• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN

D. Tinjauan Pustaka

18

D. Tinjauan Pustaka

Usaha teoritis untuk menganalisis munculnya divided goverment dalam kerangka sistem presidensialisme-multipartai pada pemerintahan Joko Widodo –

Jusuf Kalla belum pernah dilakukan, hal tersebut terjadi karena kasus tersebut adalah baru dan pertama kali terjadi di era reformasi. Namun, secara umum studi mengenai sistem presidensialisme-multipartai di Indonesia pernah dilakukan oleh Hanta Yuda dalam bukunya ―Presidensialisme Setengah Hati: dari Dilema ke

Kompromi‖. Dalam buku yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2008 tersebut, Hanta melakukan tracking terhadap formasi presidensialisme yang dianut oleh Indonesia sejak tahun 1998. Melalui penelitiannya ditemukan bahwa pemerintah Indonesia melakukan purifikasi sistem presidensial, yang diantaranya dengan mengurangi kuasa yang cenderung „koruptif’ pada lembaga kepresidenan, serta memberi porsi yang lebih banyak pada legislatif untuk melakukan fungsi kontrol terhadap kekuasaan presiden. Namun, hal tersebut menimbulkan masalah karena kekuasaan presiden menjadi dilematis karena sistem politik yang „legislative heavy’ menimbulkan keharusan bagi Presiden untuk melakukan kompromi politik dengan legislatif.27

Dalam penelitian Hanta Yuda, periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla adalah objek penelitiannya. Ditemukan bahwa telah terjadi tarik-menarik kepentingan antara eksekutif dan legislatif dalam berbagai hal. Tarik-menarik kepentingan tersebut dipetakan menjadi dua basis: kompromi

27

Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati; dari Dilema ke Kompromi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010).

19

internal dan eksternal. Posisi presiden yang akomodatif dan posisi partai politik di legislatif yang intervensif menjadikan kompromi tersebut mereduksi kewenangan-kewenangan yang seyogianya dimiliki oleh presiden dalam sistem presidensial. Implikasi negatifnya, terjadi kerapuhan struktur politik dan beragam ancaman dari legislatif kepada presiden dalam berbagai kebijakan atau disebutnya sebagai sistem presidensialisme setengah hati. 28

Penelitian lainnya mengenai sistem presidensialisme multipartai pernah dilakukan oleh Syamsuddin Harris (2010), peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam disertasinya yang berjudul ―Format Baru Relasi Presiden -DPR dalam Demokrasi Presidensial di Indonesia Pasca Amandemen Konstitusi (2004-2008)‖. Dalam disertasi doktoralnya di FISIP UI, Syamsuddin berfokus pada realitas empiris sulitnya membangun hubungan antara eksekutif dengan legislatif terlebih apabila mekanisme kerjasama dan konsultasi antara kedua lembaga tidak lakukan secara intens. Secara khusus Syamsuddin menilai sikap presiden kedepan harus lebih akomodatif jika tidak ingin ada deadlock antara eksekutif dan legislatif, jika sikap presiden kaku dalam membangun jaringan komunikasi dengan partai politik lainnya maka potensi konflik yang berujung deadlock akan semakin besar pula.29

Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Barry Ames dalam bukunya

Deadlock of Democracy in Brazil‖ terbitan Univeristy of Michigan Press tahun 2001 yang berusaha menelaah masalah presidensialisme di Brazil pasca tahun

28

Yuda, Presidensialisme Setengah Hati.

29

Syamsuddin Harris, Format Baru Relasi Presiden-DPR dalam Demokrasi Presidensial di Indonesia pasca Amandemen Konstitusi (Disertasi Doktoral FISIP Universitas Indonesia, 2008).

