• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Filsafat Yunani Sm1Md2 doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sejarah Filsafat Yunani Sm1Md2 doc"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

Sejarah Filsafat Barat

YUNANI KUNO

Semester I (Bab III – Socrates)

Dr. Valentinus, CP

Seminari Tinggi Pasionis Biara Bt. Pio Campidelli Malang

(2)

BAB III

KAUM SOFIS DAN SOCRATES

Permenungan filosofis mulai dari Thales hingga para fisikawan monistis memusatkan diri pada kosmos sementara manusia berada sebagai obyek semata. permenungan filosofis telah mengabaikan keberadaan manusia dan hakekatnya. Permenungan yang demikian membawa suatu konsekwensi yang cukup berat dari sudut etika dan hukum. Artinya pemahaman manusia Yunani klasik dalam terang arête dan segenap pranata sosial lainnya yang membantu manusia dalam menghayati hidupnya masih jauh dari memadai.

Tidak disangkal sama sekali bahwa manusia merupakan bagian integral dari alam semesta. Namun hakekat manusia sebagai makhluk rasional dan kemampuannya menata dan mengelola hidupnya secara rasional lewat hukum, tata aturan dan adat istiadat merupakan suatu hal yang sangat menentukan. Manusia adalah makhluk istimewa dan pemahaman terhadapnya menuntut perhatian yang khas pula.

Permenungan mengenai manusia dimulai oleh sekelompok cendikiawan Yunani klasik yang terkenal dengan sebutan kaum sofis dan selanjutnya dikembangkan secara lebih mendalam dan rinci oleh Sokrates serta Platon dan Aristoteles.

(3)

Istilah sofis dalam makna awali merujuk pada “orang bijak”, “ilmuan”, “pemilik ilmu pengetahuan”. Kandungan makna demikian memperlihatkan bahwa istilah sofis merupakan suatu hal yang prestisius dan sangat positif. Beberapa pengarang Yunani menggunakan istilah sofis untuk orang-orang yang mumpuni dalam pengetahuan: Pythagoras disebut sofis oleh Herodotos, ketujuh orang bijaksana oleh Androtion dan Sokrates, Platon oleh Lysias. Selanjutnya, dengan diperkenalkan istilah baru philosophos, makna dan rujukan istilah sofis disempitkan pada para guru yang berkeliling mencari murid-murid di polis-polis.

Konotasi negatif untuk istilah sofis mungkin bermula dari Sokrates dan kemudian diradikalkan oleh muridnya, Platon, lalu Senophontes dan Aristoteles. Platon mendedikasikan satu buku khusus untuk membahas dan mendeskreditkan kaum sofis yang diberi judul “ Para Sofis”. Di situ diberikan 6 ciri khas para sofis, yakni

a) pemburu gaji dari kaum muda kaya,

b) sejenis importir kepandaian yg tertarik dengan jiwa, c) penjaja kepandaian,

d) pedagang hasil-hasil pengetahuan,

e) sejenis olahragawan agonistis untuk berpidato dan

f) sejenis pemurni spiritual dari opini-opini yang menghalangi pengetahuan bagi jiwa.

(4)

berlatar belakang sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan. Alasan kedua ini ditandai terutama oleh krisis kelas aristokrat dan kemunculan demos atau rakyat biasa sebagai suatu kekuatan politik. Perubahan ini terutama disebabkan oleh perkembangan dunia perdagangan yang mulai melewati batas-batas polis dan interaksi yang semakin luas ini membawa dampak pada perluasan cakrawala, pengalaman dan pengetahuan, sehingga terjadilah percampurbauran adat kebiasaan, hukum dan norma-norma yang mengatur kehidupan bersama.

Krisis kelas aristokrat berimbas pada persoalan keutamaan sebagai nilai tradisional yang sangat dipegang teguh dan dianggap berkaitan erat dengan kelahiran (keturunan). Namun dengan kemunculan

demos sebagai kekuatan dominan, maka akses pada kekuasaan politik lebih terbuka bagi siapa saja tanpa terlalu memperhatikan latar belakang keturunan. Perubahan ini memberikan titik tekan bukan lagi pada

arête keturunan melainkan pada arête politik.

Metode Kerja

Berbeda daripada pola permenungan dan pencaharian kosmologis yang menggunakan metode deduktif, para sofis menggunakan metode empiris

(5)

Finalitas Permenungan

Permenungan filosofis para sofis memiliki tujuan praktis dan bukan teoretis murni. Sasaran setiap aktivitas pengetahuan selalu dikaitkan dengan pengajaran. Murid merupakan unsur penting dalam aktivitas ilmiah dan menjadi ilmuan merupakan suatu

profesi.

Hal esensial dalam fenomena kaum sofis adalah persoalan edukasional dan pengabdian pada bidang pedagogi. Dengan kaum sofis, pengertian mengenai

arête menjadi lebih luas: setiap orang dapat memiliki

keuatamaan karena dididasarkan semata-mata pada

pengetahuan.

Mengingat bahwa tekanan pendidikan dan pedagogi adalah arête politik, maka para sofis membatasi aktivitasnya pada orang-orang yang kiranya memiliki akses besar pada kekuasaan.

Motif Uang

Platon (dalam Menon) dan kritikus terhadap kaum sofis menunjukkan suatu tendensi umum yang lalu menjadi cap atau ciri khas mereka: kaum sofis mengajar dan mencari murid melulu didorong oleh motif finansial.

(6)

tergantikan. Para bangsawan dan kaum berkuasa-kaya mencoba menjauh-kan diri dari uang dan memusatkan diri pada arête semata dan kebudayaan sebagai otium.

Kaum sofis, sebaliknya melihat tugas mengajar dan pendidikan sebagai sebuah profesi dan keahlian yang sudah selayaknya mendapat imbalan demi mempertahankan hidup. Motif uang untuk bertahan hidup timbul dari ketiadaan relasi yang stabil dengan negara maupun tidak adanya spesialisasi yang membatasi mereka. Kalau kita bandingkan dengan profesi di era modern kontemporer, kaum sofis adalah para dosen dan para wartawan yang menjadi sarana pemberi berita dan pembentuk opini publik.

Roh progresif-revolusioner

Satu lagi ciri dasar kaum sofis adalah sikap terbuka, dinamis, anti kemapanan dan progresif. Pergerakan mereka yang sebegitu dinamis dengan berkeliling dari polis ke polis telah membuat ikatan emosional dan kesetiaan terhadap polisnya mulai memudar. Mereka lebih merasa sebagai seorang pribadi yang lepas bebas, para guru dan penyiar freelance

daripada seorang warga polis.

(7)

daripada Platon dan Aristoteles yang secara ideologis dan politis masih tetap tertancap pada mentalitas kelas aristokrat dan sistim aristokrasi serta memahami paradigma ideal negara dalam polis.

Iluminisme Sofis

Ciri dasar kaum sofis adalah kebebasan dan kemajuan. Dalam tataran filosofis, ideologis dan kultural kaum sofis dapat disebut sebagai kelompok iluminis. Mereka adalah kelompok pemikir pertama yang mencoba keluar dari pergulatan mengenai physis, mengkritisi tradisi-tradisi keagamaan, konsepsi mengenai arête keturunan, dominasi kelas aristokrat, paradigma negara ideal dalam polis serta sistim nilai tradisional Yunani klasik. Kaum sofis adalah orang pertama yang memulai sekularisasi dan demokrasi dalam peradaban Yunani klasik. Mereka menurunkan filsafat dari langit ke bumi.

(8)

Berbagai Aliran Sofis

Ada tiga kelompok sofis:

a) para sofis dari generasi pertama adalah para sofis teoretis-praktis;

b) para sofis eristis: sekelompok ilmuan yang mengutamakan aspek formal dan metode sofistik tanpa peduli dengan muatan dan rilevansi moral dan mentransformasikannya menjadi diskursus semata;

c) para sofis politik, yakni orang-orang yang berambisi di kancah perpolitikan dan tanpa menghiraukan muatan moral-etis apapun. Doktrin dan metode sofisme telah dimanipulir untuk meraih ambisi dan kepentingan sosial politik serta membentuk suatu doktrin immoralisme.

1. Protagoras

(9)

karya utama Protagoras berjudul Tentang Kebenaran yang memuat Penalaran Demolitoris dan Antilogi.

Prinsip “homo-mensura”

Prinsip dasar doktrin Protagoras terungkap dalam kalimat “manusia adalah ukuran dari segala sesuatu, dari

dan demi apa yang ada maupun yang tidak ada”1. Istilah

ukuran dimengerti sebagai norma keputusan, sedangkan segala sesuatu adalah semua fakta pada umumnya. Dalam gagasan ini, Protagoras bermaksud menegaskan ketiadaan norma absolut tentang ada dan ketiadaan, benar dan salah, sah dan tidak sah. Kriteria penilaian adalah relatif, yakni

setiap orang.

Prinsip Dwi Alasan Kontradiksi

Prinsip dasar “homo-mensura” berada dalam konteks pengajaran arête dan bukan dalam keinginan untuk mendirikan suatu doktrin gnoseologis. Doktrin homo-mensura berada dalam karyanya Antilogi.

