IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2.5. Penentuan Prioritas Jenis Terpilih di TNGGP
4.2.5.4. Ekologi 15 Jenis Tumbuhan yang Ditemukan pada
Berdasarkan hasil penelitian seperti yang telah diuraikan sebelumnya dapat diketahui bahwa terdapat 15 jenis tumbuhan yang mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan tempat tumbuhnya (Tabel 20). Hal tersebut dikarenakan ke-15 jenis tumbuhan tersebut dapat ditemukan pada seluruh lokasi analisis vegetasi di kawasan hutan TNGGP, baik pada tipe vegetasi Hutan Alam maupun pada tipe vegetasi hutan yang mengalami gangguan ataupun tipe vegetasi hutan tanaman, yaitu Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus yang tentu saja mempunyai kondisi ingkungan baik biotik maupun abiotik yang berbeda- beda.
Tabel 20 Daftar jenis tumbuhan yang ditemukan pada kelima lokasi analisis vegetasi di kawasan TNGGP
No. Nama Ilmiah Nama Lokal Famili
1 Altingia excelsa Noronha Rasamala Hamamelidaceae
2 Buchanania arborescens Bl. Ki tanjung Anacardiaceae 3 Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. Riung anak Fagaceae
No. Nama Ilmiah Nama Lokal Famili
5 Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume Walen Moraceae
6 Glochidion lucidum Mareme Euphorbiaceae
7 Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd Pasang kayang Fagaceae 8 Litsea monopetala Pers. Huru manuk Lauraceae 9 Macropanax dispermum (Bl.) Ki racun Araliaceae
10 Manglietia glauca Bl. Manglid Magnoliaceae
11 Persea excelsa (Bl.) Kost. Huru leueur Lauraceae
12 Saurauia blumiana Benn. Ki leho Saurauiaceae
13 Schima wallichii (DC.) Korth. Puspa Theaceae
14 Turpinia obtusa Ki bangkong Staphyleacea
15 Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. Nangsi Urticaceae
Adapun ekologi ke-15 jenis tumbuhan yang ditemukan pada kelima lokasi analisis vegetasi di kawasan hutan TNGGP adalah sebagai berikut:
1) Altingia excelsa Noronha (Rasamala)
Altingia excelsa Noronha menyebar mulai dari Himalaya menuju wilayah lembab di Myanmar hingga Semenanjung Malaysia, ke Sumatera dan Jawa. Di Jawa, jenis ini hanya tumbuh di wilayah barat dengan ketinggian 500-1.500 m dpl, di hutan bukit dan pegunungan lembab. Jenis ini tumbuh alami terutama pada tapak lembab dengan curah hujan lebih 100 mm per bulan dan tanah vulkanik.
Pada ekosistem hutan pegunungan TNGGP, jenis ini merupakan salah satu jenis yang mendominasi tegakan dan secara umum tumbuh mengelompok. Di Jawa, jenis ini berbunga dan berbuah sepanjang tahun, tetapi puncak pembungaannya terjadi pada bulan April – Mei. Puncak pembuahan terjadi pada bulan Agustus – Oktober. Jenis Altingia excelsa Noronha saat ini banyak digunakan untuk penanaman terutama di Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan teknik silvikultur ditanam pada jarak rapat, karena pohon muda cenderung bercabang jika mendapat banyak sinar matahari.
2) Buchanania arborescens Bl. (Ki tanjung)
Buchanania arborescens Bl. atau yang dikenal dengan Ki tanjung di wilayah Jawa Barat merupakan pohon kecil hingga besar dengan tinggi hingga 35 – 42 m dan diameter hingga 100 cm, pada umumya terdapat banir dengan ketinggian 1 – 4 m. Jenis ini tumbuh di hutan primer dan hutan sekunder hutan hujan dataran rendah dengan ketinggian 600 – 1000 mdpl. Selain itu, jenis ini juga ditemukan di hutan kerangas, daerah pantai berpasir dan berbatu, dan kadang juga di hutan gambut, serta di tepi sungai.
3) Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. (Riung anak)
Sebaran Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. meliputi Peninsular Malaysia, Sumatra, Borneo, dan Jawa Barat. Jenis tumbuhan ini dapat mencapai ketinggian hingga 40 m dengan diameter dapat mencapai 100 – 150 cm.
Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. tumbuh di hutan dataran rendah hingga pegunungan, ditemukan tumbuh mengelompok pada ekosistem hutan pegunungan TNGGP, pada umumnya ditemukan pada ketinggian 1000 – 1500 m, tetapi juga dapat ditemukan pada ketinggian 2500 m. Jenis tumbuhan ini dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah tetapi tidak berbatu (limestone). Jenis tumbuhan ini berbunga pada bulan Januari - Agustus dan berbuah pada bulan April – Nopember.
4) Ficus alba Burm.f. (Hamerang)
Ficus alba Burm.f. merupakan tumbuhan kecil, tumbuh pada ketinggian di bawah 1700 m.
5) Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume (Walen)
Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume merupakan tumbuhan pohon dengan tinggi 15 m dan diameter 30 cm, tumbuh pada ketinggian 100 – 1500 m dpl di hutan pegunungan.
6) Glochidion lucidum (Mareme)
Glochidion lucidum tersebar di Peninsular Malaysia, Sumatera, Jawa, Sulawesi, Morotai dan Papua New Guinea. Pohon ini memiliki tinggi hingga 25 m dan diameter 45 cm, tumbuh pada ketinggian kurang dari 900 mdpl.
7) Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd (Pasang kayang)
Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd merupakan pohon besar yang pada umumnya memiliki akar papan, tinggi pohon dapat mencapai hingga 44 m dan diameter 1,5 m, tumbuh pada ketinggian 50 – 1.600 m dpl dalam keadaan lembab. Jenis tumbuhan ini merupakan salah satu karakter jenis tumbuhan pada hutan pegunungan bawah (submontana) sampai hutan pegunungan (montana). Secara umum, Lithocarpus teysmanii (Bl.) Rehd ditemukan pada daerah beriklim lembab serta tumbuh pada berbagai tipe tanah (limestone, peat, podsolik). Namun demikian, jenis tumbuhan ini tergolong jenis tumbuhan tidak tahan api. 8) Litsea monopetala Pers. (Huru manuk)
Litsea monopetala Pers. tersebar di India, Burma, Indo-china, Thailand, Peninsular Malaysia, dan Jawa. Jenis tumbuhan ini merupakan pohon kecil, tinggi sampai 18 m, dan diameter 60 cm, serta terdapat pada ketinggian 1.250 m
dpl. Jenis tumbuhan ini ditemukan pada berbagai tipe habitat, sebagian besar ditemukan di hutan primer dan hutan sekunder dengan drainase yang baik. 9) Macropanax dispermum (Bl.) (Ki racun)
Macropanax dispermum (Bl.) ditemukan tumbuh pada hutan primer pegunungan pada ketinggian 1.750 – 2.050 m dpl dan tumbuh secara mengelompok.
10) Manglietia glauca Bl. (Manglid)
Manglietia glauca Bl. tersebar di Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan sedikit di Jawa Barat. Pohon ini berukuran besar, tingginya dapat mencapai hingga 40 m dengan tinggi bebas cabang mencapai 25 m dan diameter hingga 150 cm.
Manglietia glauca Bl. berbunga dan berbuah hampir setiap tahun. Secara umum, jenis tumbuhan ini ditemukan di hutan primer dataran rendah dan pegunungan dengan ketinggan 450 – 2.400 m dpl.
