• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori tentang Dunia Ide

Dalam dokumen Sejarah Filsafat Yunani Sm1Md2 doc (Halaman 52-60)

PLATON Riwayat Hidup

2. Teori tentang Dunia Ide

a. Seputar Istilah dan Makna Ide

Hal mendasar yang harus dipaparkan adalah istilah ide dan maknanya dalam pengertian Platon. Istilah ide berasal dari bahasa Yunani ίδέα dan εîδος. Bagi platon istilah ide berbeda dari pemahaman modern-kontemporer yang mengartikannya sebagai konsep, pemikiran, rapresentasi mental atau yang berkaitan dengan hal-hal psikologis dan noologis. Platon mengartikan ide sebagai formainterior, hakekat dari segala sesuatu, struktur metafisik, hal yang inteligibilis atau substansi. Ide platonis bukanlah ens rationis melainkan ada absolut, ada sejati, sesuatu yang mendasari objek khas dari pikiran. Istilah idea dan eidos berasal dari kata ίδέίν yang berarti melihat. Dalam bahasa Yunani sebelum platon istilah ίδέίν

merujuk pada forma tertampak dari segala sesuatu atau forma eksterior yang ditangkap oleh mata.

Bagaimana loncatan dari forma eksterior ke forma interior platonis dapat terjadi? Secara filosofis,

gagasan ide dalam filsafat Platon telah disiapkan sedemikian rupa oleh para filosof sebelumnya seperti Demokritos dengan gagasan atom-idea dan

Anaxagoras dengan istilah benih (homeomeria) yang memiliki warna dan citarasa dari setiap jenis hal. Secara spiritual, peradaban religius Yunani merupakan sebuah peradaban memandang. Loncatan pemahaman à la Platon mungkin terjadi berkat navigasi kedua.

Bila kata idea dipakai Demokritos dan Anaxagoras untuk menunjukkan ada berhingga, utuh, penuh secara kwantitatif atau materialitas murni, sebaliknya dalam gagasan Platon, idea merujuk pada

kwalitas, immaterialitas dan finalitas. Walau Platon tetap mempertahankan struktur melihat, namun muatannya telah diubah secara radikal sehingga membentuk suatu relasi tridimensional: “melihat”, “forma” dan “ada”. Bukti dari perubahan kwalitatif dan substansial dalam gagasan ide terungkap dalam penciptaan istilah-istilah baru seperti “pencerapan

nalar”, “pencerapanjiwa” dan “menangkaphakekat”. Analogi platonis tergambar secara lugas dan tegas. Apa yang ditangkap oleh mata inderawi adalah

forma fisik; sementara apa yang dicerap oleh mata batin adalah forma non-fisik. Pencerapan intelektual menangkap forma-forma intelligibilis atau esensi. Ide- ide adalah hakekat abadi dari misalnya yang baik, yang benar, yang adil, yang indah. Dengan kata lain,

melihat secara intelektif berarti yang terlihat secara intelektif (ide), sehingga ada ikatan sintetis antara visi-

b. § Karakter Metafisik Ide

Istilah ide menggambarkan ciri spekulatif pemikiran Platon. Ada beberapa ciri dasar ide selalu muncul berulang-ulang dalam banyak tulisan dan menjadi titik rujukan yang bersifat niscaya bagi pemahaman tentang pemikiran spekulatif platonis.

Ciri pertama adalah inteligibilitas. Artinya, ide- ide merupakan obyek par excellence bagi nalar dan dapat ditangkap oleh nalar semata-mata.

Kedua berkenaan dengan incorporeitas. Maksudnya, ide-ide tergolong ke dalam dimensi yang berbeda sama sekali dari dunia badani dan inderawi.

Karakter ketiga berkaitan dengan immutabilitas. Intinya, ide-ide terlepas dari setiap bentuk perubahan, kelahiran maupun kematian.

Ciri keempat menyangkut ada dalam kepenuhan. Itu berarti bahwa ide-ide adalah ada-ada yang sesungguhnya; ada sejati.

Kelima adalah perseitas atau soliditas-stabilitas: ide-ide adalah per se dan in se secara absolut obyektif.

Ciri keenam mengenai unitas atau kesatuan. Setiap ide adalah suatu kesatuan dan sekaligus penyatu dari segala kemajemukan yang ambil bagian atau tergolong dalam genusnya.

c. § Dunia Ide dan Dunia Inderawi

Perbedaan antara navigasi pertama dan navigasi kedua memuat secara implisit distingsi antara hal-hal yang tunduk dan ditangkap dengan panca indera dan sesuatu yang dikenal dan dipahami dengan intelek,

realitas inteligibel dan realitas sensibel, tataran metafisik dan tingkatan fisik. Eksistensi dari kedua realitas ada (δúο εïδη τών öντων ) ini dinyatakan secara gamblang dalam Phaidon, 65c-66a, 78d-79a.

