• Tidak ada hasil yang ditemukan

Domain Kelembagaan

Dalam dokumen Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan (Halaman 68-93)

4 Analisis Tematik Pengelolaan Perikanan

4.1.6 Domain Kelembagaan

Jumlah indikator pada Domian Kelembagaan adalah 6 (enam). Khusus ke-5 spesies sasaran utama, dinilai bahwa komponen ini tidak memiliki perbedaan karena belum ada aturan khusus, sehingga hanya satu nilai untuk setiap indikator, seperti pada Domain Habitat dan Ekosistem.

Indikator 1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal

Menurut informasi yang diperoleh pelanggaran melebihi 5 per tahun khusus aturan formal maupun non-formal maka kedua komponen diberi nilai 1 dan 1.

Indikator 2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan

Indikator ini memiliki 2 kriteria, masing-masing memiliki dua dan tiga komponen sebagai berikut: 2.a. Kelengkapan: untuk komponen pertama, sebagian aturan yang seharusnya berada telah dilengkapi, namun belum lengkap. Sulit diketahui seberapa domain masuk pada aturan tersebut, antara lain karena aturan yang ada dari berbagai sektor dan sulit diperoleh informasinya, namun kiranya walaupun parsial mencakup lebih dari dua domain dan jelas tidak mencakup semua enam domain. Untuk komponen kedua, diperoleh informasi bahwa ada yang dikembangkan namun masih proses atau belum disahkan. Dengan demikian untuk kedua komponen diberi nilai 2 dan 3

2.b. Penerapan: untuk komponen pertama, sebagian aturan nasional maupun daerah belum diterapkan, atau tidak efektif. Untuk komponen kedua, sarana/alat, sumberdaya manusia maupun dana operasional khusus penegakan sangat minim atau bahkan tidak ada, meskipun situasi telah lebih baik khusunya daerah berdekatan dengan pangkalan Polairud dan TNI-AL di Teluk Palu dibanding sebagian besar perairan Kabupaten Donggala. Untuk komponen ketiga, sebagian besar pelanggaran tidak dapat teguran atau hukuman, walaupun ada juga sebagian yang mendapat teguran. Hukuman sangat sulit antara lain karena tidak adanya pengadilan perikanan atau dana untuk membiaya ongkos hidup tahanan. Selain itu, didapat keluhan dari berbagai responden yang masih searah dengan data sekunder dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu bahwa oknum dari instansi-instansi penegak hukum/aturan merupakan pelaku atau berkolusi dalam berbagai kegiatan ilegal. Dengan demikian, untuk ketiga komponen diberi nilai 2, 1.5 dan 1.5.

69 Indikator 3. Mekanisme pengambilan keputusan

Sejauh diketahui belum ada – maka nilainya 1

Indikator 4. Rencana pengelolaan perikanan Belum ada – maka nilainya 1

Indikator 5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan

5.a. Sinergi/konflik antar lembaga: tidak ditemukan adanya konflik antar lembaga berkaitan dengan pengelolaan perikanan, namun juga nampaknya kebanyakan belum berkomunikasi atau bersinergi secara efektif. Contohnya komunikasi antar instansi terkait yang mengurus operasional, perijinan dan pengukuran armada perikanan tangkap. Maka komponen ini diberi nilai 2.

5.b. Sinergi/konflik kebijakan: tidak ditemukan banyak konflik yang berarti antar kebijakan di bidang perikanan tangkap namun juga tidak banyak kebijakan yang saling mendukung. Maka komponen ini diberi nilai 2. Sebagai catatan, cukup banyak kebijakan instansi/sektor lainnya yang tidak bersinergi atau berkonflik dengan kepentingan sektor perikanan, terutama dari aspek pembangunan fisik di kawasan pesisir. Kenyataannya bahwa pengelolaan terpadu (ICZMP atau sejenis) belum berjalan. Indikator 6. Kapasitas pemangku kepentingan

