• Tidak ada hasil yang ditemukan

Doktrin Gnoseologis

Dalam dokumen Sejarah Filsafat Yunani Sm1Md2 doc (Halaman 93-137)

PLATON Riwayat Hidup

3. Doktrin Gnoseologis

Aristoteles membedakan pengetahuan dalam tiga kelompok besar: a) ilmu teoretis yang mencari pengetahuan atau pemahaman per se; b) ilmu praktis yang mencari pengetahuan dan lewat pengetahuan itu bermaksud mencapai kesempurnaan moral dan c) ilmu poietis atau produktif yang mencari pengetahuan dalam rangka menghasilkan suatu barang tertentu atau tehne- keterampilan.

Dari sudut martabat dan nilai, ilmu terulung adalah

metafisika dan fisika sebab merangkum di dalamnya

psikologi dan matematika.

a. Metafisika

Istilah metafisika tidak berasal dari Aristoteles melainkan atau dibuat oleh para siswa Peripatetis atau

diberi nama oleh Andronikus dari Rhodi sewaktu mengedit karya-karya Aristoteles pada abad pertama sebelum masehi. Aristoteles sendiri menggunakan istilah filsafat pertama atau teologi untuk membedakannya dari filsafat kedua atau fisika. Namun, istilah metafisika tentu lebih pas mengingat obyek kajiannya adalah realitas yang non-fisik- inderawi atau realitas trans-fisik.

Ada empat definisi tentang metafisika yang diberikan oleh Aristoteles sendiri. Pertama, metafisika adalah disiplin ilmu yang menyelidiki sebab-sebab

dan prinsip-prinsip pertama atau tertinggi (Metafisika, A,α, B). Kedua, metafisika mempelajari ada sejauh ada (Metafisika, Γ atau E, 2-4, K3). Definisi ketiga

menegaskan bahwa metafisika mendalami substansi

(Metafisika, Ζ, Η, Θ). Terakhir, metafisika adalah ilmu yang meneliti Allah dan substansi trans-inderawi

(Metafisika, E1, A).

Keempat definisi mengenai tugas metafisika sejalan dengan pencaharian para filosof sebelumnya dan jawaban-jawaban Aristoteles merupakan solusi atas persoalan-persoalan itu. Definisi pertama

merupakan jawaban dan rangkuman atas arche, prinsip (eziologia) dan causa prima (aitiologia) yang dicari oleh para filosof kosmologis dan Platon. Definisi kedua merupakan jawaban dan sintesis atas permenungan Parmenides dan Platon. Definisi ketiga mengenai ousia merupakan jawaban atas monisme eleatis. Definisi keempat merupakan penegasan atas pendapat para filosof sebelumnya yang menempatkan Allah sebagai prinsip.

Keempat definisi metafisika itu sendiri saling berkaitan dan harmonis; semuanya ada dalam satu kesatuan. Pencarian mengenai sebab-sebab pertama secara niscaya bertemu dengan Allah sebagai causa dan prinsip pertama par excellence. Pencarian tentang

aitiologia dan eziologia bermuara pada teologia. Begitu pula definisi soal ada, prinsip, sebab dan substansi berhubungan dengan persoalan apakah hanya ada realitas inderawi-fisik-badani atau terdapat realitas

trans-, super-inderawi-fisik-badani. Soal ini secara eksplisit menjadi soal teologi. Jika tidak ada yang super-inderawi, trans-fisik, sebab-sebab dan prinsip- prinsip, hanya akan ada yang inderawi-fisik-alamiah dan terdapat satu disiplin saja: ilmu-ilmu alam.

i. Empat sebab

Gagasan mengenai keempat sebab telah digagas oleh Aristoteles dalam buku Fisika, B, 3. Kemudian, gagasan ini diperdalam dalam Metafisika, A, 2, 983, 3-10. Elaborasi ini sesuai dengan disiplin metafisika sebagai pencaharian

dan permenungan tentang sebab-sebab pertama. Sebab-sebab menurut Aristoteles haruslah berhingga seperti bilangan dan sejauh berkenaan dengan dunia menjadi, ia telah menegaskan bahwa sebab-sebab itu dapat direduksikan ke dalam empat jenis saja: yakni 1) causa materialis, 2) causa formalis, c )causa efficiens, 4) causa finalis.

