• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komponen etis-religius-asketis

Dalam dokumen Sejarah Filsafat Yunani Sm1Md2 doc (Halaman 71-88)

PLATON Riwayat Hidup

7. Komponen etis-religius-asketis

Platon bukanlah sekedar seorang pemikir abstrak- teoretis. Semua ajaran Platon selalu terarah pada pengajaran dan pembentukan suatu mentalitas tertentu serta sikap-sikap moral yang terpuji. Maka pertanyaan filosofis diarahkan pada persoalan mengenai apa itu hidup

dan apa itu maut? Apa artinya menjadi orang bijak dan apa maksudnya menjadi orang durjana? Bukankah apa yang disebut hidup sesungguhnya adalah maut dan hidup sejati bermula dengan maut? (Giorgias, 492). Gagasan dasar Platon tentang jiwa didirikan dan ditanamkan secara sempurna di atas metafisika atau gagasan tentang dunia ide. Jiwa adalah dimensi inteligibel dan immaterial manusia, abadi sama seperti keabadian inteligibilitas dan immaterialitas.

a. Kebakaan Jiwa

Platon memberikan beberapa bukti tentang imortalitas jiwa. Phaidon menyodorkan dua bukti berikut. a) Jiwa manusia mampu mengenal segala

sesuatu yang kekal dan abadi. Namun untuk mampu

menangkapnya jiwa harus memiliki hakekat yang sama sebagai conditio sine qua non. Karena jiwa mampu mengenal sesuatu yang kekal dan abadi, itu berarti jiwa adalah kekal dan abadi.

Ada dua tingkatan realitas: realitas inderawi dan tercerapi dan realitas inteligibel dan tak-tercerapi. Realitas yang berkaitan dengan yang inderawi dan tercerapi adalah badan dan realitas yang bertalian

dengan yang inteligibel dan tak-tercerapi adalah jiwa. Karena itu, bila bertumpu pada persepsi inderawi, jiwa bisa sesat dan keliru; obyek yang sepadan dengan jiwa adalah dunia ide semata. kemudian, dalam persatuan badan dan jiwa, jiwa memegang kendali dan komando, sementara tubuh hanya mengikuti dan mentaati.

b) Bukti kedua berasal dari karakter struktural

ide-ide. Ide-ide yang saling bertentangan tidak bernah

dapat berpadu dan berada bersama, melainkan saling menguasai dan menyingkirkan semisal api dan air, panas dan dingin. Api dan panas tidak pernah mengakui ide air dan dingin atau sebaliknya, melainkan salah satu harus kalah dan lenyap.

Gagasan yang sama dapat diterapkan pada jiwa. Jiwa memiliki karakter dasariah yakni hidup dan ide hidup itu sendiri. Jiwa memberikan hidup kepada badan dan membuatnya bertahan hidup. Karena maut bertentangan dengan hidup, bisa ditarik kesimpulan bahwa jiwa tidak dapat menerima maut. Maka jiwa adalah abadi.

Bukti kebakaan jiwa diberikan juga dalam

Republika. Yang jahat adalah apa yang

menghancurkan dan membinasakan. Setiap benda memiliki keburukan tertentu dan dapat dihancurkan dan dibinasakan oleh kejahatan itu sendiri. Jiwa memiliki keburukan sendiri, yakni cacat cela. Namun, dalam kenyataannya, cacat cela tidak membinasakan jiwa meskipun orang tersebut sedemikan jahat. Jika jiwa tidak dapat dibinasakan oleh cacat cela maupun

oleh badan yang asing baginya, maka jiwa adalah abadi.

Bukti berikutnya muncul dari Phaidros. Kebakaan jiwa dibuktikan dari penyimpulan atas konsep psykhe yang dipahami sebagai prinsip gerak. Mengatakan hidup berarti mengatakan gerak; prinsip gerak disimpulkan dari prinsip hidup itu sendiri dan prinsip ini tidak pernah berkurang sama sekali.