Pelatihan, pembinaan dan lainnya ada, namun hanya di lokasi-lokai tertentu, terutama yang relatif mudah dijangkau. Khusus daerah-daerah terpencil dimana sebagian besar nelayan misikin/kurang sejahtera hidup, sepertinya sangat sedikit atau tidak ada peningkatan kapasitas. Sedangkan di PPI Donggala dinilai cukup tinggi, dan difungsikan. Secara keseluruhan komponen ini diberi nilai 2.5. Nilai tersebut berdasarkan definisi kriteria, namun dinilai masih sangat perlu ditingkatkan, terutama di luar lingkup PPI Donggala.

4.2 Perikanan Kabupaten Banggai

4.2.1 Domain Habitat

Jumlah indikator pada domain habitat berkumlah 6 dan dianggap sama untuk semua jenis ikan, maka hanya satu analisa dan set nilai.

Indikator 1 – Kualitas Perairan

Tiga kriteria pada indikator ini pada dasarnya bertujuan menilai kualitas dari aspek tingkat pencemaran oleh limbah, dampak sedimentasi dan eutrofikasi. Data yang diperoleh terutama data sekunder meskipun mencakup pula data primer. Data kualitas air di Selat Peleng tercantum pada Tabel 4.2.1. dan data primer (hasil survey EAFM) pada Tabel 4.2.2

Tabel 4.2.1. Data Sekunder Kualitas Air di Perairan Selat Peleng, Kab. Banggai Parameter Satuan Baku Mutu Selat Peleng Keterangan Fisika

Warna CU - Sesuai

Bau *) - Alami Sesuai

Kecerahan *) M >3 20 Sesuai

Kekeruhan NTU <5 0,58 Sesuai

TSS mg/l 20-80 6 Sesuai

Sampah *) - Nihil Nihil Sesuai

Lapisan Minyak *) - Nihil Nihil Sesuai

70 Parameter Satuan Baku Mutu Selat Peleng Keterangan

Kimia

pH *) - 7-8,5 8,02 Sesuai

Salinitas *) ‰ 33-34 31 pengaruh air tawar

DO *) mg/l >5 7,1 Sesuai

BOD mg/l 20 1,25 Sesuai

Amonia (NH3-N) mg/l 0,3 0,106 Sesuai

NO3-N mg/l 0,008 0,086 indikasi eutrofikasi

PO4-P mg/l 0,015 <0,005 Sesuai

Sianida (CN-) mg/l 0,5 0,003 Sesuai

Sulfida (H2S) mg/l 0,01 <0,001 Sesuai

Minyak dan Lemak mg/l 1 <1 Sesuai

Fenol mg/l 0,002 0,0004 Sesuai

Surfaktan (MBAS) mg/l 1 <0,005 Sesuai

Merkuri (Hg) mg/l 0,001 0,0003 Sesuai

Krom (Cr) mg/l 0,005 <0,001 Sesuai

Arsen (As) mg/l 0,012 0,0004 Sesuai

Kadmium (Cd) mg/l 0,001 <0,001 Sesuai

Tembaga (Cu) mg/l 0,008 <0,005 Sesuai

Timbal (Pb) mg/l 0,05 <0,005 Sesuai

Seng (Zn) mg/l 0,05 <0,005 Sesuai

Nikel mg/l 0,05 <0,005 Sesuai

Biologi

E coli MPN/100 ml Nihil 12 indikasi pencemaran

Coliform MPN/100 ml 1000 280 Sesuai

Sumber: Dokumen UKL-UPL KegiatanSurvei Seismik 2D Laut Di Blok South East Matindok, dalam Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Banggai Kepulauan (2012).