Dua sebab pertama adalah materia dan forma yang mendasari, menyusun dan menjadi

syarat bagi segala sesuatu. Bila segala sesuatu

dilihat dan dipahami sebagai ada yang tetap, dua sebab pertama sudah memadai untuk menjelaskannya. Namun, bila segala sesuatu dimengerti sebagai ada yang dinamis, bergerak menjadi, bertumbuh, muncul, hancur dan mati maka diperlukan dua sebab lainnya yakni

penggerak atau pelaku (causa efficiens) dan

sasaran, tujuan atau telos (causa finalis).

Causa materialis atau materia (ΰλη) adalah id ex quo, τò έξ ού, sesuatu oleh mana terjadi atau terbuat suatu hal. Materia dari binatang-binatang adalah daging dan tulang, materia bagi patung adalah kayu atau marmer, materia bagi bangunan rumah adalah pasir, batu, kayu, semen dan lain sebagainya. Causa materialis merujuk pada bahan yang menjadi unsur untuk membuat segala sesuatu.

Causa formalis atau forma atau esensi dari segala sesuatu. Forma merujuk pada struktur

atau hakekat yang membuat materi berbeda dari materi lainnya. Misalnya kayu gelondongan dapat dibuat menjadi sekian banyak barang karena formanya: untuk meja adalah ke-meja-an, kursi: ke-kursi-an, lemari: ke-lemari-an, manusia: ke-manusia-an dst.

Causa efficiens atau penggerak/pelaku adalah sesuatu dari mana perubahan dan gerak dari segala sesuatu berasal. Misalnya, tukang adalah orang yang membuat meja, kursi, lemari, pemahat adalah pelaku yang mengubah sebongkah marmer atau sepotong kayu menjadi patung atau benda-benda lainnya

Causa finalis atau tujuan dari suatu aksi adalah sesuatu untuk apa atau seturut fungsi apa (id cuius gratia) setiap hal dibuat. Aristoteles mengatakan bahwa causa finalis adalah kebaikan (agathon) dari setiap hal. Misalnya, kursi dibuat untuk duduk, meja untuk makan dan menulis, lemari untuk menyimpan pakaian atau piring dan mangkok, dst.

Jadi, eksistensi dan kemenjadian dari segala sesuatu selalu mensyaratkan keempat sebab tersebut. Itulah yang disebut dengan causa proxima dari segala sesuatu, tetapi selain keempat sebab itu masih terdapat sebab-sebab lainnya yang dihasilkan dari gerakan langit dan penyebab dan penggerak pertama yang tidak digerakkan (Metafisika, A, 4-5, 6-8).

ii. Makna Ada

Metafisika adalah ajaran tentang ada sebagai ada. Pembahasan atas tema ini bertitik tolak dari persoalan yang ditimbulkan oleh Parmenides dan eleatisme yang memahami ada secara univox, ada sebagai ada, identik dengan dirinya sendiri serta ada dalam ke-utuhan-nya. Zenon, Melissos dari Megara dan eleatis lainnya menyintesiskan doktrin ada dalam terminologi

Ada-Satu. Artinya ada sebagai genus

transenden, substansi universal yang ada in se

dan per se di luar segala sesuatu yang inderawi- fisik. Aristoteles menyangkal pendapat tersebut dan menegaskan kemajemukan makna ada (polivox).

Ada beberapa karakter ada dalam gagasan aristoteles:

1) ada bukan univox maupun sebagai genus transenden,

2) ada mengungkapkan suatu multiplisitas makna,

3) ada bukan pula suatu genus maupun spesies; ada merupakan suatu konsep

trans-generis dan trans-species,

4) kesatuan ada bukan pula suatu kesatuan genus maupun species melainkan merujuk pada sesuatu,

5) sesuatu itu adalah substansi (Metafisika, Γ, 2, 1003b, 5-10).

