• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perikanan Kabupaten Banggai Laut

Dalam dokumen Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan (Halaman 36-54)

2 Sekilas Kondisi Perikanan

2.3 Perikanan Kabupaten Banggai Laut

Kabupaten Banggai Laut dengan Ibu Kota di Kota Banggai, Pulau Banggai, baru dimekarkan dari Kabupaten Banggai Kepulauan pada Tahun 2013. Data statistik dan sebagian besar data lainnya yang berada di instansi-instansi pemerintah masih bergabung dengan kabupaten induk yaitu Kabupaten Banggai Kepulauan, dengan Ibu Kota di Kota Salakan, di Pulau Peleng. Oleh karena itu, data sekunder sebagian besar sulit dipisahkan, baik data terbaru maupun data historis. Namun oleh karena kedua kabupaten berada di WPP 714 dan keduanya merupakan bagian dari Kepulauan Banggai, maka dinilai bahwa bias dalam penghitungan indikator minim ataupun sangat minim. Data statistik yang dicantumkan di bawah merupakan data gabungan Kabupaten Banggai Kepuluan dan Banggai Laut, terkecuali diberi catatan khusus.

Kajian “Profil Perikanan Tangkap Sulawesi Tengah” tahun 2007 (STPL, 2007) khususnya bagian yang menyangkut Zona I cukup mendalam dari berbagai aspek. Sebagian besar data dan informasi pada dokumen tersebut mengenai keadaan wilayah, terutama dari aspek kondisi alam/lingkungan serta sumberdaya perikanan dinilai masih valid. Profil Data Base Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banggai Kepulauan (Diskanlut Banggai Kepulauan, 2011) memuat data terbaru dari instansi terkait. Armada Perikanan dan Rumah Tangga Perikanan

Data statisitik armada dan rumah tangga nelayan (RTN) tercantum pada Tabel 2.3.1 Data dari Dislutkan tingkat Provinsi mencakup periode 2004, 2005, 2008, 2009 dan data terbaru dari tingkat Kabupaten berbentuk Profil Database Kelautan dan Perikanan tahun 2011.

Jan Peb Maret April Mei Juni Juli Agustus Sept Oktober Nop Des

4 Balantak Pelagis

Domersal

6 Lamala Pelagis

Domersal

7 Masama/ Pelagis

Luwuk Timur Domersal

8 Luwuk/Kintom/ Pelagis

Batui Domersal

9Toili/ Toili Barat Pelagis

Domersal

37 Tabel 2.3.1. Data Statistik Armada dan RTN Perikanan Tangkap

Kabupaten Bangkep sebelum pemekaran Balaut

Kategori 2004 2005 2008 2009 2011 2011 Armada perikanan Tanpa motor 2938 2639 2638 2672 11148 3531 Motor Tempel 908 584 891 904 1191 768 0-5 GT 50 85 142 144 2009 708 5-10 GT 33 24 42 42 551 228 10-20 GT 16 7 13 13 20-30 GT 0 0 0 0 Total 3945 3339 3726 3775 14899 5235

Rumah Tangga Nelayan (RTN)

Jukung 1628 1271 1330 1347

Tidak ada data namun diasumsi meningkat secara proporsional dengan armada Perahu papan 1183 988 1051 1060 Motor Tempel 723 521 830 889 0-5 GT 42 76 124 126 5-10 GT 28 24 40 40 10-20 GT 12 7 12 12 20-30 GT 0 0 0 0 Total 3616 2887 3387 3474

Sumber: Data Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tengah (2004-2009) dan Profil Data Base Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banggai Kepulauan Tahun 2011

Data pada Tabel 2.3.1 menunjukkan cederungan (trend) peningkatan dalam armada maupun jumlah RTN pada semua skala usaha perikanan tangkap laut, meskipun terjadi naik-turun pada komponen dan tahun tertentu. Pada tahun 2011, jumlah armada di bagian yang telah menjadi Kabupaten Banggai Laut (Balaut) telah melebih jumlah total armada di Kepulauan Banggai pada tahun 2000-an. Data 2003 masih bergabung dengan Kabupaten Banggai, dan data statistik historis pada tingkat Kabupaten dapat dikatakan jauh dari optimal. Contoh pada Kabupaten dalam Angka 2010, data terbaru untuk perikanan berkisar tahun 2005 sampai 2008, tergantung komponen, dengan banyak angka kosong dan sebagian besar yang ada nampaknya sangat jauh dari kenyataan.

