• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS DIVIDED GOVERNMENT DALAM RELASI

C. Model Pendekatan dalam Divided Government

1. Pendekatan melalui Prosedur Konstitusi

Pendekatan ini berkaitan dengan mekanisme yang tercantum dalam konstitusi yang mengharuskan eksekutif dan legislatif duduk bersama dalam pengambilan keputusan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 20 (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: ―Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.‖ Aturan tersebut mendorong eksekutif dan legislatif bisa saling meninggalkan ego dan kepentingannya masing-masing, hal tersebut terjadi dikarenakan konstitusi ini mengarahkan eksekutif dan legislatif untuk bernegosiasi, meskipun terjadi dalam konteks divided government.

Sepintas, mungkin penjelasan ini agak mirip dengan tesis Djayadi Hanan ketika berbicara mengenai kelancaran sistem presidensialisme di Indonesia selama era SBY, namun penjelasan tersebut tidak mencakup periode divided government sebagai bahan pertimbangan untuk menjelaskan relasi eksekutif-legislatif. Padahal secara umum, terjadinya deadlock dalam sistem presidensialisme itu terlebih dahulu diawali dengan adanya proses divided govenment dalam stuktur penguasaan di lembaga eksekutif dan legislatif, karena tidak mungkin eksekutif dan legislatif terjadi dikotomi jika tidak ada pembelahan pemerintahan antara eksekutif dan legislatif yang dikuasai oleh dua kelompok yang berbeda. Dan

121

mekanisme yang tertuang dalam pasal 20 (2) UUD 1945 telah membantu mengurangi terjadinya deadlock yang sebagaimana dikhawatirkan oleh teoritisi sebelumnya yang berbicara mengenai divided government. Mekanisme ini berbeda bila dibanding dengan sistem presidensialisme di Amerika Serikat yang mana antara eksekutif dan legislatif tidak dijembatani secara bersama dalam proses perumusan Undang-Undang.

Keberhasilan pendekatan melalui prosedur konstitusi dalam mekanisme perumusan Undang-Undang yang mampu mengurangi kekhawatiran deadlock dalam konteks divided government adalah prestasi bagi berlangsunganya sistem presidensialisme-multipartai di Indonesia. Mengingat, banyak asumsi teoritik sebagaimana yang sudah dijelaskan pada bab II mengenai hubungan yang dekat antara terjadinya deadlock dengan divided government. Keberhasilan ini berbeda halnya dengan kepemimpinan SBY yang juga tidak mengalami deadlock, sebagaimana yang ditulis Djayadi Hanan dengan menunjukan tesis adanya koalisi dengan jumlah besar atau diatas single majority (50%+1) sebagai faktor yang ikut berperan dalam menghindari terjadi deadlock, pendekatan koalisi ini juga yang menurut William R. Liddle, fenomena divided government tidak terjadi dalam era SBY,62 dan komposisi eksekutif dan mayoritas legislatif saat era SBY pada dasarnya dikuasai oleh kelompok yang sama yang dikoordinasikan dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) sehingga pendekatan melalui prosedur konstitusi yang berlangsung pada era SBY adalah relasi yang dibangun oleh satu kelompok koalisi yang terpisah secara kelembagaan antara eksekutif dan legislatif sehingga

62

122

sulit untuk terjadi kegaduhan diantara kedua lembaga tersebut, karena eksekutif dan partai-partai mayoritas di DPR sudah diikat melalui pendekatan koalisi, meskipun koalisi tersebut seringkali tidak permanen atau dalam berbagai isu cenderung mengeluarkan sikap yang berbeda dengan pemerintah.

Pada pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla yang mengalami divided government, pendekatan melalui prosedur konstitusi berhasil membantu relasi antara eksekutif-legislatif berjalan dengan interaktif dan tanpa terjadi deadlock. Sebagai contoh kasus dalam pembahasan APBN-P 2015 misalnya, hal tersebut nampak pada penolakan dan perubahan beberapa usulan RAPBN-P 2015 oleh DPR dari yang sebelumnya diusulkan oleh Presiden seperti yang tergambar pada Tabel IV.B.1.1 mengenai proses silang pendapat antara pemerintah saat rapat-rapat di Komisi DPR mengenai Asumsi Dasar Ekonomi Makro APBN-P 2015. Sehingga menurut Adian Napitupulu tercipta negosiasi dalam proses politik,63 dan berakhir pada win-win solution antara eksekutif dan legislatif. Kasus lain yang bisa dijadikan contoh adalah mengenai seluruh rangkaian pembahasan revisi UU MD3. Seperti yang sudah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya, bahwa UU MD3 berkali-kali dilakukan revisi saat sebelum dan sesudah presiden dan DPR periode 2014-2019 dilantik. Misalnya saat DPR periode 2009-2014 masih menjabat telah dilakukan revisi terhadap UU No 27 Tahun 2009 menjadi UU No 17 Tahun 2014 yang didalamnya memuat perubahan dalam pasal 84 bahwa pimpinan DPR tidak secara otomatis dikuasai oleh partai pemenang pemilu tetapi dipilih melalui mekanisme demokratis. Proses perubahan tersebut kental dengan nuansa