Dalam Tymeos, jiwa dilahirkan oleh Demiurgos. Jiwa-jiwa yang dilahirkan itu, karena bersifat ilahi, tidak terkena maut sama seperti hal-hal lainnya yang dihasilkan secara langsung dari Demiurgos.

b. Dualisme

Platon memberikan sebuah kesadaran baru kepada manusia bahwa di dalam dirinya ada dua dimensi: dimensi badani-fisik dan dimensi ilahi- spirituil. Keduanya bukanlah pasangan yang serasi. Jiwa hidup dalam badan hanya bersifat sementara karena suatu dosa; ia terkurung dalam badan. Lewat jalan pengetahuan dan terutama lewat maut, jiwa akan terlepas dari badan.

Jiwa manusia seperti kereta yang ditarik oleh dua kuda. Sementara dua kuda para Dewa adalah baik semua, kuda kuda jiwa berasal dari ras yang berbeda. Yang satu dari ras baik dan yang satu dari ras yang buruk. Kuda yang baik mengajak manusia untuk terus berjalan menuju dunia atas, mengkontemplasi ada, sedangkan kuda yang buruk terus menerus memaksa manusia untuk melihat ke bawah.

Dualisme mengenai kesejatian dan kefanaan, kebenaran dan kekeliruan, kebajikan dan kedurjanaan yang timbul dari apa yang ilahi dan ideal dengan apa yang badani dan binasa membawa pada suatu pemahaman mengenai makna maut. Platon memberikan afirmasi yang cukup paradoksal ketika mengatakan bahwa 1) “filosof sejati menginginkan maut dan filsafat sebenarnya adalah latihan mati” dan 2) lari dari dunia. Artinya, jika badan adalah penjara jiwa, maka maut merupakan pelepasan jiwa dari kerangkeng badan dan penderitaan. Mati menjadi puncak pembebasan manusia dari kungkungan dan ketidakbahagiaan. Dalam terang ini, seorang filosof harus terus menerus “lari dari dunia”, dengan menjadi bijak dan menyelaraskan diri dengan Dewata (Phaidon, 66b-67b, Theaitetos, 176a-b).

c. Takdir Jiwa

Keberadaan di dunia ini hanya seperti “numpang lewat” dan hidup di bumi seperti sebuah cobaan. Hidup sejati berada di dunia atas, di Ades (tak- kelihatan) dan di tempat itu jiwa setiap orang akan diadili seturut ukuran keadilan dan ketidakadilan, keugaharian dan kecandalan, kebajjikan atau kejahatan. Dalam pengadilan di dunia atas tiada pembedaan apa pun apakah jiwa itu adalah jiwa seorang raja atau jiwa rakyat jelata.

Adapun takdir yang akan dialami oleh jiwa manusia mempunyai tiga kemungkinan. A) Jika jiwa telah hidup secara adil, ugahari dan bajik, ia akan

menerima ganjaran dengan hidup di “pulau para suci”. B) Jika jiwa hidup dalam ketidakadilan, kecandalan dan kejahatan total, ia akan dihukum untuk selamanya dengan dilemparkan ke dalam Tartaros. C) Jika jiwa melakukan ketidakadilan, kejahatan dan kecandalan yang dapat disembuhkan atau setengah adil dan setengah jahat, ia akan dihukum selama suatu waktu dan setelah membayar lunas kejahatan itu akan diberi ganjaran yang sepadan.

d. Metempsikosi/Reinkarnasi

Doktrin Platon tentang reinkarnasi atau migrasi jiwa (metempsikosi) memuat dua bentuk dan makna yang saling berbeda. Bentuk pertama terungkap dalam

Phaidon, 81c-82c. Di situ dikatakan bahwa jiwa yang

selama hidupnya terikat sangat erat dengan tubuh, nafsu-nafsu birahi dan kenikmatan-kenikmatan badani tidak dapat memisahkan diri dari tubuh meskipun mengalami maut dan akhirnya menjadi serupa dengannya. Ketika mati, jiwa-jiwa demikian berada di sekitar makam, karena takut dengan Ades dan mengambil rupa hantu. Jiwa-jiwa itu lalu masuk ke dalam tubuh manusia maupun binatang seturut perilaku hidupnya di masa lalu. Reinkarnasi ke dalam tubuh manusia atau tubuh binatang tergantung pada tingkat kejahatannya.