Sebagian besar kapal motor yang beroperasi di perairan Kepulauan Banggai (kedua kabupaten) dan sekitarnya di WPP 714 berasal dari kabupaten, provinsi bahkan negara lain. Kapal yang berlabuh di Tinakin Laut /Teluk Banggai sebagian besar berasal dari Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar). Selain itu terdapat kapal dari Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Gorontalo, Bali, Jawa, dan berbagai provinsi lainnya, termasuk penangkap ikan dan avertebrata konsumsi dan hias. Menurut berbagai sumber, termasuk KII dengan instansi terkait dan pelaku sektor perikanan (tamgkap/pengolahan), jumlah armada tersebut cenderugn naik-turun antar tahun dan antar nusim ataupun waktu bulan, sesuai ril dan persepsi mereka terhadap kondisi sumberdaya, kondisi pasar, dan berbagai faktor ekonomi mikro (internal usaha/unit perikanan) dan makro (faktor berskala nasional ataupun global) lainnya. Semuanya sepakat bahwa secara rata-rata jumlah armada domestik (berberdera Indonesia) yang sebenarnya beroperasi jelas melebihi jumlah yang tercatat dalam statistik, meskipun seberapa besar bias atau eror tersebut sulit ditentukan dan dapat berubah secara signifikan (sampai berkali lipat

38 meurut salah satu sumber) antar musim tahunan dan fase bulan (lebih tinggi pada musim teduh dan bulan mati).

Kapal dari luar negeri termasuk kapal trawl yang beroperasi di daerah Laut Arafura (WPP 718) yang seharusnya hanya melintas tanpa penangkapan, namun dilaporkan bahwa mereka tidak jarang melakukan penangkapan (Ndobe dkk., 2005; data primer, 2013). Tentu aktivitas tersebut memiliki konsekuensi sangat negatif terhadap kelestarian lingkungan dan stok ikan/avertebrata. Kapal luar negeri lainnya yang dilaporkan oleh responden termasuk kapal penangkutan ikan hidup (resmi dan tidak). Negara asal kapal/krew asing yang dilaporkan oleh masyarakat termasuk Thailand, Cina (termasuk Taiwan dan Hong Kong), dan Filipina.

Nelayan Kepulauan Banggai (kedua Kabupaten) sebagian besar masih menggunakan armada dan peralatan bersakal kecil, tradisional dan/atau sederhana, baik legal maupun ilegal (destruktif). Di hampir setiap Desa terdapat keluhan mengenai pelaku perikanan destruktif, namun jarang ada yang mengaku adanya pelaku di desanya sendiri. Diasumsikan nelayn perikanan destruktif cenderung beroperasi di luar desa sendiri. Pola kerusakan mengindikasikan bahwa mereka cenderung menghindari lokasi dimana mudah terlihat, sehingga justru kerusakan cenderung lebih menonjol di tempat lebih jauh dari pemukiman dan di pulau-pulau terpencil (Ndobe dkk., 2005; data hasil berbagai survey 2006-2012, data primer 2013). Sebagian besar diantaranya memiliki pula mata pencaharian lain, misalnya di sektor pertanian/perkebunan (pemilik atau buruh), sebagai buruh atau pelaku usah kecil lainnya, termasuk jasa transportasi laut berskala kecil. Aktivitas melaut berkurang pada saat angin/ombak lebih kencang, terutama pada musim timur (akhir Juni sampai pertengahan September) dan jenis maupun frekuensi aktivitas perikanan umumnya dipengaruhi oleh bulan di langit. Sebagian besar nelayan berskala kecil tersebut memiliki lebih dari satu jenis alat tangkap dan menargetkan berbagai jenis sumberdaya perikanan.