Tabel 4.2.2. Data kualitas air di Kabupaten Banggai Tahun 2013

Parameter Uwedikan Pulau Uwedikan Pos Jaga Kilo 5

Suhu Perairan (°C) 29 29 30

Derajat keasaman pH 7.6 – 7.9 7.5 7

Salinitas (ppt) 27 – 29 27 30

Kecerahan (m) 4 – 7 1 - 5 > 10

Sampah padat Rendah Sedang Tinggi

Pencemaran lain Rendah Sedang Rendah

Indikasi eutrofikasi Sedang Tinggi Sedang

Sumber: Data primer survey EAFM Tahun 2013

Berdasarkan data tersebut sert hasil pengamatan di lapangan dan beberapa sumber data kualitatif, penilaian terhadap 3 indikator sebagai berikut:

1a. Limbah: limbah industri masih rendah, namun hampir semua limbah domestik serta sampah dari pelayaran yang melalui perairan Kabupaten Banggai pada akhirnya terbuang ke laut, secara langsung atau tidak langsung dari TPA di pinggir laut, terbuang ke sungai atau selokan yang bermuara ke laut, dll. Tidak ditemukan upaya menjaga kebersihan laut.

71 Di sepanjang pesisir sampah domestik terdampar, kadang dalam jumlah besar dan secara visual sangat menonjol. Sampah terbanyak di pesisir teramati ke arah utara dari pusat kota/pelabuhan Luwuk. Kondisi tercemar yang dinilai sudah berat ditemukan di pelabuhan Luwuk. Limbah lain yang terbuang ke sungai dan tentu mengarah ke laut menurut laporan kualitas air dari BPPLH Kabupaten Baggai termasuk pencemaran dari pertambagan emas liar di Kecamatan Toili dan Toili Barat. Nyata terjadi pecemaran tetapi pada sebagian besar perairan Kabupaten Banggai di WPP 714 dianggap masih sedang. Dengan demikian kriteria ini diberi nilai 2.

1b. Sedimentasi: sedimentasi sangat bervariasi antar lokasi, dan muatan sedimen oleh sungai-sungai umumnya sangat bervariasi antar musim dan dengan kondisi cuaca. Data NTU yang tercantum dalam Tabel 4.2.1 adalah data pada perairan lepas pantai, sehingga mewakili kondisi terbaik. Data kecerahan dari berbagai sumber umumnya pada lokasi terumbu karang dan menghindarkan daerah estuari (berjumlah banyak) sehingga menunjukkan pula kondisi terbaik dengan kecerahan relatif tinggi. Umumnya berdekatan dengan muara sungai , observasi visual menunjukkan sedimentasi dan kekeruhan yang tergolong tinggi atau sangat tinggi, dimana peningkatan tajam terjadi seiring dengan kerusakan lahan di hulu. Data kualitas air sungai dari laporan BPLH menunjukkan bahwa umumnya sungai di Kabupaten Banggai mengalami kerusakan tergolong tinggi, dimana muatan sedimen berkisar tinggi sampai sangat tinggi. Namun tingkat sedimentasi dianggap berbeda antar habitat sumberdaya ikan pelagis (nilai 2 sampai 3), ikan demersal dengan habitat dominan terumbu karang (2) dan jenis-jenis ikan yang cenderung hidup disekitar muara sungai (1 sampai 2). Dengan demikian, secara rata-rata atau untuk perairan secara umum, kriteria ini diberi nilai 2.

1c. Eutrofikasi: data konsentrase klorofil a belum berhasil diperoleh. Data BPLH Kab. Banggai menunjukkan bahwa air sungai cenderung mengalami eutrofikasi ringan. Data perairan lepas pantai di Selat Peleng (jauh dari daratan) menunjukkan pula eutrofikasi ringan. Apabila dinilai berdasarkan indikator-indikator seperti pertumbuhan lumut, makro-alga dan sponge merayap yang dinilai sebagai indikator eutrofikasi (Hodgson dkk., 2006), maka eutrofikasi terindikasi berkisar sedang (berdekatan pemukiman, perkebunan, sawah, tambak, muara sungai) sampai ringan (perairan lainnya). Dengan demikian diberi

nilai 2.