Bentuk kedua digambarkan dalam Republika, X, 618a, 617d-e. Digambarkan bahwa jiwa-jiwa yang jumlahnya terbatas hanya berada di dunia atas dan mendapatkan ganjaran dan hukuman. Namun ganjaran

dan hukuman itu tidak berlangsung selamanya, melainkan hanya berlangsung selama sepuluh kali seratus tahun atau seribu tahun. Sedangkan bagi jiwa- jiwa yang melakukan kejahatan amat berat, hukuman berlangsung lebih dari seribu tahun. Setelah melewati siklus milenaris ini, jiwa-jiwa harus kembali bereinkarnasi. Ia akan memenuhi dataran-dataran rendah, di mana takdir masa depannya ditentukan. Pilihan hidup di masa depan ditentukan oleh jiwa sendiri seturut pengetahuan atau filsafat. Memang manusia tidak bebas memilih hidup atau mati, tetapi ia bebas memilih bagaimana hidup secara moral atau

seturut keutamaan atau seturut cacat cela. e. Pemurnian Jiwa

Jiwa yang telah tercemar oleh kebutuhan- kebutuhan inderawi dapat disembuhkan lewat suatu proses pemurnian. Permurnian itu terjadi tatkala jiwa memenuhi diri dengan dunia inteligibel dan spiritual agar menjadi semakin serupa dengannya. Itu berarti jiwa harus mengatasi hal-hal yang inderawi dan badani. Pemurnian jiwa berkaitan dengan proses peninggian dan pencapaian pengetahuan tertinggi secara rasional; purifikasi merupakan sebuah tindakan rasional atau menjadi seorang ilmuan. Purifikasi dalam pengertian platonis merupakan suatu aktivitas pencaharian yang bersifat katarsis dan gerak naik menuju status berpengetahuan, pengetahuan yang benar tentang ada, mencapai dunia ide. Dengan demikian, kebajikan, pengetahuan dan pemurnian

menjadi identik dan filsafat dibuat menjadi inisiasi menuju misteri ada (Phaidon, 69a-d). Dialektika platonis merupakan pertobatan kembali kepada ada, insiasi untuk bergabung dengan Kebaikan tertinggi. Mistisisme dan rasionalisme menjadi satu.

Komponen Sosial dan Politik (Negara)

Gagasan Platon tentang Negara berkaitan erat dengan pemahamannya tentang manusia. Untuk itu dihadirkan secara sekilas pandang pengertian Platon mengenai manusia dan terutama struktur kemampuan batiniahnya.

Jiwa manusia terdiri atas tiga bagian atau kemampuan. Ketiga bagian atau kemampuan jiwa tersebut adalah a) bernalar (λογιστικον), b) nafsu dan keinginan (έπιθυμητικόν) dan c) dorongan perasaan (θυμοειδέζ). Kemampuan intelek menunjuk pada peran raja-filsuf dan orang-orang pemerintahan yang memberikan perintah (karena telah melihat, mengkontemplasi ide-ide dan memiliki pengetahuan maksimum - μέγιστον μάθημα3 atau pengetahuan

tentang Kebaikan) dan petunjuk kepada kelas-kelas sosial dibawahnya. Bagian dorongan perasaan berada antara bagian nalar dan bagian nafsur-hasrat dan dalam kelas sosial merujuk pada para pejuang dan pembela negara. Bagian hasrat-nafsu bertalian dengan kelas petani, tukang dan pedagang. Dalam struktur kejiwaan bagian nafsu dan hasrat menguasai sebagian besar bangunan jiwa dan secara kodrati tak-terpuaskan dalam

hal memiliki dan menguasai. Karena itu, bagian ini harus selalu dikontrol oleh nalar agar tidak menjadi kuat, liar dan rakus sehingga menundukkan dan akhirnya menguasai dorongan perasaan dan nalar itu sendiri4. Keadilan dalam pengertian ini adalah

pelaksanaan aktivitas kemampuan jiwa berdasarkan hakekat, fungsi dan kebutuhannya secara seimbang. Kelas-kelas Sosial

