• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 EKONOMI GARAM Produksi dan Konsumsi Garam

Produksi garam dimulai dari tambak-tambak yang dimiliki petani yang masih sangat tradisional dalam proses pengelolaannya. Air laut dialirkan ke tambak, setelah tambak dipersiapkan terlebih dahulu. Rata-rata persiapan lahan yang dibutuhkan petani dilokasi penelitian berkisar selama 14 hari. Dalam 1 ha lahan biasanya terdapat 10 hingga 12 petakan yang nantinya petakan tersebut terbagi menjadi petakan untuk penguapan air menjadi air tua (kadar garam tinggi) dan petakan untuk pembuatan garam (petak kristalisasi). Proses persiapan lahan tersebut diawali dengan pengeringan lahan, lalu lahan diratakan atau dipadatkan dengan alat yang biasanya disebut guluk agar tanah tidak retak dan garam yang dihasilkan nantinya tidak tercampur dengan tanah. Kemudian barulah air laut dialirkan melalui parit-parit kecil kepetakan penguapan hingga ke petakan kristalisasi. Menurut Syafi‟i (2006), setiap petakan atau meja tampung memiliki perbedaan salinitas, perpindahan air laut dari masing-masing meja tampung dibutuhkan waktu minimal 1-2 hari, tergantung pada lama terik matahari. Untuk mengetahui kapan air tersebut harus pindah ke meja tampung lain, petaniharus melakukan pengukuran salinitas setiap hari. Dilokasi penelitian petani menggunakan alat yang dinamakan BE dalam mengukur tingkat salinitas ini. Kira-kira 10-14 hari pada petak kristalisasi terjadi penumpukam yang merata, yang kristalisasinya semakin tebal dan air menjadi surut. Sehingga petakan siap dipanen. Hasil garam yang dihasilkan petani sedikit kotor, karena tercampur oleh partikel-partikel lain.

Proses produksi yang dilakukan oleh petani selama ini sering juga disebut dengan metode Maduris. Adapun metode lain yaitu metodePortugis yang terbagi menjadi dua tahap, yaitu mengesap dan mengguluk petakan garam dan pengisian meja kristalisasi melalui saluran air tua. Tahap pertama ini hampir sama dengan metode Maduris, namun pada tahap ke dua petakan kristalisasi diisi dengan air laut dari pembenihan tertua melalui saluran air tua. Kualitas garam yang dihasilkan dari dua metode ini berbeda yang nantinya akan mempengaruhi harga jual dan keuntungan yang didapatkan oleh petani.

Upaya untuk merealisasikan Swasembada Garam Nasional Tahun 2014 pemerintah sendiri telah merancang beberapa strategi, salah satunya yaitu ekstensifikasi lahan. Untuk luas lahan garam nasional pada saat ini bertambah sekitar 59 persen dari tahun 1997 dengan total 13 500 ha menjadi 32 575 ha di tahun 2012. PT Garam di tahun 2012 telah mulai melakukan perluasan lahan di wilayah Indonesia Timur. Sedangkan pemerintah dalam regulasinya untuk mencapai target swasembada tersebut membantu masyarakat melalui program PUGAR (Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat), agar merangsang masyarakat untuk mengusahakan garam di lahan-lahan yang belum teroptimalkan. Dapat dilihat pada Gambar 6 lahan garam meningkat sebesar 32 persen dari tahun 2010 sebesar 19 664 ha menjadi 29 329 persen di tahun 2011 akibat adanya intervensi dari pemerintah tersebut. Peningkatan lahan tentunya akan diikuti dengan peningkatan produksi.

Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan (Data diolah), 2012 Gambar 6 Luas lahan garam nasional tahun 1997-2012

Walaupun negara kita memiliki garis pantai terpanjang, namun tidak semua wilayah dapat memproduksi garam. Wilayah-wilayah yang memiliki potensi dalam memproduksi garam antara lain Pulau Jawa, Sulawesi, NTT dan NTB. Indonesia sendiri dibagi ke dalam 3 zona, dimana Indonesia bagian barat dikategotikan sebagai less potential, Indonesia bagian tengah dikategorikan sebagai relative potential, sedangkan untuk wilayah Indonesia bagian timur dikategorikan sebagai best potential dalam memproduksi garam. Dari beberapa pulau yang ada di negara kita sentra garam berada di Pulau Jawa yaitu Jawa

- 5,000 10,000 15,000 20,000 25,000 30,000 35,000 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 lu as la h an (h ek ta r)

Timur, diantaranya berada di Kabupaten Sampang, Pamekasan, Bangkalan dan Sumenep.

