• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORI

C. Koalisi Presidensial

Studi mengenai sistem presidensialisme pada dasarnya selalu mengalami perkembangan dari satu periode ke periode berikutnya. Dalam perkembangan studi tersebut, Robert Elgie menjabarkannya kedalam tiga periode studi presidensialisme,22 yakni: periode pertama ditandai dengan serangkaian artikel yang ditulis oleh Juan Linz.23 Analisis yang dibawa oleh Linz mengacu pada resiko dalam sistem presidensial yang memicu destabilisasi politik karena rentan terjadi dualisme legitimasi antara legislatif dan eksekutif karena keduanya sama-sama dipilih oleh rakyat. Periode pertama ini lebih menitikberatkan pada stabilitas sistem parlementer ketimbang sistem presidensial. Dalam periode ini, pendekatan sistem multipartai belum muncul dalam penguatan argumentasi yang dibangun. Selanjutnya periode kedua, ditandai dengan munculnya tulisan yang dibuat oleh Scott Manwaring beserta rekan-rekannya.24 Kesimpulan yang dibangun dalam

22

Robert Elgie, ―From Linz to Tsebelis: Three Waves of Presidential/Parliamentary Studies?,‖ Working Papers in Centre for International Studies, Dublin City University, 2004, 2 -25.

23

Beberapa tulisan Juan Linz yang dikategorikan dalam periode pertama studi presidensialisme oleh Robert Elgie diantaranya ―The Perils of Presidentialism‖, Journal of Democracy, Vol 1, No 1, (1990). ―Democracy: Presidential or Parliamentary Does It Make Difference‖, Latin American Program of the Woodrow Wilson International Center for Scholar and the World Peace Foundation, (1985). Kesimpulan umum yang dijadikan pijakan dalam periode ini adalah sistem presidensialisme cenderung berpotensi melahirkan dual democratic legitimacy yang berujung pada konflik kelembagaan antara eksekutif dan legislatif dan mengabaikan aspek-aspek non intitutional seperti adanya komunikasi politik, jaringan koalisi, dan pendekatan sistem kepartaian belum menjadi topik yang disandingkan dengan sistem presidensial.

24

Klasifikasi Robert Elgie mengenai periode kedua studi presidensialisme merujuk pada karya-karya Scott Mainwaring, ―Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Equation‖, Comparative Political Studies, Vol 26. Matheuw Shugart and John Carey, Presidents and Assemblies: Constitutional Design and Electoral Dynamic (Cambridge, Cambridge University Press, 1992) . Perbedaan mendasar dari periode sebelumnya yakni, studi-studi ini mulai mencakup

36

periode kedua adalah sistem presidensialisme pada dasarnya tidak complicated, menjadi complicated bila dikombinasikan dengan sistem multipartai. Karena kombinasi tersebut membuat sulitnya presiden untuk mendapatkan dukungan mayoritas di legislatif dan berujung pada kendala dalam membangun relasi antara eksekutif dengan legislatif.

Periode ketiga studi presidensialisme melahirkan proses analisis yang mendalam yang berbeda dengan dua periode sebelumnya. Periode ini ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh seperti George Tsabelis, Paul Chaisty, Nic Cheeseman, Timothy Power.25 Berbeda dengan periode sebelumnya, periode ketiga ditandai dengan munculnya istilah koalisi presidensial dan pendekatan veto. Pendekatan veto digunakan guna memperkuat peran eksekutif ketika berhadapan dengan legislatif, Geroge Tsabelis mendefiniskan veto sebagai

individual or collective actors whose agreement is necessary for a change of the status quo” (Diterjemahkan penulis: Individu atau aktor kolektif yang berwenang

pembahasan pada sistem multipartai. Yang kemudian dijadikan problem sulitnya presiden sebagai pimpinan eksekutif untuk mendapatkan dukungan maksimal di legislatif karena adanya banyak partai dan kesulitan mencapai dukungan mayoritas.

