• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS DIVIDED GOVERNMENT DALAM RELASI

B. Divided Government dalam Relasi Eksekutif-Legislatif Pemerintahan

Seperti yang tertuang dalam pasal 20 (2) UUD 1945 bahwa proses perundang-undangan mengharuskan adanya persetujuan bersama antara eksekutif dengan legislatif, sehingga relasi keduanya tidak saling menjauhi antar kewenangan. Eksekutif memiliki kekuasaan legislasi dalam proses

20

95

undangan, seperti kekuasaan menyusun anggaran, mengajukan RUU, mengeluarkan dekrit. Selain itu legislatif juga memiliki kekuasaan untuk menyetujui usulan-usulan ekekutif seperti pengangkatan panglima TNI, Kapolri, dan Gubernur Bank Indonesia dan lain-lain.21 Selain itu eksekutif pun juga tak memiliki kewenangan untuk membubarkan legislatif, kedua lembaga tersebut bekerja secara berkaitan.

Keterkaitan tersebut menjadi sesuatu yang diharuskan dalam sistem politik di Indonesia, misalnya dalam hal pengesahan RUU menjadi UU. Baik eksekutif maupun legislatif pada dasarnya memiliki hak untuk mengajukan RUU. Jika RUU tersebut diajukan oleh presiden maka harus mencapai persetujuan DPR untuk kemudian dilanjutkan ke pembahasan dengan komisi terkait atas persetujuan pimpinan DPR. Begitu pula dengan RUU yang diajukan oleh DPR maka harus mencapai persetujuan oleh Presiden untuk kemudian dilanjutkan ke pembahasan dengan menteri terkait atas persetujuan presiden. Baik eksekutif maupun legislatif terlibat dalam setiap proses pembahasan hingga tahap akhir saat sidang paripurna DPR dan kemudian dikirim kembali ke presiden untuk di sahkan sebagai Undang-Undang, sehingga terjadi interaksi dua arah.22 Dalam konteks Indonesia, relasi proaktif antara eksekutif dan legislatif dalam sistem presidensialisme multipartai adalah sesuatu yang diharuskan, keharusan tersebut diiringi dengan potensi bagi munculnya divided government bila eksekutif gagal membangun jaringan koalisi presidensial seperti yang sudah dijelaskan dalam bab III sehingga antara eksekutif dan legislatif dikuasai oleh dua kelompok yang berbeda.

21

Hanan, Menakar Presidensialisme, 122.

22

96

Sebagai suatu resiko yang harus dijalankan dalam sistem prsidensialisme multipartai di Indonesia, maka dalam kondisi divided government, baik eksekutif dan legislatif tetap harus duduk bersama untuk saling menyepakati antar usulan kebijakan melalui pembicaraan tingkat II atau Sidang Paripurna DPR-RI. Tabel di bawah ini adalah beberapa relasi eksekutif-legislatif dalam pembicaraan tingkat II paripurna DPR RI yang terhitung sejak periode divided government itu terjadi

