• Tidak ada hasil yang ditemukan

TERHADAP SISTEM SOSIOKULTUR DI LAMALERA

5.3. Perubahan Pengelolaan Ekonomi

5.3.1 Ekonomi Komunal

a. Kelompok Pemilik Tena laja (Uma)

Masing-masing suku memiliki paling tidak satu tena laja. Setiap tena laja dimiliki oleh sekelompok orang dalam satu suku dan mereka disebut uma alep. Dalam membuat perahu, uma alep merupakan kelompok orang yang berkontribusi dengan menyumbangkan bahan-bahan serta ikut terlibat dalam pembuatan perahu. Kontribusi tersebut dapat berupa papan, bambu, layar, tombak tempuling atau kapas untuk tali leo. Pada umumnya yang menjadi anggota sebuah tena laja adalah laki-laki di dalam suku. Tetapi tidak tertutup kemungkinan perempuan ikut menjadi anggota uma, dengan menyumbangkan kapas untuk tali leo atau menyediakan makanan dan tuak sebagai santapan selama pembuatan perahu.

Sebagai kelompok inti pemilik perahu, uma alep diketuai oleh salah seorang anggotanya yang disebut tena alep. Tuan perahu ini bertanggung jawab serta memimpin pengelolaan perahu. Mulai dari pemeliharaan, memimpin persiapan perahu sebelum berangkat ke laut, ketika perahu berlayar sampai perahu

pulang kembali ke najenya serta memimpin pengelolaan hasil tikaman perahu yang menjadi hak uma alep.

Hak uma alep terhadap ikan hasil tikaman selain koteklema tidak langsung dibagi kepada setiap anggota yang memakan uma, tetapi di kelola bersama di belappa lolo dari tena laja yang bersangkutan. Pengolahan di belappa lolo dan penyimpanan ikan yang telah selesai dikeringkan dilakukan oleh perempuan penghuni lango bela. Pada akhir musim lefa anggota uma akan berkumpul di lango bela dan membagi secara adil hasil tikaman pada satu musim lefa itu. Selain membagi kepada semua anggota uma, bagian-bagian tertentu juga disisihkan untuk tena laja. Bagian itu seperti bagian usus koteklema disimpan atau ditukar untuk keperluan perbaikan tena laja.

Menjadi bagian uma alep atau menjadi anggota sebuah tena laja merupakan cara masyarakat Lamalera untuk menjamin keamanan pangan masyarakatnya. Hak uma berlangsung seumur hidup, seumur tena laja. Apabila seorang anggota uma mulai tua dan tidak bisa berangkat ke laut, maka ia akan tetap menerima bagian atau haknya. Ataupun ditemukan beberapa nelayan yang cacat karena melaut, maka mereka masih tetap bisa mengandalkan haknya pada uma untuk meyambung kehidupan. Hak memakan uma juga akan berlanjut pada keluarga anggota tena laja. Ketika masyarakat Lamalera senantiasa bersenandung dengan pengharapan bisa menikam ikan atau koteklema untuk janda dan anak yatim maka, yang dimaksud adalah uma yang menjadi hak suami atau orang tua para yatim yang telah tiada akan diturunkan dan menjadi penjamin kehidupan bagi janda dan anak yatim tersebut.

Beberapa pendapat melihat uma alep sebagai sebentuk koperasi atau unit usaha sebagaimana yang banyak berkembang saat ini. Anggota uma juga seringkali diibaratkan sebagai sekelompok orang yang menanamkan sahamnya pada alat produksi itu. Tena laja dan uma alep tentunya lebih dari sekedar instumen ekonomi semata, keduanya disatukan dalam ikatan sosial kekerabatan. Fungsi-fungsi sosial mengikat kedua elemen itu dalam satu bangunan sosial masyarakat nelayan Lamalera. Apabila modal kapital adalah alat utama pada sistem ekonomi uang, di Lamalera kontribusi untuk menjadi anggota uma alep tidak bisa digantikan dengan uang, atau sekedar memberi modal untuk membiayai

pembuatan sebuah tena laja. Kontribusi berupa barang dasar pembuatan perahu serta ikut terlibat selama pembuatan perahu adalah satu syarat mutlak.

Prinsip ekonomi utama pada tena laja dan uma adalah subsistensi. Menyediakan kebutuhan dasar konsumsi sampai pada saat-saat tersulit. Menyimpan bekal untuk melewati musim barat yang menghalangi laki-laki berangkat ke laut dan perempuan berangkat penetang (melakukan tukar-menukar) dengan masyarakat gunung adalah utama. Paling tidak, dengan melewati satu musim lefa, setiap rumah tangga telah menyimpan sedikitnya dua koli (karung) jagung untuk bekal di musim barat yang ditandai dengan hujan angin selama dua sampai tiga bulan.