25

Beberapa karya yang menjadi pijakan Robert Elgie dalam mengklasifikasi gelombang ketiga studi presidensial yakni: George Tsabelis, ―Veto Players; How Political Institutions Work‖, UCLA, Princeton and Sage Foundation. Paul Chaisty, Cheeseman & Timothy Power, ―Rethinking The Presidentialism Debate; Conceptualizing Coalitional Politics in Cross Regional Perspective‖, Democratization, Routledge, UK, (2012). Ciri khas dari periode ini adalah munculnya pendekatan veto dan koalisi presidensial untuk mengurangi dampak destabilisasi seperti yang dikhawatirkan oleh para pendahulu. Unsur-unsur tersebut yang nantinya akan menentukan seberapa efektif kombinasi sistem presidensialisme dengan sistem multipartai. Dengan mempertahankan tesis koalisi presidensial berarti presiden memiliki akses dan banyak cara untuk membentuk koalisi dan mengamankan dukungan legislatif, atau Chaisty memperkenalkannya dengan istilah presidential toolbox. Sehingga tugas presiden tidak hanya membentuk kabinet dan menjalankan kebijakan tetapi juga memiliki tugas untuk membangun kekuasaan untuk memerintah di lembaga legislatif. Sehingga antara eksekutif dan legislatif dalam proses komunikasi tidak mengalami jalan terjal seperti yang dikhawatirkan oleh ilmuan-ilmuan di periode sebelumnya, seperti Mathew Shugart, John Carey dan Scott Manwaring.

37

menyetujui kebutuhan untuk perubahan status quo).26 Hal yang sama juga diutarakan oleh Mitchel A. Sollenberger bahwa otoritas veto yang dimiliki Presiden adalah salah satu alat yang paling signifikan dalam proses legislasi ketika berhadapan dengan legislatif, hal ini tidak hanya efektif dalam mencegah bagian undang-undang yang tidak diinginkan Presiden, tetapi juga menghindari Presiden dari ancaman yang seringkali memaksa legislatif untuk memodifikasi undang-undang sebelum disajikan kepada Presiden.27 Pendekatan veto umumnya banyak merujuk pada fenomena presidensialisme di Amerika Serikat.

Selain itu, pendekatan koalisi presidensial juga menjadi rujukan dalam klasifikasi periode ketiga studi presidensialisme. Istilah „koalisi’ pada dasarnya berasal dari bahasa latin yakni „coalescere’ yang secara harfiah berarti saling

menempelkan atau saling mengikat. Koalisi pada umumnya merupakan aliansi atau kerjasama untuk periode waktu terbatas dalam rangka demi mencapai tujuan tertentu seperti ambil alih kekuasaan dan memegang pemerintahan.28 Sedangkan, yang dimaksud dengan koalisi presidensial adalah suatu pendekatan dimana sistem presidensial bisa bekerja layaknya parlementer yang artinya presiden memiliki kerja memerintah dengan mampu membangun koalisi multipartai di legislatif.29 Sebagaimana yang ditulis Paul Chaisty dalam artikelnya:

26

George Tsabelis, Veto Players: How Political Institutions Work (California: UP and Russell Sage Foundation, 2001), 36.

27

Mitchel A. Sollenberger, ―Congressional Overrides of Presidential Vetoes,‖ CRS Report for Congress, 7 April 2014, 1.

28

Rainer Adam, Masa Depan Ada di Tengah; Toolbox Manajemen Koalisi (Jakarta: Friedrich Naumann Stiftung Foundation, 2010), 11.

29

Paul Chaisty, Cheeseman dan Timothy Power, ―Rethinking The Presidentialism Debate; Conceptualizing Coalitional Politics in Cross Regional Perspective,‖ Democratization, Routledge, UK, (2012): 1.

38

“Coalitional presidentialism is a strategic response to the institutional

dilemmas posed by the coexistence of a presidential executive with a fragmented multiparty legislature. In order to win support for the legislative agenda of the executive, presidents must behave much like prime ministers in the multiparty democracies of Western Europe: they must first assemble and then cultivate interparty coalitions on the floor of the assembly. The objective of the president is to foster the emergence of a legislative cartel which will reliably defend the preferences of the executive branch.”

(Diterjemahkan penulis: Koalisi Presidensial merupakan respon strategis terhadap dilema kelembagaan yang ditimbulkan terkait kompleksitas eksekutif atau presiden dengan legislatif yang terfragmentasi dengan multipartai. Dalam rangka untuk memenangkan dukungan terhadap agenda legislasi yang bawa oleh eksekutif, presiden dalam sistem presidensial harus berperilaku seperti perdana menteri dalam seperti yang terjadi di Eropa Barat dalam sistem multipartai: mereka (eksekutif dan legislatif) harus terlebih dahulu duduk bersama dan kemudian menumbuhkan koalisi antar partai dalam proses perumusan. Tujuan dari presiden adalah untuk mendorong munculnya kartel di legislatif yang nantinya akan membela preferensi kebijakan yang dibawa oleh eksekutif.) 30