Adapun makna ada adalah sebagai berikut.

1) Ada mengungkapkan makna aksiden, atau ada aksidental dan kasual (on kata symbebekos). Contoh, Michael Jackson adalah penyanyi. Pele adalah pesepakbola

termashyur. Kata penyanyi dan pesepakbola tidak mengungkapkan hakekat manusia melainkan sekedar berada secara tertentu, suatu aksiden.

2) Ada dimengerti sebagai ada per se, ens per se. Ada per se adalah substansi, hakikat yang membuat aksiden-aksiden mungkin ada. Misalnya hakikat manusia adalah kemanusiaannya yang terungkap dalam kesadaran (tahu dan mau, makhluk rasional).

3) Ada dipahami sebagai ada sebenarnya. Ada sesungguhnya dipertentangkan dengan ada yang keliru. Karena itu, ada sesungguhnya dapat dimengerti sebagai ada logika berkaitan dengan keputusan benar dan keputusan keliru.

4) Ada sebagai ada dalam potensi dan ada sebagai aktus. Contohnya, akar, batang, dahan, daun dan buah merupakan ada potensi dalam benih padi, sedangkan pohon padi merupakan ada sebagai aktus. iii. Kategori

Makna ada pertama-tama merujuk pada substansi. Istilah substansi mengandung arti “sesuatu yang berdiri sendiri dan sekaligus mendasari sesuatu lainnya” (sub-stare). Pada substansi dapat ditambahkan keterangan, dirinci menjadi berbagai macam, tetapi substansi itu sendiri tidak dapat dijadikan sebagai keterangan atau rincian pada yang lain. Substansi adalah yang diterangkan. Di samping itu ada pula makna sekunder ada, yakni aksiden-aksiden. Aksiden mengandung makna menempel, melekat pada suatu subyek. Aksiden tidak dapat berdiri sendiri; untuk berada ia tergantung pada sesuatu. Aksiden adalah yang menerangkan substansi. Artinya, aksiden hanya berada dalam

substansi. Contoh, substansi “manusia” dapat dikenakan dengan rincian “tua”, “pandai”, “berdiri”, “berusia 50 tahun”, “sehat walafiat” dst.

Aristoteles berpendapat bahwa secara umum terdapat sepuluh cara untuk memaknai ada. Kesepuluh cara memaknai ada disebut Aristoteles dengan kategori. Kategori-kategori ini memberikan makna pertama dan hakiki ada dan memantulkan pembedaan tertinggi ada atau dalam bahasa Aristoteles sebagai genus supreme

ada (Metafisika, Γ, 4, 1030a 32-b3).

Berikut ini adalah bagan atau susunan kategori.

1) Substansi (ousia): manusia, hewan, tumbuhan, air.

2) Kwalitas (polón): merah, dingin, buruk, baik, pintar, bijaksana.

3) Kwantitas (poson): sepuluh tahun, sekilo, dua meter.

4) Relasi (prosti): Suharto adalah ayah Mbak Tutut, Prabowo adalah menantu Suharto. 5) Aksi/tindakan (poiein): makan, minum,

menulis.

6) Menderita (paschein): lapar, ngantuk, letih. 7) Tempat (poũ): di Malang, di dusun, di

kota.

8) Waktu (poté): tahun 2009.

9) Milik (ëchein): rambut, kuku, panca indera.

10) Posisi/keadaan (keisthai): duduk, berbaring, berdiri.

iv. Konsep Substansi

Apa yang dimaksudkan Aristoteles dengan substansi pada umumnya? Apakah hanya sekedar atau materia atau forma atau perpaduan materia dan forma? Menurut Aristoteles, istilah substansi dapat dimengerti dalam tiga aspek berikut ini.

