• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan dan Pengembangan Teori Ekologi Budaya serta Beberapa Kritik

TERHADAP SISTEM SOSIOKULTUR DI LAMALERA

1.1. Latar Belakang Penelitian

2.1.2 Penerapan dan Pengembangan Teori Ekologi Budaya serta Beberapa Kritik

Hanya ada satu cara untuk menjelaskan apa yang disebut dengan ekologi budaya yaitu dengan memperlihatkan apa yang telah dilakukan (Netting 1986: 8). Sejak dirumuskan oleh Steward, teori ekologi budaya telah banyak diterapkan untuk mengenali interaksi antara manusia dan lingkungan serta berkembang melalui kondisi empiris penelitian lapangan yang terus dilakukan. Teori ini tidak lagi berkembang di kalangan antropolog tapi juga dalam studi geografi manusia dan studi ekologi manusia secara umum.

Di Indonesia, penelitian yang mengaplikasikan konsep ekologi budaya Steward pernah dilakukan oleh Clifford Geertz. Pada penelitiannya dikatakan bahwa cara analisis ekologi budaya lebih memusatkan perhatian terhadap sifat-sifat perembesan dari suatu sistem atas sistem lain (struktur sistem, keseimbangan sistem, perubahan sistem) dari pada terhadap hubungan pokok demi pokok antara pasangan-pasangan berbagai variable kebudayaan dengan alam. Menurut Geertz pertanyaan pokok yang hendak dijawab dengan menggunakan analisis ekologi budaya berbunyi: “Apakah kondisi habitat itu (sedikit banyak atau sepenuhnya) menimbulkan kebudayaan ataukah kondisi itu hanya membatasinya saja” (Geerlz 1983: 10).

Dengan menggunakan pendekatan ekologi budaya, Geertz menjelaskan perbedaan-perbedaan antara Indonesia dalam (Jawa) dan Indonesia luar (pulau-pulau di luar Jawa). Geertz menyimpulkan bahwa perbedaan kepadatan penduduk, cara penggunaan tanah dan produktifitas pertanian merefleksikan perbedaan penyesuaian pola pertanian yang dilakukan di dua daerah tersebut. Perbedaan pola agrikultur terjadi karena ada perbedaan-perbedaan yang berarti pada lingkungannya. Pertanian Jawa didominasi oleh sawah beririgasi sementara berladang banyak dilakukan di luar Jawa. Menurut Geertz dua sistem pertanian

yang diterapkan di kondisi ekosistem yang berbeda inilah yang bisa memberikan penjelasan mengenai distribusi penduduk yang tidak merata di Indonesia, serta keruwetan sosial dan kebudayaan yang tidak terhindarkan sebagai akibat distribusi yang demikian itu.

Konsep Steward mengenai ekologi kebudayaan telah terbukti menjadi strategi yang sangat efektif bagi penelitian ekologi manusia, karena menawarkan pengertian baru tentang bagaimana masyarakat tradisional beradaptasi secara efektif dengan lingkungan mereka. Kelemahan konsep Steward adalah kesulitan teori ini untuk digunakan pada masyarakat modern yang komplek dalam jumlah populasi yang besar dan mengalami perubahan yang cepat. Kelemahan lain adalah teori ini mengabaikan kenyataan yang teramat penting dalam sejarah umat manusia, yaitu pertumbuhan berkelanjutan pengetahuan manusia dan perbaikan yang berkelanjutan pula teknik manusia, maupun bentuk-bentuk organisasi untuk mengendalikan kehidupan ekonomi kita (Wertheim 1976: 17).

Geertz juga memberikan catatan bahwa proses ekologis yang mempengaruhi pertumbuhan kebudayaan dan masyarakat Indonesia di masa lampau, dan keadaannya dewasa ini adalah sesuatu yang harus ditentukan pada akhir penelitian, bukan pada awal penelitian. Oleh karena perkembangan politik, pelapisan masyarakat, perdagangan, dan intelektual kelihatannya merupakan proses penata atau penertib yang penting dalam sejarah Indonesia, maka ternyata perkembangan ekologis itu tidak seberapa penting.

Menurut Anthony Smith lebih besarnya keragaman kebudayaan antara-masyarakat dibanding dengan keragaman kondisi lingkungan alam menunjukkan bahwa kelebihan keberagaman kebudayaan itu tidak dapat dijelaskan dengan mengacu pada mekanisme adaptasi tetapi harus mengacu pada mekanisme perkembangan otonom di dalam budaya yang bersangkutan. Selain itu, kekuatan yang ditentukan oleh faktor ekologi atau tekno-ekonomi tergantung pada fase evolusi: di fase awal ia sangat kuat sedangkan di fase yang berikutnya faktor politik atau ideologi jauh lebih menentukan. Bentuk pemerintahan, agama dan seni mungkin mendapat peran makin otonom. Makin berkembang masyarakat membuat faktor lingkungan makin membatasi variasi dan perubahan kultural ketimbang mendorong unit-unitnya ke arah perubahan (Sztompka 2007: 137).

