• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMUNITAS NELAYAN LAMALERA

4.2. Sejarah Terbentuknya Lefo Lamalera

Kebudayaan masyarakat Lamalera terbentuk atas proses asimilasi antara nelayan migran dari Sulawesi dengan penduduk asli di daerah selatan Lembata serta masyarakat pendatang lainnya. Hal ini berkaitan dengan sejarah kedatangan masing-masing suku yang saat ini ada di Lamalera. Berdasarkan asal-usulnya, suku-suku di Lamalera dapat dibagi atas suku-suku yang leluhurnya bermigrasi karena bencana alam di Keroko Pukan atau Lepan Batan ke daerah timur Lambata, kedua suku yang leluhurnya merupakan penduduk asli Lembata serta suku-suku yang leluhurnya datang ke Lamalera dari satu daerah pada suatu waktu di masa lalu (Barnes, 1996: 55). Pemahaman yang sama juga yang diketahui oleh YHS bahwa setiap suku yang ada di Lamalera masing-masing punya asal-usul baik dari timur, barat dan langsung dari gunung (wawancara, 19 Juni 2009).

Sumber utama kebudayaan bermula dari kelompok nelayan pendatang dari pesisir Sulawesi. Asal muasal nenek moyang orang Lamalera adalah pelaut dari Luwuk Sulawesi. Studi etnografis Barnes (1996: 56) mengatakan bahwa pelayaran dari Luwuk bergerak ke arah timur menuju Ambon dan Seram terus ke selatan Maluku sampai akhirnya menemukan Lepan dan Batan22. Pulau ini ditinggalkan karena bencana, sebagaimana dikatakan oleh PHB bahwa nenek moyang mereka bermukim di Lepan Batan sampai seratus tahunan, hingga satu masa bencana air laut naik (tsunami) dan mereka meninggalkan pulau tersebut. Perjalanan meninggalkan Lepan Batan membawa mereka ke Kedang di Lembata, perjalanan dilanjutkan ke arah selatan sehingga mereka menemukan pasisir pantai Lamalera yang ditempati hingga sekarang (wawancara, 14 Juli 2009).

Pendatang dari Luwuk merupakan nenek moyang suku-suku utama sekaligus suku pertama yang sampai di Lamalera, yaitu suku Belikololo, Bataona, Lefotuka, Tana Krofa dan Lama Nudek. Tiga suku pertama merupakan keturunan dari Korohama yaitu orang yang memimpin perjalanan migrasi mulai dari tempat terakhir sebelum sampai di Lamalera23. Belikololo merupakan keturunan dari

22

Setelah bencana tsunami, Lepan dan Batan kini menjadi dua pulau kecil di selat antara Lembata dan Pantar (Barnes, 56).

23

Bedasarkan cerita sejarah, perjalanan bermigrasi dilakukan oleh Korohama, suku Tana Krofa dan suku Lama Nudek. Suku Tana Krofa pada mulanya memimpin perjalanan sampai satu kali salah satu anggota sukunya melakukan kesalahan terhadap masyarakat asli di tempat yang disinggahi. Suku Tana Krofa tidak sanggup membayar denda atas kesalahannya, sehingga

putra pertama Korohama, Bataona merupakan suku dari anak keturunan putra kedua dan Lefotuka keturunan putra bungsu. Ketiga suku ini bisa dikatakan sebagai suku inti dalam arti sebagai bangsawan dalam masyarakat. Suku-suku yang berasal dari Luwuk inilah yang membawa keahlian melaut ke Lamalera.

Kelompok kedua yang memberi pengaruh dalam perkembangan kebudayaan Lamalera yaitu penduduk asli sekaligus tuan tanah di desa ini. Dua suku yang diakui sebagai suku tuan tanah adalah suku Lango Fujjo dan Tufaona. Dua suku tuan tanah ini dahulu dapat dikelompokkan sebagai kelompok masyarakat dari pegunungan. Suku Lango Fujjo dipandang lebih signifikan daripada Tufaona karena lebih berhasil dalam usaha di laut serta mereka memainkan peran penting dalam acara seremonial pembukaan musim berburu tahunan. Kelompok masyarakat lain yang datang setelah suku-suku sebelumnya adalah sekelompok orang yang datang melalui jalur pegunungan yang saat ini ada dalam suku Tapoona. Gelombang pendatang lainnya dari barat yaitu suku Lamakera/Keraf dan suku Hariona serta kelompok pendatang dari daratan Flores, dari satu kampung bernama Soge Paga.

Masing-masing suku di Lamalera memiliki rumah besar atau lango bela. Di rumah ini semua urusan adat dan ritualnya dilakukan seperti mengurus kematian, pernikahan serta segala urusan yang berkaitan dengan mata pencaharian (ola ona). Dilihat dari bentuk bangunan lango bela saat ini hampir sama seperti rumah tinggal biasa, tetapi memiliki fungsi yang berbeda. Lango bela biasanya ditinggali oleh laki-laki dari anak keturunan tertua di setiap suku. Apabila sebagian suku memiliki lebih dari satu rumah besar, ini menunjukan pertambahan jumlah anggota suku sekaligus menandakan bertambahnya jumlah tena laja yang dimiliki suku tersebut. Lango bela juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan tali leo atau tale leo fa, yaitu tali utama di tena laja. Tale leo terbuat dari benang pintalan kapas digunakan dengan disambungkan pada mata tombak atau tempuling. Tale leo merupakan jiwa bagi perahu. Oleh karena dianggap sakral maka apabila perahu tidak berangkat ke laut dalam waktu ynag cukup lama, tale leo disimpan di lango bela. Dalam menyimpan tale leo, tidak diperkenankan untuk menyimpan dua atau lebih tale leo dalam satu lango bela, karena tali leo kemudian ditembus oleh Korohama. Sebagai konsekuensi atas tembusan tersebut kepemimpinan selanjutnya diampu oleh Korohama (Barnes, 1996: 58)

yang satu dianggap akan menutup rezeki tali leo yang lainnya. Sehingga untuk menyimpan tale leo baru dibuat pula lango bela baru.