1) Substansi adalah forma (eidos, morphe). Forma adalah hakekat terdalam dan terdekat dari segala sesuatu. Misalnya, hakekat manusia adalah anima rationale, hakekat binatang adalah anima sensitiva

dan hakekat tumbuhan adalah anima vegetativa. Forma adalah sesuatu yang memberi bentuk, menguraikan dan menentukan suatu hal.

2) Substansi adalah pula materia. Jika jiwa rasional, jiwa sensitif dan jiwa vegetatif tanpa memiliki bahan fisik, material, maka tidak akan ada manusia, hewan maupun pohon. Materia adalah prinsip individuasi. 3) Substansi berarti perpaduan (synolon) dari

materia dan forma (hilemorfisme). Semua hal fisik-badani merupakan perpaduan dari materia dan forma, jiwa dan badan.

Adapun suatu hal dapat disebut substansi bila memenuhi lima syarat berikut.

1) Bila sesuatu itu tidak melekat atau dijadikan predikat dari suatu hal lain, melainkan menjadi dasar dan subyek dari yang lain.

2) Sesuatu yang mampu berada per se atau mandiri, terpisah dari segala sesuatu. 3) Sesuatu yang tertentu, bukan atribut

universal maupun abstrak.

4) Sesuatu yang secara intrinsik berpadu dan utuh.

5) Sesuatu yang berada dalam aktus. v. Aktus dan Potensi

Hubungan antara materia dan forma adalah pola hubungan materialitas dan formalitas. Materia adalah potensi, suatu potensialitas atau

kapasitas untuk menerima dan membawa forma. Marmer adalah sebuah potensi bagi patung karena mampu menerima dan membawa forma patung, kayu adalah suatu kemampuan untuk mengemban dan menyerap sekian banyak forma, sehingga terbentuklah sekian banyak benda, dst. Aktus adalah intelechia, forma, esensi yang menentukan dan memberikan serta mewujudkan suatu bentuk tertentu kepada materi. Begitulah jiwa manusia misalnya merupakan aktus dan intelechia bagi badan.

Perpaduan atau sinolon antara materia dan forma (hilemorphisme), jika dianggap sebagai ada sebagaimana adanya adalah aktus; jika dipandang dari sudut forma merupakan aktus atau entelechia. Sebaliknya, bila dilihat dari sudut materialitas, perpaduan itu merupakan gabungan dari potensi dan aktus. Karena itu, segala sesuatu yang memiliki materi memiliki dalam dirinya potensialitas entah besar maupun kecil, sementara semua forma substansi inderawi-fisik adalah aktus dan intelechia. Pada tempat terakhir hanya Allah adalah aktus murni.

Aktus mempunyai prioritas dan superioritas atas potensi. Potensi tidak dapat dikenal jika tidak diwujudkan menjadi aktus. Aktus adalah syarat, tata aturan dan tujuan dari potensialitas. Jadi aktus lebih tinggi daripada potensi karena menjadi cara berada dari substansi abadi.

vi. Motor Immobilis

Apakah ada substansi super-, trans- inderawi atau hanya ada substansi inderawi? Atas pertanyaan itu, Aristoteles membedakan tiga jenis substansi yang secara hirarkis amat tertata. 1) substansi pertama menyangkut substansi inderawi yang muncul dan hancur binasa. 2) substansi yang meliputi substansi inderawi tetapi tidak dapat hancur, yakni langit, planet dan bintang. 3) substansi abadi, tetap, kekal, transenden: Motor Immobilis dan substansi penggerak lainnya.

Dua jenis substansi pertama terdiri atas materia dan forma atau tersusun dari empat unsur dasar: air, udara, api dan tanah dan elemen kekal. Yang mengkaji kedua substansi ini adalah fisika dan astronomi. Sedangkan substansi jenis terakhir adalah forma murni dan bidang studi yang menggelutinya adalah metafisika.

Pembuktian mengenai eksistensi dunia atas didasarkan pada pemahaman Aristoteles bahwa waktu dan gerak adalah kekal dan abadi. Sebab jika waktu dilahirkan, semestinya ada sebelum

waktu maupun bila ada kehancuran waktu seharusnya ada sesudah waktu. Begitu pula jika waktu dimengerti sebagai determinasi gerak: jika gerak diciptakan niscaya ada sebelum gerak dan

bila gerak hancur seyogyanya ada sesudah

gerak. Jadi waktu dan gerak adalah abadi.