Selain armada berupa kapal motor, sebagian besar armada dari aspek jumlah masih berupa sampan atau perahu kecil tradisional. Terdapat keluhan umum bahwa pohon besar semakin langka. Umumnya saat ini kayu atau sampan telah jadi diperoleh dari Pulau Peleng atau daratan Sulawesi. Sebagian menggunakan sema-sema untuk memberikan stabilitas dalam pelayaran maupun operasional penangkapan. Namun kebanyakan perahu kecil, dengan atau tanpa mesin, tidak dilengkapi dengan sema-sema dan cenderugn relatif lebar dibanding misalnya di Kabupaten Donggala. Anak-anak umumnya telah pandai mendayung pada usia dini, termasuk aspek penstabilan perahu-perahu yang secara instrisik memiliki stabilitas relatif rendah, namun gaya apung tinggi sehingga tidak tenggelam apabila terbalik. Jangkauan daerah penangkapan dengan armada kecil tersebut cukup jauh, dan pada musim teduh dapat mencakup sebagian besar perairan Kepulauan Banggai, meskipun sebagian besar aktivitas penangkapan cenderung dilakukan pada pulau-pulau relatif dekat dengan kampungnya para nelayan.

Perairan pesisir secara resmi diperuntungkan untuk armada perahu kecil tersebut, terutama perairan yang relatif dangkal, sebagaimana diterangkan dalam Profil Data Base Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banggai (Tabel 2.3.2). Namun dalam kenyataan perairan tersebut kerapkali diusahakan juga oleh armada perikanan berskala lebih besar, dan zonasi yang dicantumkan dalam dokumen tersebut tidak selalu diindahkan, demikian pula zonasi berdasarkan aturan nasional.

39 Nampak pula bahwa aktivitas pemanfaatan perairan pesisir cukup banyak, beragam dan berpotensi konflik satu dengan lainnya.

Tabel 2.3.2. Pola Pemanfaatan Ruang Wilayah Laut Berdasarkan Kedalaman di Kabupaten Banggai Kepulauan

Fungsi

Kawasan Wilayah Pesisir (1 - 5 m) Laut Dangkal (5 - 10 m) (10 - 20 & > 20 m) Laut Dalam Kawasan Lindung Rawa Pesisir Mangrove Ekosistem Pesisir Terumbu

Karang (atol) (Dugong, Lumba- Satwa dilindungi lumba dsb Satwa Langka (Penyu dsb) Kawasan Budidaya Wisata/rekreasi renang, menyelam olaraga dan memancing Perikanan Pantai Rumput Laut Pertambangan Perikanan pelagis Perikanan demersal Perikanan Pelagis Kawasan Tertentu Pelayaran dan transportasi (pelabuhan/feri penumpang Jalur pelayaran antar pulau dan

internasional

Jalur Pelayaran Internasional

Sumber: Profil Data Base Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banggai Kepulauan Tahun 2011 Alat Tangkap dan Alat Bantu Penangkapan

Alat tangkap cukup bervariasi. Data statistik alat tangkap tercantum pada Tabel 2.3.3. Data tersebut merupakan data 2006 serta data terbaru yang dapat diperoleh, dari tahun 2011. Untuk tahun 2008, data per kecamatan memungkinkan untuk memisah antar wilayah kedua kabupaten. Nampak bahwa pada dekade terakhir terjadi peningkatan jumlah dan perubahan dalam jenis alat tangkap. Sebagian alat yang tercatat tahun 2006 telah tidak tercatat, dan berbagai alat yang tidak terdapat sebelumya telah berada dalam jumlah signifikan atau bahkan besar pada tahun 2011. Alat bantu termasuk rumpon atau fish aggregating device (FAD), lampu digunakan pada alat tangkap bagan, purse seine, tombak dll, dan beberapa jalat bantu lainnya.