Jika negara merupakan bentuk lain atau kehadiran jiwa dalam bentuk yang lebih besar, maka struktur dunia batiniah, yang terdiri atas tiga bagian atau kemampuan terdapat juga dalam negara. Platon menjelaskan “bukankah diskursus kita [struktur analogis antara jiwa dan polis] pertama-tama memperlihatkan bahwa dalam setiap kita terdapat karakter-karakter dan kecenderungan-kecenderungan yang sama dan ada dalam polis?”5.

Dalam negara terdapat tiga kelas sosial dan pembagian ketiga kelas sosial ini terkait erat dengan pengetahuan, kebutuhan dan fungsi masing-masing dalam kehidupan sosial. Fungsi dan peran setiap kelas berada dalam kerangka kebutuhan dan fungsi polis itu sendiri untuk menjadikan manusia bahagia. Upaya mengejar tujuan sejati hidup manusia menuntut kerjasama dalam keseimbangan fungsi dan peran, sehingga ada keharmonisan. Dengan kata lain, setiap

4 Platon, Repubblica., IV, 441 D - 442 D. 5

kita bukanlah autarkhico atau cukup dengan diri sendiri6, setiap orang memerlukan orang lain dan hal-hal

lainnya. Manusia membutuhkan orang lain dan terutama institusi untuk membantu dan menyokong hidupnya. Institusi itu adalah negara. Dalam pengertian ini, negara merupakan kebutuhan tiap manusia.

Kelas sosial pertama adalah para bijak (orang- orang yang memiliki kebijaksanaan - σοφία). Kelas bijak ini mencakup orang-orang yang berkecimpung dalam pemerintahan dan terutama raja-filosof. Ibarat nalar, kelas bijak memberi perintah dan norma-norma untuk mengawasi dan mengatur kelas-kelas sosial di bawahnya demi menghindari anarki, kekacauan, penyalahgunaan fungsi dan peran dalam hidup bernegara.

Kelas sosial kedua mencakup para pejuang dan penjaga negara. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keberanian (άνδρεία). Karena bertugas sebagai penjaga negara, kelas pembela-pejuang ini hidup dalam kebersamaan secara utuh dan menyeluruh mulai dari kebutuhan lahiriah hingga ke kebutuhan seksual, perkawinan dan keturunan.

Kelas sosial ketiga terdiri dari para petani,

tukang dan pedagang. Kelas ini bertugas memasok dan

sekaligus menjaga ekonomi negara, namun secara administratif kelas ini tidak memiliki peran apapun dalam pelaksanaan pemerintahan. Karena itu, kelas

petani, tukang dan pedagang dituntut untuk memiliki sikap pengendalian diri (σωφροσύνη) agar tidak terlalu berambisi mengejar kekayaan dengan menindas dan mempengaruhi kelas-kelas sosial atau orang-orang dari kelas lain, sehingga akhirnya merunyamkan hidup bernegara.