11) Persea excelsa (Bl.) Kost. (Huru leueur)
Persea excelsa (Bl.) Kost. tersebar di Thailand, Peninsular Malaysia, Jawa, dan Bali. Jenis tumbuhan ini merupakan pohon evergreen, memiliki tinggi hingga mencapai 30 – 40 m dan diameter 80 – 90 cm. Jenis tumbuhan ini ditemukan pada hutan dataran rendah dan pegunungan dengan ketinggian kurang dari 1.500 m dpl.
12) Saurauia blumiana Benn. (Ki leho)
Saurauia blumiana Benn. merupakan jenis pohon yang ditemukan tumbuh pada hutan pengunungan bawah (submontana) (1.000 – 1.600 m dpl) dengan pola sebaran berkelompok dan berasosiasi dengan Antidesma tetrandrum.
13) Schima wallichii (DC.) Korth. (Puspa)
Schima wallichii (DC.) Korth.merupakan pohon sangat tinggi hingga mencapai 30 m, memiliki batang besar (80 cm) dan tegap seperti tiang, bertajuk lebat, tumbuh di hutan dengan ketinggian 250 – 2.600 m dpl, tetapi lebih banyak ditemukan pada ketinggian 1.300 – 1.600 m dpl. Jenis tumbuhan pohon ini merupakan salah satu jenis yang mendominasi pada ekosistem hutan TNGGP. Jenis tumbuhan ini memiliki musim berbuah pada bulan Agustus – Nopember . 14) Turpinia obtusa (Ki bangkong)
Turpinia obtusa merupakan pohon dengan tinggi mencapai hingga 20 m dan memiliki besar batang hingga 60 cm, tumbuh tersebar di Asia Tenggara pada hutan dataran rendah dan hutan pegunungan. Jenis tumbuhan ini terdapat pada ketinggian 200 – 1.750 m dpl.
15) Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. (Nangsi)
Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. merupakan pohon kecil/perdu yang cepat tumbuh dengan tinggi 3 – 8 m, tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 1.600 m dpl, kecuali di daerah musim kering jenis tumbuhan ini tumbuh di area yang mendapat naungan pada lereng-lereng jurang.
4.2.6. Prioritas Kegiatan/Tindakan Restorasi TNGGP
Kawasan TNGGP sejak tahun 2003 mengalami perluasan kawasan hutan yang berasal dari alih fungsi kawasan hutan produksi dan hutan lindung eks Perum Perhutani menjadi kawasan hutan konservasi seluas 7.655,030 ha, sehingga secara legal kini kawasan TNGGP memiliki luas kawasan hutan sebesar 22.851,030 ha. Perluasan kawasan TNGGP tersebut telah menambah kompleksitas kondisi kawasan TNGGP baik secara ekologi, ekonomi, maupun sosial.
Secara ekologi, kawasan TNGGP kini memiliki beberapa tipe vegetasi hutan selain hutan alam yang berasal dari eks kawasan hutan produksi Perum Perhutani, yaitu: hutan tanaman dengan jenis tumbuhan eksotik (pinus, damar, eucalyptus), hutan tanaman dengan jenis tumbuhan asli (rasamala, puspa), dan hutan tanaman dengan jenis tumbuhan campuran (eksotik dan asli). Secara ekonomi, kawasan TNGGP yang berasal dari eks kawasan hutan produksi Perum Perhutani hingga kini masih dimanfaatkan oleh masyarakat yang biasanya menggarap lahan di kawasan tersebut melalui pola tumpangsari, yaitu masyarakat penggarap menanami lahan tersebut dengan tanaman-tanaman semusim, seperti sayuran dan palawija di antara tanaman/pohon pokok kehutanan. Secara sosial, masyarakat sekitar yang biasanya memanfaatkan/ menggarap lahan di kawasan TNGGP eks kawasan hutan produksi Perum Perhutani tersebut telah memiliki nilai-nilai tersendiri yang tumbuh dari aktivitasnya mengelola lahan di kawasan hutan tersebut, seperti: tumbuhnya semangat kebersamaan dalam mengolah lahan, terbentuknya kelembagaan kelompok tani, dan tumbuhnya nilai sosial lainnya dalam kehidupan bermasyarakat.