Indikator 2 – Status Ekosistem Lamun

Indikator ini memiliki dua kriteria, yaitu tutupan dan keanekaragaman lamun. Menurut profil wilayah yang diperoleh dari Dislutkan Kabupaten Banggai, kerusakan lamun disebabkan oleh (i) sedimentasi dengan erositas tinggi; (ii) Pengerukan dan pengerugukan yang berkaitan dengan pembangunan pemukiman pinggir pantai dan pelabuhan; dan (iii) pembuangan sampah organik (sewage). Ketiga hal tersebut dapat ditambah dengan sampah inorganik yang teramati pula saat survey. Jenis dominan menurut sumber yang sama adalah Thalassia hemprichi, Halophila ovalis, Cymodecea rotundata dan Enhalus acoroides. Sedangkan pada saat survey ditemukan pula Genus Halodule dan Syringodium. Data lamun (primer maupun sekunder) tercantum pada Tabel 4.2.3. Tidak terdapat kriteria mengenai luas lamun, namun terdapat indkasi kuat adanya penurunan luas lamun di beberapa lokasi akibat faktor-faktor tersebut, dimana diduga penyebab utama adalah sedimentasi dari kerusakan lahan di hulu.

72 Tabel 4.2.3. Data Lamun Kabupaten Banggai

Lokasi Tutupan Jumlah spesies Genus Dominan Keterangan/Sumber

Uedikan 50 - 75% 4 Enhallusacoroides

Data primer 2013

Kilo 5 (1) 60 - 75% 4 Halodule sp.

Kilo 5 (2) 25 – 30% 3 Halophila ovalis

Kab. Banggai 4 + Thalassia hemprichi Halophila ovalis Cymodecea rotundata Enhalus acoroides Data Profil (Dislutkan Banggai)

Luwuk 65% 5 Cymodocea rotundata Thalassia hemprichii Bakosurtanal (2007)

Kecamatan Desa Kedalaman Tingkat Kerusakan Sumber

Kintom Sugilat 1 – 10 m 68,10 % Data Profil (Dislutkan Banggai) Mendono 1 – 10 m 59,60 % Dimpalon 1 - 10 m 60,50 % Solan 1 - 10 m 57,60 % Luwuk Bubung 1 – 10 m 76,20 % Kilongan 1 – 10 m 48,00 % Unjulan 1 - 10 m 49,00 % Biak 1 - 10 m 50,00 % Maahas 1 – 10 m 47,00 % Kayutanyo 1 – 10 m 74,10 % Bunga 1 - 10 m 48,70 %

2.a. Tutupan: apabila dilihat data primer dan sekunder hasil kuadrat lamun, maka penutupan umumnya cukup tinggi. Namun terdapat cukup banyak perairan pesisir dimana lamun telah jarang/sangat jarang (penutupan 15 – 40%), dan tingkat kerusakan umumnya melebihi 50%. Dengan demikian kriteria ini diberi nilai 2

2.b. Keanekaragaman: penghitungan indeks berdasarkan jenis data (terutama data sekunder) yang ada tidak memungkingkan, sehinga digunakan pilihan penghitungan jumlah jenis lamun. Secara keseluruhan 7 spesies telah dilaporkan (data sekunder) atau teramati langsung (data primer) di perairan Kabupaten Banggai di WPP714, namun jumlah rata-rata spesies per lokasi adalah 4, termasuk pada kategori sedang. Dengan demikian kriteria ini diberi nilai 2

Indikator 3. Status Ekosistem Mangrove

Kriteria pada indikator ini berjumlah 2, yaitu tutupan dan keanekaragaman. Secara alami, cukup banyak hamparan hutan yang dapat dipandang benar merupakan ekosistem mangrove, bukan hanya vegetasi pesisir yang tipis dan jarang, dan hutan mangrove tersebut tersebar di hampir semua kecamatan. Data Profil dari Dislutkan Kabupaten Banggai mengatakan bahwa tingkat konversi dan kerusakan hutan mangrove telah tinggi. Studi oleh Ndobe (2008) menunjukkan penurunan pada periode 1994 – 2005 masih relatif rendah pada mangrove di Teluk Tolo dibanding sebagian besar daerah lainnya di Sulawesi Tengah, demikian pula data statistik dari BPS di Luwuk. Namun data