Menurut Djayadi Hanan, disinilah pentingnya koalisi dalam sistem presidensialisme-multipartai manakala presiden tetap memerlukan dukungan legislatif dalam menjalankan pemerintahannya. Jika tidak, presiden mengalami kendala oleh lembaga legislatif melalui kekuasaan anggaran, legislasi dan fungsi pengawasan yang diberikan undang-undang.31 Untuk mendapatkan dukungan legislatif, tentu Presiden tidak bisa melakukan tanpa feedback yang harus diserahkan kepada masing-masing partai politik. Oleh karenanya disini, power sharing menjadi konsekuensi dalam kombinasi sistem presidensialisme-multipartai untuk menghindari terjadinya deadlock dan tingginya oposisi. Secara

30

Chaisty, Cheeseman dan Power, ―Rethinking The Presidentialism Debate,‖ 38.

31

39

komprehensif, Jose Antonio Cheibub menjabarkannya potensi peluang deadlock dan dominasi oposisi dalam sistem presidensialisme pada gambar berikut:32

Gambar II.C.1

Peluang deadlock dan Dominasi Oposisi dalam Sistem Presidensial

Sumber: Cheibub, Minority Presidents, Deadlock Situations, 21.

Melalui gambar diatas, dapat dipahami bahwa power sharing terutama pada jajaran kabinet menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan untuk menghindari terjadinya deadlock antara eksekutif dan legislatif. Sehingga apabila presiden sedikit melakukan power sharing, maka akan sedikit pula mendapatkan dukungan di legislatif atau opposition dominates. Oleh karenanya, disinilah pentingnya koalisi presidensial guna eksekutif bisa mengamankan agenda serta program kerjanya dihadapan legislatif sebagaimana yang dipaparkan oleh Paul Chaisty sebelumnya.

Seperti yang kutip Hanan, buku yang ditulis oleh T. J Power dan M. Taylor mengatakan koalisi presidensial adalah pilihan untuk mengimbangi dampak pemecah belah institutional antara eksekutif dan legislatif dengan mendukung

32José Antonio Cheibub, ―Minority Presidents, Deadlock Situations, and the Survival of Presidential Democracies,‖Yale University, 3.

40

adanya kemampuan presiden untuk melakukan sikap akomodatif terhadap legislatif, yang nantinya akan menentukan berhasil atau tidaknya sistem presidensialisme multipartai ini akan berjalan.33 Menjadi complicated jika eksekutif gagal membangun koalisi presidensial atau tidak mencapai dukungan single majority (50% +1) di legislatif sehingga berujung pada kondisi divided government dan memiliki potensi deadlock seperti yang ilmuan politik khawatirkan secara umum.

Selain itu, dalam pendekatan koalisi presidensial, dikenal konsep

presidential toolbox’ yang dimaksudkan pada kondisi bahwa kekuasaan presiden tidak terbatas pada kewenangan formal terkait sumber daya kelembagaan seperti menyusun program kerja, menyusun kabinet tetapi juga memiliki kewenangan informal seperti membangun konsolidasi dalam sistem bagi-bagi rezeki (spoils system) guna mencapai feedback koalisi dan memperoleh dukungan di lembaga legislatif seperti yang terjadi di kawasan Amerika Latin.34 Dalam pendekatan ini, maka sikap Presiden yang kompromistis menjadi penting untuk melancarkan relasi eksekutif dan legislatif, setidaknya mencapai batas single majority (50%+1) dukungan pemerintah di legislatif. Oleh karenanya koalisi menjadi hal yang penting dalam sistem presidensialisme-multipartai. Dibawah ini adalah bagan yang penulis rancang guna mempermudah pemahaman mengenai periodesasi sistem presidensialisme seperti yang dirumuskan oleh Robert Elgie.

33

T. J Power dan M. Taylor, ―Accountability Institutions and Political Corruption in Brazil,‖ dalam Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia (Bandung: Penerbit Mizan, 2014), 69.

34

41

Gambar II.C.2

Tiga Gelombang Studi Presidensialisme

42

Selain itu, mengenai keabsahan adanya koalisi dalam sistem presidensial, penulis merujuk pada studi Djayadi Hanan yang menunjukan bahwa koalisi dalam sistem presidensial adalah fenomena yang sama seringnya dalam sistem parlementer. Seperti penelitian Jose Antonio Cheibub, ketika menganalisis semua negara demokratis pada 1970-2004 ditemukan bahwa koalisi pemerintahan terjadi sekitar 39% dalam sistem parlementer dan 36,3% dalam sistem presidensial.35 Selain itu menurut Cheibub, Przeworski & Saiegh bahwa hampir sebanyak 50% pemerintahan akan melakukan koalisi dengan partai lain apabila partai presiden tidak memiliki kekuatan mayoritas di legislatif. seperti yang dikutip dari artikelnya.