Tabel IV.B.1

Relasi Eksekutif - Legislatif dalam Periode Divided Government

No Materi Tanggal Konsensus

1 RUU Perubahan atas UU no 17 Rahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD

5 Desember 2014 Disetujui

2 RUU tentang Perubahan Atas Undang-undang No 27 Tahun 2014 tentang APBN-P 2015

13 Februari 2015 Disetujui

3 RUU tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota

20 Januari 2015 Disetujui

4 RUU tentang Penetapan Perppu No 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

20 Januari 2015 Disetujui

5 RUU tentang Perubahan terhadap UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota

17 Februari 2015 Disetujui

6 RUU tentang Perubahan terhadap UU No 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2014 tentang

97

Pemerintah Daerah

7 Pembicaraan Tingkat II Pengajuan Nama Kapolri

15 Januari 2015 Disetujui Sumber: Diolah dari Sekretariat Jenderal DPR-RI

Dibawah ini adalah penjelasan dari beberapa interaksi eksekutif-legislatif yang terjadi selama pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla berlangsung saat periode divided government yang dibagi menjadi dua kategori berdasarkan fungsi DPR yakni politik anggaran dan fungsi legislasi Rancangan Undang-Undang (RUU). Fungsi pengawasan tidak dimasukan dalam penelitian ini karena fungsi pengawasan seperti penggunaan hak angket, hak interpelasi dan hak menyatakan pendapat tidak digunakan selama periode divided government dalam penelitian ini. Pemilihan beberapa interaksi ini penulis lakukan atas beberapa pertimbangan seperti (1) kasus relasi eksekutif - legislatif yang dibahas mendapatkan perhatian publik (2) memiliki pengaruh yang signifikan bagi implementasi kebijakan pembangunan pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla, (3) berkaitan dengan proses polarisasi kuat yang sebelumnya tampak pada beberapa revisi UU yang dilakukan sebelum pelantikan presiden tanggal 20 Oktober 2014. Pemilihan atas dasar pertimbangan tersebut penting guna melihat tingkat viabilitas guna mendapatkan kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan.

1. Fungsi Budgeting dalam Politik Anggaran APBN-P 2015

Pembicaraan tentang politik anggaran dalam sistem presidensial adalah salah satu yang krusial untuk dibahas dan cukup menyita perhatian publik karena ini menyangkut tentang proses pendanaan dalam pelaksanaan program

98

pemerintah, terlebih pembicaraan tentang politik anggaran dirumuskan bersama antara eksekutif dan legislatif, yang dalam teori sistem presidensial dinilai akan berpotensi pada kebuntuan apabila dirumuskan dalam kondisi divided government. Dalam prosesnya mengenai politik anggaran, sudah dijelaskan dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2 dan 3 bahwa APBN diusulkan oleh presiden untuk dibahas bersama dengan DPR, apabila DPR tidak menyetujui rancangan yang diusulkan oleh Presiden, maka pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu. Oleh karenanya pembahasan APBN tetap melalui jalur konsesus antara eksekutif dan legislatif, meskipun pengajuan RAPBN adalah hak istimewa presiden guna menjalankan program-programnya.

Perumusan APBN pada dasarnya terbagi menjadi beberapa tahap, dimulai saat membangun level sumber daya yang tersedia untuk tahun anggaran berikutnya, hal tersebut diaktori oleh Menteri Keuangan yang mengambil asumsi-asumsi makro ekonomi dan perkiraan pembiayaan dalam anggaran, meskipun begitu DPR tetap dapat menggunakan kewenangannya untuk mengubah asumsi makro ekonomi tersebut. Setelah RAPBN diserahkan kepada pimpinan DPR maka RAPBN tersebut dibahas oleh Badan Banggaran (Banggar) dan masing-masing komisi terkait dengan mitra kerja pemerintah. Saat pembahasan di komisi DPR, para legislator dapat mengajukan beberapa pertanyaan kepada pemerintah terkait pendanaan yang diajukan, bila mereka tidak sepakat maka para legislator dapat memberikan tanda bintang sebagai tanda bahwa rencana anggaran tersebut belum disetujui. Jika komisi sudah menyelesaikan kesepakatan dengan mitra kerja pemerintah maka RAPBN diserahkan kembali ke Banggar dan kemudian diproses

99

menuju sidang paripurna untuk memperoleh persetujuan.23. Hal tersebut menunjukan bahwa sikap proakif antara legislatif dan eksekutif tampak terlihat dalam proses perumusan APBN.

Pembicaraan tentang APBN-P 2015 menjadi unik dan menyita perhatian publik mengingat perubahan anggaran ini terjadi setelah proses transisi dari kepemimpinan sebelumnya. Karena sebelumnya pemerintahan Joko Widodo –

Jusuf Kalla menggunakan postur anggaran yang sudah ditetapkan dalam APBN 2015 yang disahkan pada pemerintahan SBY – Boediono saat rapat paripurna tanggal 29 September 2014. Karena sejak awal, postur APBN 2015 sudah didesain berbeda dengan APBN tahun sebelumnya, hal tersebut disusun sebagai baseline budget dengan memberikan ruang gerak fiskal kepada pemerintahan baru untuk melakukan penyesuaian pada masa transisi pemerintahan Joko Widodo –

Jusuf Kalla.24 Seperti yang disampaikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pidato RAPBN dan Nota Keuangan tanggal 15 Agustus 2014 di Gedung DPR/MPR/DPD.