73 terbaru hasil analisa citra satelit dalam Bakosurtanal (2007) menunjukkan penurunan drastis, dan meskipun keanekaragaman mangrove sejati cukup tinggi, jumlah jenis yang teramati lebih rendah di lokasi survey dalam WPP 714 (10 jenis) dibanding yang masuk pada WPP 715 (15 jenis). Menurut Dinas Kehutanan Kabupaten Banggai, kebutuhan restorasi ekosistem mangrove sangat besar dan kegiatan reboisasi telah dilakukan di beberapa lokasi. Umumnya hasil restorasi tersebut cukup memsuaskan sehingga seksi yang menangani reboisasi mangrove mulai menjadi sumber bibit dan keahlihan bagi kabupaten/kota lainnya di Sulawesi Tengah. Namun luas reboisasi masih hanya mencakup 7.6% dari luas hutan mangrove yang mengalami kerusakan dan membutuhkannya. Beberapa data sekunder ekosistem mangrove pada Tabel 4.2.4 dan data primer ekosistem mangrove tercantum pada Tabel 4.2.5.

Tabel 4.2.4. Data sekunder ekosistem mangrove Kabupaten Banggai

Tahun Luas (ha) % Perubahan Jenis Data Sumber data

1994 10439 - Peta BKSDA

Ndobe (2008) 2005 7387 -29.2% oleh BPDAS Palu-Poso Analisa Citra Satelit

2006 2347 -77.5% Analisa Citra Satelit Bakosurtanal (2007) 2008-2012 7122 -31.8% Tidak diketahui (luas belum diusahakan) BPS Kab. Banggai

Kecamatan

(WPP 714) Luas Awal Mangrove % Rusak Berat 2006 - 2010 2011-2013 % yang telah di Reboisasi

Masama 300 66.7% 20 10.0% Balantak/ Balantak Utara 28 39.3% 25 227.3% Lamala 400 31.3% 20 16.0% Luwuk Timur 350 59.8% 32 75 51.1% Batui 1750 84.0% 0 0.0% Toili 1500 72.3% 28 2.6% Toili Barat 350 65.7% 54 23.5% Total 4678 71.2% 32 222 7.6%

Jenis Mangrove hasil identifikasi Neraca Sumberdaya Pesisir dan Laut 2006 (Bakosurtanal, 2007)

Nama ilmiah Nama daerah Nama ilmiah Nama daerah

Avicennia alba Api-api Rhizophora apiculata baka putih Avicennia marina Nyapi-nyapi Xylocarpus moluccensis Nyuruh Brugiera cylindrica Tanjung putih Heritiera littoralis Dungun Brugiera gymnorrhiza Tanjung merah Acrostichum aureum Paku laut Brugiera parviflora Bius Thespesia populnea Waro lot

74 Tabel 4.2.5. Data primer ekosistem mangrove Kabupaten Banggai

Data Ekosistem Mangrove di Pulau dalam DPL Desa Uwedikan

Transek No. Bruguiera sp. Avicennia sp. Rhizophora sp. Jenis teramati

(termasuk di luar transek) I 108 1 11 II 77 2 8 III 38 1 3 Bruguiera sp. Avicennia sp. Rhizophora sp. Sonneratia sp. Xylocarpus sp Jumlah 223 4 22 Rata-Rata/100m2 73,3 1,3 7,3 Persentase 89 % 2 % 9 %