Dengan adanya ekstensifikasi atau perluasan lahan tadi, akan secara otomatismeningkatkan produksi garam di negara kita. Produksi garam dari tahun 2007 hingga tahun 2012 mengalami tren yang meningkat. Namun pada tahun 2010 produksi garam sangat menurun drastis, hal ini disebabkan oleh hujan yang berkepanjangan, sehingga petani garam tidak dapat berproduksi secara maksimal, mengingat bahwa produksi garam di negara kita masih sangat bergantung pada sinar matahari. Masa panen garam yang normalnya mencapai 4.5 bulan hingga 5.5 bulan di musim kemarau namun pada tahun ini hanya mencapai 16 hari. Pada Gambar 7 dapat dilihat produksi garam nasional.

Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan (Data diolah), 2012

Gambar 7 Perkembangan produksi garam oleh garam rakyat, PT Garam, dan total produksi nasional tahun 1997-2012

Dengan perkembangan produski yang berfluktuasi lalu bagaimana dengan konsumsi garam di negara kita? Konsumsi garam diperuntukkan sebagai kebutuhan rumah tangga serta bahan baku industri. Untuk garam konsumsi rumah tangga, garam telah mengalami fortifikasi yodium atau penambahan yodium, hal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Garam diperuntukkan sebagai bahan tambahan makanan atau pemberi rasa pada makanan baik untuk konsumsi masyarakat maupun pada industri pengolahan makanan. Selain industri makanan, garam juga dimanfaatkan oleh beberapa industri lainnya seperti industri perminyakan, tekstil, kulit, farmasi, dan indutri lainnya.

- 500,000 1,000,000 1,500,000 2,000,000 2,500,000 3,000,000 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 p ro d u k si (to n ) tahun

Tabel 3 Jenis dan penggunaan garam

Garam Konsumsi Garam Perminyakan dan Industri Lainnya Garam Industri Garam rumah tangga (garam masak, bumbu, diet, meja, dll) Garam pengasinan ikan, pengalebgan ikan Garam industri perminyakan Garam industri chlor Garam farmasetis Garam aneka pangan (minyak goreng, mentega, aneka pangan, dll)

Pakan ternak Indutrsi tekstil Garam industri alkali

(CAP/chlor alkali plant) Perkebunan Industri kulit

Garam mandi/Spa

Sumber: Kementerian Perdagangan, 2012

Sesuai dengan anjuran gizi dan kesehatan, konsumsi garam per kapita mencapai 10-20 gram per hari, dengan jumlah penduduk Indonesia tahun 2012 mencapai angka 240 juta jiwa, akan dibutuhkan produksi garam di negara kita mencapai angka 1,1-1,3 juta ton per tahun. Namun rillnya konsumsi kita hanya 4,5 gram per kapita per hari. Ini baru diprediksikan garam untuk konsumsi, sedangkan untuk garam industri sendiri, kebutuhannya tiga kali lipat dari pertumbuhan industri itu sendiri, bila pertumbuhan industri sebuah negara mencapai 10 persen, maka kebutuhan garam pun meningkat 30 persen.

Tabel 4 Perkembangan konsumsi garam Indonesia tahun 2007-2012 (Ton)

Tahun Konsumsi

Rumah Tangga Industri

2007 1 147 000 1 595 000 2008 1 177 341 1 614 125 2009 693 000 2 195 000 2010 720 000 2 285 000 2011 750 000 2 501 000 2012 1 274 843 1 673 022