Keberadaan hutan tanaman di kawasan TNGGP dengan jenis eksotik tentunya tidak sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi yang mensyaratkan keaslian jenis di suatu kawasan hutan konservasi. Oleh karena itu, maka upaya restorasi hutan selain dilakukan di kawasan-kawasan hutan yang mengalami kerusakan ataupun tidak bervegetasi (kawasan hutan yang gundul) juga perlu
dilakukan di kawasan-kawasan hutan tanaman yang terdiri atas jenis eksotik. Melalui upaya restorasi hutan diharapkan agar kondisi kawasan hutan tersebut dapat kembali seperti/mendekati kondisi semula (kondisi awal yang diketahui).
Mengingat kompleksnya kondisi kawasan TNGGP setelah perluasan kawasan, maka kegiatan restorasi di kawasan TNGGP perlu dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai hal. Menghadapi kondisi/keadaan tersebut, seringkali pengelola kawasan hutan konservasi merasa ragu-ragu untuk bertindak dalam melaksanakan kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan konservasi karena di satu sisi kegiatan/tindakan restorasi hutan perlu dilakukan untuk memenuhi kaidah-kaidah konservasi yang berlaku, namun di sisi lain kegiatan/tindakan restorasi hutan tersebut dapat menimbulkan preseden buruk atau salah pengertian dari masyarakat sekitar maupun institusi lainnya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka diharapkan kajian ini dapat bermanfaat sebagai salah satu acuan yang dapat digunakan bagi pengelola kawasan hutan konservasi dalam melakukan kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan konservasi yang memiliki kondisi/keadaan sama dengan kasus kawasan hutan konservasi yang akan dikaji dalam penelitian ini. Melalui kajian ini dapat diketahui prioritas alternatif kegiatan/tindakan restorasi kawasan hutan konservasi dengan mempertimbangkan berbagai kriteria yang dihasilkan melalui survey pakar dan pengambil kebijakan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan perumusan yang telah dilakukan oleh pakar/ahli dapat diketahui bahwa kriteria, subkriteria, dan alternatif kegiatan/tindakan yang digunakan untuk menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP dapat dilihat pada uraian berikut ini.
Kriteria yang digunakan untuk menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP adalah sebagai berikut:
1. Ekologi
Kegiatan/tindakan restorasi secara ekologi diharapkan dapat meningkatkan peran dan fungsi ekologi suatu kawasan hutan konservasi, terutama keanekaragaman hayati dan hidroorologi.
2. Ekonomi
Kegiatan/tindakan restorasi secara ekonomi diharapkan dapat memberikan nilai tambah/meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar.
3. Sosial-Budaya
Kegiatan/tindakan restorasi secara sosial-budaya diharapkan dapat meningkatkan nilai-nilai sosial budaya di masyarakat
Subkriteria yang digunakan untuk menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP adalah sebagai berikut:
1. Hutan tanaman jenis eksotik
Merupakan hutan tanaman yang didominasi oleh pohon-pohon jenis eksotik (hutan jenis pinus eks Perum Perhutani di kawasan TNGGP, hutan jenis damar eks Perum Perhutani di kawasan TNGGP).
2. Hutan tanaman jenis asli
Merupakan hutan tanaman yang didominasi oleh pohon-pohon jenis asli (hutan jenis rasamala dan puspa eks Perum Perhutani di kawasan TNGGP). 3. Hutan tanaman jenis asli dan jenis eksotik
Merupakan hutan tanaman yang didominasi oleh pohon-pohon jenis asli yang di dalamnya terdapat beberapa pohon jenis eksotik yang letaknya terpencar (hutan jenis asli eks Perum Perhutani di kawasan TNGGP yang memiliki beberapa pohon jenis eksotik).