Tutupan 98% Kerapatan 8.200 pohon/ha Sumber:Data primer survey EAFM

3.a. Tutupan: tutupan yang teramati di Pulau dalam DPL Desa Uwedikan sangat tinggi, namun di kawasan mangrove lainnya yang teramati secara kualitatif saat survey, tutupan umumnya di bawah 50%, dan data sekunder menunjukkan kondisi yang sanga memprihatinkan di banyak lokasi. Nampaknya kriteria ini sangat variatif, berkisar dari sangat buruk hingga sangat baik, dengan demikian diberi nilai 2

3.b. Kerapatan: kerapatan pohon mangrove juga sangat bervariasi antar lokasi, sangat tinggi di pulau DPL Uwedikan, namun dapat diasumsi rendah atau sangat rendah pada bagian kawasan mangrove dalam kondisi rusak berat, yaitu lebih dari 70% luas total. Berdasarkan data primer (terukur maupun pengamatan kualitatif) maupun sekunder kerapatan masih dapat dinilai sedang, meskipun menjelang rendah/buruk, dan semakin membaik seiring dengan peningkatan upaya reboisasi sehingga diberi nilai 2

Indikator 4 – Status Terumbu karang

Data sekunder ekosistem terumbu karang Kabupaten Banggai relatif sedikit, dan menggunakan berbagai metode pengamatan. Hanya sebagian disajikan pada Tabel 4.2.5, yaitu data berkaitan langsung dengan dua kriteria pada indikator ini yaitu penutupan oleh karang keras hermatipik (%HC, Hard Coral) dan penilaian terhadap keanekaragaman.

Tabel 4.2.5. Data Ekosistem Terumbu Karang di Kabupaten Banggai Lokasi % HC Indikator Keanekaragaman Sumber

Uwedikan 44% Rendah

Data primer 2013

Kilo 5 65% Sedang

9 Lokasi di

WPP 714 rata-rata 17% 9 – 30 % Tinggi Scaps & Runtukahu (2008) 4 Lokasi di

WPP 714 rata-rata 39% 26 – 63% TAD Balosurtanal (2007)

4.a. Penutupan: data survey menunjukkan bahwa selain antar lokasi penutupan karang keras hidup sangat bervariasi di dalam setiap lokasi. Semulanya umumnya pada kategori tinggi namun data terbaru menunjukkan bahwa sebagian besar pada kategori Sedang dan sebagian kecil pada kategori Buruk, maka diberi nilai 2

75 4.b. Keanekaragaman: keanekaragaman karang di Kabupaten Banggai seharusnya relatif

tinggi, meningat bahwa berada dalam segiiga karang dunia. Dugaan tersebut diperkuat oleh tingginya keanekaragaman jenis karang yang dilaporkan pada survey di wilayah relatif dekat (Allen & McKenna, 2001). Meskipun hasil pengamatan maupun hasil KII dan FGD menunjukkan bahwa dari aspek kondisi terumbu karang degradasi semakin nyata, data yang ada menunjukkan bahwa keanekaragaman karang masih cukup baik. Namun demikian pada beberapa lokasi keanekaragaman jenis karang telah nyata menurun akibat dampak langsung maupun tidak langsung aktivitas antropogenik, sehingga keanekaragaman karang telah pada tingkat yang dinilai rendah. Contohnya di Uwedikan, dimana dampak sedimentasi tergolong berat. Dengan demikian kriteria ini diberi nilai 2

Indikator 5. Habitat Unik/Khusus

Kriteria pada indikator ini hanya satu, yaitu berkaitan dengan pengetahuan dan pengelolaan habitat unik/khusus. Habitat unik khusus yang terdapat di Kabupaten Banggai antara lain tentu termasuk beberapa daerah pemijahan ikan namun hasil studi pustaka maupun survey sosio-ekonomi (KII, FGD, kunjungan pada instansi terkait) nampaknya belum ada spawning ground yang teridentifikasi dengan jelas. Habitat khusus yang telah teridentifikasi adalah tempat bertelur penyu, slaha satu sangat unik karena menurut informasi yang diperoleh 3 atau bahkan mungkin 4 jenis penyu dapat ditemukan di lokasi tersebut, namun lokasi tersebut belum terkelola dengan baik dan pemanfaatan ilegal terhadap penyu dan telurnya masih terjadi. Dengan demikian, diberi nilai 2