Sumber: Kementerian Perindustrian, 2012

Produktivitas Garam

Dilokasi penelitian sendiri rata-rata produktivitas garam rakyat yang dihasilkan untuk 1 ha lahan hanya berkisar 40 ton per ha hingga 60 ton per ha. Selain garam rakyat, PT Garam juga memiliki lahan garam seluas 5 000 ha, yang proses pembuatan garam masih mengandalkan sinar matahari, namun kualitas garam yang dihasilkan lebih baik dari garam rakyat karena kadar air yang lebih rendah, disebabkan oleh proses penguapan dari penjemuran yang lebih lama dibandingkan dengan garam rakyat. Beberapa tahun belakangan ini PT Garam

menggunakan geomembran. Petakan garam bukan beralaskan tanah lagi, namun beralaskan geomembran yang berbentuk terpal berwarna hitam, sehingga garam tidak bercampur dengan tanah dan hal ini juga semakin memningkatkan kualitas garam yang dihasilkkan oleh PT Garam. Diakui oleh pihak PT Garam sendiri melalui wawancara yang dilakukan, dengan menggunakan geomembran ini produktivitas garam yang dihasilkan untuk 1 ha lahan meningkat sebesar 30 persen dari produktivitas garam yang dihasilkan oleh petani pada umumnya.

Namun dapat dilihat pada Gambar 8, produktivitas PT Garam di tahun 2011 setelah menggunakan geomembran masih dibawah produktivitas yang dihasilkan petani pada umumnya. Kondisi tersebut dimungkinkan karena penggunaan geomembran yang belum merata di seluruh lahan PT Garam.

Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan (Data diolah), 2012 Gambar 8 Perkembangan produktivitas tambak garam tahun 1997-2012

Harga Garam Indonesia

Dalam teorinya harga dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran. Lazimnya pada saat penawaran meningkat maka harga akan menurun, fenomena ini terjadi baik ditingkat konsumen maupun tingkat petani sebagai produsen, saat musim panen maka harga yang diterima petani akan turun. Untuk melindungi petani maka pemerintah mengeluarkan regulasi harga dasar di tingkat petani garam.

Pemerintah melalui SK Menteri Perdagangan mengatur harga garam rakyat seperti yang termuat dalam SK Menperindag No. 360/MPP/Kep/5/2004 yang ilanjtkan dengan Surat Peraturan Mendag No. 20/M-Dag-PER/9/2005. Diantranya mengatur tentang pelarangan mengimpor garam bila harga garam rakyat terlalu rendah dibawah Rp 145 000/ton untuk mutu K1, Rp 100 000/ton untuk K2, dan Rp 70 000/ton untuk K3. Surat pertauran Mendag No.20/M-Dag- PER/9/2005 menyebutkan bahwa impor garam untuk kebutuhan industri garam iodisasi dilarang apabila harga rata-rata garam bentuk curah di atas truk di tingkat pengumpul untuk kualitas 1 (KP1) kurang dari Rp 200 000 per ton, KP2 kurang

- 500,000 1,000,000 1,500,000 2,000,000 2,500,000 3,000,000 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 p ro d u k si (t o n )

dari Rp 150 000 per ton dan KP3 kurang dari Rp 80 000 per ton (Kementerian Perdagangan, 2010).

Pada Gambar 9 dapat dilihat bagaimana perbedaan harga yang terjadi di tingkat petani maupun di tingkat eceran. Dalam kurun waktu 10 tahun harga di tingkat retail pada tahun 2008 mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Harga di tingkat petani juga mengalami kenaikan dalam kurun waktu 10 tahun ini namun pergerakan kenaikan yang terjadi sangat landai.

Sumber: Kementerian Perdagangan (Data diolah), 2012 Gambar 9 Volatilias harga di tingkat petani dan retail

Distribusi Garam Di Indonesia

Pada bagian ini akan dijelaskan secara umum saluran distribusi garam konsumsi, yaitu garam beryodium. Saluran distribusi garam bermula dari sentra- sentra produksi garam untuk selanjutnya dikirimkan ke daerah-daerah konsumen. Menurut Kementerian Perdagangan sendiri sentra garam beryodium berada di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Pendistribusian dua sentra garam ini telah terbagi-bagi, dimana pada umumnya untuk wilayah Kalimantan Barat dan Nusa Tenggara Barat, dan sebagian pulau Papua garam didatangkan dari Jawa Timur, sedangkan untuk wilayah Papua lainnya garam berasal dari Sulawesi Selatan. Dari kegiatan pendistribusian ini terdapat beberapa penambahan nilai tambah, seperti garam yang di kirim ke Kalimantan belum ditambahkan yodium, sedangkan untuk kebutuhan pulau Papua garam yang dikirim biasanya telah beryodium. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan adanya penambahan nilai tambah di pulau Kalimantan mengindikasikan adanya pabrik-pabrik pengolah, yang pastinya juga akan menyerap tenaga kerja bagi masyarakat setempat.

Bila dianalisis pendistribusian garam ke daerah-daerah diatas membutuhkan biaya yang besar, tergantung pada alat transportasi yang digunakan serta jarak tempuh dari daerah sentra ke daerah distribusi. Data yang didapatkan dari Kemetrian Perdagangan tahun 2012 mencantumkan biaya transportasi dari Jawa Timur ke Kalimantan Barat mencapai Rp225 000 per ton, ke Kalimantan Timur mencapai Rp180 000 per ton, ke Nusa Tenggara Barat biaya distribusi

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Rupi a h/Kg

mencapai Rp280 000 hingga Rp300 000 per ton, ke Papua sendiri biaya distribusi mencapai Rp3 000 000 per ton. Sedangkan Garam dari Sulawesi ke Papua biaya distribusi hanya mencapai Rp600 000 per ton. Biaya ini merupakan biaya distribusi sampai di pelabuhan, pilihan mendistribusikan produk menggunakan jalur laut di rasa lebih efektif dari pada jalur lainnya. Sesampai di pelabuhan akan ada lagi biaya bongkar muat dari kapal ke truk distributor sebesar Rp 6 000 per ton untuk wilayah sampel Kalimantan Timur, kemudian biaya transportasi dari pelabuhan ke gudang distributor mencapai Rp10 000 per ton, ditambah lagi biaya bongkar muat dari truk distributor di gudang sebesar Rp5 000 per ton. Untuk mencapai konsumen akhir di Kabupaten-kabupaten biasanya distributor menggunakan jalur darat, sesuai dengan sarana dan prasarana yang terdapat di daerah tersebut. Kondisi ini berlaku sama pada wilayah-wilayah distribusi lainnya.

Ada berbagai macam saluran pemasaran yang dipilih oleh petani produsen di Indonesia dalam memasarkan hasil garam mereka. Pemilihan ini tentunya berdasarkan kebiasaan, hubungan kerjasama, kepercayaan petani terhadap saluran yang dipilihnya. Berbagai macam saluran distribusi garam di Indonesia beragam. gara rakyat dijual pemiliknya langsung ke pengepul, pedagang atau langsung ke pabrikan. Di areal pergaraman yang berdekatan dengan sentra pasar (Surabaya, Probolinggo, Cirebon, Pati, Rembang, dll) seringkali petani menjual dan mendistribusikan garam langsung ke pasar-pasar atau konsumen rumah tangga. Namun pada umumnya pendistribusian garam masih bergantung pada pengepul. Skema sistem distribusi dan pemasaran garam dari sentra produksi garam bahan baku (raw salt), adalah sebagai berikut. Saluran pemasaran garam di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 10.

Sumber: Kementerian Perindustrian (2010) Gambar 10 Tata Niaga Garam di Indonesia Petani Garam PT Garam Pengumpul Importir Terdaftar Iodisasi Distribusi oleh PT Garam Pedagang Besar Konsumen Industri Garam Beryodium Indutri Garam Bahan Baku

Karakteristik Petani di Kabupaten Sumenep

Bagian ini akan menggambarkan karakteristik responden di lokasi penelitian yang nantinya akan mencerminkan kondisi pemasarannya juga. Karakteristik petani responden akan mencakup umur, pendidikan, pengalaman usaha, jumlah anggota keluarga, status kepemilikan lahan, dan luas lahan usaha tambak garam yang dikelola. Untuk pedagang pengumpul akan diidentifikasi juga berdasarkan tingkat pendidikan, pengalaman berdagang garam, jumlah petani yang menjadi sumber pasokan garam, jumlah pekerja, serta modal usaha yang digunakan.