Berdasarkan kesaksian Diogenes dari Laertius, Protagoras mengajarkan bahwa seputar segala sesuatu terdapat dua penalaran yang saling bertentangan: tentang suatu hal orang dapat menyetujui dan menyangkal. Artinya orang dapat membuat dalih-dalih yang saling meniadakan. Pola berdiskusi semacam ini disebut antilogi atau kontroversi. Kepada setiap murid sofis diajarkan antitesis dari berbagai tesis tentang sekian banyak tema atau hipotesis dan kemudian antitesis-antitesis semacam ini dikatalogisasikan dan diuraikan secara tepat. Argumentasi

(10)

antilogis ini secara singkat dapat disebut sebagai argumentasi untuk mengkritik dan mendiskusikan serta menata-kelolakan suatu kompetisi penalaran melawan penalaran.

Dalam terang berpikir antilogi seperti ini, Protagoras hendak mengajarkan bahwa tentang segala sesuatu selalu terdapat kemungkinan untuk mendalihkan argumen pro dan kontra dan memperkokoh argumentasi yang lebih lemah. Perspektif ini kiranya jangan ditarik pada prinsip moral bahwa kejahatan dan ketidakadilan dilawankan dengan keadilan dan kebaikan. Secara ringkas, Protagoras hanya bermaksud mengajarkan para murid mengenai aneka cara untuk memperkuat dan membawa suatu argumentasi yang sebelumnya dianggap lebih lemah kepada kemenangan.

Prinsip dwi alasan kontradiksi merupakan konsekwensi turunan dari prinsip homo-mensura. Dalam hal ini sistim nilai menjadi relatif; tiada lagi distingsi absolut mengenai indah dan buruk rupa, adil dan durjana, benar dan salah, bijak dan gila; tiada dilakukan definisi apapun. Semua sistim nilai tersebut dapat ditampilkan secara logis dan tidak, diterima sebagai kebenaran atau kekeliruan tergantung pada argumentasi yang sedang dibangun.

Ajaran dan Makna tentang Keutamaan Protagorian

Protagoras mengakui diri sebagai seorang guru keutamaan. Pengajarannya difokuskan pada kecerdikan

(11)

kecakapan dalam berbicara di depan umum, pengadilan dan pertemuan-pertemuan raya. Kecakapan berbicara demikian dapat diajarkan melalui teknik antilogi dan akibat-akibat turunan dari teknik demikian yang memperlihatkan keunggulan dan kegunaannya dalam menghadapi argumentasi lawan.

Dalam pengertian kecakapan secara demikian, Protagoras memahami arête bukan dalam artian

keutamaan, melainkan makna awali tentang kecakapan,

keahlian, ketrampilan dalam bersilat lidah dan mengalahkan argumentasi lawan.

Garis Batas Prinsip Homo-mensura

Prinsip homo-mensura secara tegas menyangkal nilai-nilai absolut dan kebaikan absolut. Meskipun demikian, diakui oleh Protagoras mengenai sesuatu yang lebih

berguna, sesuai dan menguntungkan. Seorang bijak adalah

orang yang mengenal hal relatif yang lebih bermanfaat, lebih sepadan dan lebih menguntungkan dan kemudian mengejawantahkannya.

Gagasan mengenai nilai relatif dari segala sesuatu dan kemudian hal yang bermanfaat, hal yang sesuai dan menguntungkan mereduksikan doktrin homo-mensura pada pragmatisme dan relativisme.

Utilitarianisme Protagoras

Setelah mengeliminir masalah kebenaran dan

(12)

dalam gagasan protagorian, adalah orang yang mengenal hal yang baik dan berguna dari apa yang sedang ia

kerjakan. Seorang petani disebut bijak sejauh memahami

apa yang baik dan berguna tentang tanam-tanaman dan mampu mendatangkan hasil. Dokter adalah bijak bila mengenal dan memahami kebaikan dan kegunaan tubuh serta mampu memproduksikan sesuatu berkaitan dengannya. Seorang sofis atau guru disebut bijak bila mengetahui nilai baik dan berguna untuk polis dan membuatnya tampak adil baginya (kegunaan publik) serta mendidik warga polis. Bijak berarti professional dalam pekerjaan.

Secara implisit, seharusnya Protagoras mengakui hak supremasi, karena manusia bijak dapat memberikan hal yang tampak baik dan berguna kepada seluruh warga yang kurang mengenal apa yang baik dan berguna baginya. Secara akronistis dapat dikatakan bahwa konsepsi Protagoras mengenai kebajikan berciri empiris-fenomenologis.

Persoalan utama dari gagasan homo-mensura yang mereduksikan manusia dan jiwanya pada sekedar merasa dan mencerap berkaitan erat dengan dimensi etis-politis hidup polis: hidup bersama dalam polis diatur seturut norma-norma, hukum dan prinsip-prinsip moral tertentu dan bukan sekedar kebutuhan material. Nah, siapa yang menentukan kegunaan dan kebaikan itu? Setiap orang atau seorang bijak (sofis)?

(13)

Protagoras secara tegas mengatakan bahwa “tentang dewa-dewi saya tidak mempunyai alasan untuk

mengatakan bahwa mereka ada atau tidak ada”. Pendapat

ini kiranya berkaitan erat dengan metode argumentatif antilogis pro dan contro eksistensi dan non eksistensi dewa-dewi.

Secara spiritual sulit sekali mengatakan bahwa Protagoras menyangkal eksistensi dewa-dewi. Argumentasi antilogis kiranya berkaitan dengan pengetahuan tentang dewa-dewi dan bukan keberadaan mereka. Pada tahap kepercayaan, Protagoras, sebagaimana dikatakan oleh Platon, meyakini dan mengakui dewa-dewi; hanya saja praksis hidupnya boleh dikata tidak terpengaruh olehnya. Protagoras adalah seorang agnostik teologis. Prinsip homo

-mensura pasti menggiring pada skeptisisme total dan immoralisme yang berujung pada ateisme.

2. Giorgias

Giorgias lahir di kota Liontini, Sisilia sekitar tahun 485/480 SM. Ia adalah murid Empedokles. Semasa hidupnya ia berkeliling Yunani dan menetap juga di Athena. Pada tahun 427 SM, Giorgias dikirim oleh kota Liontini sebagai duta untuk mendapat bantuan militer melawan Siracusa. Berkat seni retorika, Giorgias mendapat sukses besar dan kemashyuran. Karya utamanya adalah

Tentang Alam atau tentang ketiadaan, sebuah ungkapan nihilsme klasik.

(14)

Giorgias bergerak pada garis dan posisi nihilisme. Nihilisme ini merupakan suatu pembalikan sistematis terhadap filsafat kosmologis dan eleatisme, terutama yang digagas oleh Melissos. Untuk menentang gagasan mengenai ada, Giorgias mengajukan tiga dalil yang saling berkaitan:

a) tidak ada ketiadaan;

b) seandainya ada adalah ada, ada tidak dapat dipahami;

c) dan jika pun dapat dipahami, ada tidak dapat dikomunikasikan maupun dijelaskan

kepada orang lain.

Pembuktian dari ketiga dalil ini memiliki sasaran jitu, yaitu diarahkan untuk menyingkirkan secara radikal kemungkinan eksistensi atau pencapaian dalam pengungkapan kebenaran obyektif. Giorgias memang berkeinginan mengeliminir ada dan semua kriteria kebenaran. Dengan menunjukkan ketiadaan, ketakterpahami, ketidak-dapat-dikomunikasikan dan dijelaskan ada, Giorgias memperlihatkan kemustahilan bagi keputusan. Baginya, tiada kebenaran apapun; semuanya keliru.

(15)

Dalil kedua mengenai ketakterpahami ada merujuk pada penegasan Parmenides seputar ikatan ada dan pikiran: berpikir berarti berpikir tentang ada dan ada selalu dapat dipikirkan. Ada dan pikiran adalah dua sisi dari satu mata uang yang sama. Giorgias menentang identifikasi itu dengan mengatakan bahwa ada sekian banyak muatan pikiran yang tidak riil dan tidak eksis dalam kenyataan. Jika demikian, penengasan bahwa yang tidak ada tidak-dapat dipikirkan disangkal juga mengingat kita tidak-dapat memikirkan hal-hal yang tidak eksis secara konkrit. Sebagai kesimpulan: jika ada sekian banyak hal yang terpikirkan tidak eksis, sebaliknya benarlah pula bahwa ada tidak dapat dipikirkan; jika yang dipikirkan adalah tidak ada, ada tidak terpikirkan.

Dalil ketiga menyangkal adanya hubungan antara ada, pikiran dan ungkapan (kata). Jika tiada relasi antara pikiran dan ada, tidak ada pula kemungkinan untuk mengatakan, mengungkap-kan ada apapun. Dengan kata lain, Protagoras menolak asumsi sebelumnya bahwa pikiran merupakan pembawa ada dan kebenaran dan kata sebagai penyingkap ada dan pikiran.