Indikator 6 – Perubahan Iklim

Indikator ini berkaitan dengan severitas dampak yang bakal dialami dari perubahan iklim serta kapasitas lokal untuk mitigasi dan adaptasi. Kriteria berjumlah dua, yaitu tingkat pengetahuan dan kesiapan serta severitas dampak yang telah dan bakal dialami. Berbagai kajian berskala regional ataupun global telah tersusun mengenai dampak perubahan iklim dan sangat relevan pada kondisi di Kabupaten Banggai. Antara lain, Hoegh-Guldberg dkk. (2009)dan Burke dkk. (2011). Namun sejauh diketahui belum ada kajian khusus wilayah Kabupaten Banggai.

6.a. Pengetahuan: belum ada kajian tentang dampak perubahan iklim, maka diberi nilai 1

6.b. Dampak: belum terjadi pemutihan berarti sejauh diketahui maka diberi nilai 3 4.2.2 Domain Sumberdaya Ikan

Pada Domain sumberdaya ikan (SDI) terdapat pula 7 indikator. Sebagian besar data untuk indikator-indikator tersebut telah dicantumkan pada bagian 2.1. Peningkatan armada dan kapasitas tidak diimbangi dengan peningkatan tajam dalam produksi, dan hasil KII/FGD menunjukkan peningkatan jarak tempuh, penurunan volume dan untuk kebanyakan jenis penurunan ukuran rata-rata hasil tangkapan. Di bawah pembahasan singkat dan nilai yang diberikan pada setiap indikator untuk perikanan secara keseluruhan. Khusus ke-5 spesies sasaran utama, nilai nilai yang diberikan disajikan dalam sebuah matriks pada Tabel 4.2.7.

Indikator 1. CPUE Baku

Sangat nyata bahwa secara umum CPUE telah menurun. Namun demikian laju dalam bentuk berapa persen per tahun sulit ditentukan. Umumnya penurunan sumberdaya ikan dirasakan sebagai perubahan perlahan bukan tiba-tiba. Untuk mencerminkan hal ini khusus perikanan secara umum diberi nilai 2.

76 Indikator 2. Ukuran ikan

Perubahan dalam ukuran ikan yang ditangkap tergantung dari jenis ikan. Namun dimana ada perubahan semuanya ke arah lebih kecil dan tidak ada satupun yang membesar. Untuk mencerminkan hal ini khusus perikanan secara umum diberi nilai 1.

Indikator 3. Proporsi ikan yuwana (juvenil) yang ditangkap

Indikator ini merujuk pada Lm atau ukuran pertama matang gonad setiap spesies. Jika disatukan semua spesies, kiranya sedikitnya 50%-60% ikan belum mencapai ukuran Lm, hal ini mencakup ikan-ikan yang berlimpah dan banyak ditangkap seperti selar (katombo) meskipun tidak masuk pada 5 jenis yang dianalisa secara khusus, dan tetap umumnya di atas Lm. Untuk mencerminkan kondisi khusus perikanan secara umum diberi nilai 2.

Indikator 4. Komposisi spesies

Indikator ini menilai selektivitas atau tingkat by-catch atau hasil sampingan, termasuk bycatch yang digunakan. Selektivitas dan jumlah atau tipe jenis hasil sampingan sangat bervariasi antar alat, daerah penangkapan, waktu bulan, musim, jenis armada, waktu hari dan siklus pasang-surut, dan banyak faktor internal maupun eksternal lainnya. Dengan demikian khusus perikanan secara umum diberi nilai 2.

Indikator 5. “Range Collapse” sumberdaya ikan 5.a. Semakin sulit: umumnya ya, diberi nilai 1.