Tabel 2.3.3. Data Statistik Alat Tangkap Ikan

Jenis Alat Tangkap 2006* 2008** 2011**

Total Total Balaut*** Total

Pukat Kantong (Cang) 228 26 15 TAD

Pukat Pantai 28 55 39 55

Pukat Cincin 46 163 136 1655

Jaring Insang 1772 1655 843 1617

Jaring lainnya TAD TAD TAD 318

Payang 389 TAD TAD TAD

Bagan 125 81 26 81

40

Bubu 2866 1633 1266 1658

Rawai longline TAD TAD TAD 85

Rawai Tetap TAD TAD TAD 1378

Huhate TAD TAD TAD 59

Sero TAD TAD TAD 18

Serok TAD TAD TAD 17

Set Net TAD TAD TAD 48

Lainnya 1789 654 272 20

Total 25264 29224 11603 37986

Sumber: * BPS (2010); ** Profil Data Base Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banggai Kepulauan Tahun 2011; ***Data agregat kecamatan yang telah masuk pada Kabupaten Banggai Laut

Catatan: TAD = tidak ada data Jenis Sumberdaya Ikan

Sumberdaya ikan yang dilaporkan dalam statistik cukup bervariasi, dan dalam kenyataan lebih banyak jenis lainnya tertangkap pula. Data statistik komposisi hasil tangkapan tercantum pada Tabel 2.3.4. Data tersebut dari Dislutkan Sulteng mencakup tahun 2004, 2005, 2009 dan data dari Profil Data Base Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banggai Kepulauan Tahun 2011 sebenarnya adalah data tahun 2008 (identik dengan data tahun 2008 dalam Kabupaten dalam Angka Tahun 2010) maka dicantumkan pada kolum tersebut. Selain itu, rincian data volume dan nilai produksi untuk konsumsi dan untuk ekspor pada tahun 2008 dicantumkan pada Tabel 2.3.5.

Tabel 2.3.4. Data Statistik Komposisi Hasil Tangkapan

Jenis 2004* 2005* 2008** 2009* Nomei - - - 3.78 Peperek 6.4 7.4 11.50 107.82 Manyung - - - 3.17 Biji Nangka 9.5 10.5 - 50.58 Gerot-Gerot 0.6 0.6 - 41.77 Merah/Bambangan 16.3 17.3 - 766.83 Kerapu Karang 49.9 53.9 95.50 1,230.11 Lencam 69.4 75.4 - 526.92 Kakap Putih 51.9 55.9 - 437.34 Kurisi 9.8 10.8 - 81.27 Swanggi 4.7 4.7 - 31.77 Ekor Kuning/Lolosi 51.5 55.5 1,448.35 814.66 Gulamah - - - 26.00 Cucut - - - 8.23 Pari 0.5 0.5 - 2.63 Bawal Hitam 167.8 180.8 - 100.00 Bawal Putih 33.0 36.0 - 27.67 Alu-Alu 11.4 12.4 34.60 68.70 Layang 3,730.7 4,028.7 13,965.25 844.34 Selar 1,166.7 1,259.7 42.56 1,162.21 Kuwe - - - 431.71

41 Tetengkek - - - 14.09 Daun Bambu - - - 64.04 Sunglir - - - 66.94 Ikan Terbang 40.8 43.8 250.00 131.55 Belanak 70.1 76.1 26.15 84.70 Julung-Julung 16.3 17.3 - 474.69 Teri 233.8 252.8 117.30 1,112.65 Japuh - - - 33.30 Tembang 60.7 65.7 62.94 625.07 Lemuru 76.7 82.7 357.40 212.23 Golok-Golok - - - 18.02 Kembung 275.9 297.9 - 1,557.24 Tenggiri Papan 1.9 1.9 - 45.95 Tenggiri 89.1 96.1 91.33 224.47 Layur - - - 3.60 Tuna 28.8 30.8 87.00 730.59 Cakalang 955.7 1,031.7 413.50 1,274.50 Tongkol 2,333.3 2,520.3 306.25 1,639.50 Bentong - - 121.81 - Ikan napoleon - - - 5.38 Pinjalo - - 319.98 - Beronang - - - 275.85

Ikan dasar campuran - - 124.50

657.01 Ikan Lain 451.1 487.1 - Rajungan 2.3 2.3 - 1.67 Kepiting 1.6 1.6 - 90.84 Udang Barong 0.2 0.2 52.25 25.15 Udang Windu - - - 44.46 Udang Putih - - - 154.00 Udang Dogol - - - 1.24 Udang Lain - - - 0.15 BBK Lain - - - 0.28 Tiram - - - 8.42 Kerang Darah - - - 0.49 Cumi-Cumi 49.7 53.7 184.03 126.51 Sotong 2.7 2.7 132.15 16.48 Gurita 1.2 1.2 - 267.76 Mata Tujuh - - 2.25 -