Kebenaran empiris dan realitas situasional

(16)

Penolakan atas jalan nalar dan jalan opini, Protagoras mencari jalan ketiga antara ada dan tampilan , kebenaran dan opini. Jalan ketiga tersebut adalah jalan pengalaman. Protagoras mengakui logos yang menerangi fakta-fakta, situasi dan kondisi serta memunculkan pengalaman hidup individu dan polis.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa jalan pengetahuan yang digagas oleh Protagoras adalah jalan tengah (moderasi) di antara eudemonisme dan intelektualisme. Jalan tengah itu memustahilkan peluang untuk mencapai uraian, definisi dan tata aturan absolut maupun opini liar individualistis. Jalan tengah protagorian adalah secara etis-politis adalah etika situasional.

Retorika, Kemahakuasaan Kata dan Puisi

Penyangkalan atas kebenaran absolut dan hubungan antara ada, pikiran dan kata memberikan suatu perspektif baru mengenai fungsi dan makna kata dalam hidup manusia. Kata memiliki otonomi. Tiada lagi hubungan antara kata dan kebenaran, wicara dan pengetahuan; kata menjadi terbuka dan tersedia bagi siapa dan apa saja. Bagi Protagoras, kata merupakan pembawa sugesti, persuasi

dan keyakinan semata.

Adapun disiplin ilmu yang mengolah kata dan mengaktualkan kemampuannya secara maksimal adalah

retorika. Maka retorika merupakan seni membujuk,

meyakinkan, merayu. Karena itu, retorika merupakan jalan

(17)

Keterlepasan kata dari kebenaran obyektif membuat kata menjadi senjata yang amat berbahaya. Kekuasaan dan magnet kata tergantung dan bergantung sepenuhnya pada pribadi dan niat-niatnya saja.

Selain mengembangkan aspek retoris, kekuatan kata juga dimanfaatkan dalam bidang puisi. Parallel dengan tekanan praktis-pragmatis dalam retorika, dalam bidang puisi para sofis mempermainkan kata-kata bukan untuk mengungkapkan kebenaran teoretis dari perasaan puitis (individualitas tertentu) secara otonom, melainkan untuk mengaduk-aduk dan mempermainkan perasaan individu semata.

3. Prodicos

Filosof ini lahir di pulau Keos, namun tidak diketahui kapan data kelahirannya. Para ahli mereka-reka bahwa Prodicos lahir antara 470-460 SM dan aktivitasnya ditempatkan pada awal perang Peloponnexos. Perkiraan ini didasarkan pada sindiran Aristophanes pada Prodicos. Ia berulang-ulang ke Athena sebagai utusan dan mendapat sukses besar di kota ini maupun di kota-kota lain. Karya utamanya berjudul Horai, yang diperkirakan para ahli berasal dari nama dewa kesuburan.

(18)

Etika Utilitarian

Ketegangan antara arête dan kakía, keutamaan dan kedurjanaan berada dalam kerangka etika utilitarian. Aturan-aturan dan resep-resep yang digagas oleh Prodicos selalu berada dalam perspektif kegunaan, memperoleh keunggulan-keunggulan baik berkaitan dengan dewa-dewi, rekan-rekan, kehormatan polis, kekaguman oleh orang-orang Yunani maupun mendapatkan hasil tanah yang melimpah ruah, memperoleh kekayaan.

Namun, untuk memperolehnya Prodicos menolak cara-cara yang melelahkan. Semua keunggulan dapat diperoleh tanpa jerih payah alias dengan mudah dan cepat. Tentu saja tidak dapat ditarik kesimpulan seakan-akan ada identifikasi antara arête dan hedone, keutamaan dan kesenangan. Kesenangan yang dimaksud hanya dalam cara untuk mewujudkan keutamaan atau keunggulan dan bukanlah tujuan. Karena itu, etika Prodicos berciri

utilitarianisme-eudemonisme aktivistis. Jadi, keutamaan adalah rasionalisasi kesenangan dan kegunaan moral dan material secara terperinci dan sistematis.

Dewa sebagai Divinisasi Kegunaan

(19)

dianggap sebagai Demeter, anggur seperti Dionysius, air sebagai Posidone, api seperti Hephaistos. Begitulah setiap hal ihwal yang berguna bagi kita dianggap dewa-dewi”.

Dalam gagasan demikian terungkap secara jelas hakikat agama. Agama adalah ciptaan manusia semata, sedangkan dewa-dewi merupakan personifikasi dari kebutuhan dan kegunaan benda-benda serta segala hal bagi hidup manusia. Di sini tampak jelas perbedaan esensial antara para sofis dan para filosof kosmologis. Dewa-dewi bukan lagi berperan sebagai prinsip melainkan diidentikkan sebagai kegunaan yang lebih besar.

4. Hippias

Hippias tergolong ke dalam kelas sofis yang beraliran naturalistis. Lahir di Elis pada sekitar akhir abad V SM dan merupakan rekan sebaya Sokrates. Dari sudut ilmu pengetahuan, Hippias tergolong sebagai seorang ilmuan terkenal dan menguasai banyak bidang pengetahuan dan keahlian. Ketenarannya dapat ditarik dari dua karya yang didedikasikan oleh Platon kepadanya yakni, Hippias Mayor dan Hippias Minor.

Metode ‘Polimathia’

(20)

Untuk memperoleh pengetahuan ensiklopedis dan ketrampilan serba bisa, orang harus diajar tentang seni mengingat atau mnemoteknik. Untuk itu, materi pelajaran yang amat ditekan-kan olehnya adalah ilmu-ilmu alam dan matematika, sebab menurutnya hidup manusia harus lebih serasi dengan alam dan hukum-hukumnya melebihi hukum-hukum manusia.

Preferensi Kodrat/alamiah

Doktrin Hippias berkisar pada persoalan antara kodrat

(physis) dan hukum (nomos). Apakah tingkah laku manusia

dan struktur masyarakat harus ditata dan dikeloloa seturut

nomos atau physis? Hippias beranggapan bahwa kriteria dasar dan barometernya adalah kodrat manusia dan bukan adat kebiasaan.

Hippias menghadirkan kodrat sebagai sesuatu yang menyatukan manusia, sementara hukum dan kebiasaan menjadi sesuatu yang memecah belah, dengan memaksa manusia. Dari sudut ini, hukum dipandang sebagai hal yang bertentangan dengan alam dan kodrat.

(21)

5. Antiphontes

Sumber-sumber yang berbicara tentang Antiphontes hanya ada sedikit sekali dan riwayat hidupnya juga sangat kabur. Dia hidup sekitar akhir abad V SM. Karyanya berjudul “Veritas, Kebenaran”, amat dipengaruhi oleh Sekolah eleatis. Secara filosofis, Antiphontes mempunyai pemikiran tentang manusia, hidup bersama dan struktur masyarakat yang jauh lebih radikal daripada permenungan Hippias. Gagasan mengenai kesetaraan dan kosmopolitanisme manusia digiring pada sudut yang meruntuhkan baik prasangka-prasangka rasial dan superioritas Yunani dibandingkan dengan suku bangsa lainnya maupun kasta aristokrat dan ketertutupan polis.

Bagi Antiphontes, setiap polis adalah sama/setara dengan polis lainnya, tiap kelas sosial setingkat dengan kelas sosial lainnya dan setiap bangsa adalah sederajad dengan bangsa lainnya, karena setiap manusia per natura

adalah setara dengan manusia lainnya. Iluminisme kaum sofis telah mengubah secara radikal atau merevolusir sistim nilai, kepercayaan, keyakinan dan struktur kemasyarakatan dalam polis.

Lalu apa yang dimaksud dengan kodrat manusia yang sama dengan manusia lainnya? Di mana letak kodrat tersebut? Kodrat yang dimaksud oleh Antiphontes berciri inderawi-badani. Kodrat adalah sesuatu berkat mana

kebaikan adalah kegunaan dan kesenangan, sementara

(22)

Dalam terang gagasan kodrat yang instingtif demikian, hukum-hukum dan kebiasaan selalu dipandang sebagai hal yang tak-alami, buatan semata dan bertentangan dengan kodrat manusia. Hukum mempunyai daya paksa untuk berkurban dan menjadi korban, dan dalam artian ini berarti derita, sengsara, batasan dan rintangan bagi perasaan, insting dan spontanitas.

Gagasan mengenai kesetaraan manusia yang berdimensi inderawi-badani murni kiranya membawa konsekwensi yang cukup fatal. Secara teoretis, gagasan kesetaraan Antiphontesian seperti menghapus semua perbedaan, namun dalam kenyataannya, pernyataannya memberikan peluang untuk membangun suatu perbedaan dan distingsi bentuk lain yang lebih buruk. Sebab orang dapat saja menyimpulkan premis-premis Antiphontesian dengan mengatakan bahwa alam “membuktikan adanya manusia yang lebih kuat dan yang lebih lemah, yang lebih perkasa secara kodrati mendominasi yang lemah dan memaksakan keinginannya”. Nah, penyimpulan demikian dibuat oleh para sofis yang berkecimpung dalam dunia politik. Dari sinilah terjadi degradasi nilai dan etis dalam doktrin para sofis.

Socrates

(23)

dan murni mengenai figur dan pemikiran Socrates? Inilah beberapa persoalan yang menjadi perdebatan sepanjang sejarah permenungan mengenai Socrates.

Sumber-Sumber

Sumber pertama adalah Aristophanes. Dalam komedi berjudul Awan-awan, Aristophanes menjadikan Socrates sebagai tokoh utama. Dalam komedi ini, Socrates dianggap sebagai seorang sofis dan sekaligus filosof alam. Komedi bukanlah sekedar parodi melainkan juga senjata untuk menyerang seseorang dan doktrin-doktrinnya.