4. Hutan alam ada jenis eksotik
Merupakan hutan alam yang didominasi oleh pohon-pohon jenis asli yang di dalamnya terdapat beberapa pohon jenis eksotik yang letaknya terpencar (hutan primer di kawasan TNGGP yang memiliki beberapa pohon jenis eksotik, hutan sekunder di kawasan TNGGP yang memiliki beberapa pohon jenis eksotik).
5. Tidak bervegetasi pohon
Merupakan kawasan hutan yang tidak memiliki pohon (lahan terbuka di kawasan TNGGP, semak/belukar di kawasan TNGGP).
Adapun alternatif kegiatan/tindakan yang digunakan untuk menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP adalah sebagai berikut: 1. Restorasi Alami/Dibiarkan Secara Alami/Tanpa Tindakan (RA)
Merupakan kondisi hutan yang dibiarkan tanpa ada tindakan/pengelolaan hingga tercapai suksesi secara alami
2. Tebang Pilih Restorasi Alami Melibatkan Masyarakat (TPRA-MM)
Merupakan kegiatan/tindakan restorasi yang dilakukan dengan cara menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman secara selektif/terbatas, selanjutnya dibiarkan tanpa ada
pengelolaan hingga tercapai suksesi secara alami (restorasi alami). Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar.
3. Tebang Pilih Restorasi Alami Tanpa Melibatkan Masyarakat (TPRA-TMM) Merupakan kegiatan/tindakan restorasi yang dilakukan dengan cara menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman secara selektif/terbatas, selanjutnya dibiarkan tanpa ada pengelolaan hingga tercapai suksesi secara alami (restorasi alami). Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan tanpa melibatkan masyarakat sekitar.
4. Tebang Pilih Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (TPRB-MM)
Merupakan kegiatan/tindakan restorasi yang dilakukan dengan cara menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman secara selektif/terbatas, selanjutnya dilakukan penanaman pohon jenis asli (restorasi buatan). Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar.
5. Tebang Pilih Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (TPRB-TMM) Merupakan kegiatan/tindakan restorasi yang dilakukan dengan cara menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman secara selektif/terbatas, selanjutnya dilakukan penanaman pohon jenis asli (restorasi buatan). Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan tanpa melibatkan masyarakat sekitar.
6. Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSKRB-MM)
Merupakan kegiatan/tindakan restorasi yang dilakukan dengan cara menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman yang telah dibagi ke dalam blok-blok tebangan skala kecil, selanjutnya dilakukan penanaman pohon jenis asli (restorasi buatan) pada bekas blok-blok tebangan skala kecil tersebut. Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar.
7. Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSKRB-TMM)
Merupakan kegiatan/tindakan restorasi yang dilakukan dengan cara menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman yang telah dibagi ke dalam blok-blok tebangan skala kecil, selanjutnya dilakukan penanaman pohon jenis asli (restorasi buatan) pada
bekas blok-blok tebangan skala kecil tersebut. Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan tanpa melibatkan masyarakat sekitar.
8. Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSBRB-MM)
Merupakan kegiatan/tindakan restorasi yang dilakukan dengan cara menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman yang telah dibagi ke dalam blok-blok tebangan skala besar, selanjutnya dilakukan penanaman pohon jenis asli (restorasi buatan) pada bekas blok-blok tebangan skala besar tersebut. Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar.
9. Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSBRB-TMM)
Merupakan kegiatan/tindakan restorasi yang dilakukan dengan cara menebang/menghilangkan pohon jenis eksotik ataupun pohon pada hutan tanaman yang telah dibagi ke dalam blok-blok tebangan skala besar, selanjutnya dilakukan penanaman pohon jenis asli (restorasi buatan) pada bekas blok-blok tebangan skala besar tersebut. Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan tanpa melibatkan masyarakat sekitar.