Realitas inderawi bukanlah berdiri sendiri dan otentik, melainkan selalu merujuk pada realitas ideal; ide-ide adalah realitas otonom dan sejati, benar dan otentik. Dengan demikian, ketika orang mencoba menjelaskan apa yang baik, indah, benar, adil, satu, jamak dalam realitas empiris dan konkret, rujukan penjelasan sama sekali bukan pada unsur-unsur material dan fisik semisal warna, ukuran, sketsa melainkan pada kebaikan, keindahan, kebenaran, keadilan, kesatuan, kejamakan in se.

Gagasan mengenai eksistensi dunia ide dan dunia inderawi merupakan penemuan genial Platon. Penemuan ini sekaligus menjadi solusi bagi persoalan mengenai ada tetap dan ada berubah yang telah menyibukkan para pemikir selama beberapa abad sebelumnya. Dunia ide adalah realitas yang tetap, stabil, utuh, penuh, sempurna, kekal dan abadi. Tiada perubahan maupun gerak apapun padanya; ia tidak dapat berkurang maupun bertambah maupun hidup atau mati. Ketika orang membakar sebuah kursi dan kursi itu berubah menjadi abu, forma kekursian tetap tinggal seperti sedia kala. Sebaliknya, dunia inderawi dan fisik merupakan realitas yang tunduk pada perubahan dan gerak, hidup dan mati, kehancuran dan kebinasaan, bersifat sesaat atau sementara. Sebuah

kursi yang dibakar berubah wujud menjadi abu dan abu selanjutnya dapat menjadi suatu hal lainnya.

Poin penting dalam gagasan Platon mengenai dunia ide adalah ciri dasarnya yang bersifat

transenden, mengatasi dunia material dan fungsinya sebagai penyebab sejati bagi realitas fisik dan inderawi

dan imanen, apa yang tetap identik dalam sesuatu, hal

yang membuat sesuatu menjadi apa adanya dan sekaligus inteligibel. Pengertian demikian bermaksud mengatakan bahwa jika yang empiris-material dibedakan dari yang rasional-batiniah, tetap dari menjadi, badani dari jiwani, absolut dari relatif dan kesatuan dari kemajemukan, perbedaan atau oposisi ini menunjukkan suatu dimensi lain dari realitas, suatu tingkatan yang lebih tinggi dan sempurna daripada yang lainnya (bdk. Tymeos, 51b-52a).

Dunia ide merupakan ration d’être dari dunia fisik-badani mengingat yang terakhir ini akibat ciri dasar terus menjadi dan bergerak sehingga kerap kali membuat sesuatu yang autokontradiktoris dan tidak mempunyai alasan berada yang lebih menyeluruh. Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa yang inderawi dapat ditangkap, dijelaskan dan dipahami hanya dalam terang hal yang ideal, yang dapat binasa dengan yang abadi, yang realitif dengan yang definitif, absolut, yang banyak dengan yang tunggal.

Bagaimana hubungan antara dunia inderawi dan dunia ide? Dalam Phaidon, 74d dan terutama 100c-d, Platon merinci hubungan keduanya dalam empat poin berikut. Pola dasar pertama adalah relasi

mimesis (μίμησις) atau imitasi. Yang inderawi merupakan mimesis dari yang ideal, karena menirunya, walaupun tidak akan pernah menyerupainya secara utuh. Lewat pertumbuhan berkelanjutan, yang inderawi mendekatkan diri dengan yang ideal, tetapi proses itu terhenti ketika yang inderawi itu hancur binasa. Bentuk kedua ialah relasi

mithesis (μέθεξις) atau partisipasi. Yang inderawi ambil bagian atau memiliki bagian yang ideal, sejauh menjadi hakekat yang mesti diwujudkannya. Bagian ideal inilah yang membuat hal fisik-badani dapat dikenal. Sifat ketiga adalah relasi koinonia (xοινωνία) atau persekutuan. Hal ihwal inderawi sejauh memiliki ciri rasional dan batiniah memiliki suatu hal yang umum dan sekaligus berada dalam lingkaran tataran ideal meskipun hanya sebagian saja. Keempat adalah model relasi parousia (παρουσία) atau kehadiran. Yang ideal hadir dalam yang inderawi, seperti sebab dalam akibat, prinsip dalam turunannya.