"Perlu saya kemukakan bahwa berbeda dengan Nota Keuangan dan RAPBN tahun-tahun sebelumnya, Nota Keuangan dan RAPBN tahun 2015 disusun oleh pemerintahan yang mengemban amanah saat ini, untuk dilaksanakan oleh pemerintah baru hasil Pemilu tahun 2014. Oleh karena itu, penyusunan anggaran belanja Kemen-terian Negara dan Lembaga dalam RAPBN 2015 masih bersifat baseline, yang substansi utamanya hanya memperhitungkan kebutuhan pokok penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Saya berharap, langkah ini dapat memberikan ruang gerak yang luas bagi pemerintah baru, untuk melaksanakan program-program kerja yang direncanakan. Setelah tanggal 20 Oktober mendatang, saya yakin bahwa pemerintah baru akan memiliki ruang dan waktu yang cukup untuk

23

Hanan, Menakar Presidensialisme, 123.

24 Muhammad Chatib Basri, ―Budget in Brief APBN 2015,‖ Direktorat Penyusunan APBN, Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, 15 Oktober 2014.

100

memperbaiki anggaran dan memasukkan berbagai program yang akan dilaksanakan 5 tahun mendatang." 25

Dalam kondisi tersebut, maka menjadi penting bagi pemerintahan Joko Widodo –

Jusuf Kalla untuk mengajukan RAPBN-P 2015 guna menyesuaikan postur anggaran dengan rencana programnya yang sudah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dan RKP 2015, proses pengajuan RAPBN-P juga dimungkinkan oleh UU No 27 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 17 Tahun 2014 tentang MD3.26

Dalam prosesnya, RAPBN-P 2015 ajukan oleh pemerintah tanggal 13 Januari 2015 melalui surat Nomor: R-05/Pres/01/2015 tentang APBN Tahun Anggaran 2015 untuk dibahas bersama DPR dan menunjuk Bambang Brodjonegoro, Andrinof A. Chanago dan Yassona Laoly sebagai wakil pemerintah. Seiring dengan mekanisme yang ada, lalu RAPBN-P 2015 diserahkan kepada Badan Anggaran untuk kemudian dibahas bersama dengan komisi-komisi terkait. Melalui pembahasan ditingkat komisi terjadi silang pendapat antara pemerintah sebagai pihak yang mengajukan RAPBN-P dengan legislator.

Meskipun antara eksekutif dan legislatif dikuasai oleh dua kelompok yang berbeda, pembahasan mengenai APBN-P nampak berjalan dengan interaktif dan tidak terjadi suatu deadlock yang dikhawatirkan oleh para teoritisi sebelumnya

25

Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Pidato Kenegaraan Presiden RI dalam rangka Penyampaian Keterangan Pemerintah Atas Rancangan Undang-undang Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2015 beserta Nota Keuangannya (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 15 Agustus 2014), 22.

26

Laporan Badan Anggaran DPR-RI, Hasil Pembicaraan Tingkat I/Pembahasan RUU Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Anggaran Pendapatan Belanja Negara Tahun 2015 Beserta Nota Perubahan (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 13 Februari 2015), 2.

101

yang pesimis dengan adanya kombinasi sistem prsidensialisme-multipartai. Baik pembahasan yang terjadi di Banggar maupun dalam Sidang Paripurna, relasi eksekutif dan legislatif terbangun cukup dinamis dan proaktif untuk saling mengkritisi dan berjalan tanpa adanya deadlock. Meskipun dalam Sidang Paripurna yang dipimpin oleh Taufik Kurniawan tersebut sempat terjadi jeda beberapa jam.27 Namun kesepakatan dalam APBN-P 2015 tetap terjadi dengan diiringi adanya lobi-lobi guna mencapai kesepakatan. Seperti yang dikatakan oleh Taufik Kurniawan, yang juga sebagai pimpinan Sidang Paripurna pembahasan APBN-P 2015.