“It turns out that government coalitions occur in more than one half of the

situations in which the president’s party does not have a majority.”

(Diterjemahkan penulis: Pada gilirannya, koalisi pemerintahan itu akan terjadi lebih dari setengah (50%) dari situasi dimana partai presiden tidak memiliki kekuatan mayoritas.)36

Hal tersebut yang menurut Hanan, keberadaan koalisi bukanlah faktor pembeda antara sistem presidensialisme dan parlementer, melainkan koalisi adalah watak dari sistem multipartai.37 Sehingga mekanisme koalisi adalah sarana bagi terbentuknya hubungan antara eksekutif dan legislatif untuk membangun tindakan kerjasama dan mengurangi tingkat kegaduhan seperti yang diasumsikan oleh banyak teoritisi sebelumnya yang pesimis dengan kombinasi sistem

35

Jose Antonio Cheibub, ―Presidentialism, Parlementarism and Democracy,‖ dalam Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai, 229.

36

Jose Antonio Cheibub, Adam Przeworski dan Sebastian M. Saiegh, ―Government Coalitions and Legislative Success Under Presidentialism and Parlementarism,‖ British Journal of Political Science, Vol 34, No 04, (Oktober 2004): 565.

37

43

presidensialisme multipartai.38 Meskipun begitu, Cheibub tetap berpandangan bahwa koalisi dalam sistem presidensial seringkali tidak solid daripada sistem parlementer.39

Namun, penulis juga menyadari bahwa koalisi dalam sistem presidensial bisa berprospek pada kerjasama politik dan juga adanya peluang untuk meninggalkan postur koalisi. kemungkinan tersebut dilandasi oleh beberapa faktor yang menjadi pertimbangan untuk menentukan solid atau tidak tidaknya suatu koalisi, David Altman merumuskannya sebagai berikut: (1) afinitas ideologis antara presiden atau kepala koalisi dengan kelompok partai politik lainnya, (2) Penilaian rakyat terhadap kepala koalisi atau presiden (3) afiliasi psikologis atau kedekatan partai politik terhadap partai pimpinan koalisi (4) pertimbangan terhadap pemilihan umum di masa mendatang (5) keadilan insentif dalam perjanjian koalisi.40 Sehingga, penulis sepakat dengan Cheibub bahwa koalisi dalam sistem presidensial seringkali tidak stabil dibanding sistem parlementer dan memungkinkan partai berpindah koalisi di tengah periode pemerintahan berlangsung.

38

Banyak teoritisi yang menilai kombinasi antara sistem presidensialisme dan sistem multipartai akan melahirkan kegaduhan tingkat tinggi dan berpotensi deadlock. Beberapa publikasi diantaranya adalah Scott Mainwaring, ―Presidentialism, Multiparty System and Democracy: The Dificult Equation,‖ The Hellen Kellogg Institute for Insternational Studies Published, (1990), Juan Linz, ―The Perils of Presidentialism,‖ Journal of Democracy, Vol 1, No 1, (1990), Alfred Stephan dan Cindy Skach, ―Presidentialism and Parliamentarism in Comparative Prespective,‖ World Politics, Vol 46, No 1, (1993), Mathew Shugart dan John Carey, President and Assemblies : Constitutional Design and Electoral Dynamic (Cambridge: Cambridge University Press, 1992).

39

Jose Antonio Cheibub dan Fernando Limongi, ―Democratic Institutions and Regime Survival: Parliamentary and Presidential Democracies Reconsidered,‖ Forthcoming in Annual Review of Political Science, 2002, 4.

40

David Altman, ―The Politics of Coalition Formation and Survival in Multiparty Presidential Democraties,‖ The International Journal for the Study of Political Parties and Political Organizations, Vol 6. No 3, Sage Publications, (2000): 259.

44

Meskipun pendekatan ini eksis dalam studi presidensialisme di kawasan Amerika Latin,41 penulis akan mencoba menggunakan pendekatan koalisi presidensial ini untuk menganalisis faktor terjadinya divided government serta relasi eksekutif - legislatif pada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla sebagai hasil dalam Pemilihan Umum 2014.

Dokumen terkait