Keseluruhan relasi dunia ideal dengan dunia inderawi-badani dapat diungkapkan secara padat dan ringkas dalam istilah paradigma atau model. Dunia ideal adalah model bagi dunia inderawi atau dalam bahasa metafisik modern kontemporer dinamakan “normatif ontologis” ide yang merujuk pada status keniscayaan ada: bagaimana ada seharusnya berada sebagai ada. Sebagaimana terungkap dalam Eutyphron

6d-e, Platon menegaskan bahwa ide tentang “kudus” adalah paradigma, sebab mengungkapkan bagaimana

dapat mewujudkannya; ide keindahan merupakan

paradigma sejauh menyatakan bagaimana segala

sesuatu mesti diatur secara formal sehingga dapat disebut dan menjadi indah.

Hal terpenting yang diungkapkan oleh Platon berkaitan dengan dunia ide adalah kemajemukannya. Dunia ide adalah semesta ide. Namun demikian, ada satu yang menjadi ide tertinggi, yaitu Idea yang baik. Ide yang baik menerangi dan menjiwai semua ide yang lain.

3. Protologi

Persoalan mengenai “mengapa ada kemajemukan?”, “mengapa dari yang tunggal muncul yang jamak?” tetap menghantui dan menjadi bahan kajian bagi setiap pemikir Yunani klasik, sehingga setiap filosof mencoba memberikan jawaban. Platon tentu saja tidak dapat memecahkan persoalan itu dengan teori mengenai dunia ide. Gagasan mengenai ide-ide merangkum baik realitas substansial maupun aspek-aspek dan kwalitas-kwalitas dari segala sesuatu. Teori tentang dunia ide mengakui adanya pluralisme dalam dunia idea atau pluralisme realitas inteligibilis. Karena itu, ide-ide sama sekali tidak dapat menjadi penjelasan terakhir bagi realitas; harus dicari suatu hal yang dapat menjadi fondasi metafisik.

Dalam Phaidon, Platon membuat skema argumentasi yang memuat secara implisit dua tataran fondasi metafisik. Jika realitas inderawi bergantung sepenuhnya pada realitas ideal, demikian juga multiplisitas ide-ide bergantung pada

multiplisitas yang lebih tinggi lagi. Nah, multiplisitas tertinggi dan terakhir terdiri atas prinsip pertama. Platon menamakannya dengan τά αxρα xαì πρωτα atau diskursus mengenai prinsip-prinsip pertama dan sering disebut juga dengan protologia.

Prinsip pertama tersebut terungkap dalam yang Satu

dan Diade atau dualitas tak berhingga. Satu dan Diade adalah meta-matematis atau berada dalam tataran metafisik. Diade adalah prinsip dan akar dari kemajemukan ada, dualitas dari besar dan kecil atau keluasan tak berhingga dan kekecilan tak berbatas. Dwi arah demikian membuatnya disebut diade tak berhingga

dan tak berbatas, sehingga dikualifikasi sebagai dualitas dari lebih dan kurang, banyak dan sedikit, besar dan kecil. Diade menghasilkan pluralitas dari segala sesuatu dalam segala bentuknya; pluralitas horizontal maupun prinsip degradasi hirarkis dari realitas.

Persoalan mengenai multiplisitas dan unisitas atau mengapa dari yang tunggal dapat muncul yang jamak dipecahkan dengan menghadirkan Satu dan Diade. Pluralitas, perbedaan dan degradasi dari segala sesuatu lahir dari tindakan Satu yang menentukan prinsip yang berlawanan dengan Diade yang adalah multiplisitas tak- tentu. Baik Satu dan Diade merupakan prinsip awali dan asali atau bipolarisme dalam struktur ada.

Aksi Satu atas Diade merupakan sejenis penyamaan dari ketidaksamaan, pembatasan, penentuan dan penguraian ketakberhinggaan, ketidakterbatasan dan ketidaktertentuan. Segala sesuatu yang muncul dari aktivitas Satu atas Diade merupakan suatu sintesis dan

menampakkan diri sebagai kesatuan dalam kemajemukan. Ada dihasilkan dari dua prinsip asali dan menjadi suatu sintesis, perpaduan dari kesatuan dan kemajemukan, penentu dan tertentu, pembatas dan terbatas.

Dalam dokumen Sejarah Filsafat Yunani Sm1Md2 doc (Halaman 52-60)

Dokumen terkait