Platon sadar bahwa negara ideal yang dicita- citakannya tidak pernah terwujud nyata dalam kehidupan nyata. Dalam kenyataan, manusia terus bergulat dengan kebutuhan-kebutuhan badani dan kerap kali kebutuhan badani menjadi penyebab kemunduran dan kelahiran regim-regim jahat dan korup. Dengan kata lain, keutamaan tetap menjadi cita-cita yang harus diperjuangkan dan sekaligus sebagai alat untuk mencapai kebahagiaan sejati manusia. Justru karena masih bersifat potensial, manusia masih bisa mengambil dan memilih jalan lain sesuai dengan ajaran dan pendidikan yang diterima. Bila pendidik mengajarkan nilai-nilai luhur dan kemudian menaati dan mengejawantahkannya dalam praksis, keutamaan dan manusia bijak menjadi mungkin terwujud. Sebaliknya, bila pendidik mengajarkan nilai-nilai pragmatis dan bersifat badani semata seperti para sofis politikus, kiranya panenan tertuai adalah manusia rakus, indiferen, gila harta kekayaan dan tamak kuasa. Sebab, bentuk sebuah negara tergantung pada sikap dan perilaku manusia; pemerintah dan undang-undang dasar bukan berasal dari tumbuhan maupun karang, melainkan dari sikap batin dan moral setiap warga polis7.

Bentuk-Bentuk Pemerintahan

Dalam gagasan negara platonis terdapat tiga bentuk pemerintahan dan pembagian bentuk pemerintahan tersebut berdasarkan prinsip dasar tata kelola negara. Kiranya patut diingat bahwa bentuk tata negara ini merupakan tiruan atau bentuk patologis negara.

Bentuk tata negara pertama adalah monarki. Monarki berarti sebuah tata kelola negara yang dilaksanakan dan dipimpin oleh satu orang saja dengan meniru prinsip-prinsip ideal negara sempurna (raja- filosof).

Bila sebuah pemerintahan dipimpin dan dilaksanakan oleh banyak orang kaya, tetapi tetap berpedoman pada prinsip-prinsip negara ideal, tata kelola semacam ini disebut aristokrasi. Itulah bentuk

kedua tata negara.

Tata kelola negara ketiga berbentuk demokrasi. Artinya pemerintahan dipimpin dan dikelola oleh massa

atau rakyat (demos) seturut garis dan prinsip-prinsip negara sempurna.

Menurut Platon, terdapat empat bentuk pemerintahan korup. Pertama adalah timokrasi. Τĩμος

berarti kehormatan, prestise, gengsi. Timokrasi merujuk pada sebuah tata pemerintahan yang mendasarkan diri pada pengagungan kehormatan; kehormatan adalah nilai tertinggi. Masa itu regim timokrasi berkuasa di Sparta. Timokrasi telah menyimpang dari negara sempurna

platonis dengan menempatkan kehormatan sebagai pengganti keutamaan. Penempatan kehormatan pada posisi keutamaan merupakan sebuah kekeliruan besar sebab membalikan urutan nilai itu sendiri. Seharusnya, orang memiliki keutamaan dan daripadanya timbul penghargaan dan sikap hormat. Dalam regim timokratis, motor penggerak, motivator dan “roh” hidup bersama dan seluruh aktivitas publik adalah rasa haus akan kehormatan dan pujian. Konsekwensinya, hidup manusia dipenuhi oleh ambisi-ambisi, intrik, sikap tamak, gila harta dan uang, cari nama dan mengejar popularitas. Hidup manusia tidak lagi dituntun oleh nalar, tetapi oleh nafsu dan keinginan, sehingga dunia batin warga polis telah tercemar dan terganggu keseimbangannya.

Bentuk kedua adalah oligarki. Kata ολίγος

berarti sedikit. Oligarki berarti bentuk tata kelola negara yang dilaksanakan oleh sekelompok kecil orang. Kerap kali oligarki terkait erat, kalau tidak identik, dengan

plutokrasi. Πλúτος berarti kekayaan. Pemerintahan

oligarki memperlihatkan sebuah dekadensi dalam skala sistim nilai: keutamaan telah diganti dengan kekayaan. Disebut dekadensi nilai mengingat kekayaan dalam struktur nilai Yunani klasik berada pada tingkatan eksternal. Orang-orang kaya terus menerus menambah kekayaan dan tentu saja memperkokoh posisi sosial dan kekuasaannya, sementara orang-orang bijak dan baik tersingkir dari pusaran kekuasaan. Kejahatan terberat dari regim ini adalah mengaggap hina orang-orang miskin serta kemiskinan itu sendiri, sehingga mereka