Tetapi apa syarat keberadaan gerak dan waktu abadi? Jika ada Prinsip pertama yang menjadi penyebabnya. Bagaimana Prinsip dapat menjadi sebab? Pertama-tama, Prinsip haruslah

abadi, mengingat waktu dan gerak adalah abadi.

Kedua, Prinsip hendaknya immobilis. Hanya yang tetap dapat menjadi sebab bagi yang bergerak. Ketiga, Prinsip wajib berada sebagai

aktus purus, aktus murni.

Dapatkah Prinsip Pertama, Penggerak Pertama bergerak dengan tinggal tetap secara absolut? Aristoteles menjawab dengan memberikan ilustrasi berikut. Penggerak Pertama bergerak seperti obyek tercinta menggerakkan kekasih (ώς έρώμενον κινεĭ). Artinya, apa yang baik dan indah menstimulir kehendak manusia tanpa kehendak itu bergerak dengan cara apapun, begitu pula intelek bergerak tanpa mengggerakkan diri atas obyek yang menarik baginya. Jadi, gerak Penggerak Pertama bukan dalam pengertian causa efficiens, melainkan causa finalis.

Penggerak Pertama adalah juga Hidup itu sendiri, karena aktivitas intelek berarti hidup dan Dia sendiri adalah aktivitas. Dia adalah Hidup, Abadi dan Optimum (Metafisika A7, 1072b 13- 18, 24-30).

Apa yang dipikirkan Prinsip Pertama? Dia berpikir tentang hal terbaik dan tertinggi. Yang terbaik dan tertinggi itu adalah Dia sendiri. Penggerak Pertama berpikir tentang diri sendiri atau aktivitas kontemplatif mengenai diriNya, pikiran dari pikiran (νόησις νοήσεως) (Metafisika, A7, 1072b 18-24). Apa yang tunggal dan fisik ini sama sekali tidak dikenal oleh Prinsip Pertama. Karena pengenalan atas manusia individual dan benda-benda fisik lainnya merupakan suatu pengenalan yang tidak sempurna, cacat dan penurunan bagi Allah. Manusia dan makhluk hidup lainnya bukanlah obyek kasih dan pikiran Prinsip Pertama.

b. Fisika

Bertitik tolak dari distingsi Platon tentang dunia ide dan dunia inderawi, Aristoteles mengembangkan sebuah distingsi yang lebih tajam lagi dengan membedakan realitas dalam golongan non-inderawi dan golongan inderawi. Berbeda dari Platon, Aristoteles mencoba menempatkan ide-ide bukan di luar realitas empiris, melainkan berada di dalam realitas inderawi dan fisik. Golongan substansi yang berbeda demikian mensyaratkan juga perbedaan ilmu yang mempelajarinya, yakni fisika untuk ada fisik - inderawi dan metafisika untuk ada non-inderawi.

Distingsi mengenai metafisika dan fisika memperlihatkan pelampauan definitif atas horison filsafat prasokratesian dan perubahan makna secara

radikal tentang physis atau alam. Physis bukan lagi merujuk pada totalitas ada, melainkan ada inderawi, alam fisik-material.

Sebuah catatan penting mengenai fisika Aristoteles kiranya harus diberikan. Makna fisika dalam Aristoteles berbeda sekali dari pengertian modern kontemporer. Fisika dalam konsepsi modern kontemporer yang dipengaruhi oleh gagasan Galileo berciri kwantitatif atau sebagai ilmu kwantitatif tentang alam semesta. Sementara Aristoteles memahami fisika sebagai ilmu kwalitatif tentang alam semesta atau dalam pengertian berikutnya dinamakan filsafat alam.

i. Perubahan dan Gerak

Adapun pokok kajian fisika Aristotelian adalah gerak spontan, gerak alami atau gerak substansial dari benda-benda dan bukan gerak yang ditimbulkan dari suatu aksi eksterior. Karena itu, istilah gerak dalam gagasan Aristotelian memuat di dalam dirinya pengertian tentang perubahan yang terjadi baik di luar maupun di dalam benda-benda itu sendiri. Salah satu contoh adalah perubahan dari kayu yang dibakar menjadi abu atau benih menjadi pohon dst.