63

Wawancara dengan Adian Napitupulu, Politisi PDI-Perjuangan dan Anggota Komisi III DPR-RI periode 2014-2019, tanggal 18 Mei 2015.

123

kepentingan politik. Bahkan, pembelahan antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat adalah buah dari desain yang tertuang dalam perubahan Undang-Undang tersebut. Sebagai pemenang dalam proses revisi tersebut, membuat Koalisi Merah Putih berhasil memenangkan perebutan kursi pimpinan DPR, dan tak ada satu pun kursi pimpinan diberikan kepada Koalisi Indonesia Hebat. Bisa dikatakan hal tersebut merupakan salah satu dampak yang ditimbulkan dari proses divided government yang terjadi di intra-legislatif. Hal itu pula yang menjadikan Koalisi Indonesia Hebat sebagai representasi eksekutif di legislatif sangat menolak revisi tersebut dan memiliki walk out saat rapat paripurna. Praktis hal itu membuat PDI-P merugi karena sebagai partai pemenang pemilu tidak berhasil merebut kursi pimpinan DPR, bahkan MPR sekalipun. Proses penolakan tersebut nampak pada terbentuknya pimpinan DPR tandingan versi Koalisi Indonesia Hebat sehingga membuat fungsi dan tugas DPR dalam beberapa waktu mengalami tersendat.64 Namun, tersendatnya fungsi dan tugas DPR tersebut perlahan bisa diselesaikan melalui mekanisme konstitusi dengan diadakannya revisi UU MD3 kembali di rapat paripurna DPR pada tanggal 5 Desember 2015, meskipun sebelumnya juga diselingi oleh pertemuan-pertemuan informal, yang nantinya akan disinggung pada sub-bab berikutnya mengenai pendekatan diluar

64

Berdasarkan Tata Tertib DPR, dalam Pasal 281 maupun Pasal 284 Ayat 1 tertera bahwa pengambilan keputusan DPR melalui musyawarah mufakat ataupun dengan suara terbanyak menjadi sah, jika didapat melalui forum rapat yang sesuai dengan syarat kuorum. Syarat itu diatur di Pasal 251, bahwa pertemuan harus dihadiri lebih dari separuh jumlah anggota rapat yang terdiri atas lebih dari separuh unsur fraksi yang ada. Jika dilihat melalui mekanisme kuorum maka DPR dapat mengambil keputusan sah jika dihadiri anggota dari minimal enam fraksi. Aturan tersebut tidak bisa dipenuhi dikarenakan PPP yang semula bergabung ke Koalisi Merah Mutih berpindah ke Koalisi Indonesia Hebat, sehingga polarisasi di DPR semakin sengit dengan kedua kubu sama-sama memiliki lima fraksi. Melalui aturan yang tertera dalam tata tertib DPR pasal 254 dan 251, membuat keberadaan dualisme kepemimpinan DPR berakibat pada ketidakmampuan DPR dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

124

prosedur konstitusi. Adanya revisi UU MD3 tersebut membuat pendekatan melalui prosedur konstitusi ini berhasil membuat Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih menurunkan ketegangan yang diakibatkan dampak pilpres. Meskipun sebelumnya terjadi ketegangan antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat di DPR, keduanya berhasil menunjukan sikap islah dengan adanya revisi UU MD3 sebagai persyaratan. Sehingga mekanisme yang tercantum dalam konstitusi berhasil mendorong konsensus antara kedua kubu di DPR.