disingkirkan sama sekali. Pengabaian terhadap keutamaan membuat konflik antara orang kaya dan orang miskin semakin menjadi-jadi dan seluruh negara berada dalam bahaya besar. Penyingkiran keutamaan berarti peniadaan sebuah nilai yang bisa mengatasi dan sekaligus melampaui entah kekayaan maupun kemiskinan. Akibatnya, warga polis menghancurkan keseimbangan jiwanya dan hidup sosial. Manusia telah dituntut secara buta oleh nafsu dan keinginan semata.

Ketiga adalah demokrasi demagogis. Δεμος

berarti massa, khalayak ramai. Demokrasi merupakan sebuah sistim pemerintahan yang dipimpin dan dikelola oleh khalayak. Demokrasi dalam gagasan Platon berbeda dari pengertian modern kontemporer; Platon mengartikan demokrasi sebagai tata kelola negara yang berlangsung dalam suasana kebebasan tanpa batasan apapun atau kebebasan sesuai selera perseorangan. Demokrasi dalam hal ini lebih merujuk pada karakter demagogis dan histeria massa8. Kegilaan pada harta

benda membuat orang mengabaikan sama sekali pendidikan moral dan gaya hidup ugahari. Lama kelamaan, sikap boros melemahkan dan sekaligus menguras habis seluruh kekayaan. Dalam situasi jatuh

miskin seperti itu, orang-orang mantan kaya ini akan bergabung dengan massa dan menghasut mereka untuk menuntut persamaan hak dan pendistribusian kekuasaan secara acak. Akibatnya setiap orang hidup menurut pandangan dan kemauan sendiri tanpa memperdulikan apa dan siapapun juga. Keadilan menjadi tawar,

keputusan-keputusan pengadilan diacuhkan, hukum kehilangan taji dan karir politik serta jabatan dalam pemerintahan diperoleh tanpa pendidikan sepantasnya, kompetensi dan tanpa kerja keras, melainkan cukup dengan dukungan massa semata9.

Bentuk keempat adalah tirani. Tirani merupakan turunan langsung dari demokrasi korup. Dalam situasi kacau balau, muncul seseorang yang atas nama kebebasan mulai memikat dengan kata-kata dan meyakinkan dalam aksi. Orang tersebut mulai menanam pengaruh dan menguasai massa, mempersulit dan memeras orang-orang kaya dan membagi kekayaan mereka kepada massa untuk menarik simpati, membungkam suara-suara yang tidak sejalan dengan dirinya, membagikan keuntungan dalam porsi kecil dengan rakyak kebanyakan dan menikmati sebagian besar daripadanya. Ketika orang tersebut mampu mendapat pengakuan dari massa sebagai seorang pemimpin, segera ia akan membabat habis lawan- lawannya entah dalam pengertian menuduh lalu memasukkan ke dalam penjara atau pembuangan

maupun melenyapkan mereka dari muka bumi. Pada titik ini sang tiran hanya mempunyai dua pilihan: atau

membiarkan diri menjadi obyek balas dendam dan binasa atau menjadi seorang pemimpin kejam tanpa ampun. Ia akan terus menerus menimbulkan pertentangan, permusuhan dan peperangan di kalangan massa untuk kemudian tampil sebagai seorang pangeran perdamaian dan mediator ulung berperi-kemanusiaan.

Namun semua kebaikan ini hanya sebuah tipuan atau topeng, sebab dengan permusuhan dan peperangan yang berkelanjutan, lambat laun orang-orang terbaik akan binasa semua. Sang tiran bebas dari ancaman orang- orang cerdik pandai.