Prinsip subsistensi dan ketahanan pangan (food security) adalah salah satu jawaban atas pilihan jenis-jenis ikan yang ditikam. Jenis ikan seperti paus (koteklema, seguni dan kelaru), pari, dan lumba-lumba adalah tiga jenis ikan dan mamalia laut yang dagingnya bisa bertahan lama ketika disimpan. Dengan cara mengeringkannya dan membuat dendeng (dengan dibaluri air garam dan cuka terlebih dahulu) ketiga daging ikan ini akan bisa disimpan sampai setahun bahkan lebih32. Jenis ikan lain yang cukup bertahan lama untuk disimpan adalah hiu dan marlin. Daging hiu lebih tahan lama dibandingkan dengan ikan marlin. Tapi bila hanya untuk melewati satu musim barat, kedua ikan ini masih bisa diandalkan.

b. Pembagian Hasil

Ada tata cara yang khusus dalam membagi ikan hasil tikaman. Pertama, ikan belum boleh dipotong dan dibagi sebelum atamola memberi tanda pada ikan tersebut. Tanda yang digoretkan atamola pada ikan merupakan batasan bagian-bagian yang menjadi hak beberapa kelompok orang. Kedua, cara membagi ikan juga berbeda antara jenis paus, lumba-lumba dengan pari, hiu dan ikan marlin. Dua jenis ikan yang dipaparkan sistem pembagiannya pada tulisan ini adalah pembagian koteklema dan pari (belelang, bou dan moku).

Pembagian koteklema dengan jenis lumba-lumba lain seperti temu bella, seguni atau lumba-lumba kecil tidak banyak perbedaan. Untuk hasil tikaman koteklema, pembagiannya dibedakan atas tiga kelompok besar yaitu bagian uma

32

Untuk membuat dendeng atau daging ikan kering awet, pada saat di jemur, ikan-ikan tersebut harus dihindari terkena air hujan meskipun sedikit.

alep, awak perahu (matros atau meing) dan bagian tuan tanah (tana alep). Ketiga bagian besar kemudian dipecah lagi ke bagian yang lebih kecil yang akan menjadi hak masing-masing orang. Ada nama-nama tradisional untuk masing-masing pembagian. Bagian uma alep dibagi menjadi beberapa bagian yaitu:

a. Laba ketilo adalah bagian yang menjadi hak atamola, yaitu orang yang mengawasi pembuatan perahu serta perbaikan-perbaikan besar dalam perahu. Biasanya atamola sekaligus berperan sebagai tena alep. b. Mima yaitu bagian yang diberikan kepada keluarga anggota suku

pemilik perahu.

c. Tenarap diserahkan bagi keluarga anggota suku. d. Kila adalah bagian keluarga anggota suku.

e. Kefoko seba bagian untuk keluarga anggota suku yang bertugas dalam proses pengadaan kayu dan papan untuk pembuatan perahu.

f. Laja adalah hak bagi orang yang membuat layar perahu. g. Nupa adalah hak bagi penempa harpun.

h. Befana bela yaitu hak orang yang ikut membantu membuat perahu. Bagian meng alep atau meing dibedakan antara hak khusus untuk juru tikam atau lamafa, meing dengan tugas-tugas tertentu dan meing pada umumnya. Bagian untuk lamafa disebut dengan nofek dan separuh bagian kelik untuk ibu lamafa. Bagi meing yang juga merupakan anggota kelompok perahu, maka akan mendapatkan dua bagian sebagai meing dan bagaian sebagai uma alep. Bagian yang menjadi hak tuan tanah adalah bagian kepala koteklema. Dalam hal ini ada ketentuan yang membagi bagian atau hak tuan tana Tufaona dan Lango Fujjo. Setiap kepala koteklema tikaman tena laja dari sebelah barat Kapela St. Pertrus menjadi hak suku Tofaona dan tikaman tena laja dari sebelah timur kapela merupakan hak suku tuan tanah Lango Fujjo. Gambar pembagian koteklema ditamilkan pada bab sebelumnya.

Pari merupakan jenis ikan yang hasil tangkapannya di musim lefa dikelola bersama di belappa lolo suku dan dibagi secara adil di akhir musim . Ikan ini lebih tepat dikatakan sebagai andalan untuk perekonomian komunal, karena daging ikan pari yang dikeringkan termasuk tinggi nilai tukarnya. Ikan pari dibagi menjadi lima lima bagian:

1. lajja yaitu bagian sayap ikan pari, dibagi kepada semua meing dalam tena laja,

2. uk dan korok yaitu bagian badan (punggung dan dada) ikan pari, menjadi hak uma alep,

3. ang atau ingsang dibari kepada para meing,

4. atte atau hati dibagi dua untuk meing dan uma alep,

5. tai kebotti atau bagian isi perut menjadi hak uma alep yang dibagi pada akhir musim lefa.