Sumber kedua adalah Platon. Platon menjadikan Socrates sebagai tokoh utama dalam dialog-dialognya. Di satu sisi Platon mengangkat Socrates sebagai simbol kebenaran, keadilan dan keutamaan (pahlawan moral, santo, bijak dst.) dan di sisi yang lain menjadikan Socrates sebagai juru bicara seluruh doktrinnya.

Sumber ketiga adalah Xenophon. Dalam Memorabilia

tentang Socrates, Xenophon menulis tentang Socrates

dan percakapan-percakapannya dengan rekan-rekannya. Xenophon pernah menjadi pengikut Socrates, namun tidak berlangsung lama.

Sumber keempat adalah Aristoteles. Aristoteles tidak mengenal langsung Socrates. Ia mengetahui Socrates secara tidak langsung. Namun demikian, Aristoteles menganggap doktrin socratesian penting bagi permenungan filosofis.

(24)

Seputar riwayat hidup Socrates, kita memiliki data yang pasti mengenai kematiannya. Ia wafat pada 399 SM sebagai konsekwensi dari hukuman mati dengan cara meminum racun yang telah dijatuhkan oleh pejabat Athena kepadanya. Waktu meminum racun itu, Socrates berusia 70 tahun. Maka kelahirannya diperkirakan 469 SM. Ayahnya bernama Sophroniskos, seorang pematung dan ibunya adalah Phainarete dan berprofesi sebagai bidan. Socrates menikah pertama kali dengan Mirtos (Diogenes Laertius, II, 26) dan pernikahan kedua ketika ia sudah cukup berumur dengan Santippe, seorang wanita yang sangat sulit (Xenophon, Simposium, II, 10). Masa-masa formatio pendidikannya, Socrates bergaul dengan para filosof kosmologis dan pernah berguru pada Arkhelaos, murid dan pengganti Anaxagoras di Athena. Sulit memasti-kan sampai kapan ia mengikuti Arkhelaos. Hanya, Socrates tidak puas dengan pendekatan dan obyek permenungan para filosof kosmologis. Karena itu, ia mencoba menemukan jalannya sendiri.

Aktivitas di luar filsafat hampir tidak ada sama sekali, kecuali berkaitan dengan semacam wajib militer sebagai

hoplites atau prajurit infanteri (pasukan jalan kaki). Ciri khas prajurit ini adalah mereka membiayai seluruh perlengkapannya. Socrates ikut dalam pertempuran di Potidea, Anphipoli dan Delio. Sedangkan terhadap hidup politik, Socrates bersikap amat alergi dan kritis meskipun bukan seorang apolitik.

(25)

pemulihan sistim pemerintahan demokratis di Athena. Anytos menuduh Socrates tidak percaya pada dewa-dewi yang diakui polis Athena dan malahan memperkenalkan doktrin-doktrin religius yang baru. Selain masalah religius, Anytos juga menuduh Socrates telah meracuni kaum muda dengan doktrin-doktrinnya yang sangat menyerang praksis politik dan hidup politis Athena masa itu. Socrates adalah ancaman bagi agama populer warga polis dan bagi stabilitas politik dan pemerintahan Athena. Ini semua tertulis dalam

Apologia yang ditulis oleh Platon.

Doktrin Socrates

Permenungan filosofis Socrates bertitik tolak dari pergulatannya dalam mencari prinsip-prinsip yang mengatur alam semesta. Itulah fase pertama pergulatan Socrates. Namun, Socrates lambat laun merasa jenuh dan buntu atas kesimpangsiuran dan pertentangan doktrinal para fisikawan dan kosmolog. Akhirnya, Socrates berbalik arah dan mengikuti jalan yang ditempuh para sofis: memperhatikan dan memusatkan diri pada soal manusia. Permenungan-permenungan Socrates memiliki banyak kesamaan dengan sofisme, sehingga tanpa penjelasan dari Platon, Xenophon dan Aristoteles, orang bisa menyetujui kesimpulan Aristophanes bahwa Socrates adalah seorang sofis. 1. Penemuan Hakekat Manusia

(26)

akal budi dan organisasi diri. Perbedaan dasar permenungan Socrates dibandingkan dengan kaum sofis terletak pada kedalaman refleksi. Socrates mencari hakekat manusia: siapakah manusia?

Socrates menjawab demikian, manusia adalah jiwa

atau batinnya. Jiwa atau batin adalah faktor pembeda dasariah dan esensial antara manusia dan benda-makhluk lainnya. Gagasannya tentang jiwa berbeda dari pengertian-pengertian sebelumnya, seperti Homer dan Orfisme. Bagi Socrates, jiwa bukanlah phantasma, roh yang meninggalkan badan setelah kematian, bukan pula ilah-ilah yang terkurung dalam badan karena dosa asal. Jiwa berkaitan dengan kesadaran berpikir dan berkarya,

bersinggungan dengan nalar dan tempat aktivitas berpikir

dan bertindak secara moal. Jiwa socratesian adalah saya yang berpikir, aku yang sadar dan personalitas intelektual

dan moral.

2. Metode Permenungan

(27)

kebenaran lewat konstruksi pertanyaan dan jawaban. Diskursus parade diganti dengan diskursus pendek-pendek atau dialog terbuka secara mengalir dan mendalam.

Finalitas metode dialog socratesian adalah etika dan edukasi. Dialektikanya terarah pada nasihat (eksortasi) keutamaan bahwa jiwa dan pemeliharaannya merupakan kebaikan tertinggi bagi manusia dan membebaskan jiwa dari kekeliruan dan mendapatkan kebenaran. Socrates mau mengajak orang agar memperhatikan dan memuaskan jiwanya (Lakhes, 187d – 188b) dan lewat dialog harus menelanjangi jiwa dan berkontemplasi (Kharmides, 154d-e) agar lewat pemurnian itu orang menjadi sadar akan hidupnya (Apologia, 29d-e, 39c-d).

a. Ketidaktahuan

Titik berangkat diskusi atau dialog socratesian adalah afirmasi “tidak tahu”. Di hadapan rekan-rekan dialognya, Socrates selalu menghadirkan diri sebagai orang yang tidak tahu apa-apa dan karena itu ia ingin belajar, bukan mengajar. Ketidaktahuan socratesian ini berciri mendua atau khiasan, sehingga orang kerap memahaminya sebagai prinsip skeptisme. Dalam kenyataan, Socrates hanya bermaksud memutuskan diri dari pengetahuan dan spekulasi para kosmolog, kaum sofis serta kebudayaan tradisional dan membuka sebuah horison baru dan forma baru pengetahuan yakni, kebijaksanaan manusia.

(28)

daya-daya ekstra human dan upaya untuk mengetahui rahasia hukum-hukum alam, sehingga mengabaikan dan melupakan manusia. Atas kaum sofis, tidak tahu Socrates merupakan suatu dakwaan atas kepongahan (presumpsi) intelektual mereka bahwa mereka tahu segala sesuatu (sejenis ilmuan ensiklopedia ala Giorgias). Sementara atas tradisi kebudayaan pada umumnya (politisi, seniman, pemahat dst.) tidak tahu Socrates adalah dakwaan atas inkonsistensi total mereka, dengan membiarkan diri mengapung di permukaan dan kesombongan mengetahui semua karena menguasai satu displin ilmu. Anggapan ketidaktahuan socratesian berada dalam konteks pengetahuan Dewata. Pengetahuan manusia bersifat terbatas dan rapuh; hanya Allah saja adalah

omniscientist.

b. Ironi

Tidak tahu Socrates merupakan sebuah metode dialog. Ia berpura-pura tidak tahu agar memancing lawan bicara untuk mengambil sikap superior atasnya dan membuatnya membangun alur berpikir sendiri. Dengan begitu, Socrates menggiringnya pada posisi penjelas dan pembela daripada penanya dan penyelidik serta pendakwa.

(29)

meminta nasihat dan pelatihan darinya. Namun, ciri pura-pura terlalu kuat untuk disembunyikan, karena terpancar lewat nada yang meremehkan dan pilihan kata yang mendua. Kadang-kadang, Socrates menyanjung gagasan dan metode-metode para lawan bicaranya sedemikian tinggi sehingga terkesan sebagai karikatur semata untuk kemudian menggiring mereka lewat pengertian, definisi dan pendapat-pendapat mereka pada posisi orang yang tidak tahu, setengah tahu dst. Jadi, ironi merupakan sandi, ciri khas dari filsafat socratesian.

c. Konfutasi (Elenchus)

(30)

kehabisan argumentasi dan alasan, dan akhirnya pergi dengan malu dan sakit hati (Sophis, 230b-e).