10. Enrichment Planting Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (EPRB-MM) Merupakan kegiatan/tindakan restorasi yang dilakukan dengan cara melakukan penanaman pengayaan jenis (enrichment planting) menggunakan pohon jenis asli (restorasi buatan). Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar.
11. Enrichment Planting Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (EPRB- TMM)
Merupakan kegiatan/tindakan restorasi yang dilakukan dengan cara melakukan penanaman pengayaan jenis (enrichment planting) menggunakan pohon jenis asli (restorasi buatan). Kegiatan/tindakan restorasi tersebut dilakukan tanpa melibatkan masyarakat sekitar.
Adapun struktur hirarki/struktur AHP yang digunakan untuk menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP dapat dilihat pada Gambar 39 berikut ini.
Gambar 39 Struktur AHP prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP
Menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan TNGGP
Ekologi Ekonomi Sosial-Budaya
Tebang Pilih Restorasi Alami Melibatkan Masyarakat (TPRA-MM) Tujuan Kriteria Alternatif Kegiatan/ Tindakan Sub Kriteria Hutan tanaman jenis asli Hutan tanaman jenis asli dan
jenis eksotik
Hutan alam ada jenis eksotik
Tebang Pilih Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (TPRB-MM) Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSKRB- MM) Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSBRB- MM) Tebang Pilih Restorasi Alami Tanpa Melibatkan Masyarakat (TPRA- TMM) Tebang Pilih Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (TPRB- TMM) Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSKRB- TMM) Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSBRB- TMM) Enrichment Planting Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (EPRB-MM) Enrichment Planting Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (EPRB-TMM) Hutan tanaman jenis eksotik Tidak bervegetasi pohon Restorasi Alami/ Dibiarkan Secara Alami/ Tanpa Tindakan (RA)
Hasil penelitian (Gambar 40) menunjukkan bahwa pembobotan kriteria dan subkriteria yang telah dilakukan oleh pengambil kebijakan untuk menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi kawasan TNGGP dapat dijelaskan dalam uraian berikut ini. Nilai bobot kriteria yang digunakan untuk menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP adalah sebagai berikut: ekologi (bobot: 0,600), ekonomi (bobot: 0,200), sosial-budaya (bobot: 0,200).
Nilai bobot subkriteria pada kriteria ekologi yang digunakan untuk menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan TNGGP adalah sebagai berikut: hutan tanaman jenis eksotik (bobot: 0,211), hutan tanaman jenis asli (bobot: 0,092), hutan tanaman jenis asli dan jenis eksotik (bobot: 0,160), hutan alam ada jenis eksotik (bobot: 0,121), tidak bervegetasi pohon (bobot: 0,417). Adapun nilai bobot subkriteria pada kriteria ekonomi yang digunakan untuk menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan TNGGP adalah sebagai berikut: hutan tanaman jenis eksotik (bobot: 0,123), hutan tanaman jenis asli (bobot: 0,107), hutan tanaman jenis asli dan jenis eksotik (bobot: 0,162), hutan alam ada jenis eksotik (bobot: 0,186), tidak bervegetasi pohon (bobot: 0,423). Sedangkan nilai bobot subkriteria pada kriteria sosial-budaya yang digunakan untuk menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan TNGGP adalah sebagai berikut: hutan tanaman jenis eksotik (bobot: 0,216), hutan tanaman jenis asli (bobot: 0,056), hutan tanaman jenis asli dan jenis eksotik (bobot: 0,132), hutan alam ada jenis eksotik (bobot: 0,056), tidak bervegetasi pohon (bobot: 0,540).