Selain itu, bagi penulis, pendekatan melalui prosedur konstitusi ini tidak bisa dipahami secara langsung dan tersendiri, tetapi juga dikombinasikan dengan model pendekatan diluar prosedur konstitusi guna melancarkan relasi eksekutif dan legislatif. Sehingga, jelas bahwa pendekatan ini merupakan cara formal guna memberikan suatu dorongan untuk kedua kubu di DPR agar bisa saling bertemu untuk mendapatkan persetujuan bersama. Sekalipun, persetujuan bersama tersebut harus ditempuh bagi kedua kubu yang sebelumnya mengalami ketegangan pasca Pilpres 2014. Oleh karenanya, pendekatan melalui prosedur konstitusi ini bisa dilakukan dengan baik jika sebelumnya didahului dengan pendekatan diluar prosedur konstitusi seperti adanya pertemuan antara pemerintah dengan oposisi guna memastikan bahwa agenda-agenda yang akan dibahas dalam paripurna bisa berjalan dengan tanpa hambatan.

Secara formal, pendekatan melalui prosedur konstitusi ini menjadi penting guna menjaga agar deadlock tidak terjadi dalam konteks divided government. Pendekatan ini mengarahkan kedua kubu yang berseteru untuk lebih menunjukan sikap kompromistis dalam mencapai kesepakatan dan dengan sendirinya

125

memerlukan sikap kerelaan bagi kedua kubu untuk menerima hal yang tidak ideal dari apa yang sebelumnya diharapkan, sesaat sebelum terjadinya pertemuan dalam rangka pembahasan bersama tersebut. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Viva Yoga Mauladi, dalam pembahasan APBN-P 2015 misalnya, dikemukakan bahwa mekanisme ini membuat antar kelompok saling berorientasi pada national interest dan tidak berporos pada Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat.65 Hal yang sama juga dikatakan oleh Indra J Piliang bahwa sampai pada akhirnya, konflik antara Koalisi Indonesia Hebat dengan Koalisi Merah Putih akan menemukan titik kompromi dalam membangun relasi eksekutif dengan legislatif.66 Tak hanya itu, Indra J Piliang bahkan mengutarakan ketidaksepahamannya dengan pendekatan koalisi dalam sistem presidensial sebagai respon strategis untuk menghindari kegaduhan eksekutif dan legislatif sebagaimana yang diutarakan oleh para pendukung tesis koalisi presidensial seperti Paul Chaisty, Nic Cheseeman, T.J Power. Menurutnya, koalisi dalam konteks Indonesia yang menganut sistem desentralisasi dipandang tidak sesuai dengan dinamika yang terjadi di tingkat daerah dan pusat. Seperti yang dikutip dalam petikan wawancara berikut.

―Oleh karenanya pendekatan koalisi menjadi tak mungkin dalam konteks indonesia. karena kita kan ada 500 lebih gubernur dan walikota. Di masing-masing daerah itupartai penguasanya beda-beda. Tau gak pemenang pemilu di kota Solonto siapa? Dari PKPI coba. Kalah golkar. Di kota pariaman, hampir saja PBB menjadi pemenang pemilu. Hampir kalah golkar, dinamika

di daerah lalu mau dikoalisikan di pusat? Ya gak bisa.‖67

65

Wawancara dengan Viva Yoga Mauladi, Wakil Ketua Komisi IV DPR-RI 2014-2019 / Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), tanggal 10 Mei 2015.

66

Wawancara dengan Indra J. Piliang, Ketua Tim Ahli Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara- Reformasi Birokrasi (KEMENPAN-RB), tanggal 27 Maret 2015.

67

126

Pandangan Indra J Piliang tersebut dipandang kontras bila dibandingkan dengan pendekatan koalisi presidensial yang pada umumnya mendorong adanya koalisi guna menjaga relasi eksekutif dan legislatif bisa berjalan baik. Namun, ketika penulis menyodorkan tesis koalisi presidensial tersebut, Indra J Piliang bisa dengan yakin mengatakan bahwa sampai pada akhirnya kompromi-kompromi dalam hal perumusan kebijakan akan tetap terjadi,68 meskipun tidak dijembatani melalui pendekatan koalisi. Hal tersebut bisa ditenggarai sebagai dampak positif dari prosedur konstitusi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 20 (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang membuat eksekutif dan legislatif bisa saling mendiskusikan rencana kebijakan secara bersama-sama, sehingga bisa meminimalisir terjadi konflik kelembagaan diantara keduanya dan mencegah terjadinya deadlock, karena hal tersebut ditutupi oleh mekanisme konsensus yang mampu meredam ketegangan yang biasanya terjadi dalam kondisi divided government.

Dokumen terkait