Berdasarkan metode penelitian yang digunakan, pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan secara sengaja, dikarenakan Kabupaten merupakan sentra perdagangan garam, tingkat produksi garam yang relatif lebih tinggi. Jumlah petani yang dipilih menjadi responden sebanyak 40 orang. Identitas petani sampel dapat dilihat pada Tabel 5.

Dilihat dari karakteristik umur yaitu sebesar 55 persen, petani garam berumur 40 hingga 54 tahun yag masih merupakan usia produktif. Menurut Suratiyah (2008) umur seseorang menentukan prestasi kerja atau kinerja orang tersebut. Semakin tua umur tenaga kerja maka akan semakin turun pula prestasinya, namun semakin bertanggung jawab pada pekerjaannya. Tidak perlu ada kecemasan terhadap keberlangsungan sumberdaya manusia dalam meneruskan tambak garam di Kabupaten Sumenep, karena bila dilihat dari persentase umur petani di bawah 40 tahun tidak begitu kecil (35%). Hal ini dikarenakan pengelolaan tambak garam secara turun temurun dalam keluarga. Hal yang sangat dicemaskan adalah sumberdaya alam, dimana tambak garam sangat bergantung pada cahaya matahari, sedangkan kondisi cuaca di lokasi penelitian sangat tidak menentu, dan tentunya menghambat proses produksi garam.

Jenjang pendidikan sebagian besar petani (40%) menamatkan jenjang pendidikan di tingkat sekolah menengah atas. Dari sisi pengalaman, petani dengan pengalaman lebih kurang dari 10 tahun merupakan sampel terbanyak. Jenjang pendidikan sangat erat kaitannya dalam keputusan adopsi teknologi, pola pengelolaan usaha garam, keputusan dalam pemasaran, dll. Bila dilihat dari jumlah anggota keluarga, sebanyak 40 persen petani memiliki anggota keluarga sebanyak 4 orang, jumlah anggota keluarga akan berpengaruh terhadap motivasi dan kemampuan petani dalam mengelola usahanya. Selain itu anggota keluarga merupakan bagian dari pengusahaan garam itu sendiri, dimana anggota keluarga merupakan tenaga karja.

Pengalaman berusaha garam yaitu sebesar 42.5 persen kurang dari 10 tahun, pengalaman berusaha garam tentunya sangat mempengaruhi sikap petani dalam berusaha garam. Selain itu dengan pengalaman yang matang, tidak jarang petani dapat meramalkan keadaan masa yang akan datang, yang biasanya dijadikan dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Untuk mencapai produksi yang optimal dalam mengusakan garam dibutuhkan hamparan yang luas. Sedangkan petani dilokasi penelitian (62.5%) hanya memiliki luas lahan sebesar 1 ha, yang nantinya akan dibagi menjadi 12-14 petakan garam. Sumberdaya lahan akan menjadi perhatian sangat serius, dikarenakan tidak dimungkinkan lagi untuk perluasan lahan di lokasi penelitian. Sumber daya lahan menjadi terbatas, dan tidak ada lagi lahan produktif untuk dijadikan usaha garam. Agar tetap

tercapainya peningkatan produksi salah satu caranya adalah dengan penggunaan teknologi karena perluasan lahan tidak dimungkin lagi.

Tabel 5 Identitas petani responden garam di Kabupaten Sumenep 2013

No Keterangan Jumlah Petani (Orang) Persentase (%)

1 Kelompok Umur (Tahun)

25-39 14 35 40-54 22 55 >54 4 10 Jumlah 40 100 2 Tingkat Pendidikan SD 13 32.5 SMP 5 12.5 SMA 16 40 Strata 1 6 15 Jumlah 40 100

3 Jumlah Anggota Keluarga

2 1 2.5

3 8 20

4 16 40

>5 15 37.5

Jumlah 40 100

4 Pengalaman Usaha (Tahun)

<10 17 42.5

10-20 12 30

>20 11 27.5

Jumlah 40 100

5 Luas lahan Petani (Ha)

0,25-1 25 62.5

1,5-2,0 10 25

>2,0 5 12.5

Jumlah 40 100

Sumber: Data diolah (2013)

Dokumen terkait