• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Wilayah Penelitian

3. Durasi Mengakses Sumber Informasi Kampanye

Durasi mengakses sumber informasi kampanye merupakan aspek ketiga yang dilihat dalam dimensi penggunaan media massa. Dimensi durasi mengakses sumber terbagi menjadi tiga parameter yaitu mengukur lama menonton televisi dan program acara; lama mengakses media sosial, situs dan forum online; serta lama tatap muka, mengajak, bertanya, berdiskusi dengan keluarga, teman, tetangga dan tokoh masyarakat. Untuk pengukuran peubah durasi penggunaan media menghitung berapa lama khalayak bergabung dengan suatu media (berapa jam sehari) atau berapa lama (menit) khalayak mengikuti suatu program (Ardianto & Erdinaya 2005:164). Durasi diartikan dengan waktu yang dihabiskan untuk mengakses sumber informasi diantaranya jumlah satuan jam, panjang (lama) atau durasi menonton tayangan atau program acara di televisi, mengakses media sosial/media hibrid (new media) dan media interpersonal selama kampanye pilpres tahun 2014. Pola penggunaan sumber informasi kampanye yang dilihat dari dimensi durasi sumber informasi kampanye, sebaran rataan skor tersaji pada Tabel 12.

Tabel 12 Sebaran rataan skor dari indikator durasi mengakses sumber informasi kampanye, 2014

Durasi mengakses sumber informasi kampanye Rataan skor* Lama menonton televisi dan program acara 1,88 Lama mengakses media sosial, situs dan forum online 1,52 Lama tatap muka, mengajak, bertanya, berdiskusi dengan keluarga,

teman, tetangga dan tokoh masyarakat

1,60

Berdasarkan Tabel 12, terlihat bahwa skor parameter lama menonton televisi dan program sebesar 1,88 yaitu masuk dalam kategori sedang. Artinya, tingkat terpaan melalui saluran televisi dinilai rendah atau jumlah waktu yang digunakan untuk mengakses informasi kampanye dari televisi terbilang kurang panjang /kurang lama (sebentar). Begitu pula parameter lama mengakses media sosial, situs dan forum online masih dinilai kurang lama dilihat dari besaran skor hanya 1,52. Skor dari parameter kedua ini merupakan nilai rataan skor terendah dibandingkan parameter lainnya. Sementara sebaran rataan skor dari parameter lama tatap muka, mengajak, bertanya, berdiskusi dengan keluarga, teman, tetangga dan tokoh masyarakat dinilai relatif rendah. Hal tersebut terlihat dari rataan skor parameter ketiga ini yang masuk dalam kategori rendah.

Berdasarkan pengertian terpaan media yang telah dijelaskan oleh Rosengren dalam Rakhmat (2009:66), maka cara mengukur terpaan media dengan melihat frekuensi, durasi dan atensi. Namun melihat kerangka pemikiran dan definisi operasional dari bab ini, peubah penggunaan sumber informasi kampanye bahwa terpaan media dapat diukur melalui jumlah sumber informasi kampanye, frekuensi mengakses sumber informasi kampanye dan durasi mengakses sumber informasi kampanye.

Secara umum, dapat disimpulkan bahwa kecenderungan pola penggunaan sumber informasi kampanye menunjukkan nilai yang masih rendah. Ketiga indikator yang digunakan untuk melihat penggunaan sumber informasi kampanye belum memperlihatkan nilai yang relatif tinggi. Parameter frekuensi menonton televisi dan program acara serta jumlah media sosial, situs dan forum online yang digunakan selama kampanye menunjukkan skor di bawah 2,0 atau masuk dalam kategori rendah. Khalayak berusaha secara aktif untuk mendapatkan, menggunakan dan memilih jenis media massa secara sungguh-sungguh untuk memuaskan kebutuhannya berupa informasi, berita ataupun pesan-pesan politik yang berhubungan dengan pilkada (Sudaryanti 2008:44). Berbeda dengan parameter dari indikator lainnya dalam peubah penggunaan sumber informasi yang nilainya masih relatif rendah.