―Setelah melalui serangkaian rapat yang intensif dan forum lobi yang telah

kita lalui tadi, sehingga, asumsi makro yang telah dibahas sebelumnya dapat disahkan.‖ 28

Fenomena tersebut menunjukan bahwa kondisi divided government tak menyulitkan antara eksekutif dan legislatif untuk saling berinteraksi dan berkompromi dalam proses pembahasan APBN-P 2015. Tabel di bawah ini menunjukan adanya pola interaktif yang dibangun oleh eksekutif dan legislatif dalam pembahasan APBN-P 2015 yang didalamnya juga memuat adanya kesepakatan-kesepakatan yang dibangun antara dua belah pihak. Tabel di bawah ini menjelaskan mengenai proses silang pendapat dalam pembahasan APBN-P 2015 yang terjadi di rapat komisi serta kesepakatan yang terjadi dalam pembicaraan tingkat II atau rapat paripurna DPR-RI.

27―Banyak Penolakan, Rapat Pengesahan APBN-P Diskors 3 Jam,‖ Liputan 6, 13 Februari 2015. http://bisnis.liputan6.com/read/2175383/banyak-penolakan-rapat-pengesahan-apbn-p-diskors-3-jam diunduh pada 2 Mei 2015.

28

Risalah Resmi Rapat Paripurna DPR-RI, Pembahasan Tingkat II RUU tentang Perubahan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 13 Februari 2015), 51.

102

Tabel IV.B.1.1

Proses Silang Pendapat Eksekutif-Legislatif dalam Asumsi Dasar Ekonomi Makro APBN-P 2015

Indikator APBN 2015 RAPBN-P

2015 Komisi VII Komisi XI Sidang Paripurna Pertumbuhan Ekonomi 5,8 % 5,8 & - 5,7% 5,7 % Inflasi 4,4% 5 % - 5% 5.0% Suku Bunga /SBN 6.0% .6.2% - 6,2% 6,2% Nilai Tukar (IRD / USD 1) Rp 11.900,- Rp 12.200 - Rp 12.500 Rp 12.500 Harga Minyak (USD/Barel) 105 70 60 - 60 Lifting Minyak (ribu barel/hari) 900 849 825 - 825 Lifting Gas (ribu barel / hari) 1248 1177 1221 - 1.221

Sumber: Diolah dari Sekretariat Jenderal DPR-RI

Tak bisa dipungkiri, dalam prosesnya terdapat beberapa perubahan dari RAPBN-P 2015 yang diajukan oleh pemerintah sebelumnya, namun menurut penulis segala proses perubahan postur anggaran itu adalah hal wajar dalam konteks check and balances antara lembaga eksekutif dan legislatif. Yang perlu menjadi titik tekan disini adalah adanya proses silang pendapat dan kesepakatan bersama yang membuat relasi eksekutif – legislatif bisa berjalan tanpa diiringi adanya kekhawtiran deadlock. Sehingga, tuduhan-tuduhan akan adanya potensi deadlock oleh para ilmuan-ilman politik yang sudah dijelaskan pada bab II cenderung tidak terbukti pada periode divided government yang terjadi pada Pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla, bahkan eksekutif dan legislatif bisa melakukan silang pendapat yang menyangkut substansi rancangan dan

103

kemungkinan-kemungkinan perubahan postur anggaran. Seperti yang disampaikan oleh ketua Banggar DPR-RI, Ahmadi Noor Supit dalam laporannya saat Sidang Paripurna tanggal 13 Oktober 2015:

―Dari hasil pembahasan, terdapat perubahan baik dari sisi pendapatan maupun sisi belanja. Dari sisi pendapatan menurun sebesar Rp 7,3 triliun, dan penghematan belanja negara sebesar Rp 29,6 triliun dan pembiayaan Rp 7,2 triliun. Sehingga didapatkan tambahan alokasi anggaran sebesar Rp 20,9 triliun, yang dialokasikan untuk tambahan belanja negara sebesar Rp 20,9 triliun, mengurangi penerbitan SBN sebesar Rp 9 triliun dan pembayaran bunga utang sebesar Rp 440 miliar.‖29