Binatang Lunak Lainnya 1.6 1.6 2.20

Penyu - - - 0.40

Teripang - - 13.50 16.59

Total 10,073.6 10,877.6 18,260.10 16,775.52

Sumber: * Data Dislutkan Sulteng (2004, 2005, 2009); ** Profil Data Base Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banggai Kepulauan Tahun 2011

42 Tabel 2.3.5. Produksi dan Nilai Ikan Konsumsi dan Ekspor Tahun 2008

Jenis Ikan Produksi Konsumsi (ton) (juta Rp) Nilai Produksi Ekspor (ton) (juta Rp) Nilai

Peperek 11.5 8,625 -

Ekor Kuning 55.35 193,725 1,393.00 TAD

Layang 215.25 822,510 13,750.00 TAD Selar 42.56 84,732 - Teri 15.3 175,824 102.00 TAD Tembang 62.94 15,344 - Alu-Alu 34.6 51,906 - Ikan Terbang 250 9,360 - Belanak 26.15 52,298 - Tuna - - 87.00 991,355 Cakalang 37.5 143,259 976.00 4,694,085 Tengiri 23.75 123,341 67.58 896,184 Tongkol 306.25 658,430 - Lemuru 357.36 446,698 -

Ikan Campuran Dasar 124.50 1,010,880

Kerapu hidup - - 95.50 5,929,600 Lobster hidup - - 52.25 4,803,630 Cumi-Cumi kering - - 72.18 1,824,660 Cumi-Cumi basah 12.5 51,071 99.35 578,870 Suntung 7.15 176,740 125.00 6,495,552 Mata Tujuh - - 2.25 964,600 Teripang - 13.50 1,645,650

Ikan Hias (ekor) - - 1,050,000.00 4,475,625

Nener (ekor) - - 24,500,000.00 1,779,750

Jumlah 1458.16 3,013,863 16,960.11 36,090,441

Sumber: BPS (2010)

Data pada Tabel 2.3.4 menunjukkan adanya peningkatan volume maupun pergeseran dalam komposisi hasil tangkapan pada dekade terakhir. Selain perubahan nyata dalam hasil tangkapan, diduga bahwa sebagian perubahan dosebabkan oleh pola pendataan yang berbeda antar periode, termasuk dari aspek jenis-jenis yang dicatat secara terpisah. Terindikasi bahwa sebagian jenis yang tercatat secara terpisah pada tahun 2004/5 masuk pada kategori ikan dasar campuran tahun 2008 dan ikan lainnya tahun 2009. Sebaliknya ke-15 jenis ikan yang tercatat secara terpisah pada tahun 2009 yang tidak tercatat secara terpisah sebelumnya (sebagian tidak dicantumkan secara terpisah) diduga sebelumnya termasuk pada kategori ikan lainnya. Selain urutan dan cakupan jenis yang didatakan berubah, terdapat informasi adanya pula perubahan dalam pola sampling dan ektrapolasi, hal yang menulitkan dalam perbandingan antar waktu.

Tabel 2.3.5. menunjukkan bahwa perikanan ikan hias maupun perikanan ikan hidup cukup besar dan penting dari aspek volume maupun nilai ekonomi. Apabila dibanding Tabel 2.3.5 dengan Tabel 2.3.3,

43 nampak bahwa alat tangkap ikan hias tersebut belum terakomodir dalam statistik, kemudian ikan hasil tangkapan belum terakomodir dengan baik dalam statistik hasil tangkapan. Volume melambung sekali dengan setiap ekor dihitung setara dengan satu ton. Maka dihitung ulang volume dan nilai total (dikoreksi data ikan hias dan dikurangi pula mutiara dan rumput laut hasil budidaya, bukan hasil perikanan tangkap).

Olahan Hasil Perikanan

Data olahan hasil perikanan pada Tabel 2.3.6 kurang lengkap namun menunjukkan adanya peningkatan dalam volume olahan tradisional maupun moderen (berdasarkan nilai produk pembekuan) pada dekade terakhir.