Hal ini dipertegas oleh Perludem (2014:6), bahwa sosial media dan internet menjadi suatu solusi baru untuk lahirnya komunitas yang peduli terhadap isu-isu tertentu. Ini tentu bisa menjadi alat sosialisasi pemilu. Peningkatan partisipasi anak muda tidak hanya dengan sosialisasi. Tetapi KPU mestinya melepas sekat normatif antara penyelenggara dengan masyarakat. Masih ada jarak di dalam sosialisasi antara penyelenggara pemilu dengan masyarakat. Ini dimaksudkan agar pemilu bisa menjadi milik semua. Perlu ada pemetaan kelompok komunitas yang kuat bisa bekerja di dalam mensukseskan pemilu, yang salah satu aktivitasnya adalah sosialisasi.

Hubungan Karakteristik Demografis Pemilih dengan Penggunaan Sumber Informasi Kampanye

Analisis hubungan yang pertama adalah melihat hubungan antar peubah karakteristik demografis pemilih dengan penggunaan sumber informasi kampanye sebagai langkah awal untuk menjawab hipotesis yang dibangun dalam penelitian ini. Analisis yang digunakan untuk menentukan hubungan antar peubah adalah SPSS 22 for windows dengan model uji statistik analisis rank Spearman. Venus

(2012:126) pernah menjelaskan bahwa dari aspek demografi, khalayak umumnya dikelompokkan berdasarkan karakteristik sosial ekonomi seperti usia, jenis kelamin, suku, agama, pendidikan, ukuran keluarga hingga status sosial ekonomi mereka. Sejalan dengan pendapat Subiakto dan Ida (2014:68) yang menyatakan bahwa ras, suku, agama, gender, usia, pendapatan, pendidikan, dan besarnya kota, menurut Doris Graber merupakan peubah yang berpengaruh terhadap kebiasaan menggunakan media massa. Hubungan karakteristik demografis pemilih dengan pola penggunaan sumber informasi kampanye tersaji pada Tabel 13.

Tabel 13 Hubungan karakteristik demografis pemilih dengan penggunaan sumber informasi kampanye, 2014

Karakteristik Demografis Pemilih

Koefisien Korelasi (rs)

Penggunaan Sumber Informasi Kampanye Jumlah Sumber Informasi Frekuensi Sumber Informasi Durasi Sumber Informasi a. Jenis Kelamin -0,243** -0,209** 0,044 b. Usia -0,128 0,058 0,121 c. Pendidikan -0,094 -0,029 -0,128 d. Pendapatan -0,039 0,015 0,158 e. Asal kelahiran -0,240** -0,140* -0,032 f. Lingkungan tempat tinggal -0,235** -0,187** 0,022 g. Afiliasi Politik 0,176* 0,114 -0,100 Ket: *Taraf nyata pada p<0,05 rs: Koefisien korelasi rank Spearman **Taraf nyata pada p<0,01

Dari Tabel 13 dapat dijelaskan bahwa indikator jenis kelamin memiliki hubungan sangat nyata (p≤0,01) dan arah hubungan negatif dengan pola penggunaan sumber informasi kampanye pada jumlah sumber informasi kampanye dengan nilai koefisien korelasi -0,243 dan frekuensi mengakses sumber informasi kampanye dengan nilai koefisien korelasi -2,09. Artinya, semakin pemilih laki-laki cenderung semakin rendah pola penggunaan sumber informasi kampanye pada indikator jumlah sumber informasi kampanye dan frekuensi mengakses sumber informasi kampanye. Sementara nilai koefisien korelasi asal kelahiran yang memiliki hubungan sangat nyata (p≤0,01) dan arah hubungan negatif dengan dimensi jumlah sumber informasi kampanye yaitu -0,240, dan berhubungan nyata (p≤ 0,05) dan arah hubungan negatif dengan dimensi frekuensi mengakses sumber informasi kampanye yaitu -0,140. Artinya, semakin pemilih asal kelahiran dari Cibinong (pribumi) cenderung semakin rendah pola penggunaan sumber informasinya dalam hal jumlah sumber informasi kampanye dan frekuensi mengakses sumber informasi kampanye, dibandingkan dengan pemilih yang daerah kelahirannya berasal dari luar Cibinong (pendatang).