20

1985. Penelitiannya berfokus pada tantangan yang dihadapi oleh setiap presiden di Brazil yakni bagaimana seorang presiden bisa mempertahankan konsistensi dukungannya terhadap kongres. Ames menggunakan analisanya dalam menjawab sulitnya membangun otoritas kuat presiden di Brazil. Hal tersebut ditenggarai karena tidak adanya hubungan dekat antara warga negara dengan partai politk.30

Selain itu, sistem presidensialisme yang meniscayakan adanya tugas-tugas politik bagi presiden nampak jauh dari prinsip meritrokasi, pekerjaan politik yang harusnya dilakukan oleh kabinet justru diserap oleh partai politik dan beberapa kelompok kepentingan. Sebagai contoh pada kabinet presiden José Sarney (1985-1990), Fernando Collor (1990-1992), Itamar Franco (1992-1995) dan Fernando Henrique Cardoso (1995-2003) yang seharusnya presiden memiliki nilai strategis kepada seluruh kekuatan administrasi dan konstruksi kabinetnya, namun hal tersebut tak begitu nampak. Bisa dilihat dari percampuran bidang keahlian di kabinetnya yang terdiri dari teknokrat dan politisi justru terlihat tanpa ada kuasa. Hal itu dijadikan analisa kuat Ames dalam menilai begitu rapuhnnya sistem presidensial di Brazil karena berpotensi deadlock. Kasus di Brazil juga seringkali dijadikan rujukan utama dalam melihat resiko buruk dalam sistem presidensialisme.31

Penelitian lainnya yang terkait, juga dilakukan oleh Djayadi Hanan dalam disertasi doktoralnya di Ohio State University yang berjudul ―Making Presidentialism Work; Legislative and Executive Interacton in Indonesian

30

Barry Ames, The Deadlock of Democracy in Brazil (Michigan: University of Michigan Press, 2001), 273.

31

21

Democracy‖ yang sudah diterjemahkan oleh Mizan dengan judul ―Menakar Presidensialisme Multipartai; Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dunamis dalam Konteks Indonesia‖ yang terbit tahun 2014. Djayadi berusaha membantah teori-teori umum tentang hubungan eksekutif dan legislatif dalam sistem presidensialisme multipartai. Menurut teori-teori umum, kombinasi presidensialisme dengan multipartai akan cenderung gagal. Penyebab utamanya adalah suasana konflik yang cenderung terjadi antara eksekutif dan legislatif yang membuat keduanya sulit kerjasama dalam landasan dasar Tria Politica. Banyaknya partai yang ada dalam legislatif juga membuat presiden sulit untuk mengamankan agenda-agenda pemerintahannya dari gangguan legislatif. Maka, sistem presidensialisme multipartai cenderung berakhir dengan konflik antar keduanya. Berbeda dari prediksi para teoritisi terdahulu, Djayadi melihat sistem presidensialisme-multipartai di Indonesia relatif berjalan stabil dan normal. Hubungan tegang antara eksekutif dan legislatif memang terjadi, namun tidak mencapai jalan buntu. Dukungan legislatif terhadap agenda-agenda pemerintah relative masih terbangun.32

Djayadi menilai hal tersebut bisa terbangun karena keberadaan dua faktor yang saling mendukung. Mekanisme kelembagaan formal anara eksekutif dan legislatif seperti mekanisme persetujuan bersama membuat keduanya harus menyelesaikan perbedaan satu sama lain dengan mengutamakan kerjasama. Mekanisme kelembagaan informal yakni koalisi menjadi jalan keluar dari

32

Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia; Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia (Bandung: Penerbit Mizan, 2014), 17.

22

kebuntuan. Selain itu juga terdapat mekanisme non-kelembagaan seperti presiden yang cenderung akomodasionis, para elit politik yang pragmatis dan budaya konsensus turut mengurangi potensi kebuntuan antara eksekutif dan legislatif.33

Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang memfokuskan diri pada sistem presidensialisme-multipartai sebelum pemilu 2014, maka penelitian ini berfokus pada telaah atas divided government melalui pendekatan koalisi presidensial dan mengeksplorasi proses relasi antara eksekutif dan legislatif pada periode divided government dalam pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.

Dokumen terkait