Tabel 4.3.6. Data olahan hasil perikanan di Kepulauan Banggai

Jenis Olahan 2004 2005 2008 2009 2011

Total Balaut Konsumsi segar 5,765.1 6,225.2 14077.9 15466.62 TAD TAD Pengeringan/Penggaraman 1,122.2 1,211.8 3553.2 1209.68 1052.47 532

Pengasapan 776.7 838.7 1681.9 253.35 233.05 232.55 Pembekuan 2,409.6 - 654.2 10.16 [Nilai ± 27.5 juta Rp.]

Lain-lain - 2,601.9 676.2 155.32 TAD TAD

Total 10,073.6 10,877.6 20,643.4 17,095.1 TAD TAD Sumber: Data Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tengah (2004-2009) dan Profil Data Base Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banggai Kepulauan Tahun 2011

Seperti terindikasi pada data sekunder di atas, hasil survey bahwa olahan hasil perikanan moderen (pembekuan ikan, avertebrata dan produk olahan seperti fillet, cumi/sotong yang telah dibelah/keluarkan isi/batunya dll) sangat bervariasi dalam waktu, dengan buka/tutupnya beberapa perusahaan olahan di Tinakin Laut. Data dan informasi yang diperoleh dari perusahaan yang ada dibahas pada bagian-bagian berikut namun target utama termasuk: ikan batu berukuran besar; gurita dan cumi-cumi/sotong (Kefalopoda); dan ikan pelagis kecil, terutama ikan malalugis (layang/lajang). Semua komoditas tersebut masih ada namun menunjukkan tanda-tanda overfishing. Ikan yang tidak layak untuk diolah di pabrik masuk pada pasaran lokal maupun perdagangan antar pulau. Selain itu, terdapat sejumlah usaha olahan (pembekuan) terapung, berupa kapal pabrik yang berlabuh di Tinkan Laut/Teluk Banggai. Tentu pabrik terapung tersebut mudah berpindah, dan menurut sumber dari Dislutkan Kabupaten Banggai Laut, legalitasnya diragukan, dari berbagai aspek. Cenderungan (trends)

Secara keseluruhan, data statistik menunjukkan perikanan multi-gear, multi-spesies dengan skala armada/usaha perikanan yang beragam baik dari aspek teknis maupun asal-usulnya. Dari aspek rincian data statistik perikanan, akurasi dan kelengkaan sangat diragukan, terutama untuk hasil tangkapan. Sebagian besar ikan yang didaratkan tidak tercatat. Volume IUU Fishing yang tidak tercatat (atau tercatat di daerah lain) diyakin melebihi volume yang tercatat untuk sebagian besar spesies ikan. Kemudian beberapa spesies ikan (finfish maupun avertebrata) yang tidak tercatat secara terpisah kemungkinan tidak tercatat sama sekali dan tidak masuk pula dalam “ikan lainnya”. Meskipun nilia-nilai angka kemungkinan sangat besar bias, tidak akurat dan tidak up-to-date, Trends yang nampak dinilai cukup sesuai kenyataan.

44 Dalam 10-an tahun terakhir salah satu perubahan besar yang terjadi di sektor perikanan tangkap adalah perubahan dalam jenis dan jumlah armada dan alat tangkap. Pada umumnya armada meningkat dari aspek jumlah maupun kapasitas (motorisasi, peningkatan tonase kapal motor). Perahu kecil sekalipun mengalami perubahan mendasar dengan peningkatan tajam dalam jumlah mesin jenis katinting, yang telah jauh melebihi angka statistik terakhir di atas, meskipun masih terdapat perahu nelayan yang benar beroperasi tanpa motor.

Alat tangkap meningkat pula dari aspek jumlah, terutama jumlah jenis alat tangkap yang moderen dan atau memiliki daya tangkap lebih besar. Terindikasi bahwa beberapa jenis ikan dan avertebrata yang pada awal tahun 2000-an atau bahkan hingga 2008 meningkat terus hasil tangkapannya ternyata pada tahun 2009 telah mulai mengalami penurunan, hal yang dikonfirmasikan oleh para responden KII dan FGD pada survey lapangan.