Terhadap para sofis medioker yang tidak pernah mau mengakui ketidaktahuannya, metode konfutasi diarahkan untuk menghancurkan kepastian-kepastian yang dangkal dan keliru. Konfutasi menjadi alat untuk membersihkan jiwa dari kekeliruan-kekeliruan. Di sini mereka bukan dikalahkan melainkan diperkaya. Misalnya, kaum sofis mengatakan bahwa dalam jiwa terdapat opini-opini dan kepastian-kepastian yang keliru sehingga mustahil orang dapat sampai pada kebenaran. Socrates mencoba membersihkan batin dari kekeliruan demikian agar dia dapat menemukan kebenaran.

d. Maieutica

(31)

Dari sudut metode, Socrates menyumbang dua hal bagi dunia filsafat pada umumnya yakni, gagasan mengenai universalitas, keumuman atau definisi-definisi umum dan argumentasi induktif. Kedua gagasan ini merupakan cikal bakal bagi logika yang akan digagas secara sistematis oleh Aristoteles beberapa dasawarsa berikutnya (Metafisica, A6, 987b 1).

3. Etika

Telah dibahas sebelumnya bahwa permenungan filosofis Socrates berpusat pada manusia dan berorientasi pada kebenaran praktis. Sasaran utama permenungan Socrates bukanlah logika atau gnoseologia melainkan etika-moral. Socrates hendak mengajarkan manusia untuk sampai pada penemuan hakekat dirinya dan bagaimana mewujudkannya.

Gagasan Socrates mengenai jiwa bersifat rasional-intelektual. Ada suatu identifikasi antara psyche dan

tempat sejati intelek serta karakter individu. Manusia adalah makhluk rasional dan jiwanya adalah rasio atau inteleknya.

(32)

perintah dewata, adalah mengajar manusia untuk mengenal dan merawat dirinya. Prinsip dasar etika socratesian dapat disimpul secara demikian: bukan badan memberi hidup

kepada jiwa, melainkan jiwa menghidupi badan. Socrates

adalah dokter bagi jiwa manusia.

a. Keutamaan

Konsepsi dasar mengenai hakikat dengan sendirinya mengandung pengertian mengenai tujuan

hidup manusia. Apa tujuan otentik dan terakhir manusia? Apa keutamaan (arête) manusia? Bagi Socrates arête bukanlah techne. Kebajikan manusia terletak pada upaya untuk membuat jiwa menjadi baik seturut kodratnya. Menuai arête berarti menjadikan jiwa yang terbaik, mewujudkan aku batiniah, mencapai tujuan akhir manusia rohani, menjadi bahagia.

Apa artinya arête? Jika manusia dibedakan dari yang lain karena batin/jiwanya dan jika jiwa adalah aku sadar, tahu dan rasional, nah arête atau apa yang mewujudkan secara penuh kesadaran dan inteligensi demikian adalah ilmu dan pengetahuan. Pengetahuan adalah nilai tertinggi bagi manusia, membuat jiwa menjadi sebagaimana seharusnya dan merealisasikan manusia yang memiliki hakikat dalam jiwanya.

(33)

hidup, kesehatan tubuh dan kecantikan serta hal ihwal yang berkaitan dengan aspek eksternal manusia seperti kekayaan, kepopuleran, kekuasaan dst. Socrates malah membalik semuanya itu. Baginya nilai tertinggi terletak pada hal-hal batiniah rasional; jiwa lebih tinggi daripada badan dan manusia diidentikkan dengan jiwa.

Konsepsi sokrates mengenai konsepsi pengetahuan dipertentangkan dengan ketidak tahuan (paradoks dari arête adalah ignoransi). Ignoransi adalah kurang pengetahuan dan lemah dalam kesadaran. Jika seluruh dan setiap arête direduksikan pada pengetahuan, demikian pula cacat cela manusia, semua disatukan dalam ignoransi. Konsekwensi dari proposisi etis semacam ini adalah orang berbuat jahat

dikarenakan ia kurang sadar dan tidak tahu semata.

Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa prinsip epistemologi dan etis socratesian adalah sebagai berikut: a) keutamaan adalah pengetahuan dan b)

tiada seorang pun berbuat jahat/ berdosa secara sadar.

Identifikasi keutamaan dengan pengetahuan

(34)

diri pada adat istiadat, kebiasaan dan keyakinan umum melainkan sesuatu yang dimotivasi secara rasional,

dijustifikasi dan difondasikan di atas pengetahuan. Itulah pengetahuan tertinggi.

Mengenai tidak seorang pun berbuat jahat

secara sadar, Socrates tentu memiliki alasan

memadai. Tentu saja ia mengakui kebenaran pepatah

video meliora proboque, sed deteriora sequor. Namun

(35)

b. Autodominio, Libertas dan Autarchia

Istilah autodominio (έγκράτεια-enkrateia dari akar kata έγκρατής ) memang berasal dari Socrates untuk menunjukkan kebaikan ekselen bagi manusia.

Enkrates sendiri merujuk pada orang yang mempunyai

kuasa atau hak untuk mengatur-mengelola sesuatu.

Enkrateia adalah penguasaan atas diri sendiri terutama

dalam kaitan dengan kesenangan dan derita, keletihan dan dorongan insting dan perasaan. Enkrateia

merupakan penguasaan atas animalitas diri. Menjaga dan merawat enkrateia dalam jiwa berarti menjadikan

jiwa sebagai tuan atas badan dan nalar atas insting-insting. Kekurangan pengekangan dan kontrol diri membuat badan berkuasa atas jiwa dan insting-insting atas nalar (Giorgias, 491d).

Socrates mengidentikan secara tegas enkrateia

dengan έλευθερία-eleutheria, kebebasan. Sebelum Socrates, kebebasan memiliki makna eksklusif dalam ranah yuridis dan politik semata, tetapi dengan Socrates kebebasan memuat makna moral tentang

kekuasaan rasionalitas atas animalitas (Xenophontes,

Memorabili, IV, 5, 2).

Kemudian Socrates mengembangkan gagasan

enkrateia dan eleutheria dan mengaitkan- nya dengan

αùτάρκεια-autarchia. Autarchia berarti otonomi

(36)

autarchia technica, yakni kemampuan melakukan segala sesuatu yang berguna bagi hidup secara mandiri. Nah, Socrates ingin memperdalam gagasan itu dengan menunjukkan tujuan sejati dari setiap pencaharian seturut hakekat manusia adalah autarchia moralis.

Ada dua sifat dasar dalam gagasan autarchia: a) kemandirian terhadap kebutuhan-kebutuhan dan dorongan-dorongan badani melalui pengontrolan oleh nalar (psyche) dan b) menjadikan nalar sebagai satu-satunya alat untuk mencapai kebahagiaan. Secara umum gagasan Socrates mengenai autarchia terkait erat dengan pemahaman umum Yunani klasik tentang heroisme seperti tergambar dalam Heracles dan usaha kerasnya (πóνοι): kemampuan mengerjakan sendiri. Jika heroisme sebelumnya berkaitan erat dengan perjuangan melawan kekuatan-kekuatan jahat eksternal, dalam Socrates tekanannya terutama pada heroisme dalam tataran batiniah,

Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa

autodominio merupakan penguasaan nalar dan

pengetahuan (bukan voluntas) atas impulsi inderawi; kebebasan berkaitan erat dengan kemampuan nalar (bukan kebebasan arbitrio-volitium) untuk mewajibkan tuntutannya demi mengatasi tuntutan animalitas manusia dan autarchia merujuk pada sikap

autosufisien logos manusia dari tuntutan-tuntutan kebutuhan badani.

(37)

Dalam Protagoras, Platon lewat mulut Socrates memperlihatkan adanya keterkaitan timbal balik antara kesenangan dan kebaikan. Gagasan ini amat baru karena dalam dialog-dialog yang lain, kedua hal tersebut ditempatkan pada posisi berlawanan. Apakah gagasan dalam Protagoras berasal dari Socrates atau pendapat Platon semata?

Lepas dari persoalan itu, adanya keterkaitan antara kebaikan dan kesenangan menunjuk-kan bahwa kebahagiaan tidak terletak dalam penyangkalan kesenangan, melainkan dalam kalkulasi terhadap kesenangan. Dalam konteks ini, doktrin Socrates bahwa keutamaan adalah ilmu dan pengetahuan

mendapat aplikasinya dalam bentuk seni mengukur

kesenangan. Bagi Socrates, kesenangan bersifat netral;

ia tergantung pada pemakaiannya: jika kesenangan ditundukkan pada disiplin enkrateia dan virtu, hal itu merupakan sesuatu yang positif.

Berkaitan dengan kegunaan, Socrates selalu mengaitkannya dengan dunia batin. Semua kegunaan selalu menjurus pada utilitas animae, sementara kegunaan material-badani selalu berada dalam terang kegunaan batin. Jadi parameter kegunaan berada dalam perspektif arête virtu animae, ilmu dan pengetahuan dan bukan utilitarisme empiristis, materialistis dan positivistis.

d. Kebahagiaan

(38)

adalah seseorang yang mencari kebahagiaan dan mengajarkan cara-cara untuk sampai pada penemuan kebahagiaan tersebut.

Kebahagiaan sama sekali berada di luar hal ihwal eksterior, badani maupun material. Bagi Socrates kebahagiaan berkaitan erat dengan dunia batin, penghalusan dan penyempurnaan dimensi spiritual lewat keutamaan-keutamaan atau ilmu dan pengetahuan. Menyempurnakan jiwa dengan kebajikan-kebajikan berarti mewujudkan kodrat hakiki manusia atau menjadi individu seutuhnya.