Pendidikan masyarakat tidak memiliki hubungan yang nyata dengan dimensi baik jumlah sumber informasi kampanye, frekuensi mengakses sumber informasi kampanye maupun durasi mengakses sumber informasi kampanye. Begitu pun pendapatan yang tidak memiliki hubungan yang nyata dengan seluruh dimensi yaitu jumlah sumber informasi kampanye, frekuensi mengakses sumber informasi kampanye maupun durasi mengakses sumber informasi kampanye.

Menurut Subiakto & Ida (2014:68), kategori sosial berdasar pendapatan berpengaruh terhadap penggunaan media. Menurutnya, keluarga yang berpendapatan tinggi dan berpendidikan tinggi, cenderung akan menggunakan media semakin banyak dan sebaliknya. Dengan demikian, dapat disimpulkan kecenderungan bahwa pendidikan dan pendapatan masyarakat Kecamatan Cibinong tidak serta merta berhubungan dengan peubah penggunaan sumber informasi kampanye.

Nilai korelasi lingkungan tempat tinggal dengan jumlah sumber informasi kampanye dan frekuensi mengakses sumber informasi kampanye adalah -0,235 dan -0,187 dengan korelasi sangat nyata (p≤ 0,01) dan arah hubungannya negatif. Artinya, semakin pemilih tinggal di lingkungan tempat tinggal industri/ agraris cenderung semakin rendah pola penggunaan sumber informasi kampanye dalam hal jumlah sumber informasi kampanye dan frekuensi mengakses sumber informasi kampanye. Hal ini sejalan dengan pendapat warga yang tinggal di lingkungan industri dan agraris kurang memanfaatkan keragaman saluran media sebagai rujukan dalam memperoleh informasi kampanye pilpres 2014 dibandingkan dengan warga yang tinggal di lingkungan pesantren/pendidikan/ perumahan dan perkampungan.

Karakteristik demografis terakhir yaitu afiliasi politik, diukur memiliki hubungan nyata (p≤0,05) dengan jumlah sumber informasi kampanye. Sebaliknya, afiliasi politik tidak memiliki hubungan nyata (p≤0,05) dengan frekuensi mengakses sumber informasi kampanye dan durasi mengakses sumber informasi kampanye. Artinya, kedekatan warga dengan partai politik memiliki hubungan dengan keragaman sumber informasi, namun tidak berhubungan dengan intensitas mengakses sumber informasi dan lama waktunya menggunakan sumber informasi tersebut. Dengan demikian, hipotesis penelitian kedua yang menyebutkan “terdapat hubungan signifikan atau nyata antara karakteristik demografis pemilih (jenis kelamin, usia, pendidikan, pendapatan, asal kelahiran, lingkungan tempat tinggal, afiliasi politik) dengan penggunaan sumber informasi kampanye diterima,” khususnya untuk jenis kelamin, asal kelahiran, lingkungan tempat tinggal dan afiliasi politik. Selanjutnya, hipotesis penelitian menolak adanya hubungan yang signifikan atau nyata antara usia, pendidikan dan pendapatan dengan peubah penggunaan sumber informasi kampanye.

Hubungan Karakteristik Demografis Pemilih dengan Partisipasi Politik

Analisis hubungan yang kedua adalah mengukur sejauh mana hubungan antar peubah karakteristik demografis pemilih dengan partisipasi politik. Alat analisis yang digunakan untuk menentukan hubungan antar peubah masih menggunakan SPSS 22 for windows dengan model uji statistik analisis rank Spearman. Karakteristik demografis pemilih adalah ciri khas yang melekat pada individu berdasarkan aspek demografi. Demografi adalah salah satu apsek yang mengelompokkan individu berdasarkan ciri-ciri status sosial ekonomi atau kedudukan atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Biasanya status tersebut diukur melalui indeks yang merupakan kombinasi dari tiga atau lebih komponen utama status sosial, yaitu pendidikan, pendapatan, usia, jenis kelamin, asal kelahiran, lingkungan tempat tinggal dan afiliasi politik.