Tabel 3. Asal-usul Suku-suku di Lamalera dan Rumah Besar

Suku Asal-Usul Rumah Besar (Lango Bela)

Beliko Lolo Lepan Batan Teti Nama Papa, Lali Nama Papa Bataona Lepan Batan Kelake Langu, Kifa Langu

Java Langu, Ola Langu, Baso Langu

Lewotukan Lepan batan Dasi Langu, Keda Langu, Lima Langu, Beraona Tana Krova Lepan Batan Haga Langu, Laba Langu

Lama Nudek Lepan batan Kelodo Ona Tufaona Daratan Lembata -

Lango Fujjo Daratan Lembata -

Bediona Lepan Batan Miku Langu, Muri Langu Batafor Lepan Batan Keda Langu, Kaja Langu

Lelaona Sinu Langu, Belake Langu

Tapoona Daratan Lembata (pegunungan)

Musi Langu, Guna Langu Mana Langu, Sola Langu Lamakera Soge Paga, Flores Badi Langu, Lafa Langu

Sinu Langu, Perafi Langu Lamanifak Soge Paga, Flores -

Sulaona Kebesa Langu, Kelore Langu, Kiko Langu Ebaona Soge Paga, Flores Dae Langu, Guma Langu, Sita Langu

Oleona - -

Ata Kei Kepulauan Kei - Hariona Lamakera, Solor - Lefolein Lefolein, Solor -

Atagora - -

Atafolo Daratan Lembata -

Sumber : Barnes (1996) dan data primer diolah (2009).

Proses-proses historis dimana sebuah masyarakat memperoleh banyak sifat-sifat dasarnya dalam ekologi budaya saling melengkapi untuk mempelajari proses-proses adaptif. Proses-proses historis itu mencakup peminjaman terhadap ciri-ciri kebudayaan dan kompleksitas ciri-ciri sumber yang berbeda, migrasi manusia, transmisi warisan kebudayaan kepada generasi selanjutnya, inovasi dan

penemuan-penemuan lokal. Memahami proses-proses historis ini tidak menghilangkan peran lingkungan dalam sebuah praktek kebudayaan, oleh karena itu setiap asal-usul kebudayaan harus dijelaskan dengan sejarahnya. Steward menegaskan bahwa investigasi dalam proses-proses ekologi budaya semestinya mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan bila pola-pola dasar sosiokultur mungkin telah disebarkan atau telah dibawa oleh migrasi dari satu jenis lingkungan ke lingkungan lainnya, tetapi hal ini juga harus diperiksa apakah pola-pola ini telah dimodifikasi. Penilaian terhadap modifikasi tersebut membutuhkan sebuah pembedaan antara pembubuhan luar kebudayaan seperti elemen-elemen ritual, seni, dan pola arsitektur dengan pola-pola sosial dalam pengelolaan manusia terhadap kebutuhan hidupnya (Steward, 1968).

Migrasi merupakan perjalanan yang mengawali sejarah komunitas pemburu ini. Sumbangan para leluhur dari timur yang berlatar belakang pelaut mendominasi bentuk sistem sosiokultur yang kemudian berkembang yaitu kebudayaan yang sangat akrab dengan habitat Laut Sawu. Menurut PHB disebabkan nenek moyang mereka adalah pelaut yang tinggal di pesisir pantai dan tidak memiliki tanah pertanian yang subur dan baik untuk menopang kehidupan maka dalam pelayaran meninggalkan daerah asalnya, di setiap pulau-pulau yang dilalui nenek moyang mereka tidak mencari tanah yang subur untuk bertani akan tetapi mencari daerah pesisir yang menghadap ke laut dan dapat menopang kehidupan mereka (wawancara, 16 Juli 2009).

Pada awal tiba di Lamalera, Korohama beserta keluarganya, Tana Krofa dan Lama Nudek tinggal bersama berdekatan dengan tuan tanah Tufaona. Ketika merasa bahwa daerah yang mereka tinggali (sampai saat ini) lebih baik dan mendukung kegiatan melautnya, mereka kemudian meminta ijin untuk menetap kepada tuan tanah Tufaona. Permintaan tersebut pada mulanya ditolak. Tetapi belakangan disetujui dengan menukar sebuah tempat di Desa Atas dengan perhiasan kuningan dan Korohama juga membuatkan perahu untuk tuan tanah yang diberi nama Baka Fai atau sekarang bernama Baka Tena24. Ketika leluhur dari suku Bataona pindah mendekati pantai, mereka menyesuaikan diri dengan tuan tanah yang berbeda dari suku Lango Fujjo. Barnes memberikan catatan

24

bahwa meskipun berkuasa, masyarakat Lamalera bisa dikatakan hampir tidak memiliki lahan dan tergantung pada suku tuan tanah, bukan hanya untuk tanah yang mereka pertukarkan, tetapi juga terhadap penghargaan yang sangat penting untuk kesuksesan kegiatan melaut yang menjadi gantungan hidup mereka (Barnes; 1996: 60). Proses asimilasi telah melahirkan peran bagi tuan tanah untuk kesuksesan musim berburu (lefa nuang) melalui serangkaian seremonial yang dilakukan oleh suku Lango Fujjo di pembukaan musim lefa.