Berkaitan dengan penolakan eleatisme tentang eksistensi gerak, bahwa jika gerak diakui dengan sendirinya mengandaikan eksistensi non- essere, Aristoteles memberikan sebuah solusi

brilian. Dengan bertitik tolak dari kemajemukan makna Ada dan terutama gagasan mengenai pasangan aktus (ada) dan potensi (belum- atau tidak- ada bila dibandingkan dengan aktus), Aristoteles memberikan sebuah pembuktian mengenai eksistensi gerak. Gerak atau perubahan pada umumnya adalah peralihan dari

ada sebagai potensi kepada ada sebagai aktus.

Gerak adalah aktualitasi dari apa yang ada secara potensial.

Selain itu, dalam gagasan aktus dan potensi terkandung pula kategori-kategori ada. kategori aksi, menderita dan waktu merupakan kategori yang mempunyai makna gerak. Begitu pula kategori substansi, kwalitas, kwantitas dan tempat, meskipun tidak memuat gerak dalam artian perubahan tempat, tetapi memuat di dalam dirinya gerak atau perubahan. Gerak dalam substansi dinyatakan dalam kelahiran dan kehancuran; gerak dalam pengertian relasi terungkap dalam perubahan kwalitas; gerak dalam pengertian kwantitas ternyana dalam penambahan dan pengurangan, sedangkan gerak dalam pengertian tempat dinyatakan dapan perpindahan tempat.

ii. Ruang dan Waktu

Gagasan mengenai gerak berkaitan erat dengan ruang, waktu dan ruang kosong. Apa yang dimaksud dengan tempat atau ruang?

Ruang adalah apa yang umum bagi banyak hal dan sekaligus khusus bagi tiap obyek (Fisika Δ2, 209a 31-b2.) Kemudian, Aristoteles memberikan sebuah definisi lain bahwa tempat adalah

penampung tetap, pertama dan terbatas atau

terminus continentis immobilis primus. Jadi tempat berada dalam semesta dan bukan pula semesta raya (Fisika, Δ5, 212b 16-22).

Kerap kali ruang kosong dipahami sebagai

tempat di mata tiada apapun atau tempat di

mana tiada benda apa saja (Fisika, Δ7, 213b 21,

33). Namun, dari definisi di atas bahwa tempat adalah terminus continentis, tampak bahwa eksistensi ruang kosong disangkal oleh Aristoteles.

Sedangkan mengenai waktu, Aristoteles memberikan sebuah analisa yang mendalam. Misteri waktu dipecahkan dengan merujuk pada dua hal yakni gerak dan jiwa. Waktu bukanlah gerak atau perubahan, tetapi jika gerak merupakan aktivitas melalui ruang berlanjut, nah berlanjut itu merupakan waktu. Sebab jumlah waktu yang dihabiskan selalu sepadan dengan gerak. Maka, waktu adalah bilangan gerak

seturut sebelum dan sesudah (Fisika Δ11, 219b

1-2).

Untuk mengukur waktu diperlukan kesatuan ukuran. Nah, kesatuan ini mesti ditermukan dalah gerak seragam dan sempurna. Mengingat gerak seragam dan sempurna hanya

berada dalam gerak melingkar, maka kesatuan ukuran adalah gerak semesta dan benda-benda langit. Sedangkan Penggerak Pertama dan penggerak-penggerak lainnya berada di luar ruang dan waktu.

c. Psikologi

Pokok kajian tentang psikologi dalam aristotelisme mengacu para buku karangannya yang berjudul De Anima. Menurut Aristoteles, makhluk hidup dibedakan dari benda mati justru karena memiliki sebuah prinsip hidup dan prinsip hidup demikian adalah jiwa.

