• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORI

B. Sistem Multipartai

Sistem Multipartai adalah salah satu varian dari beberapa sistem kepartaian yang berkembang di dunia modern saat ini. Secara umum, Maurice Duverger mengklasifikasikan sistem kepartaian berdasarkan kuantitas atau jumlah. Menurutnya sistem kepartaian menjadi tiga jenis yakni: (1) sistem partai tunggal, (2) sistem dwi-partai dan (3) sistem multipartai.12 Secara definisi, sistem multipartai adalah sistem kepartaian yang meniscayakan adanya partai yang lebih

secara umum juga mengacu pada fenomena-fenomena di Amerika Latin. Meskipun juga ada beberapa studi mengenai fenomena presidensilisme di Indonesia tetapi jumlahnya tidak signifikan jika dibanding dengan studi-studi di Amerika Latin.

12

Maurice Duverger, Partai Politik dan Kelompok Penekan (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1994), 13.

31

dari dua partai dominan. Dalam konteks Indonesia, sistem multipartai dianggap sangat mendukung kebebasan berkumpul yang terlegitimasi dalam pasal 28 UUD 1945. Banyak faktor yang mempengaruhi sistem kepartaian di suatu Negara. Untuk konteks politik Indonesia, ada tiga faktor penyebab sistem multipartai sulit dihindari. Pertama, yakni faktor pembentuk atau tingginya tingkat pluralitas masyarakat. Faktor ini yang menyebabkan keharusan bagi penerapan sistem multipartai. Sementara kemajemukan masyarakat merupakan suatu yang harus diterima dalam struktur masyarakat indonesia. Kedua, yakni faktor pendorong atau dukungan sejarah sosio-kultural masyarakat. Ketiga, yakni faktor penopang atau desain sistem pemilihan proporsional dalam beberapa sejarah pemilihan umum.13 Dalam kasus Indonesia, sistem multipartai adalah keniscayaan adanya aneka ragam suku, ragam, ras, dan golongan yang ada dalam suatu negara. Selain Indonesia, negara yang menganut sistem ini adalah Malaysia, Belanda, Perancis, Swedia, dan sebagainya.

Dalam perkembangannya, klasifikasi mengenai sistem multipartai seperti yang dipaparkan Maurice Duverger tampak sebagai kategori tunggal sehingga gagal menjelaskan mengenai rincian mendetail sistem multipartai, seperti pertimbangan tentang perilaku partai serta jarak ideologis. Melihat kekurangan tersebut, kajian mengenai sistem multipartai telah banyak disempurnakan oleh Giovani Sartori, sehingga tipologi mengenai sistem multipartai memiliki beberapa

13

Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati; dari Dilema ke Kompromi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), 102.

32

varian.14 berikut adalah penjelasan umum Sartori sebagaimana yang dikutip oleh Kuskridho Ambardi tentang sistem kepartaian:

Tabel II.B.1

Sistem Kepartaian Giovani Sartori

Jumlah Partai Tingkat Ideologi Rendah Tingkat Ideologis Tinggi

1 Satu - Partai Tidak ada

2 Dua - Partai Dua Partai Terpolarisasi

3-5 Pluralisme Moderat Pluralisme Terbatas, Terpolarisasi

 5 Pluralisme Ekstrem Pluralisme Terpolarisasi

Sumber: Sartori

Klasifikasi Sartori pada umumnya mengacu konsep jarak ideologis untuk menggambarkan interaksi antarpartai yang memperihatkan tingkat keajekan tertentu, dimana partai politik bertindak dan saling merespons secara terpola di arena politik yang berbeda.15 Dalam hal jumlah partai, Sartori menawarkan dua konsep penyaring, yakni potensi koalisi dan potensi mengintimidasi secara politik. Suatu partai memiliki potensi untuk berkoalisi manakala ia berada dalam posisi yang menentukan bagi terbentuknya koalisi dan di saat yang sama memiliki posisi yang menentukan bagi terbentuknya koalisi mayoritas di pemerintahan. Sedangkan suatu partai berpotensi melakukan intimidasi manakala ia memiliki kekuatan memaksa sehingga keberadaannya mempengaruhi taktik persaingan antar partai terutama ketika ia mampu mengubah arena persaingan.16

14

Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, Studi Tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia – Lembaga Survei Indonesia, 2009), 8.