Berdasarkan pemilihan kriteria tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam kegiatan/tindakan restorasi di suatu kawasan hutan konservasi (kasus kawasan TNGGP) perlu dilakukan secara holistik dengan memperhatikan berbagai aspek, meliputi aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya agar kegiatan/tindakan restorasi hutan yang dilakukan dapat berjalan dengan baik tanpa menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan di sekitarnya. Pemilihan subkriteria dengan memperhatikan kondisi penutupan hutan beserta kondisi vegetasi yang terdapat di dalamnya dapat menjelaskan bahwa kegiatan/tindakan restorasi di suatu kawasan hutan konservasi (kasus kawasan TNGGP) dilakukan untuk mengatasi permasalahan terkait kondisi hutan beserta vegetasi penyusunnya yang saat ini pada umumnya banyak dialami oleh beberapa kawasan hutan konservasi yang mengalami perluasan kawasan. Sebagai akibat terjadinya perluasan kawasan hutan konservasi tersebut, pada umumnya kawasan perluasan tersebut memiliki
penutupan hutan beserta tipe vegetasi yang bervariasi bahkan berbeda dengan kawasan hutan konservasi yang ada sebelumnya/awalnya.
Gambar 40 Bobot kriteria dan subkriteria dalam menentukan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP
Hasil penelitian (Gambar 41) juga menunjukkan bahwa prioritas alternatif kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP yang telah diurutkan berdasarkan ranking-nya adalah sebagai berikut:
1. Enrichment Planting Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (EPRB-MM) (nilai: 0,225)
2. Enrichment Planting Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (EPRB- TMM) (nilai: 0,158)
3. Tebang Pilih Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (TPRB-MM) (nilai: 0,117)
4. Tebang Pilih Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (TPRB-TMM) (nilai: 0,087)
5. Tebang Pilih Restorasi Alami Melibatkan Masyarakat (TPRA-MM) (nilai: 0,076)
6. Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSKRB-MM) (nilai: 0,066)
7. Restorasi Alami/Dibiarkan Secara Alami/Tanpa Tindakan (RA) (nilai: 0,061) 8. Tebang Pilih Restorasi Alami Tanpa Melibatkan Masyarakat (TPRA-TMM)
9. Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Melibatkan Masyarakat (THSBRB-MM) (nilai: 0,055)
10. Tebang Habis Skala Kecil Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSKRB-TMM) (nilai: 0,049)
11. Tebang Habis Skala Besar Restorasi Buatan Tanpa Melibatkan Masyarakat (THSBRB-TMM) (nilai: 0,049)
Gambar 41 Prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP
Secara lebih detail, nilai-nilai prioritas alternatif kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP disajikan pada Lampiran 19 – Lampiran 20.
Berdasarkan prioritas alternatif kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan TNGGP dapat dijelaskan bahwa prioritas alternatif kegiatan/tindakan restorasi secara garis besar sesuai urutannya adalah sebagai berikut: enrichment planting restorasi buatan, tebang pilih restorasi buatan, tebang pilih restorasi alami, tebang habis skala kecil restorasi buatan, restorasi alami, dan tebang habis skala besar restorasi buatan. Restorasi buatan mendapatkan prioritas lebih tinggi daripada restorasi alami dikarenakan saat ini pada umumnya kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi jauh lebih cepat apabila dibandingkan dengan kemampuan hutan tersebut dalam memulihkan sendiri kondisinya akibat gangguan yang terjadi. Oleh karena itu, maka diperlukan adanya bantuan dari luar untuk mempercepat proses pemulihan kondisi hutan yang mengalami kerusakan/gangguan tersebut melalui restorasi buatan.
Enrichment planting (penanaman pengayaan) restorasi buatan ataupun penanaman memiliki prioritas tertinggi karena merupakan kegiatan/tindakan teraman/beresiko kecil dalam melakukan kegiatan restorasi di kawasan hutan konservasi. Hal tersebut dikarenakan setiap kegiatan yang dilakukan di suatu
kawasan hutan konservasi harus sesuai/tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah/prinsip-prinsip konservasi, termasuk dalam pelaksanaan kegiatan restorasi kawasan hutan konservasi. Urutan prioritas berikutnya adalah tebang