Keutamaan itu dibatinkan seluruhnya dan dilepaskan dari segala sesuatu yang datang dari luar dan bahkan dari tubuh itu sendiri. Kebahagiaan berada dalam jiwa manusia dan dengan demikian ditempatkan dalam kekuasaan manusia. Singkat kata kebahagiaan bergantung sepenuhnya pada logos dan pembinaan

rohani. Selain itu keutamaan tidak memerlukan juga

segala sesuatu yang berada diatas manusia. Keutamaan itu adalah autarchia dan tidak memerlukan suatu imbalan di masa depan. Gagasan ini memperlihatkan bahwa secara epistemologis Socrates tidak merasa perlu memecahkan persoalan mengenai imortalitas jiwa pada tataran teoretis. Hal ini disebabkan adanya kekurangan kategori-kategori metafisik.

(39)

e. Persahabatan

Socrates menghubungkan konsep persahabatan dengan nilai moral. Sahabat sejati merupakan kebaikan tak terkira bagi manusia dan untuk mendapatkannya seseorang mesti berani berkurban.

Siapakah sahabat sejati bagi Socrates? Sahabat sejati bukanlah orang yang berkuasa, terkenal, kaya raya, cantik dan molek. Sahabat sejati adalah manusia bijak, manusia yang tahu batas (autarkis), menguasai diri sendiri (enkarates) dan kualitas-kualitas batiniah lainnya.

Sarat pertama untuk mendapatkan teman sejati adalah individu itu sendiri hendaknya berkebajikan. Sesungguhnya hanya orang baik dapat menjadi sahabat yang baik pula. Orang-orang jahat adalah orang-orang yang memiliki sikap bermusuhan; takkan pernah ada persahabatan antara orang baik dan orang jahat. Dengan kata lain, persahabatan diletakkan dalam dimensi batin dan didirikan di atas keutamaan.

4. Politik

Socrates beranggapan bahwa dirinya dilarang berpartisipasi dalam politik praktis oleh dewata lewat suatu tanda. Socrates mengkritik semua praksis demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang berlangsung masa itu meskipun demikian ajaran-ajaran Socrates tentang politik tetap beroreantasi pada polis khususnya polis Athena.

(40)

berkeutamaan sehingga mereka dapat mengurus kehidupan bersama dan kepentingan umum dengan adil.

Bagi Socrates seorang politikus ulung adalah manusia sempurna secara etis moral; ia adalah seorang politikus dalam dimensi batin dan mampu merawat jiwa-jiwa lainnya.

Aspek lain yang muncul adalah revolusi anti kekerasan. Socrates adalah seorang revolusioner. Namun cara berevolusinya bukanlah dengan kekuatan dan kekerasan melainkan dengan sikap anti kekerasan. Senjata revolusi Socratesian adalah persuasi, kata, bahasa. Hidupnya dan kematiannya merupakan contoh nyata dari sikap anti kekerasan.

5. Allah Socrates

Salah satu alasan utama penjatuhan hukuman mati terhadap Socrates adalah atheisme. Socrates memang bersikap kritis terhadap doktrin dan praksis hidup religius masa itu. Ia menentang antropomorfisme fisik maupun moral dan politiesme.

Bagi Socrates, Allah itu berada di luar jangkauan manusia. Allah adalah intelek pengatur dan pengarah. Karena itu ada hubungan antara Allah dan jiwa serta kaitan antara intelek ilahi dan intelek manusia.

Socrates memperkenalkan sebuah dewa baru

(daimonia). Divinitas Socrates ada kaitannya dengan tanda

(41)

dewa dan dewa ini berada di luar jangkauan manusia. Secara singkat dapat dikatakan bahwa gagasan dewata dalam Socrates berkaitan dengan dua faktor berikut, yakni :

a. religiusitas Socrates yang sangat intens dan

b. pemahaman Socrates tentang Allah sebagai penyelenggara.

PLATON

Riwayat Hidup

Platon lahir di Athena pada tahun 427 SM. Nama aslinya adalah Aristocles dan nama ini diambil dari nama kakeknya. Platon adalah nama panggilan atau julukan. Berdasarkan kesaksian Diogenes Laertius (III, 4) menceritakan demikian. Aristones adalah orang yang memberikan julukan Platon kepada Aristocles, karena kekuatan fisiknya. Platon berasal dari kata Platos yang berarti keluasan, lebar, panjang. Dengan demikian, julukan Platon merujuk pada keluasan gaya hidupnya atau ukuran wajahnya. Ayahnya bernama Ariston dan berasal dari keluarga kerajaan Kodros, sedangkan ibunya bernama Periktione dan merupakan keturunan Solon, raja dan sekaligus penggagas hukum tersohor raja Yunani. Karena itu sejak muda Platon telah melihat bahwa cita-citanya berada dalam wilayah politik. Garis keturunan, kualitas intelektual dan sikap-sikap pribadinya amat menunjang cita-cita tersebut.

(42)

Seperti kaum muda pada umumnya Platon belajar pada guru-guru termashyur bukan pertama-tama untuk menjadi pemikir (filosof) melainkan mempersiapkan diri untuk terjun kedunia politik namun berbagai kejadian mengubah kehidupan Platon.

(43)

besar untuk menjadi raja-filosof. Tiran Dionisius gusar sekali dengan Platon, sehingga memperlakukannya sebagai budak dan menjualnya kepada seorang duta besar Sparta di Egina (sementara dalam versi lain Platon melarikan diri ke Egina, yang pada saat itu sedang berperang dengan Athena dan di sana ditahan dan diperlakukan sebagai budak).

Sekembali ke Athena, Platon mendirikan Akademia. Gymnasium tersebut berada di sebuah taman yang didedikasi kepada pahlawan Accademos dan dari situ disebut Akademia. Dalam waktu singkat, gymnasium ini menjadi terkenal dan akhirnya banyak sekali anak muda dan orang-orang terkenal lainnya yang ikut bergabung untuk belajar di sana.

(44)

berprasangka buruk terhadap Platon dan dia sungguh membahayakan dirinya. Untuk orang-orang Taranto dan Archita melakukan intervensi untuk menyelamatkannya. Platon akhirnya kembali ke Athena. Sekembali ke Athena, Platon memimpin kembali Akademia sampai wafat. Tahun 357, Diones berhasil mengambil alih kekuasaan di Siracusa, namun pemerintahannya tidak berlangsung lama. Diones terbunuh tahun 353.

(45)

mengusahakan seni politik sesungguhnya dan saat ini tinggal saya sendiri melaksanakannya”2.

Karya-Karya Platon

Karya-karya Platon dapat dibagi dalam dua kategori. Kategori pertama adalah sekumpul-an dialog dan kategori kedua adalah surat-surat. Dialog-dialog platonis dapat dibagi ke dalam tiga periode besar.

Periode pertama adalah Apologia, Kriton, Eutyphron, Lakhes, Kharmides, Lysis, Hippias Minor, Menon, Giorgias, Protagoras, Euthydemos, Kratylos,

Phaidon, Symposion dan Republika Karya-karya yang

masuk dalam periode kedua meliputi Politeia, Phaidros, Parmenides, Theaitetos. Dua karya terakhir ini ditulis menjelang keberangkatan Platon untuk kedua kalinya ke Sisilia. Dialog-dialog dalam periode ketiga

mencakup Sophistes, Politikos, Philebos, Timaios, Kritias, Nomoi.

Adapun surat-surat Platon berjumlah 12 buah. Namun beberapa ahli meragukan surat pertama dan kedua belas sebagai karya Platon.

Ciri-ciri Dasar Filsafat Platon

Ada beberapa ciri dasar yang cukup kentara dalam permenungan filosofis Platon dan mewarnai gerak berpikirnya yang terus ber-evolusi.

1. Ironi

Dalam dialog-dialognya yang menempatkan Socrates sebagai tokoh utama, Platon menggunakan ironi sebagai

(46)

salah satu metode berfilsafat yang hakiki. Tentu saja ironi platonis memiliki asal usulnya dalam ironi socratesian. Namun ironi platonis memliki pengertian yang lebih luas dibandingkan dengan ironi socratesian. Ada dua aspek yang muncul dalam ironi platonis: pertama semakin dialog itu diperkaya dari sudut doktrinal dan momen-momen yang dibangunnya, semakin ketajaman ironi ter-reduksir. Kedua

ironi platonis cenderung meluas dan semakin kompleks seperti terungkap dalam dialog Parmenides. Aspek inilah yang membuat dialog-dialog sulit sekali ditafsirkan. Ironi platonis memuat secara mendalam nilai metodelogis yang berakar dalam metode maieutika socratesian.

Ironi platonis bukanlah visi nihilis yang menggunakan

via negativa. sebagaimana diungkapkan dengan tepat oleh

Jaspers. Sebaliknya ironi platonis memuat sesuatu yang positif, yang tidak diungkapkan secara langsung sehingga terhindar dari salah paham. Ironi platonis bermaksud menangkap dan memperlihatkan kebenaran bukan dengan berkata-kata melainkan dengan memunculkan kebenaran yang tersembunyi.