5.b. Semakin jauh: umumnya ya untuk spesies demersal namun tetap pada jalur ruayanya untuk spesies pelagis, maka diberi nilai 2.

Indikator 6. Spesies ETP

Secara keseluruhan, penangkapan spesies ETP, secara sengaja maupun tidak sengaja, tergolong tinggi di Kabupaten Banggai, seperti di semua kabupaten di Sulawesi Tengah. Apabila tertangkap, umumnya dimanfaatkan dan sangat jarang dilepas. Oleh karena itu secara umum indikator ini diberi

nilai 1. Namun frekuensi kejadiannya sangat bervariasi antar jenis perikanan. Untuk ke-5 jenis khusus, ETP yang tertangkap pada perikanan kerapu dimanfaatkan, pada perikanan gurita tidak ada yang tertangkap secara tidak sengaja, namun sebagian nelayan akan menangkap dan memanfaatkan jenis ETP yang terlihat saat penangkapan. Untuk ikan pelagis, sebagian kecil armada akan melepas sebagain spesies ETP namun umumnya dimanfaatkan sebagai hasil sampingan.

Tabel 4.2.7. Nilai Indikator Domain SDI khusus 5 spesies target Jenis SDI sasaran Nilai Indikator SDI ke-

1 2 3 4 5a 5b 6 Cakalang 2 3 2 3 2 3 1.5 Tuna 2 3 1 3 1 3 1.5 Lajang 1 1 1 2 1 2 1.5 Kerapu 1 1 1 2 1 1 1 Gurita 1 3 1 2 1 1 2.5 Kabupaten Banggai 2 1 2 2 1 2 1

77

4.2.3 Domain Teknologi Penangkapan Ikan

Pada Teknologi penangkapan ikan (SDI) terdapat 6 indikator. Sebagian besar data untuk indikator-indikator tersebut telah dicantumkan pada bagian 2.2. Adapun disajikan pembahasan singkat dan nilai yang diberikan pada setiap indikator di bawah untuk perikanan secara keseluruhan. Khusus ke-5 spesies sasaran utama, nilai nilai yang diberikan disajikan dalam sebuah matriks pada Tabel 4.2.8. Indikator 1. Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal

Perikanan destruktif atau ilegal termasuk yang ilegal karena alat/metode penangkapan maupun karena persoalan asal-usul dan perijinan operasional (misalnya andon/luar negeri tanpa ijin), atau daerah penangkapan yang tidak sesuai. Termasuk juga aktivitas ship-to-ship dan penangkapan jenis yang dilindungi. Untuk tingkat kabupaten (sampel WPP) hasil KII dan FGD bahwa sangat nyata tingkat komponen destruktif dan atau ilegal masih tinggi. Namun jenis dan tingkat ilegalitas bervariasi, dan berasosiasi dengan jenis sumberdaya atau skala/jenis armada dan alat tertentu. Untuk ikan kerapu, rawan perikanan destruktif. Untuk ikan pelagis, masih banyak kapal yang beroperasi tanpa ijin. Menurut petugas TPI Luwuk dan seksi penangkapan Diskanlut Kabupaten Banggai, pelanggaran sangat tinggi dan lebih dari 90% ikan yang didaratkan tertangkap secara ilegal dan/atau destruktif. Oleh karena itu diberi nilai 1.

Indikator 2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan.

Untuk proporsi hasil tangkapan di bawah Lm, digunakan data hasil sampling serta hasil KII dan FGD dan data sekunder. Ukuran Lm ditentukan berdasarkan hasil sampling serta (terutama) data Lm pada FishBase (Froese dan Pauly, 2013). Berdasarkan data tersebut, meskipun bervariasi antar jenis sumberdaya dan pola penangkapan, diyakin bahwa lebih dari 50% ikan (jumlah individu, bukan biomasa) yang tertangkap berada di bawah Lm, sehingga diberi nilai 1.

Dalam dokumen Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan (Halaman 68-93)

Dokumen terkait