Tiran dan orang-orangnya hidup dalam ketegangan dan ancaman tanpa henti, termasuk dari massa-rakyat yang telah mengantarkannya ke tampuk pemerintahan. Kebencian rakyat menjadi berlipat-lipat, sebab hidup dan kebebasan mereka telah kehilangan makna dan nilai dan mereka kini dijadikan sebagai budak semata. Maka, “penguasa-penguasa tiran sepanjang hidupnya tidak pernah menjadi sahabat siapapun, tetapi atau menguasai atau melayani orang lain: sesungguhnya, hakekat tirani adalah tidak mampu menikmati kebebasan dan persahabatan sejati”10. Di

bawah kekuasaan tiran, negara berada dalam perbudakan secara menyeluruh dan total baik dalam pengertian hidup sosial maupun penundukan nalar ke bawah dominasi insting. Perbudakan pada tataran luar mengungkapkan baik akibat maupun penyataan perbudakan dalam tata interior-batiniah.

Keutamaan dan Kelompok Sosial

Ada empat keutamaan dasar dalam konsepsi platonis. Keempat keutamaan kardinal tersebut adalah

keadilan (δικαιοσύνη) kebijaksanaan (σοφία), ugahari

atau kesederhanaan (σωφροσύνη) dan keberanian atau tahan uji (άνδρεία). Negara sempurna harus memiliki keempat keutamaan ini secara niscaya.

Suatu negara atau polis memiliki σοφία karena mempunyai nasehat yang baik (ε βουλίαủ ) dan nasehat yang baik merupakan sebuah ilmu (έπιστήμη) yang berbeda dari segala ilmu dan teknik lainnya. Perbedaan itu terletak pada obyeknya yaitu, cara bersikap dan bertindak negara secara benar dan tepat dalam dirinya sendiri maupun berhadapan dengan negara-negara lainnya. Ilmu bersikap tepat dan benar semacam ini hanya dimiliki oleh orang-orang pemerintahan. Negara adalah bijak berkat kelompok dan orang-orang pemerintahannya11.

Άνδρεία (keberanian) adalah kemampuan

memelihara, meyimpan dan melestarikan secara baku pendapat seputar hal-ihwal yang berbahaya maupun tidak berbahaya tanpa dirongrong, dihantui dan dikuasai oleh rasa cemas, takut, kekhawatiran atau sukacita, kebanggaan dan perasaan-perasaan hati lainnya. Keberanian merupakan keutamaan khas para pejuang dan pelindung negara (militer) dan negara menjadi kuat dan perkasa berkat pejuang-pejuangnya12.

Σωφροσύνη (ugahari-kesederhanaan) merupakan

sejenis tatanan, penguasaan atau disiplin (έγκράτεια) terhadap kesenangan-kesenangan dan hasrat-keinginan. Kesederhanaan adalah kemampuan individu dalam menaklukkan bagian atau aspek yang buruk dan jahat

11 Ibid., IV, 428 B . 12

(badan dan dorongan-dorongan badaniah) ke bawah kekuasaan bagian atau aspek terbaik (intelek-jiwa). Ugahari dianjurkan dan ditemukan terutama dalam kelas petani, tukang dan pedagang dan secara umum dalam perilaku seluruh warga, sehingga ada hubungan harmonis di antara kelas-kelas sosial. Negara menjadi subyek sederhana bilamana pihak lemah dan kecil hidup dalam ugahari dan menyelaraskan diri dengan pihak penguasa13.

Δικαιοσύνη (keadilan) merupakan prinsip di atas

mana sebuah negara ideal dibangun. Keadilan berarti setiap orang harus melakukan sesuatu per natura et per lege yang ditetapkan baginya. Artinya, setiap individu atau warga melakukan pekerjaan seturut fungsi jabatan dan kelas sosial masing-masing. Bila setiap individu melaksanakan tugas dan kewajibannya secara benar dan baik seturut kelas sosial. Nah kehidupan negara dapat berjalan sebagaimana mestinya bila ada kesesuaian

Dalam dokumen Sejarah Filsafat Yunani Sm1Md2 doc (Halaman 71-88)

Dokumen terkait