Kelemahan ini juga terlihat dengan dikembangkannya pendekatan lain oleh Marvin Harris dengan asumsi bahwa teknologi yang diciptakan dalam adaptasi terhadap lingkungan merupakan penggerak utama evolusi kebudayaan. Harris berpendapat bahwa semua aspek kebudayaan ditentukan oleh hubungan antara teknologi dengan lingkungan. Pemikiran Harris ini dikenal dengan Cultural Materialisme yang dikembangkan dengan mengusut akar pemikiran ilmuan sosial di abad 19 yaitu Karl Marx dan pemikiran Steward sendiri. Prinsip yang mengarahkan pengembangan teori dan strategi cultural materialism yang dikembang Harris berangkat dari pandangan Marx bahwa moda produksi dalam kehidupan material menentukan karakter umum pada proses sosial, politik dan spiritual di kehidupan. Bukan kesadaran manusia yang menentukan eksistensinya, melainkan eksistensi sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka. Harris tidak mencoba untuk menjelaskan bagaimana kultur itu disusun sebagaimana digagas oleh Steward. Harris lebih tertarik untuk menggali dan menemukan jawaban untuk pertanyaan seperti “why don’t Indians eat cows?” (Bohannan dan Glazer 1988: 378). Dia lebih cenderung untuk menguraikan perkembangan sebuah budaya khusus yang ada dalam sebuah masyarakat dengan menggunakan pendekatan etik dan aplikasi kultural materialisme.

2.2Pendekatan Materialisme Pada Perubahan Sosial

Ekologi budaya memberikan perhatian pada adaptasi ekologi untuk memahami sistem sosiokultur. Teori ini melihat proses evolusi itu pada hakikatnya berarti suatu penyesuaian yang terus semakin disempurnakan pada lingkungan fisik. Steward memandang setiap wilayah kebudayaan geografis sebagai suatu kesatuan tersendiri dan mencoba menjelaskan perubahan kultural dengan menunjukkan bahwa perubahan itu adalah hasil dari penyesuaian secara bertahap suatu kebudayaan pada lingkungan alamiahnya. Setiap kebudayaan menurut pendapat ini mencari suatu keseimbangan yang serasi dengan alam yang mengelilinginya (Wertheim 1976: 42). Sifat fungsionalis teori ini dilihat sebagai titik kelemahan yang mengundang banyak kritik. Tetapi diakui telah memberikan sumbangan metodologis untuk memahami sistem sosiokultur suatu masyarakat pada permulaannya atau pada fase awal evolusi. Hal ini masih bisa dilacak dengan

mudah pada masyarakat tradisional. Perkembangan sistem sosiokultur tidak bisa dilihat semata pada perkembangan ekologis, karena banyak faktor lain perlu dipertimbangkan. Begitu pula halnya dalam perkembangan kebudayaan di Lamalera selanjutnya.

Teori fungsionalis merupakan warisan pemikiran Durkheim. Mereka berasumsi bahwa kehidupan manusia dalam sistem sosiokultur, sama halnya semua sistem lain, memiliki bagian atau sub-sistem yang berfungsi untuk membuat keseluruhan sistem berfungsi. Fungsionalis mengenali institusi-institusi sosial sebagai struktur-struktur relevan yang membawa proses-proses fungsional. Lebih lanjut ditekankan bahwa sejalan dengan cara fungsionalisme dipahami pada tahun 1950an, sebuah hubungan yang berkelanjutan antara manusia dengan lingkungan biofisiknya bukan merupakan bagian dari proses fungsional ini. Alam hanya dilihat sebagai ‘sesuatu diluar’ sebagai sebuah sumber untuk fungsi ekonomi (Harper 2004: 69).

Penganut pendekatan fungsionalisme lainnya, Dunlap dan Catton berusaha memperbaiki pandangan ini dengan mengelaborasi tiga fungsi lingkungan bagi kehidupan manusia. Lingkungan biofisik berfungsi sebagai gudang persediaan untuk kebutuhan nafkah material manusia. Lingkungan berfungsi sebagai tempat pembuangan sampah dan polusi manusia. Sekaligus, lingkungan berfungsi sebagai ruang tinggal untuk semua aktivitas, dan semua penggunaan yang berlebihan dari fungsi-fungsi ini menghasilkan kesesakan, kemacetan dan kerusakan habitat bagi spesies lainnya. Penggunaan salah satu fungsi secara berlebihan akan mengganggu fungsi lainnya, dan secara luas akan menjadi disfungsi bagi kehidupan manusia.