Tarigan (2009:43) menyebutkan bahwa karakter sosial menyangkut status sosial ekonomi, kelompok ras, etnis dan agama seseorang. Bagaimanapun juga lingkungan sosial itu ikut mempengaruhi persepsi, sikap, perilaku seseorang dalam bidang politik. Orang yang berasal dari lingkungan sosial yang lebih rasional dan menghargai nilai-nilai seperti keterbukaan, kejujuran, keadilan dan lain-lain tentu akan mau juga memperjuangkan tegaknya nilai-nilai tersebut dalam bidang politik. Oleh sebab itulah, mereka mau berpartisipasi dalam bidang politik. Penjelasan lebih lanjut tentang hubungan antar peubah karakteristik demografis pemilih dengan partisipasi politik dapat dijelaskan melalui Tabel 14 di bawah ini. Tabel 14 Hubungan karakteristik demografis pemilih dengan partisipasi politik,

2014

Karakteristik Demografis Pemilih

Koefisien Korelasi Partisipasi Politik (rs)

Keterlibatan Kampanye Keterlibatan Memberi Suara Keterlibatan Mengawasi Pemilu Jenis kelamin -0,215** -0,168* -0,178* Usia -0,060 -0,153* -0,169* Pendidikan -0,002 0,131 0,092 Pendapatan 0,011 -0,019 -0,065 Asal kelahiran -0,166* -0,024 0,043

Lingkungan tempat tinggal -0,217** 0,002 0,048 Afiliasi politik 0,187** 0,334** 0,320** Ket: *Taraf nyata pada p<0,05 rs: Koefisien korelasi rank Spearman **Taraf sangat nyata pada p <0,01

Nilai korelasi antar dimensi dapat tergambar dari tabel 14 di atas menunjukkan adanya hubungan sangat nyata (p≤0,01) dan arah hubungannya positif antara sub peubah afiliasi politik dan peubah partisipasi politik baik dilihat dari dimensi keterlibatan kampanye, keterlibatan memberi suara maupun keterlibatan mengawasi pemilu. Artinya, kedekatan pemilih dengan partai politik (parpol) tertentu yaitu sebanyak 81% pemilih berhubungan atau dipengaruhi oleh ajakan, arahan atau himbauan suatu kelompok atau parpol agar mendukung sistem Pemilu secara langsung, memberikan suara dan mencegah kecurangan pemilu. Hal ini dikarenakan, partai politik dan calon perseorangan bersaing memanfaatkan pengetahuan ini untuk strategi kampanye yang baik untuk memobilisasi pemilih, dukungan politik dalam pemilihan umum kepala negara atau kepala daerah serta menjaga citra sepanjang waktu dalam Pemilu (Cass 2001 dalam Ediraras et al. 2013:587).

Dari seluruh sub peubah karakteristik demografis pemilih, setidaknya terdapat lima indikator yang berhubungan sangat nyata (p≤0,01) dan arah hubungannya negatif, antara lain jenis kelamin dan keterlibatan kampanye; lingkungan tempat tinggal dan keterlibatan kampanye; dan afiliasi politik dan seluruh dimensi partisipasi politik. Artinya, pemilih laki-laki cenderung rendah tingkat keterlibatan kampanyenya dibanding perempuan; pemilih yang tinggal di daerah agraris/perkampungan dan industri/perdagangan cenderung rendah

keterlibatan dalam kampanyenya dibanding pemilih yang tinggal di perumahan dan pendidikan/pesantren.

Tarigan (2009:43) pernah meneliti bahwa lingkungan politik yang kondusif membuat orang dengan senang hati berpartisipasi dalam kehidupan politik. Dalam lingkungan politik yang demokratis orang merasa lebih bebas dan nyaman untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas politik daripada dalam lingkungan politik yang totaliter. Lingkungan politik yang sering diisi dengan aktivitas- aktivitas brutal dan kekerasan dengan sendirinya menjauhkan masyarakat dari wilayah politik. Selanjutnya, Tarigan (2009:45-46) menyimpulkan bahwa, pada hakekatnya, terdapat kesamaan dasar antara tipologi motivasi dari Weber dengan fungsi partisipasi politik dari Lane. Jika Weber dan Lane benar, maka partisipasi politik itu ditentukan oleh sikap-sikap sosial dan sikap-sikap politik individu yang mendasar, yang erat berasosiasi baik dengan karakteristik pribadi dan sosialnya, maupun dengan lingkungan sosial dan lingkungan politik yang membentuk konteks perilaku politiknya. Karena lingkungan sosial dan lingkungan politik ini berbeda dari satu masyarakat dengan masyarakat lainnya, maka partisipasi politik berbeda-beda dari satu sistem politik dengan sistem politik lainnya.