Dengan asumsi dasar tersebut, disepakati pendapatan negara dan hibah dalam APBN-P 2015 sebesar Rp 1.761 triliun, yang terdiri dari penerimaan dalam negeri sebesar Rp 1.758 triliun, dan penerimaan hibah sebesar Rp 3,3 triliun. Penerimaan dalam negeri berasal dari Penerimaan Perpajakan sebesar Rp 1.489 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar Rp 269 miliar.30 Seperti yang tertera dalam tabel dibawah ini:

Tabel IV.B.1.2

Pendapatan Negara dalam APBN-P 2015

Postur Kesepakatan Banggar

(Miliar Rupiah) Penerimaan Perpajakan 1.489.255,5  Pph Non Migas 629.835,3 a. PPh Migas 49.534,8 b. PPn 576.469 c. PBB 26.689,9 d. Pajak Lainnya 11.729,5

Bea dan Cukai

29

Laporan Badan Anggaran (Banggar) DPR-RI, Hasil Pembicaraan Tingkat I/Pembahasan RUU Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Anggaran Pendapatan Belanja Negara Tahun 2015 Beserta Nota Perubahan (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 13 Februari 2015)

30

Risalah Rapat Paripurna DPR-RI, Pembahasan Tingkat II RUU tentang Perubahan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015, 42.

104

a. Cukai 145.739,9

b. Bea Masuk 37.203,9

c. Bea Keluar 12.053

Penerimaan Negara Bukan Pajak 269.075,4

a. SDA Migas 81.364,9

b. SDA Non Migas 37.554,3

c. Bagian Laba BUMN 36.956,5

d. PNBP Lainnya 90.109,6

e. Pendapatan BLU 23.090,2

Penerimaan Hibah 3.311,9

Pendapatan Negara 1.761.642,8

Sumber: Sekretariat Jenderal DPR-RI

Sementara, belanja negara disepakati sebesar Rp 1.984 triliun, yang terdiri dari Rp 1.319,5 triliun untuk belanja pemerintah pusat, transfer ke daerah disepakati sebesar Rp 643,8 miliar dan dana desa Rp 20,7 miliar.31 Seperti yang tertera dalam tabel di bawah ini:

Tabel IV.B.1.3

Kesepakatan Belanja Negara dalam APBN-P 2015

Postur Kesepakatan Banggar

(Miliar Rupiah) Belanja Pusat 1.319.549  Belanja K/L 795.480,4  Belanja Non K/L 524.068,6 Belanja Daerah Transfer ke Daerah 643.834,5 Dana Desa 20.766,2  Dana Perimbangan 521.760,5 a. DAK 58.820,7 b. DAU 352.887,8 c. DBM 110.052

Dana Otsus dan Penyesuaian 17.115,5

31

Risalah Rapat Paripurna DPR-RI, Pembahasan Tingkat II RUU tentang Perubahan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015, 43.

105

Dana Keistimewaan DIY 547,5

Dana Transfer Lainnya 104.441,1

Total Belanja Negara 1984.149,7

Sumber: Diolah dari Sekretariat Jenderal DPR – RI

Proses interaksi antar dua lembaga pun bisa berjalan dengan baik, usulan demi usulan dilakukan oleh masing-masing fraksi, seperti usulan Fraksi Demokrat yang mengatakan:

―Fraksi Partai Demokrat meminta kepada Pemerintah untuk menerapkan

berbagai kebijakan untuk mendorong optimalisasi penerimaan negara, maupun untuk meningkatkan kualitas belanja negara dalam rangka memelihara pertumbuhan ekonomi dan menjaga kesinambungan fiskal.‖ 32