15

Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, 8.

16 Giovanni Sartori, ―Parties and Party System: A Framework of Analysis,‖ dalam Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, 11.

33

Berdasarkan fenomena tersebut, kedua kriteria diatas menurut Sartori harus dimasukan dalam klasifikasi sistem kepartaian. Tipologi Sartori tersebut mengasumsikan hanya ada satu persaingan politik. Dengan demikian ia mengabaikan kemungkingan pemisahan antara persaingan di arena pemilu dengan persaingan di arena legislatif. Dengan begitu logika yang dibawa Sartori adalah hasil-hasil Pemilu akan menentukan tindakan partai secara konsisten di arena legislatif dan arena pemerintahan.17 Argumentasi Sartori pada dasarnya juga mendapatkan dukungan dari David Mayhew yang disederhanakan oleh Shaun Bowler yang mengatakan:

Berbagai keuntungan di arena Pemilu akan membentuk perilaku partai di arena legislatif. Partai-partai di parlemen dilihat sebagai konsekuensi dari kebutuhan untuk bertarung memenangi pemilu, partai-partai di legislatif sebagian besar muncul sebagai akibat dari nilai fungsional partai pada waktu Pemilu.‖18

Meskipun konsistensi tindakan partai antara arena pemilu dan arena pemerintahan tersebut perlahan dibantah oleh Robert Dahl dalam ―Pattern of Opposition‖ yang mengidentifikasi ragam arena persaingan politik yang diantaranya yakni arena pemilu, parlemen, birokrasi, pemerintah daerah dll.19 Dalam fenomena yang terjadi di Indonesia, ragam arena persaingan politik dijelaskan lebih intens oleh Kuskridho Ambardi, menurutnya sejak era reformasi partai-partai di Indonesia telah membentuk sistem kepartaian yang terkartelisasi. Beberapa bukti yang ditunjukan yakni hilangnya peran ideologis sebagai aktor

17

Giovanni Sartori, ―Parties and Party System: A Framework of Analysis,‖ dalam Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, 12.

18

David Mayhew dalam Shaun Bowler ―Parties in Legislature: Two Competiting in Explanations,‖ dalam Russell Dalton dan Martin Wattenberg, ed., ―Parties Without Partisans,― dalam Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, 12.

34

penentu perilaku koalisi partai, sikap permisif dalam pembentukan koalisi, tiadanya oposisi, hasil-hasil pemilu hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik dan kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok.20 Hal itu yang menurut Ambardi sebagai gambaran muram mengenai sistem multipartai di Indonesia. Namun, dalam penelitian ini penulis tidak menggunakan tesis kartel sebagai konseptualisasi dalam basis analisis. Sebagaimana diketahui, dalam tesis kartel, persaingan antar partai yang sehat bisa menciptakan check and balances dan berdampak baiknya kualitas demokrasi, namun dalam kasus Indonesia, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ambardi, ada kecenderungan partai-partai memiliki pola yang serupa dengan kartel yang berperilaku seperti layaknya satu kelompok dan menghilangkan persaingan serta berakhir pada jauhnya dari prinsip check and balances.21 Sehingga menurut tesis ini demokrasi di Indonesia jauh dari prinsip ideal. Tetapi, menurut penulis tesis tersebut tidak bisa menjelaskan dalam perspektif sistem presidensialisme-multipartai yang dalam pendekatan koalisi presidensial, seperti yang akan dijelaskan pada sub-bab berikutnya, mengharuskan adanya koalisi guna melancarkan pemerintahan agar bisa berjalan. Keberadaan koalisi itu secara tidak langsung mengharuskan adanya kerelaan dari partai politik untuk meninggalkan basis ideologi dan platform masing-masing partai guna mencapai kesepahaman bersama dengan partai-partai lain yang tergabung dalam koalisi. Sehingga posisi teoritik yang digunakan dalam penelitian ini bersebrangan dengan tesis kartel pada umumnya. Penulis menyadari bahwa ketegasan posisi teoritik dalam suatu

20

Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, 3. 21

35

penelitian adanya hal yang tidak bisa diabaikan, karenanya ini menjadi suatu identitas yang melekat dalam sebuah penelitian.

Dokumen terkait