Moran (Haenn and Wilk 2006: 203) memiliki cara pandang yang sedikit berbeda dalam melihat fungsionalis Steward. Bagi Moran, Steward memandang institusi-institusi sosial memiliki kesatuan fungsi yang memberikan solusi untuk masalah subsistensi. Penggunaan pendekatan fungsionalisme oleh Steward dipusatkan pada pemakaian sebuah variabel dalam kaitannya dengan sekumpulan variabel yang terbatas., tidak dalam hubungan dengan keseluruhan sistem sosial, sehingga tidak terjatuh pada kelemahan arus fungsionalisme Inggris. Fungsionalis Inggris menekankan peran kelembagaan sosial untuk memelihara keseimbangan

kultural. Sementara Steward mengarahkan ekologi budaya pada bagaimana sebuah sistem tunggal berubah dan bagaimana hubungan kausalitas dalam sistem tersebut mampu membawa perubahan.

Pendapat ini dipertegas oleh Geertz (1968: 7) dengan memaparkan perbedaan pokok antara ekologi budaya dengan pendekatan lainnya ialah bukan pada seluruh kehidupan manusia secara luas dan besar, melainkan dalam kecocokan menerapkan konsep dan asas ekologi itu pada aspek-aspek tertentu dari kehidupan sosial dan kebudayaan manusia. Geertz juga menegaskan perbedaan cara pandang ekologi budaya dengan antropologi holisme, karena pendapat Steward berbeda dengan anggapan bahwa segala aspek kebudayaan itu saling berhubungan secara fungsional. Bagi Steward tingkat dan macam hubungan aspek kebudayaan beranekaragam. Dia berusaha mengisolasi aspek-aspek tertentu dari kebudayaan yang sedang dianalisisnya. Ikatan fungsional dengan alam sekitarnya dari aspek-aspek ini tampak sangat eksplisit. Selain itu kesalingtergantungan antara pola-pola kebudayaan dan hubungan organisme lingkungan hidup tampak jelas dan sangat penting. Aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas ini dinamai dengan inti kebudayaan.

Analisis ekologis Steward hanya berlaku pada inti kebudayaan saja. Dalam pendekatan ekologi budaya, perubahan evolusioner besar hanya akan dapat dilihat bila terjadi perubahan inti tekno-ekonomi dan tipe kultur baru akan muncul. Setelah ribuan tahun, kultur dalam lingkungan yang berbeda-beda mengalami perubahan besar dan perubahan itu pada dasarnya merupakan penemuan cara adaptasi baru yang dikehendaki oleh teknologi dan tatanan produksi yang berubah (Sztompka 2007: 136). Merujuk pada uraian Stompka tersebut, dapat disimpulkan bahwa pergeseran teknologi pemanfaatan lingkungan akan menimbulkan perubahan pada unsur-unsur kebudayaan primer.

Sebagaimana dijelaskan juga oleh Steward bahwa ketika inovasi teknologi meningkatkan kemampuan manusia untuk mengendalikan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan, serta sejarah pola perilaku diperkenalkan, signifikansi lingkungan dan kebudayaan telah diubah dan proses adaptif tidak hanya menjadi lebih komplek tetapi juga memperoleh kualitas baru. Begitu pula ketika budaya menyediakan teknik yang lebih efisien untuk kelangsungan hidup, fakta-fakta

penting biologis manusia seperti jenis kelamin, usia, dan hubungan kekerabatan terus mempengaruhi sifat masyarakat tetapi berpola dalam berbagai cara oleh adaptasi ekologis budaya (Steward 1968).

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Steward mengemukakan tiga prosedur fundamental untuk mengaplikasikan ekologi budaya dalam berbagai kondisi budaya dan lingkungan. Ketiga prosedur tersebut cenderung menunjukkan bahwa Steward memiliki pemahaman yang dekat dengan dialektika marxian. Dengan cara pandang materialime, Steward meyakini bahwa tipe-tipe masyarakat tertentu sangat mungkin terbentuk di bawah kondisi teknologi dan lingkungan tertentu. Perhatian Steward tertuju pada proses teknologis dimana manusia mengeksploitasi lingkungan mereka, dan analisanya difokuskan pada bagaimana strategi subsistensi yang berbeda-beda menghasilkan struktur sosial yang berbeda juga (Aguilar 2000: 6). Lingkungan fisik mempunyai efek interaksi langsung hanya pada inti kebudayaan, dan berpengaruh tidak langsung dengan elemen lain dalam sistem kehidupan manusia (Harper 2004: 52). Harper mempertegas bahwa relasi tersebut merupakan dua arah yang interaktif dengan umpan balik atau cybernetic.