i. Konsep tentang Jiwa

Apa itu jiwa? Aristoteles tidak menjawab langsung melainkan merujuk kembali pada konsepsi hilemorfis atau perpaduan materi dan forma. Materi adalah potensi dan jiwa adalah aktus atau intelechia. Distingsi ini berlaku juga bagi makhluk hidup. Badan hidup memiliki hidup tetapi bukan hidup itu sendiri, sehingga “adalah niscaya bahwa jiwa adalah substansi seperti halnya forma dari suatu badan fisik yang memiliki hidup dalam potensi. Namun substansi sebagai forma adalah intelechia, aktus. Jiwa adalah intelechia bagi badan (De Anima, B1, 412a 19-22), jiwa adalah intelechia pertama

adalah intelechia pertama bagi badan alami orgnanis (Ibid, B1, 412b 4-6).

Bagaimana hubungan badan dan jiwa? Aristoteles mencoba mengambil jalan tengah dari dua ekstrim, yaitu para pemikir prasokratis yang mengidentikkan psyche sebagai prinsip fisik dan Platon yang menempatkan psyche

terpisah daripada badan. Artinya Aristoteles melihat bahwa jiwa adalah sesuatu yang intrinsik dengan badan (sejauh sebagai forma, prinsip inteligibel yang membuat badan sebagaimana mestinya) dan di satu sisi berbeda daripada badan (kekal dan abadi dan prerogatif) atau ada salah satu bagian yang terpisah dari badan (Ibid,

B2, 413b 24-29). ii. Tri Bagian Jiwa

Konsepsi Aristoteles tentang bagian-bagian jiwa bertitik tolak dari pengandaian bahwa fenomen-fenomen hidup mensyaratkan tindakan- tindakan yang secara tetap saling berbeda. Jiwa sebagai prinsip hidup seniscayanya memiliki kemampuan, fungsi, bagian yang menjalankan dan mengatur perbuatan-perbuatan demikian.

Fungsi-fungsi hidup yang ada adalah berkarakter a) vegetatif, seperti lahir, makan- minum, bertumbuh, b) sensitif motorik, misalnya sensasi dan gerak dan c) intelektif, umpamanya tahu, memilih, memutuskan. Bertolak dari fenomen-fenomen hidup yang demikian, maka

Aristoteles membedakan jiwa dalam a) jiwa vegetatif, b) jiwa sensitif dan c) jiwa intelektif atau rasional.

a) Jiwa vegetatif merupakan prinsip yang

mengatur keturunan, nutrisi dan pertumbuhan. Jiwa vegetatif merupakan prinsip yang paling elementer dalam makhluk hidup. Dengan gagasan ini, Aristoteles menjawab sekaligus mengoreks penjelasan para pemikir sebelumnya yang mengasalkan pertumbuhan pada unsur- unsur material (Ibid, B4, 416b 20-23.

b) Jiwa sensitif merupakan prinsip yang

mendasari sensasi, makan-minum dan gerak. Sensasi bukanlah perubahan atau pergantian yang ditimbulkan oleh hal yang sama maupun hal yang berbeda, melainkan proses realisasi potensi, gerak maju sesuatu menuju aktualitas (Ibid, B5, 418a 3-6).

Dalam sensasi tidak terjadi asimilasi dalam pengertian material dan lokal melainkan formal. “Untuk setiap sensasi pada umumnya”, tulis Aristoteles, “perlu dimengerti bahwa indera adalah sesuatu yang memiliki kemampuan forma-forma inderawi tanpa materia”. Itu berarti bahwa sensasi merupakan menjadikan diri sama dengan yang inderawi.

Manusia memiliki lima indera atau panca indera dan masing-masing berkaitan dengan obyek tercerap dan sensasi yang dihasilkan: indera pencium, indera

Dalam dokumen Sejarah Filsafat Yunani Sm1Md2 doc (Halaman 93-137)

Dokumen terkait