Sehingga tampak, kondisi divided government yang muncul dalam ranah struktural eksekutif – legislatif tidak menunjukan adanya persaingan dalam proses pengambilan keputusan. Pemerintah yang di asosiasikan dengan Koalisi Indonesia Hebat bisa memperoleh keputusan bersama dengan legislatif yang mayoritas diisi oleh Koalisi Merah Putih. Hal tersebut kontras dengan teori-teori umum yang mengatakan adanya potensi deadlock dalam sistem presidensialisme multipartai yang mengalami divided government, namun dalam proses politik anggaran APBN-P 2015 baik eksekutif dan legislatif bisa saling berinteraksi dan menunjukan adanya kepuasan bersama (win-win solition). Kepuasan bersama tersebut juga nampak dalam argumentasi Menteri Keuangan, Bambang Brojonegoro yang mengatakan:

"Kita bisa menggolkan APBN-P yang dengan postur jauh lebih baik, ini akan punya sinyal sendiri ke market, dengan postur APBN-P 2015, maka

32

Risalah Rapat Paripurna DPR-RI, Pembahasan Tingkat II RUU tentang Perubahan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015, 40.

106

pemerintah akan lebih leluasa dalam mengembangkan berbagai proyek infrastruktur yang memang saat ini sedang digenjot oleh pemerintah. Sebab, dana infrastruktur akan lebih banyak karena dana subsidi energi telah dikurangi.‖ 33

Sebagai sebuah proses perundang-undangan, APBN-P diajukan oleh pemerintah dan dibahas bersama dengan DPR membuat kedua lembaga lebih mengutamakan prinsip musyawarah meskipun antara eksekutif dan legislatif dikuasai oleh dua kelompok yang berbeda. Berbeda hal dengan pemerintahan Susilo Bambang Yushoyono yang memiliki kekuatan koalisi presidensial diatas 50% + 1 (single majority) di legislatif sehingga tidak mengalami jalan sulit dalam proses politik anggaran, namun pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla yang tidak memiliki kekuatan koalisi presidensial diatas 50% + 1 (single majority) juga tetap bisa melakukan kesepakatan dengan legislatif. Kekhawatiran sebelumnya mengenai kesulitan membangun relasi eksekutif-legislatif dalam konteks divided government cenderung tidak terbukti pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla, terlebih dalam pembahasan APBN-P 2015 yang merupakan produk legislasi yang cukup penting bagi keberlangsungan program pemerintah. Bahkan divided government bisa menghasilkan kepuasan bersama (win-win solution) seperti yang diutarakan oleh Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro.

2. Fungsi Legislasi dalam Pembahasan RUU

Seperti diketahui, sistem presidensialisme di Indonesia tidak seperti layaknya di Amerika Serikat yang proses perumusan undang-undang tidak

33 ―Menkeu: APBN-P Disetujui, Rupiah Bakal Menguat,‖ Kompas, 14 Desember 2015 http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/12/14/162100126/Menkeu.APBN-P.Disetujui.R upiah.Bakal.Menguat Diunduh pada 5 April 2015.

107

menjembatani langsung antara eksekutif dan legislatif.34 Dalam konteks Indonesia perumusan undang-undang justru melibatkan interaksi eksekutif dan legislatif dari awal perumusan hingga persetuuan akhir. Dalam prosesnya terdapat dua tahap pembahasan RUU, tahap pertama yakni pembicaraan tingkat I yang dilakukan oleh komisi DPR terkait, di Badan Legislatif (Baleg), Rapat Panitia Khusus (Rapat Pansus) atau Badan Anggaran (banggar) bersama dengan Menteri atau utusan Presiden. Selanjutnya pembahasan tingkat II yakni di Sidang Paripurna DPR yang secara resmi menyetujui atau menolak RUU tersebut.35 Melalui mekanisme tersebut, maka relasi eksekutif dan legislatif yang menurut Djayadi Hanan dibangun berdasarkan mekanisme institutional yang mengharuskan kedua lembaga untuk duduk bersama.