Pengawasan perikanan secara umum di Kepuluan Banggai sangat lemah, dan tidak didukung oleh sarana, prasarana dan anggaran operasional ataupun sumberdaya manusian yang memadai ataupun infrastruktur pendukung seperti komunikasi yang dinilai mutlak demi efisiensi maupun keamanan pelaku pengawasan. Tingkat pelanggaran sangat tinggi termasuk DF, pengambilan biota yang dilindungi, pengambilan bambu laut, penambangan karang dan pelanggaran terhadap aturan lalu lintas ikan (BCF dari Bone Baru telah melalui Karantina Ikan, sebagian besar sumberdaya perikanan belum), kapal dan alat tangkap.

Terindikasi bahwa puncak produksi atau produktivitas (hasi per unit usaha) telah terlewat beberapa tahun silam dan sebagian besar stok diusahakan pada kondisi yang telah melewati MSY (merah pada sistem penilaian stok per WPP). Pergeseran dalam hasil menunjukkan pula serial depletion (penurunan sumberdaya secara berturut-turut) dan jika dibiarkan akan semaki terarah pada paradigma fishing down the food web. Hasil pengamatan bahwa penangkapan ikan juvenil lazim terjadi pada sebagian besar stok ekonomis penting, dan diduga kemampuan reproduksi/daya dukung berbagai stok ikan dan avertebrata telah menurun. Hal tersebut bukan hanya akibat pemanfaatan namun juga degradasi habitat (umum dan critical habitat). Nampak bahwa pengelolaan yang arif, termasuk pengendalian tingkat dan jenis fishing effort sangat diperlukan untuk mempertahankan sumberdaya ikan yang secara alami berlimpah.

Pasar Ikan Kota Banggai

Ikan yang dijual di pasar ikan di Banggai kebanyakan di daratkan di belakang pasar, atau didaratkan di tempat lain kemudian dibawah ke pasar melalui laut, hanya sebagian kecil melalui darat dari tempat lain di Pulau Banggai. Sebagian ikan berasal dari cukup jauh, saat survey sebagian dari Sulawesi Tenggara (Kendari), namun sebagian besar merupakan hasil tangkapan di perairan Kepulauan Banggai. Jenis ikan yang dijual sangat beragam, dan untuk kebanyakan spesies sebagian besar berukuran di bawah Lm. Pada kunjungan ke pabrik ikan dan pengumpul (di bawah) terdapat indikasi bahwa sebgian signifikan ikan bernilai ekonomis tinggi berukuran > Lm tidak terjual di pasar, maka kemungkinan proporsi > Lm dalam hasil tangkapan tidak sebesar proporsi dalam ikan yang terlihat di pasar. Menurut informasi, sotong (Loligo sp.) hampir tidak ada selama sekitar 10 tahun, baru tahun ini (2013) mulai kembali, masih jauh di bawah jumlah hingga awal tahun 2000-an. Kelimpahannya sebelumnya sesuai dengan hasil surveu tahun 2004 (Ndobe dkk., 2005). Adapun data hasil pengamatan diringkas pada Tabel 4.3.7.

45 Tabel 4.3.7. Data sampling di Pasar Ikan Kota Banggai

Jenis Sumberdaya Ikan Estimasi % > Lm Keterangan Kerapu (Serranidae) Betina < 20% Jantan < 5% Terminal male 1 atau 2 ekor

Kakap (Lutjanidae) 5 – 10% Beberapa ekor sangat besar,

kebanyakan juvenil

Haemulidae ± 25%

Ikan kakatua (Scaridae) 15 - 20% Jumlah juvenil tinggi

Ikan beronang ± 50% Jumlah sedang

Ikan Hiu 0% Jumlahnya sedikit

Ikan Pari bintik biru < 50% Jumlah besar, termasuk jenis rawan terancam punah (NT) pada Red List IUCN

Ikan demersal campuran 0 – 50% Beragam jenis/ukuran

Ikan tenggiri ± 25% Jumlah rendah

Ikan barracuda ± 50% Jumlah rendah

Ikan kuwe/bubara ± 50% Jumlah rendah

Ikan selar > 60% Jumlahnya sedang

Ilan lajang/malalugis 20 - 25% Banyak berukuran kecil

Ikan tongkol < 5% Jumlah banyak, kecil

Ikan tuna < 5% Umumnya baby tuna

Ikan lemuru < 50 % Lm 14-15 cm (FishBase)