Sementara lima indikator lainnya berkorelasi nyata (p≤0,05) dan arah hubungannya negatif, diantaranya jenis kelamin dengan keterlibatan memberikan suara dan keterlibatan mengawasi pemilu; usia dengan keterlibatan memberikan suara dan keterlibatan mengawasi pemilu; asal kelahiran dan keterlibatan kampanye pada peubah partisipasi politik. Sebaliknya pada sub peubah usia, pendapatan dan pendidikan tidak mengindikasikan hubungan yang nyata (p≤0,05) dengan ketiga dimensi baik keterlibatan kampanye, keterlibatan memberi suara dan keterlibatan mengawasi pemilu.

Namun, nilai koefisien korelasi pendapatan dan pendidikan menunjukkan tidak terdapat hubungan yang nyata dengan dimensi keterlibatan kampanye, keterlibatan memberi suara dan keterlibatan mengawasi pemilu. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik demografis pemilih berdasar pendapatan dan pendidikan tidak berpengaruh terhadap partisipasi politik. Menurut Conway (1985:20), di dalam suatu masyarakat, tingkat partisipasi politik cenderung bervariasi dengan status sosio ekonomi. Mereka yang berpendidikan lebih tinggi, berpenghasilan lebih besar dan mempunyai status pekerjaan yang lebih tinggi biasanya lebih partisipatif daripada mereka yang miskin, tak berpendidikan dan memiliki pekerjaan status rendah. Masyarakat yang berpendapatan atau berpendidikan tinggi tidak memiliki korelasi dengan tingkat keaktifannya dalam seluruh tahapan pilpres 2014. Beberapa studi juga menemukan bahwa masing- masing komponen status sosial ekonomi merupakan peubah independent yang mempengaruhi partisipasi politik secara berbeda. Pendidikan adalah peubah terpenting yang mempengaruhi partisipasi politik, dua individu yang mempunyai tingkat pendapatan sama memiliki tingkat partisipasi yang berbeda jika tingkat pendidikannya berbeda.

Dengan demikian, hipotesis penelitian pertama yang menyebutkan “terdapat hubungan nyata antara karakteristik demografis (jenis kelamin, usia, pendidikan, pendapatan, asal kelahiran, lingkungan tempat tinggal, afiliasi politik) dengan partisipasi politik dapat diterima,” khususnya pada sub peubah jenis kelamin, usia, asal kelahiran, lingkungan tempat tinggal dan afiliasi politik.

Hubungan Penggunaan Sumber Informasi Kampanye dengan Partisipasi Politik

Analisis hubungan terakhir dalam penelitian ini ialah melihat sejauh mana hubungan antara peubah penggunaan sumber informasi kampanye dengan partisipasi politik masyarakat Kecamatan Cibinong pada pilpres 2014. Ferdinando S Pardede, SIP, Kasubbag Teknis Pemilu dan Hupmas KPUD Kabupaten Bogor menyatakan dalam kutipan wawancara tentang tingginya korelasi dan kuatnya pengaruh penggunaan sumber informasi kampanye dalam mencapai tingkat partisipasi politik pilpres 2014 di bawah ini.

“Saya tidak bisa menjamin tren partisipasi politik pemilu selalu tinggi seperti ini. Bukan karena faktor figur tapi karena diramaikan masyarakat. Calonnya hanya dua sehingga kontestasi terlihat sendiri, bahkan antar keluarga bisa ribut karena perbedaan pilihan. Mungkin wilayah Jabodetabek lebih banyak dipengaruh oleh isu pilpres. Artinya sesuatu yang menarik terjadi bagi masyarakat kabupaten Bogor khususnya Cibinong mengenai pilpres 2014 82,2% dan kabupaten bogor 76,14%. Makanya, saya sangat sepakat bahwa penggunaan sumber informasi sangat berpengaruh, karena seharusnya pileg lebih tinggi karena banyak orang berpengaruh.”