Dalam periode divided government, pemerintahan Jokowi sudah melakukan beberapa persidangan dengan DPR guna mencapai keputusan bersama. Beberapa RUU yang dibahas disini berkaitan dengan eksistensi partai politik sehingga mampu menarik perhatian bagi partai politik untuk mendalami proses pembahasannya. Maka penting bagi penulis untuk menjadikannya kasus untuk untuk memperkuat argumentasi dalam penelitian ini yang diantaranya yakni

34

Dalam konteks presidensialisme di Amerika Serikat, Presiden memiliki kekuasaan veto, yakni kekuasaan untuk menganulir sebuah UU. Beberapa kekuasaan veto tersebut diantarannya: (1) Partial Veto yakni bentuk peyampaian memorandum keberatan presiden terhadap beberapa ketentuan RUU, (2) Package Veto yakni berupa penolakan presiden untuk memberlakukan suatu RUU secara keseluruhan dan (3) Pocket Veto yakni bentuk penolakan presiden untuk menandatangani suatu RUUU yang sudah disetujui oleh legislatif. Namun dalam konteks presidensialisme di Indonesia, Presiden tidak memiliki ketiga hak veto tersebut. Tetapi mekanisme kelembagaan antara eksekutif dan legislatif mengharuskan adanya pembahasan bersama dari awal sampai akhir dalam sebuah proses Rancangan Undang-Undang. Mekanisme pembahasan bersama antara eksekutif dan legislatif yang tidak dimiliki dalam desain konstitusional di Amerika Serikat. Lihat, Burhanuddin Muhtadi, Perang Bintang 2014; Konstelasi dan Prediksi Pemilu (Jakarta: Noura Book, 2013), 188.

35

108

Revisi UU Pilkada, Revisi UU Pemerintahan Daerah, Revisi UU MPR, DPR,DPD dan DPRD dan Pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri).

a) Revisi UU Pilkada dan UU Pemerintah Daerah

Pembahasan mengenai revisi UU Pilkada dan UU Pemda adalah salah satu yang menyita perhatian masyarakat. Karena ini adalah serangkaian yang berkaitan dengan kontestasi DPR-RI periode 2009-2014 di akhir masa jabatannya sebelum pelantikan presiden terpilih hasil pemilu 2014 yang sangat kental dengan polarisasi Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih. Sebelumnya pada tanggal 25 September 2014, DPR menggelar rapat paripurna pengesahan RUU Pilkada yang berakhir dengan disahkannya RUU Pilkada dengan opsi pemilihan melalui DPRD berdasarkan suara 226 anggota.36

Setelah disahkan opsi pemilihan kepala daerah oleh DPRD, pada 2 Oktober 2014 Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan dua Perppu kepada DPR yakni Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubenur/Bupati/Walikota yang sekaligus mencabut UU No 22 tahun 2014 yang mengatakan pemilihan Gubernur/Bupati/Walikota yang mengacu pada pemilihan kepala daerah tidak langsung oleh DPRD dan Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang sekaligus mencabut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah untuk menghapus tugas dan wewenang DPRD memilih kepala daerah.37

36

Pokok-Pokok Pembicaraan Rapat Paripurna DPR-RI, Pembahasan Tingkat II terhadap RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah (Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR-RI, 25 September 2014), 4.

37 ―SBY Akan Keluarkan Perppu Pilkada Langsung,‖ Kompas, 30 September 2014 http://nasional.kompas.com/read/2014/09/30/18175701/SBY.Akan.Keluarkan.Perppu.Pilkada.Lan gsung. Diunduh pada 2 Januari 2015.

109

Sebagaimana yang diatur oleh konstitusi, dalam pasal 22 UUD 1945, dalam keadaan memaksa, presiden memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Perppu yang kemudian harus diajukan ke DPR dalam bentuk RUU tentang penetapan Perpu untuk disahkan menjadi UU dalam Sidang Paripurna DPR.

Sebagai sebuah proses panjang dan rumit, Susilo Bambang Yudhono pada tanggal 1 Oktober 2014 sampai harus melobi sejumlah pimpinan partai di Koalisi Merah Putih untuk menjamin Perppu agar bisa lolos di DPR. Karena sempat ada upaya dalam Munas Partai Golkar versi Ketua Umum Aburizal Bakrie yang dikabarkan sempat berencana menolak Perppu Pilkada langsung.38 Namun niat

Dokumen terkait