2. Mitos dan Logos

Dalam permenungan filosofis platonis, mitos bukanlah sekedar ungkapan dari fantasi tetapi terutama ungkapan iman atau harapan (elvis, Phaidon, 67 d-c; 68 a; 114 c). Diskursus filosofis platonis tentang tema eskatologis misalnya dalam Gorgias menjadi suatu bentuk iman ternalar. Artinya mitos mencari penjelasan dalam logos

dan logos mencapai kepenuhan, ketuntasan dalam mitos.

(47)

manusia ke dalam wilayah dan tataran visi yang tinggi di mana nalar dialektis murni semata sulit untuk menangkapnya. Platon mempercayakan kepada mitos suatu tugas untuk mengatasi secara intuitif batasan-batasan ekstrim nalar, sehingga mitos memahkotai dan menyempurnakan kekuatan ratio, dengan mengangkat roh pada suatu dinamika dan visi transeden.

Penggunaan mitos oleh Platon sebagai metode berfilsafat berbeda secara hakiki dari mitos pada jaman prafilsafat yang belum mengenal logos. Mitos dalam Platon menstimulir logos, membuatnya subur, berdaya guna dan kaya seperti terungkap dalam dialog Phaidon, 114c-d. Unsur-unsur khayalan dan rekaan imaginatif serta kekuatan-kekuatan magis-alusif yang diserta-kan dalam mitos perlahan-lahan ditanggalkan satu demi satu oleh logos. Bagi Platon, mitos merupakan medium eksplikatif, naratif dan ekspresif ratio dalam rangka memahami realitas material maupun transenden.

(48)

kepercayaan). Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa semesta indrawi adalah gambaran dan atasnya mustahil membuat penalaran-penalaran yang benar secara absolut melainkan mungkin saja benar. Pada tingkatan ini manusia hanya berpuas diri pada mitos, narasi-narasi yang mungkin (Timeos, 29 c-d).

Aspek lainnya, mitos dihadirkan sebagai sebuah permohonan yang berciri magis. Platon bermaksud menekankan kekuatan persuasif dari diskursus puitis-mitis yang mampu mencapai baik tingkatan rasional maupun tataran emotif batiniah. Bahkan Platon memahami mitos sebagai sebuah eksposisi naratif atas tema-tema filosofis bukan sekedar dalam forma dialektif semata. Dengan kata lain mitos memiliki tempat yang sangat esensial dalam filsafat platonis. Berbicara tentang mitos berarti pengungkapan diri lewat gambaran-gambaran yang pada tingkatan tertentu tetaplah sahih sejauh kita berpikir baik lewat konsep maupun lewat gambaran-gambaran. Mitos platonis berarti berpikir-lewat-gambaran baik lewat dimensi fisik kosmologis maupun eskatologis metafisik. Berbicara lewat mitos menjadi salah satu tanda dari medan tanda simbolis roh manusia.

3. Filsafat sebagai Dialog

(49)

bijak. Pencaharian akan kebenaran dan usaha untuk menjadi manusia bijak dilakukan dalam upaya bersama, dalam suatu dialog dengan orang lain. Didalamnya setiap orang yang mencari dapat saling membantu dan saling membetulkan. Karena pencaharian akan kebenaran tidak pernah tuntas dan purna maka orang harus terus menerus berbicara satu sama lain. Berfilsafat berarti berziarah.

(50)

bahasa lisan. Aristoteles memberikan kesaksian bahwa Platon mempunyai doktrin-doktrin tidak tertulis atau

agrapha dogmata.

Ajaran-Ajaran Platon

Pemikiran Platon merupakan sebuah sintesis raksasa atas persoalan-persoalan filosofis yang mewarnai seluruh pencaharian para pemikir Yunani klasik sebelumnya tentang alam semesta, ada tetap dan berubah, tunggal dan jamak, manusia dan makna hidupnya, agama dan kepercayaan. Berikut adalah pemetaan singkat atas buah renungan Platon.

1. Navigasi Kedua

Istilah navigasi kedua (δεύτερος πλοũς) berasal dari Platon sendiri. Istilah itu terdapat dalam Phaidon, 99 b-d, “bersediakah kamu, Cebetes bila saya memperlihatkan

navigasi kedua yang dapat dimanfaatkan untuk

menemukan sebab ini?”. Platon memperkenalkan istilah navigasi kedua dalam rangka menjelaskan perbedaan metode yang digunakan oleh para pemikir sebelumnya dan cara serta pola kerja yang dia gunakan.

(51)

dasar dan prinsip atau sebab sejati ada-ada (τò αïτιον τώ öντι) yang diidentikkan dengan Intelek pengatur (Anaxagoras) masih belum memadai.

Navigasi kedua merupakan sebuah metafora yang diambil alih dari bahasa pelaut dan istilah ini berarti suatu upaya yang dilakukan ketika kapal berlayar tanpa angin atau melaut dengan dayung. Navigasi pertama dijalankan dengan mengembangkan layar yang ditiup angin artinya permenungan dan pemahaman alam semesta yang dilakukan oleh para kosmolog dan metode kerjanya. Layar para kosmolog adalah panca indera dan sensasi-sensasi.

Sedangkan navigasi kedua yang dijalankan dengan dayung lebih berat dan melelahkan membutuhkan ketekunan dan refleksi mendalam; navigasi kedua berkaitan dengan metode baru yang digunakan oleh platon yaitu penalaran-penalaran dan hipotesis-hipotesis (ùπόθεσις). Metode kerja dan permenungan para filosof kosmolog yang dibangun di atas panca indera bukan memperjelas melainkan mengaburkan pengetahuan. Sedangkan metode yang baru didasarkan pada logos dan lewatnya orang sampai pada kebenaran dari segala sesuatu. Metode yang baru membawa orang pada pencapaian dunia atas.

Ada dua tahap dalam navigasi kedua yaitu pengakuan

(52)

konsekuensi dari hipotesis mengenai dunia ide. Pengakuan mengenai dunia ide secara tidak langsung merujuk pada eksistensi prinsip-prinsip (άρχή) pertama dan terakhir sebagaimana terungkap dalam Phaidon, 101e - 102a.

Ada tiga poin penting dalam filsafat Platon dan ketiganya meliputi seluruh bangunan metafisik platonis. Adapun ketiga poin dasar tersebut adalah a) teori tentang dunia ide, b) teori tentang prinsip-prinsip pertama dan c) doktrin tentang Demiurgos.

2. Teori tentang Dunia Ide

a. Seputar Istilah dan Makna Ide

Hal mendasar yang harus dipaparkan adalah istilah ide dan maknanya dalam pengertian Platon. Istilah ide berasal dari bahasa Yunani ίδέα dan εîδος. Bagi platon istilah ide berbeda dari pemahaman modern-kontemporer yang mengartikannya sebagai konsep, pemikiran, rapresentasi mental atau yang berkaitan dengan hal-hal psikologis dan noologis. Platon mengartikan ide sebagai formainterior, hakekat dari segala sesuatu, struktur metafisik, hal yang inteligibilis atau substansi. Ide platonis bukanlah ens rationis melainkan ada absolut, ada sejati, sesuatu yang mendasari objek khas dari pikiran. Istilah idea dan eidos berasal dari kata ίδέίν yang berarti melihat. Dalam bahasa Yunani sebelum platon istilah ίδέίν

merujuk pada forma tertampak dari segala sesuatu atau forma eksterior yang ditangkap oleh mata.

(53)

gagasan ide dalam filsafat Platon telah disiapkan sedemikian rupa oleh para filosof sebelumnya seperti Demokritos dengan gagasan atom-idea dan

Anaxagoras dengan istilah benih (homeomeria) yang memiliki warna dan citarasa dari setiap jenis hal. Secara spiritual, peradaban religius Yunani merupakan sebuah peradaban memandang. Loncatan pemahaman à la Platon mungkin terjadi berkat navigasi kedua.

Bila kata idea dipakai Demokritos dan Anaxagoras untuk menunjukkan ada berhingga, utuh, penuh secara kwantitatif atau materialitas murni, sebaliknya dalam gagasan Platon, idea merujuk pada

kwalitas, immaterialitas dan finalitas. Walau Platon tetap mempertahankan struktur melihat, namun muatannya telah diubah secara radikal sehingga membentuk suatu relasi tridimensional: “melihat”, “forma” dan “ada”. Bukti dari perubahan kwalitatif dan substansial dalam gagasan ide terungkap dalam penciptaan istilah-istilah baru seperti “pencerapan

nalar”, “pencerapanjiwa” dan “menangkaphakekat”. Analogi platonis tergambar secara lugas dan tegas. Apa yang ditangkap oleh mata inderawi adalah

forma fisik; sementara apa yang dicerap oleh mata batin adalah forma non-fisik. Pencerapan intelektual menangkap forma-forma intelligibilis atau esensi. Ide-ide adalah hakekat abadi dari misalnya yang baik, yang benar, yang adil, yang indah. Dengan kata lain,

melihat secara intelektif berarti yang terlihat secara intelektif (ide), sehingga ada ikatan sintetis antara

(54)

b. § Karakter Metafisik Ide

Istilah ide menggambarkan ciri spekulatif pemikiran Platon. Ada beberapa ciri dasar ide selalu muncul berulang-ulang dalam banyak tulisan dan menjadi titik rujukan yang bersifat niscaya bagi pemahaman tentang pemikiran spekulatif platonis.