Pendapat ini sejalan dengan analisis hubungan kedua peubah yaitu penggunaan sumber informasi kampanye dan partisipasi politik yang disajikan pada Tabel 15. Peubah penggunaan sumber informasi memiliki tiga indikator yaitu jumlah sumber informasi kampanye, frekuensi mengakses sumber informasi kampanye dan durasi mengakses sumber informasi kampanye. Sementara, peubah partisipasi memiliki tiga indikator yakni keterlibatan kampanye, keterlibatan memberi suara dan keterlibatan mengawasi pemilu.

Tabel 15 Hubungan penggunaan sumber informasi kampanye dengan partisipasi politik, 2014 Penggunaan Sumber Informasi Kampanye Koefisien Korelasi Partisipasi Politik (rs) Keterlibatan Kampanye Keterlibatan Memberi Suara Keterlibatan Mengawasi Pemilu a. Jumlah sumber informasi kampanye 0,752** 0,869** 0,758** b. Frekuensi mengakses sumber Informasi kampanye 0,354 0,266** 0,269** c. Durasi mengakses sumber Informasi kampanye 0,337** 0,262** 0,290**

Secara umum dalam penelitian ini sebagaimana yang terlihat pada tabel 14 terdapat hubungan yang sangat nyata pada taraf nyata 1% (p≤0,01) dan arah hubungan positif antara peubah penggunaan sumber informasi kampanye dan partisipasi politik di Kecamatan Cibinong. Jumlah sumber informasi kampanye merupakan dimensi yang paling tinggi nilai koefisien korelasinya dengan peubah partisipasi politik baik dari dimensi keterlibatan kampanye, keterlibatan memberi suara dan keterlibatan mengawasi pemilu. Berdasarkan tabel 15, dimensi jumlah sumber informasi kampanye berhubungan sangat nyata pada taraf nyata 1% (p≤0,01) dan arah hubungannya positif dengan peubah partisipasi politik dengan nilai koefisien korelasi masing-masing dimensi yakni 0,752; 0,869 dan 0,758. Artinya, semakin tinggi tingkat penggunaan sumber informasi kampanye pemilih cenderung semakin tinggi partisipasi politiknya.

Frekuensi mengakses sumber informasi kampanye juga berhubungan

sangat nyata dengan partisipasi politik pada taraf nyata 1% (p≤0, 01) dan arah hubungannya positif. Sama halnya dengan kedua dimensi lainnya,

dimensi durasi mengakses sumber informasi kampanye memiliki nilai koefisien korelasi dengan ketiga dimensi partisipasi politik yaitu 0,337; 0,262 dan 0,290. Dengan kata lain, semakin tinggi durasi mengakses sumber informasi kampanye cenderung semakin tinggi partisipasi politiknya. Dengan demikian hipotesis penelitian ketiga yang dibangun bahwa terdapat hubungan nyata antara tingkat penggunaan sumber informasi kampanye dengan tingkat partisipasi politik diterima.

Hal ini sejalan dengan pemikiran Subiakto & Ida (2014:70), bahwa sekarang teknologi komunikasi memungkinkan siapa pun dengan mudah bisa ikut memberikan opini atau dukungannya melalui media sosial. Perkembangan ICT telah memengaruhi meningkatnya partisipasi politik warga, khususnya partisipasi dalam komunikasi politik. Selanjutnya, karakterisitk media berpengaruh pada model pola penggunaan pencarian informasi sekaligus sosialisasi di masyarakat. Sebaliknya, karakter masyarakat pun sedikit banyak juga berpengaruh terhadap karakter media yang mereka gunakan. Sudaryanti (2008:53-54) juga menegaskan pentingnya situasi komunikasi interpersonal seperti itu bagi komunikator ialah karena ia dapat mengetahui diri komunikan selengkap-lengkapnya. Ia dapat mengetahui namanya, pekerjaannya, pendidikannya, agamanya, pengalamannya, cita-citanya dan sebagainya, yang penting artinya untuk mengubah sikap, pendapat atau perilakunya. Dalam kaitan pola penggunaan sumber informasi kampanye melalui saluran interpersonal dengan partisipasi politik dalam pilpres tahun 2014, komunikasi interpersonal dalam masalah politik bagi pihak pemilih dapat dijadikan sebagai sarana untuk dapat memperoleh informasi mengenai citra kandidat, isu-isu/program, visi misi dan sebagainya.

76

5 SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait