengaruh negatif dan signifikan terhadap

Tabel 12. Sehubungan dengan hal tersebut, sebelum calon varietas STJ02 dan STJ10 dirilis menjadi varietas unggul baru, telah dilakukan uji coba produksi benih di KP. Bajeng,

Klasifikasi konsetrasi spasial industri kecil dan kerajinan rumah berdasarkan jumlah unit usaha pada tingkat kecamatan di Kabupaten Tuban tahun 2009 dan tahun 2012.. ………