• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penulis dilahirkan di Bukittinggi, Sumatera Barat pada tanggal 23 September 1987 dari Bapak Ali Yusman Syam dan Ibu Hamsiah. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara.

Pendidikan formal penulis diawali di TK Pertiwi Bukittinggi 1992-1993. Kemudian penulis melanjutkan studi di SD Negeri 13 Bukittinggi, dan lulus tahun 1999. Pada tahun 2002 penulis lulus di SLTP Negeri 3 Bukittinggi dan pada tahun 2005 penulis lulus dari SMU Negeri 5 Bukittinggi. Pada tahun yang sama penulis diterima di Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas (UNAND) melalui Seleksi Penerimaan Mahasiwa Baru dan lulus pada tahun 2010. Satu tahun kemudian penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi ke Program studi Magister Sains Agribisnis melalui Beasiswa unggulan Biro Perencanaan dan Kerjasama luar Negeri, Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2011.

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar didunia yang terdiri dari 17 508 pulau, dan luas pantai yang panjangnya hampir 100 000 kilometer. Hal ini menguntungkan Indonesia karena memiliki sumber daya pesisir berupa hayati (ikan, mangrove, lamun, terumbu karang), non hayati (garam, pasir laut, polimethalic nodules), serta jasa-jasa lingkungan (pariwisata, industri maritim, OTEC, pasut sebagai pembangkit energi listrik). Sumber daya ini memberikan banyak manfaat berupa mata pencahariaan bagi rakyat Indonesia. Baik menjadi nelayan, petani garam, serta usahalain yang terkait.

Salah satu sumber daya di atas yang menjadi persoalan di Indonesia saat ini adalah garam. Indonesia merupakan sentra produksi garam nomor ke 30 terbesar didunia. Garam dapat digolongkan menjadi 2 bagian, yaitu: a) garam konsumsi yang memenuhi SNI garam dengan kadar NaCl minimal 94.7 persen, garam untuk konsumsi ini meliputi garam konsumsi rumah tangga, industri aneka pangan, dan untuk industri pengasinan dan pengawetan ikan, b) garam industri yaitu garam untuk pembuatan soda elektrolitis, atau Chlor Alkali Plan (CAP) dengan kadar NaCl tinggi minimal 99.7 persen dan industri lainnya (garam non CAP) dengan kadar NaCl tinggi minimal 97 persen (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011).

Garam mempunyai peranan penting hampir dalam seluruh proses produksi industri dan konsumsi masyarakat, sehingga menjadi komoditi yang strategis. Garam merupakan barang yang tidak memiliki barang pengganti. Pada Tabel 1 terlihat kebutuhan dan produksi garam Indonesia dari tahun 2008 hingga tahun 2011. Produksi garam tahun 2008-2011 sangat berfluktuasi, terjadi penurunan yang sangat drastis pada tahun 2010, dikarenakan cuaca yang tidak menentu. Mengingat proses produksi garam di negara kita masih menggunakan solar evaporation (cahaya matahari). Pada tahun 2011 kebutuhan garam nasional baik industri maupun konsumsi merupakan garam imporsebesar 1.7 juta ton. Hal ini dikarenakan kebutuhan garam konsumsi mencapai 1.1juta ton dan garam industri 1.8juta ton, sedangkan produksi garam nasional ditahun ini hanya mencapai 1.4 juta ton. Impor ini dilakukan mengingat bahwa negara kita memang belum mampu menghasilkan kualitas garam sesuai dengan ketentuan SNI (Kementerian Kelautan dan Perikanan 2012).

Tabel 1 Tingkat kebutuhan, produksi dan impor garam nasional tahun 2008-2011

Uraian 2008 2009 2010 2011

Kebutuhan Garam 2888920 2960250 3003550 2900000

A. Garam Konsumsi 1140920 1160150 1200800 1100000

a. Rumah Tangga 687000 700000 720000 750000

b. Industri Aneka Pangan 154920 160150 165800 250000

c. Industri Pengasinan Ikan 299000 300000 315000 100000

B. Garam Industri 1748000 1800100 1802750 1800000

a. Industri CAP 1550000 1600000 1600000 1600000

b. Industri NON CAP 198000 200100 202750 200000

Produksi Garam 1199000 1371000 30600 1400000

A. Garam Konsumsi 1199000 1371000 30600 1400000

B. Garam Industri 0 0 0 0

Impor Garam (Realisasi) 1630793 1736453 2187632 1707509

A. Garam Konsumsi 88500 99754 597583 923756

B. Garam Industri 1542293 1636 699 1590049 783753

Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2012

Posisi Indonesia sebagai negara kepulauan, menyebabkan beberapa daerah menjadi pusat produksi garam. Produksi garam terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Madura, misalnya Jawa Barat dengan pusat konsentrasi produksi garam di Kabupaten Indramayu dengan luas 1 533 ha, Kabupaten Cirebon 1 447 ha. Di Jawa Tengah terpusat di Kabupaten Pati dengan luas 2 407 ha, Kabupaten Rembang 1 590.90 ha. Sedangkan di Madura terpusat di Kabupaten Sampang dengan luas 4 200 ha, dan Kabupaten Pamekasan 1 795.70 ha. Sedangkan di Kabupaten Sumenep sendiri produsen garam diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu usaha garam yang dikelola oleh rakyat dengan luas lahan lebih kurang 1 408.68 ha, sedangkan 2 595 ha dimiliki oleh PT. Garam. Keberadaan PT. Garam bukan saja sebagai produsen raw material namun juga sebagai perusahaan pengolahan garam, disamping itu PT. Garam juga menyerap atau membeli garam rakyat.

Masalah pergaraman rakyat di Indonesia sangat kompleks, ketika produksi yang dilakukan masih sangat tradisional tergantung pada sinar matahari (solar evaporation), kualitas garam yang dihasilkan belum sesuai dengan yang diharapkan. Permasalahan ini semakin rumit, dimana sarana dan prasarana produksi belum memadai, lahan garam belum berada dalam satu hamparan yang luas tetapi terfragmentasi dalam lahan-lahan skala kecil. Selain itu, kelembagaan para petani garam masih relatif lemah terutama petani garam yang menyewa, bagi hasil atau buruh tambak. Ditambah lagi mata rantai tata niaga garam dikuasai oleh beberapa perusahaan yang juga mendapat lisensi untuk mengimpor (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011). Pemasaran merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan dengan usaha produksi, karena pemasaran merupakan ujung tombak untuk menilai berhasilnya usaha yang dijalankan.

Dalam kegiatan pemasaran garam, kegiatan hilir didominasi oleh industri skala besar dan retail dengan jaringan yang kuat sedangkan kegiatan hulu (produksi garam) didominasi oleh kegiatan pengelolaan garam dengan teknologi tradisional. Ketidakseimbangan ini, membuat keuntungan lebih dinikmati oleh industri hilir (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011). Sehingga peneliti menduga, pemasaran garam tidak efisien dan adil. Dibutuhkan analisis mengenai pemasaran garam dengan menggunakan pendekatan structure, conduct dan

performance (SCP). Pemilihan pendekatan SCP dikarenakan menurut Soekartawi (2002) pendekatan SCP merupakan teknik yang relatif baru dalam menganalisis efisiensi pemasaran dan sekaligus memperhatikan welfare sociaty.

Rumusan Masalah

Kabupaten Sumenep merupakan pusat perdagangan garam di Pulau Madura pada khususnya dan Provinsi Jawa Timur pada umumnya. Sebagian besar penduduk Sumenep ± 3 322 orang bekerja sebagai petani garam. Terdapat lebih kurang 300 pedagang pengumpul dan tiga perusahaan pengolahan skala besar dalam pengolahan garam (raw material) menjadi garam konsumsi dan kebutuhan lainnya. Di samping itu PT Garam juga merupakan produsen garam terbesar di Kabupaten ini. Sesuai dengan latar belakang penelitian di atas adanya pihak-pihak yang mendominasi perdagangan garam di Kabupaten Sumenep menyebabkan ketidakadilan dan kegagalan pasar.

Harga dasar (floor price) yang ditetapkan oleh pemerintahRp750 per kg untuk garam dengan kualitas 1 (KP1), kualitas2 (KP2) Rp550 tidak terlaksana hingga saat ini. Harga garam di tingkat petani hanya mencapai Rp480 per kg untuk kualitas 1, sedangkan garam dengan kualitas 2 berkisar pada harga Rp300 per kg nya. Pada tingkat retail, harga relatif tinggi berkisar Rp4 000 hingga Rp5 000 per kg (Kementerian Perdagangan, 2012). Intervensi pemerintah belum mampu memperbaiki tata niaga garam di Kabupaten Sumenep. Pergerakan harga antara tingkat petani dengan retail dari tahun 2008 hingga 2012 dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber: Kementerian Perdagangan, 2012

Gambar 1 Pola pergerakan harga garam di tingkat petani dan retail tahun 2003-2012

Dalam proses pemasarannya, petani dikondisikan hanya sebagai produsen garam, tidak memiliki andil dalam penentuan harga, maupun penentuan teknis kualitas garam yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan tertutupnya akses petani

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 R u p iah /Kg

terhadap informasi mutu dan perkembangan harga yang menyebabkan mayoritas petani memiliki daya tawar atau bergaining position lemah dalam penentuan harga dan cenderung sebagai penerima harga (price taker). Jika terjadi kenaikan harga garam, petani tidak pernah menikmati keuntungan tersebut. Kondisi ini semakin diperparah oleh keterbatasan sarana dan prasarana, akses pemodalan.

Integrasi kegiatan pemasaran dari hulu dan hilir ini perlu dikembangkan secara sinergis sehingga terjadi distribusi keuntungan ekonomi yang lebih adil, dan efisiensi dalam industri garam. Efisiensi dan keadilan dalam sistem pemasaran berkaitan erat dengan farmer’s share, marjin pemasaran, serta integrasi pasar dimana ketiga indikator ini merupakan beberapa bagian dari analisis kinerja pasar (performance). Namun dalam penelitian ini tidak hanya menggunakan satu pendekatan saja, tapi juga menggunakan pendekatan struktur pasar (structure) dan Perilaku pasar (conduct), karena adanya hubungan yang komprehensif pada tiga pendekatan ini. Menurut Philips (1970) dalam Asmarantaka (2012)mengajukan keterkaitan hubungan dua arah yang bersifat timbal balik dan sifat hubungan endogenous diantara veriabel-variabel SCP serta memperhitungkan waktu. Pendekatannya menunjukkan bahwa structure (S), conduct (C), dan performance (P) dalam satu waktu berada pada sistem dimana S dan C adalah penentu dari P, dilain waktu S dan C ditentukan oleh P. Hal ini menunjukkan suatu sistem dinamis yang mengembangkan respon penyesuaian dari perusahaan terhadap kondisi pasar dan keadaan yang memungkinkan.

Tujuan

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang diuraikan, maka tujuan penelitian ini secara umum akan mengkaji sistem pemasaran Garam di Kabupaten Sumenep, dan secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis struktur pasar garam di Kabupaten Sumenep. 2. Menganalisis perilaku pasar garam di Kabupaten Sumenep. 3. Menganalisis kinerja pasar garam di Kabupetan Sumenep.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan bahan pertimbangan bagi berbagai pihak yang berkepentingan, antara lain bagi pemerintah diharapkan dapat merumuskan kebijakan yang tepat dalam meningkatkan kesejahteraan petani garam sebagai bahan referensi untuk penelian- penelitian selanjutnya. Serta sebagai proses pembelajaran bagi penulis.

Ruang Lingkup Penelitian

1. Penelitian ini mengkaji seluruh lembaga pemasaran Garam di Kabupaten Sumenep.

2. Penelitian ini mencakup analisis struktur pasar (pangsa pasar, konsentrasi pasar dan hambatan masuk pasar), perilaku pasar (sistem penentuan harga, praktek

penjualan dan pembelian, kerjasama lembaga pemasaran), kinera pasar (marjin pemasaran, farmer’sshare, integrasi pasar vertikal.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan menjelaskan beberapa penelitian-penelitian yang terkait dengan pemasaran menggunakan pendekatan struktur, perilaku, dan kinerja pasar. Dalam bab ini juga akan terlihat perbedaan dan persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu.

Struktur Pasar Komoditas Pertanian

Penelitian yang dilakukan oleh Azizi et al. (2011) mengenai analisis pemasaran garam rakyat di Kabupaten Pati Jawa Tengah, diperoleh bahwa struktur pasar garam rakyat cenderung kepada pasar yang oligopsonik. Dalam menentukan struktur pasar garam di Kabupaten Pati ini peneliti hanya menggunakan perbandingan jumlah partisipan pasar. Akan berbeda sekali dengan penelitian yang akan di lakukan, dimana penulis menggunakan beberapa alat analisa dalam menentukan struktur pasar garam di Kabupaten Sumenep, seperti CR4.

Penelitian selanjutnya mengenai analisa pemasaran garam rakyat studi kasus Kecamatan Kalianget Kaupaten Sumenep yang dilakukan oleh Suherman et al. (2011) dimana strutur pasar dianalisa secara kualitatif maupun kuantitaif. Analisa kualitatif dapat dilihat dari jumlah penjual dan pembeli, diferensiasi produk dan hambatan keluar masuk pasar. Sedangkan analisa kuantitaf menggunakan analisa konsentrasi ratio. Dilihat dari jumlah penjual dan pembeli yang tidak seimbang, maka pemasaran garam di Desa Kertasada Kecamatan Kalianget dikategorikan sebagai pasar tidak efisien, karena beberapa tingkat pasar hampir semuanya mengarah ke pada pasar monopsoni. Sedangkan dilihat dari aspek diferensiasi produk, tidak ada perubahan bentuk yang dapat menciptakan nilai tambah dari garam yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat. Sedangkan hambatan keluar masuk pasar dapat dilihat dari kondisi dimana petani yang memiliki hubungan seperti pinjaman kepada tengkulak, tidak bisa memilih menjual garam kepada saluran pemasaran yang lain yang dapat memberikan harga yang lebih baik. Sedangkan dalam pasar antara tengkulak dengan tengkulak lainnya tidak dapat keluar masuk pasar secara bebas, karena para tengkulak kesulitan dalam mendapatkan garam dari petani, hal ini disebabkan para petani sebagian besar terikat secara tidak formal dengan tengkulak lain yang sudah lama memiliki ikatan dengan mereka.

Kementerian Perdagangan di tahun 2010 juga melakukan penelitian mengenai pemasaran garam dengan pendekatan struktur. Penelitian ini membahas mengenai struktur pasar garam di beberapa wilayah Indonesia. Pemanfaatan hasil produksi garam di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan sebagai daerah produsen biasanya langsung dijual ke pedagang besar, baik untuk konsumsi lokal maupun untuk provinsi lain. Di beberapa wilayah seperti di Indonesia Bagian Timur, biasanya pabrikan mendatangkan garam dari Surabaya atau Makasar, kemudian

diolah (yodifikasi) dan selanjutnya dipasarkan. Jumlah pabrikan sebagai produsen garam beryodium relatif sedikit, sementara lembaga perantara selanjutnya makin banyak. Khusus untuk kawasan Nabire, produsen pengolah hanya satu perusahaan dan daerah Papua tidak memiliki produsen pengolah sama sekali. Setelah di olah di pabrikan penjualan produk dari pabrikan umumnya dijual ke pedagang besar propinsi (distributor) atau kabupaten dan selanjutnya dijual ke pengecer. Mengalirnya barang ke tangan konsumen pastinya memerlukan informasi pasar. Informasi pasar biasanya bersumber dari distributor atau pedagang besar. Para pedagang maupun petani biasanya memperoleh informasi harga dari sesama pedagang maupun media massa. Sedangkan untuk harga jual ke pedagang pengecer atau ke level pemasarannya selanjutnya berdasarkan modal pembelian ditambah dengan biaya transportasi dan keuntungan. Sehingga pasar garam disimpulkan menjadi pasar oligopoli.

Dalam beberapa penelitian lainpun menunjukkan bahwa struktur pasar yang dihadapi oleh petani adalah pasar oligopsoni (Bosenaet al 2011; Mmasa et al 2013; Funke et al; 2012). Dimana beberapa penelitian ini disimpulkan menggunakan beberapa indikator yaitu jumlah partisipan dalam pasar, nilai CR4, hambatan keluar masuk pasar.

Perilaku Pasar Komoditas Pertanian

Penelitian Suherman et al. (2011) mengenai pemasaran garam di Kecamatan Kalianget mengenai perilaku pasar menyatakan terdapat praktek tidak jujur dalam pemasaran garam, hal ini terlihat dari kejadian dimana petani yang memiliki hubungan dengan tengkulak menetapkan harga garam di bawah standar yang telah ditentukan oleh pemerintah. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Azizi et al. (2011) mengenai pemasaran garam di Kabupaten Pati adanya kolusi dalam pemasaran garam di daerah ini. Beberapa lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran garam yaitu : petani garam sebagai produsen, pedagang pengumpul, pedagang perantara dan pedagang besar, maka pedagang pengumpul merupakan agen atau kaki tangan pedagang perantara maupun pedagang besar. Pedagang Besar memiliki peran yang dominan dan dapat menguasai info pasar.

Kementerian Perdagangan (2010) dalam penelitiannnya mengenai perilaku pasar garam menyimpulkan bahwa terdapat sembilan poin yang menggambarkan perilaku pasar garam di Indonesia :

1. Pada umunya tidak ditemui pemasaran yang dilakukan secara berkelompok antar produsen pabrikan.

2. Perlakuan terhadap produk oleh produsen pabrikan umumnya adalah sortasi, proses yodifikasi, pengemasan hingga pendistribusian. Pendekatan fungsi dalam pemasaran garam di beberapa wilayah Indonesia ini mencakup : a) fungsi pengangkutan, pergerakan produk dari daerah sentra produksi ke konsumen akhir melalui beberapa tahap. Sehubungan dengan negara kita adalah negara kepulauan pengangkutan garam dari pulau ke pulau biasanya menggunakan kapal laut, hal ini dikarenakan transportasi ini lah yang biayanya lebih rendah, namun risiko yang ditanggung lembaga pemasaran lebih tinggi. Setelah produk sampai di pelabuhan, biasanya akan diambil oleh pihak-pihak

pabrikan, yang nantinya produk akan di olah dan dipasarkan kembali ke konsumen akhir menggunakan jalur darat atau sesuai dengan sarana dan prasarana yang tersedia. b) Fungsi sortasi, fungsi ini biasanya dilakukan lagi di tingkat pedagang perantara, dikarenakan jarak yang jauh akan mengakibatkan produk rusak. c) Fungsi pengemasan, pengemasan bertujuan untuk mempermudah penjualan dan melindungi produk dari kerusakan. Biasanya di level pabrikan garam telah di kemas ke dalam botol atau plastik. Kemasan ini biasanya berukuran 0.25 kg, 0.5 kg dan 1 kg, bungkusan-bungksusan ini nantinya dikemas lagi dalam karung plastik berisi 40 pak, dan setiap pak berisi 6 bungkus. d) Fungsi penyimpanan, kegiatan penyimpanan dilakukan menunggu garam laku terjual sekaligus sebagai stok, fungsi penyimpanan disetiap level pemasaran sangat penting untuk menjaga stok karena ditakutkan terjadinya kerusakan sarana angkutan atau mengalami hambatan dalam proses distribusi pada saat musim hujan. Ketidakpastian penawaran (supply) akan mempengaruhi harga, hal ini juga lah yang menyebabkan fungsi penyimpanan sangat penting. e) Fungsi pembelian dan penjualan, dengan mengalirnya barang dari produsen ke konsumen akhir pastinya akan melakukan fungsi pembelian dan penjualan ini.

3. Kolusi antar lembaga pemasaran biasanya tidak terjadi pada sesama distributor atau pedagang besar, demikian juga di tingkat pedagang pengecer. Asosiasi garam di daerah tertentu mengatur skema pendistribusian garam mulai dari pabrikan hingga area distribusi.

4. Perlakuan terhadap produk oleh lembaga perantara hanya meliputi pendistribusian.

5. Diversifikasi penjualan oleh lembaga perantara berdasarkan kualitas terhadap produk garam sudah dilakuan sejak dari pabrikan. Beberapa pabrikan biasanya telah memberi merek, kemasan dan kandungan yang berbeda untuk kebutuhan konsumen yang beragam.

6. Sistem pembelian produk dari produsen pabrikan oleh lembaga perantara umumnya melalui distributor. Namun di beberapa pedagang langsung membeli ke pabrikan.

7. Sistem penentuan harga antara produsen pabrikan dengan lembaga perantara umunya relatif tetap dan disarkan pada hasil tawar menawar di antara keduanya. Penentuan harga di beberapa daerah terpencil lebih banyak ditentukan oleh pabrikan dan pedagang besar dan pengecer hanya menerima harga.

8. Sistem pembayaran dari lembaga perantara ke produsen dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu : pembayaran tunai sesuai dengan jumlah pembelian atau setelah dikurangi biaya produksi, pembayaran secara tempo sesuai dengan hasil kesepakatan produsen dengan lembaga perantara. Biasanya tempo yang diberikan maksimal satu minggu setelah sebelumnnya lembaga perantara memberikan uang muka pada produsen.

9. Praktek-praktek tidak jujur diantara lembaga perantara umumnya tidak dijumpai.

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Bosena et al. (2011)dalam metodologinya untuk menganalisis perilaku pasar, maka peneliti mendeteksi indikator penetapan harga yang tidak wajar dan tidak adil di setiap level pemasaran. Isu-isu yang dipertimbangkan adalah adanya pemasaran formal dan

informal kelompok yang mempengaruhi daya tawar dan ketersedian informasi harga serta dampaknya pada harga yang berlaku. Analisis berikutnya yaitu mekanisme penentuan harga, faktor yang mempengaruhi penetapan harga, patokan dasar dalam diferensiaasi harga, dan dampak lokasi fisik pasar pada harga. Dari hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa tidak adanya sistem harga yang kompetitif, sekitar 90 persen petani menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki kekuatan dalam menentukan harga. Hal ini menunjukkan penyimpangan pasar kapas dari norma pasar yang kompetitif baik dalam praktek penjualan, pembeilan dan strategi harga.

Kinerja Pasar Komoditas Pertanian

Masih dalam penelitian Azizi et al. (2011) mengenai kinerja pasar disimpulkan bahwa marjin pemasaran tertinggi diperoleh oleh pedagang pengumpul. Pada penelitian ini hanya menghitung marjin pemasaran saja dan tidak ada penjelasan mengenai bagian yang diterima petani (farmer’s share), peneliti hanya mengungkapkan bahwa saluran pemasaran garam cenderung lebih efisien.