Ciri pertama adalah inteligibilitas. Artinya, ide-ide merupakan obyek par excellence bagi nalar dan dapat ditangkap oleh nalar semata-mata.

Kedua berkenaan dengan incorporeitas. Maksudnya, ide-ide tergolong ke dalam dimensi yang berbeda sama sekali dari dunia badani dan inderawi.

Karakter ketiga berkaitan dengan immutabilitas. Intinya, ide-ide terlepas dari setiap bentuk perubahan, kelahiran maupun kematian.

Ciri keempat menyangkut ada dalam kepenuhan. Itu berarti bahwa ide-ide adalah ada-ada yang sesungguhnya; ada sejati.

Kelima adalah perseitas atau soliditas-stabilitas: ide-ide adalah per se dan in se secara absolut obyektif.

Ciri keenam mengenai unitas atau kesatuan. Setiap ide adalah suatu kesatuan dan sekaligus penyatu dari segala kemajemukan yang ambil bagian atau tergolong dalam genusnya.

c. § Dunia Ide dan Dunia Inderawi

(55)

realitas inteligibel dan realitas sensibel, tataran metafisik dan tingkatan fisik. Eksistensi dari kedua realitas ada (δúο εïδη τών öντων ) ini dinyatakan secara gamblang dalam Phaidon, 65c-66a, 78d-79a.

Realitas inderawi bukanlah berdiri sendiri dan otentik, melainkan selalu merujuk pada realitas ideal; ide-ide adalah realitas otonom dan sejati, benar dan otentik. Dengan demikian, ketika orang mencoba menjelaskan apa yang baik, indah, benar, adil, satu, jamak dalam realitas empiris dan konkret, rujukan penjelasan sama sekali bukan pada unsur-unsur material dan fisik semisal warna, ukuran, sketsa melainkan pada kebaikan, keindahan, kebenaran, keadilan, kesatuan, kejamakan in se.

(56)

kursi yang dibakar berubah wujud menjadi abu dan abu selanjutnya dapat menjadi suatu hal lainnya.

Poin penting dalam gagasan Platon mengenai dunia ide adalah ciri dasarnya yang bersifat

transenden, mengatasi dunia material dan fungsinya sebagai penyebab sejati bagi realitas fisik dan inderawi

dan imanen, apa yang tetap identik dalam sesuatu, hal

yang membuat sesuatu menjadi apa adanya dan sekaligus inteligibel. Pengertian demikian bermaksud mengatakan bahwa jika yang empiris-material dibedakan dari yang rasional-batiniah, tetap dari menjadi, badani dari jiwani, absolut dari relatif dan kesatuan dari kemajemukan, perbedaan atau oposisi ini menunjukkan suatu dimensi lain dari realitas, suatu tingkatan yang lebih tinggi dan sempurna daripada yang lainnya (bdk. Tymeos, 51b-52a).

Dunia ide merupakan ration d’être dari dunia fisik-badani mengingat yang terakhir ini akibat ciri dasar terus menjadi dan bergerak sehingga kerap kali membuat sesuatu yang autokontradiktoris dan tidak mempunyai alasan berada yang lebih menyeluruh. Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa yang inderawi dapat ditangkap, dijelaskan dan dipahami hanya dalam terang hal yang ideal, yang dapat binasa dengan yang abadi, yang realitif dengan yang definitif, absolut, yang banyak dengan yang tunggal.

(57)

mimesis (μίμησις) atau imitasi. Yang inderawi merupakan mimesis dari yang ideal, karena menirunya, walaupun tidak akan pernah menyerupainya secara utuh. Lewat pertumbuhan berkelanjutan, yang inderawi mendekatkan diri dengan yang ideal, tetapi proses itu terhenti ketika yang inderawi itu hancur binasa. Bentuk kedua ialah relasi

mithesis (μέθεξις) atau partisipasi. Yang inderawi ambil bagian atau memiliki bagian yang ideal, sejauh menjadi hakekat yang mesti diwujudkannya. Bagian ideal inilah yang membuat hal fisik-badani dapat dikenal. Sifat ketiga adalah relasi koinonia (xοινωνία) atau persekutuan. Hal ihwal inderawi sejauh memiliki ciri rasional dan batiniah memiliki suatu hal yang umum dan sekaligus berada dalam lingkaran tataran ideal meskipun hanya sebagian saja. Keempat adalah model relasi parousia (παρουσία) atau kehadiran. Yang ideal hadir dalam yang inderawi, seperti sebab dalam akibat, prinsip dalam turunannya.

Keseluruhan relasi dunia ideal dengan dunia inderawi-badani dapat diungkapkan secara padat dan ringkas dalam istilah paradigma atau model. Dunia ideal adalah model bagi dunia inderawi atau dalam bahasa metafisik modern kontemporer dinamakan “normatif ontologis” ide yang merujuk pada status keniscayaan ada: bagaimana ada seharusnya berada sebagai ada. Sebagaimana terungkap dalam Eutyphron

6d-e, Platon menegaskan bahwa ide tentang “kudus” adalah paradigma, sebab mengungkapkan bagaimana

(58)

dapat mewujudkannya; ide keindahan merupakan

paradigma sejauh menyatakan bagaimana segala

sesuatu mesti diatur secara formal sehingga dapat disebut dan menjadi indah.

Hal terpenting yang diungkapkan oleh Platon berkaitan dengan dunia ide adalah kemajemukannya. Dunia ide adalah semesta ide. Namun demikian, ada satu yang menjadi ide tertinggi, yaitu Idea yang baik. Ide yang baik menerangi dan menjiwai semua ide yang lain.

3. Protologi

Persoalan mengenai “mengapa ada kemajemukan?”, “mengapa dari yang tunggal muncul yang jamak?” tetap menghantui dan menjadi bahan kajian bagi setiap pemikir Yunani klasik, sehingga setiap filosof mencoba memberikan jawaban. Platon tentu saja tidak dapat memecahkan persoalan itu dengan teori mengenai dunia ide. Gagasan mengenai ide-ide merangkum baik realitas substansial maupun aspek-aspek dan kwalitas-kwalitas dari segala sesuatu. Teori tentang dunia ide mengakui adanya pluralisme dalam dunia idea atau pluralisme realitas inteligibilis. Karena itu, ide-ide sama sekali tidak dapat menjadi penjelasan terakhir bagi realitas; harus dicari suatu hal yang dapat menjadi fondasi metafisik.

(59)

multiplisitas yang lebih tinggi lagi. Nah, multiplisitas tertinggi dan terakhir terdiri atas prinsip pertama. Platon menamakannya dengan τά αxρα xαì πρωτα atau diskursus mengenai prinsip-prinsip pertama dan sering disebut juga dengan protologia.

Prinsip pertama tersebut terungkap dalam yang Satu

dan Diade atau dualitas tak berhingga. Satu dan Diade adalah meta-matematis atau berada dalam tataran metafisik. Diade adalah prinsip dan akar dari kemajemukan ada, dualitas dari besar dan kecil atau keluasan tak berhingga dan kekecilan tak berbatas. Dwi arah demikian membuatnya disebut diade tak berhingga

dan tak berbatas, sehingga dikualifikasi sebagai dualitas dari lebih dan kurang, banyak dan sedikit, besar dan kecil. Diade menghasilkan pluralitas dari segala sesuatu dalam segala bentuknya; pluralitas horizontal maupun prinsip degradasi hirarkis dari realitas.

Persoalan mengenai multiplisitas dan unisitas atau mengapa dari yang tunggal dapat muncul yang jamak dipecahkan dengan menghadirkan Satu dan Diade. Pluralitas, perbedaan dan degradasi dari segala sesuatu lahir dari tindakan Satu yang menentukan prinsip yang berlawanan dengan Diade yang adalah multiplisitas tak-tentu. Baik Satu dan Diade merupakan prinsip awali dan asali atau bipolarisme dalam struktur ada.

Referensi

Dokumen terkait

Peserta didik mengajukan pertanyaan dari materi yang telah dicatat untuk acuan dalam mempraktekkan pembuatan desain berbasis gambar bitmap (raster).. Mendesain

18 Dharma Sentosa Marindo Jasa Pembuatan Kapal Laut Tanjung Uncang 19 Drydocks World Pertama Industri Kapal dan Galangan Kapal Tanjung Uncang 20 Galangan Putra Tanjungpura

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Perpanjangan Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan sebagai

Untuk masalah diagnosa yang muncul pada pasien dengan congestive heart failure (CHF) antara lain pola nafas yang tidak efektif sudah teratasi dengan memberikan

Hadis yang bersambung sanadnya, dinukil oleh perawi yang adil dan dlabit, dari perowi yang adil dan dhabit sehingga sampai pada Nabi SAW lewat sahabat atau lainnya,

Untuk menghasilkan dokumen perencanaan yang baik maka selain didukung oleh sumber daya yang memadai juga diharapkan dalam proses penyusunannya juga baik, seperti

Hubungan fungsional merupakan hubungan yang didasari dengan fungsi yang dimiliki oleh masing-masing pemerintah. Hubungan tersebut saling memengaruhi dan bergantung

II untuk alternatif 1 tidak menggunakan reservoir. Sedangkan untuk alternatif II menggunakan 2 buah reservoir yaitu: Reservoir I yang berfungsi menampung air bersih langsung dari