Sistem pembagian ikan ini (termasuk pembagian koteklema) mengalami perubahan dengan tetap mengacu sistem tradisional yang telah ditetapkan.

c. Penetang dan Barter

Pertukaran barang di Lamalera dilakukan dengan penetang. Pada pembagian kerja, penetang adalah pekerjaan pokok yang dilakukan oleh perempuan. Kegiatan ini berlangsung antara masyarakat pesisir Lamalera dengan masyarakat pegunungan sekitar. Proses interaksi antara beberapa desa yaitu desa pesisir dan desa pegunungan yang kehidupannya ditopang oleh dua lingkungan yang relatif berbeda, telah menciptakan sistem perekonomian bersama yang saling melengkapi. Komuditas yang dipertukarkan adalah hasil laut dari pesisir dan hasil pertanian di daerah pegunungan.

Sistem pertukaran barang, memenuhi kebutuhan dasar kedua masyarakat. Kebutuhan protein masyarakat gunung dipenuhi dengan potongan ikan kering yang dibawa oleh perempuan Lamalera sedangkan kebutuhan karbohidrat masyarakat pesisir dicukupi oleh hasil panen dari pegunungan. Penetang dilakukan dengan cara membarter potongan ikan kering dengan jagung, padi, umbi-umbian, kacang serta sayuran. Kegiatan penetang dilakukan mulai dari dini hari, dimana biasanya kaum perempuan keluar sekitar pukul 03.00 atau 04.00 subuh dengan berjalan kaki ke desa-desa sekitar. Kegiatan tukar menukar dilakukan dari rumah ke rumah. Biasanya setelah mereka sampai di desa tetangga, mereka menunggu terang dulu baru berjalan ke rumah-rumah menawarkan ikan bawaannya.

Penetang telah dilakukan sejak lama. Oleh karena itu, hampir semua perempuan yang melakukan penetang mengenal dengan baik masyarakat desa sekitar mereka. Apa bila dalam satu hari ikan telah tertukar semua, maka biasanya mereka akan kembali pulang ke lefo. Tetapi bila masih banyak barang bawaan yang tersisa, tidak jarang mereka menginap di desa tetangga untuk beberapa malam. Ada kalanya kegiatan penetang juga dilakukan dalam waktu yang lama. Sekitar seminggu atau lebih. Hal ini biasanya dilakukan karena desa tujuan penetang terletak jauh dari Lamalera. Setelah sarana transportasi tersedia, kegiatan penetang dengan berjalan kaki mulai berkurang. Sekaligus memudahkan mereka untuk kembali pulang setelah sehari selesai berpenetang.

Berbeda dengan penentang yang dilakukan langsung di desa-desa tetangga dan berjalan dari rumah ke rumah. Pertukaran barang melalui barter secara rutin juga difasilitasi. Dalam satu minggu, diselenggarakan dua kali pasar barter. Pertama pasar barter pada setiap Sabtu di Wulandoni dan kedua pasar barter setiap Rabu di desa Posiwatu. Pasar barter Wulandoni lebih besar dan aktif dibandingkan pasar barter Posiwatu. Pada saat inilah, semua komuditi yang mungkin dipertukarkan bertemu. Terdapat ikan, garam dan kapur kepunyaan masyarakat nelayan, bahan makanan pokok hasil kebun masyarakat pegunungan, sayuran, tuak, buah sirih dan pinang, pisang dan banyak lainnya.

Sejarah terjadinya pasar barter Wulandoni pada mulanya untuk memfasilitasi pertukaran barang antara masyarakat desa satu desa dengan masyarakat nelayan Lamalera. Tetapi perkembangannya, pasar ini kemudian menjadi sarana bagi hampir semua desa di kecamatan Wulandoni untuk melakukan transaksi tukar-menukar barang dan jual beli. Saat ini pasar barter Wulandoni dikelola oleh pemerintah kecamatan Wulandoni.

Alam Lembata secara umum memang berbeda dengan pulau-pulau di bagian barat Indonesia. Kontur lahan, iklim serta cuaca menuntut masyarakat terutama di daerah pedesaan yang masih sulit kondisi infrastruktur selalu memiliki persediaan cadangan makanan pada musim-musim barat yang ditandai dengan hujan berangin. Dalam kondisi ini, keberadaan pasar barter dan penetang menjadi penting. Bagi orang Lamalera, jauh sebelum datang musim barat perempuan para ibu rumah tangga telah menyicil menyimpan jagung dan beras ladang hasil

penetang dan barter untuk bekal di musim barat. Begitupun dilkukan oleh masyarakat pegunungan.

5.3.2. Ekonomi Kepentingan