Sedangkan penelitian yang dilakukan Suherman et al. (2011) mengenai kinerja pasar garam di Kecamatan Kalianget digunakan indikator analisis marjin pemaran, share harga yang diterima petani. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa lembaga pemasaran yang banyak melakukan fungsi pemasaran mendapatkan distribusi marjin yang terbesar, distribusi marjin yang terbesar diterima oleh pabrik garam. Dari aspek share petani, mereka hanya menerima 11 persen, share ini lebih kecil dibandingkan dengan share yang diterima oleh pabrik dan tengkulak. Peneliti menyimpulkan bahwa pemasaran garam di Kecamatan Kalianget ini tidak efisien.

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Konsep SCP (Structure, Conduct, Performance) dan Perkembangannya Model SCP ini pertama kali dikemukakan oleh Joe Bain dalam bukunya “Industrial Organization” yang menjelaskan hubungan yang dapat diramalkan antara struktur, perilaku, dan kinerja pasar. Dahl dan Hammond (1977) menjelaskan bahwa analisis sistem pemasaran dapat dikaji melalui struktur, perilaku dan kinerja pasar. Pada awalnya paradigma SCP merupakan pendekatan yang umumnya digunakan untuk mengkaji hubungan dinamika persaingan suatu industri dengan kinerjanya (Waldman dan Jensen, 2007). Begitu pula Carlton dan Perloff (2000) juga menyatakan bahwa paradigma SCP pada awalnya digunakan untuk mengkaji pembentukan organisasi industri. Namun dalam perkembangannya pendekatan SCP ini telah banyak digunakan dalam pemasaran komoditas pertanian. Karena menurut Soekartawi (2002) pendekatan SCPmerupakan teknik yang relatif baru untuk meningkatkan efisiensi dan sekaligus memperhatikan welfare sociaty.

Pada konsepnya struktur pasar dipengaruhi oleh kondisi permintaan dan penawaran. Kondisi permintaan (elastisas harga, keberadaan barang subsitusi, metode pembelian) dan penawaran (teknologi, struktur biaya, pertumbuhan pasar) akan mempengaruhi struktur pasar (market structure) yang terbentuk. Struktur pasar adalah penggolongan produsen kepada beberapa bentuk pasar berdasarkan ciri-ciri seperti jenis produk yang dihasilkan, banyaknya perusahaan dalam industri, mudah tidaknya keluar atau masuk ke dalam industri serta konsentrasi pasar. Perilaku pasar (market conduct) menggambarkan tingkah laku perusahaan dalam menghadapi struktur pasar tertentu. Identifikasi perilaku pasar terdiri atas proses penentuan harga, kegiatan integrasi, merger, kolusi. Sedangkan keragaan pasar (market performance) merupakan hasil akhir perilaku pasar. Dalam kenyataan interaksi antara struktur, perilaku dan kinerja pasar tidak selalu linear, malah cenderung bersifat komplek dan saling mempengaruhi secara dinamis (Waldman dan Jensen, 2007).Keterkaitan antara komponen dalam pendekatan SCP dapat dilihat pada Gambar 2.

Sumber: Kuncoro (2007)

Gambar 2 Paradigma structure conduct performance

Supply Conditions Technology and cost structure Factor markets

Organizational structure Location

Demand Conditions Price elasticity of demand Availibility of substitutes Method of purchase

Structure Number and size

distribution of buyers and sellers

Entry and exit conditions Market consentration Conduct Collusion Pricing Strategy Mergers Performance Profitability Allocative Efficiency Growth Technological Progres Goverment Policy Regulation Taxes and Subsidies

Employment Policy Regional Policy Competition Policy

Pendekatan SCP dalam Sistem Pemasaran Struktur Pasar (Market Structure)

Struktur pasar menjelaskan bagaimana pelaku pasar terorganisasi berdasarkan karakteristik yang mempengaruhi hubungan antara penjual dan

Dokumen terkait