Rajungan 20 – 30% Sedikit jumlahnya

Sotong (Loligo sp.) 40 – 50%

Banyak cumi ukuran kecil

Cumi batu 20 – 30%

Sumber: data primer survey EAFM tahun 2013

Perikanan Avertebrata di Matanga

Hasil survey tahun 2006 dalam rangka program Konsorsium Mitra Bahari Sulawesi Tengah bahwa Desa Matanga di bagian selatan Pulau Banggai merupakan salah satu pusat utama penangkapan dan pengolahan (pengeringan/pengasapan) avertebrata bernilai ekonomis tinggi terutama abalone (mata tujuh. Haliotis asinina) dan teripang, namun juga berbagai avertebrata lain terutama Moluska. Penangkapan mata tujuh saat itu dilakukan secar dstruktif yaitu dengan membongkar/membalikkan karang. Tahun 2006 sampai 2011 banyak keluhan dari desa lain mengenai kerusakan oleh nelayan pengambil mata tujuh. Hasil kunjungan pada saat survey EAFM antara lain:

Matanga sudah ibu kota kecamatan tetapi belum ada tanda kemajuan yang nampak. Menurut responden “didata terus tetapi tidak ada yang turun”. Jalan akses ke Desa Matanga dalam kondisi sangat memprihatinkan. Air bersih masih menjadi masalah (seperti pada tahun 2006).

Mata tujuh semakin langka, dulu pada musim tenggara sangat berlimpah. Namun karang telah hancur. Ukuran cenderung menurun, jarak meningkat, volume menurun, tetap hanya diambil yang berukuran lebar sekitar 3 jari, panjang 7-10cm (hampir sama dengan bungkus rokok), sama dengan tahun 2006 (kecil tidak ada harga). Dulu harga sekitar 400,000Rp/kg, sekarang menurun menjadi 200-an ribu rupiah.

46 Pola yang sama khusus avertebrata lain seperti teripang, ditambah dengan kedalaman dimana ditemukan meningkat. Tahun 1987 bisa dapat 700 ekor/hari teripang koro, ukurannya 5 ekor/kg, dan pedagang serta penyelam teripang “bisa naik Haji”. Saat ini hanya ukuran jari, kering bisa ratusan atau ribuan per kg. Namun harga yang tinggi mendorong pemanfaatan selama masih ada sekecil apapun yang bisa didapat.

Ikan (Pisces) dulu banyak jika mancing depan rumah, sekarang “berdayung sampai kuning mata tidak dapat cukup”.

Biota ETP: kima (Tridacdidae) “sudah habis” diambil; kepiting kenari ada, belum diolah secar komersil (ada konsumsi lokal); penyu sudah “tidak ada” menurut masyarakat. Namun masih ada di Tempaus/Kasuari, disitu terdapat empang tersembunyi dalam mangrove dengan ratusan penyu, ditampung/dibesarkan kemudian dimuat ke Bali

Metode penangkapan mata tujuh telah berubah, sekarang dilakukan saat malam dengan lampu, saat air surut terendah. Menggukana kacamata (tradisional atau masker) dengan alat penjerat (gancho). Mata tujuh nokturnal, dapat dilihat di luar karang dan diambil. Saat penangkapan tersebut adalah saat mereka bertelur. Katanya di desa tetangga (Tolokibit) masih ditangkap dengan membalikkan karang

Teripang: dulu menyelan secra alami atau dengan kompresor, sekarang ada yang menggunakan tangki, jenis tabung selam kuno dengan reserve (udara serep) yang dibuka dengan katup saat udara dalam bagian ini habis. Penangkapan di Sonit atau lebih jauh lagi. Jarang nelayan turun di bawah 20 meter.

Mangrove semakin rusak dan terancam. Sekitar setahun lalu ada pembabatan yang tidak

Dalam dokumen Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan (Halaman 36-54)

Dokumen terkait