Gambar 1. Teori Ekologi Manusia: Hubungan antara Lingkungan Biofisik dan Elemen Sistem Sosiokultur (Harper 2004: 52)

Beberapa literatur mengatakan bahwa Steward terpengaruh dengan pemikiran Marx13, tetapi peneliti cenderung mengikuti cacatan lain yang mengatakan bahwa fokus Steward terhadap teknologi (dimaksud sebagai infrastruktur material) merupakan pengaruh dari pemikiran evolusi materialis (evolusi teknologi) Hendry L. Morgan14. Steward mengkritisi evolusi linear

13

Mila D. Aguilar, 2000 dalam Paper Seminar Cultural Ecology and Neo-Evolutionary Thought. 14

Lihat Political Ecology A Critical Introduction. Paul Robbins 2004:32. Pemikiran Morgan dalam bukunya Ancient Society juga diiktisar oleh Engels dalam tulisannya mengenai evolusi masyarakat manusia. Lihat Koentjaraningrat 2007: 46, Bohannan dan Glazer 1988: 31. Ada kemungkinan keduanya, baik Engels dan Marx serta Steward mendapatkan pengaruh dari pendekatan evolusi teknologi L.H. Morgan. Lingkungan biofisisk Organisasi sosial Struktur sosial Inti budaya, Infrastruktur material Kultur simbolik, pandangan hidup, ideologi

Morgan terutama uraiannya mengenai teori evolusi masyarakat dan kebudayaan yang melewati delapan tahapan tingkat evolusi. Tetapi cara pandang materialis terhadap evolusi Morgan telah mempengaruhinya. Kajian empiris yang meletakkan teknologi dalam melihat adaptasi masyarakat dan lingkungan merupakan pandangan yang berkembang dalam pendekatan materialisme.

Pendekatan ini berusaha menjelaskan ciri-ciri dasar kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan kondisi praktis-material dari eksistensi manusia. Kondisi-kondisi ini meliputi sifat lingkungan fisik, tingkat teknologi dan sistem organisasi ekonomi. Bagian terpenting dari kehidupan manusia adalah adaptasi terhadap lingkungan fisik, dan ini harus dilakukan dengan menciptakan teknologi dan sistem ekonomi. Sekali teknologi dan sistem ekonomi diciptakan, maka ia akan menentukan sifat pola-pola sosial lain yang dilahirkan masyarakat manusia. Jenis teknologi dan sistem ekonomi yang berbeda akan melahirkan jenis pola-pola sosial yang berbeda pula (Sanderson 2000: 7).

Pengembangan pendekatan materialis muncul dalam karya Marx dan Engels mengenai konsepsi materialis tentang sejarah. Marx dan Engels membagi masyarakat manusia ke dalam dua komponen pokok yaitu infrastruktur (kekuatan-kekuatan produksi dan hubungan-hubungan produksi) dan suprastruktur (politik, hukum, kehidupan keluarga, agama serta gagasan). Baik infrastruktur dan suprastruktur, keduanya saling berkaitan. Arus utama hubungan kausalitasnya bergerak dari infrastruktur ke suprastruktur. Marx dan Engels percaya bahwa pola-pola pikiran dan tindakan manusia yang terdapat dalam suprastruktur masyarakat pada umumnya terbentuk dari ciri-ciri infrastruktur masyarakat tersebut. Mereka juga memandang bahwa perubahan sosial dalam suprastruktur terjadi karena adanya perubahan yang telah terjadi di dalam infrastruktur masyarakat. Inilah esensi materialisme mereka (Sanderson 2000: 8)

Ada afinitas yang sama antara teori ekologi budaya dengan pendekatan materialisme Marx ini. Dalam sudut pandang Steward, efek hubungan langsung antara lingkungan biofisik dengan inti kebudayaan (mengacu pada infrastruktur material) dan secara tidak langsung mempengaruhi struktur sosial hingga ke pandangan hidup dengan pola hubungan timbal balik atau cybernetic (Gambar 1).

Materialis memandang variabel-variabel infrastruktur lebih utama karena ia membantu cara-cara dasar di mana manusia memecahkan problem kehidupannya yang paling dasar. Sanderson (2000: 60) mengatakan bahwa infrastruktur material berisi bahan-bahan baku dan bentuk-bentuk sosial dasar yang berkaitan dengan usaha manusia mempertahankan hidup dan berdaptasi dengan lingkungannya. Infrastruktur dibagi menjadi 4 sub unit dasar:

1. Teknologi yang terdiri dari informasi, peralatan dan teknik yang dengannya manusia beradaptasi dengan lingkungan fisiknya. 2. Sistem ekonomi yang teratur dimana barang dan jasa dihasilkan,

didistibusikan dan dipertukarkan diantara para individu dan masyarakat. 3. Ekologi meliputi seluruh lingkungan fisik yang terhadapnya manusia harus

beradaptasi.

4. Faktor demografis yang meliputi sifat dan dinamika penduduk manusia. Dalam perhatiannya terhadap teknologi produksi pada pusat ’inti kebudayaan’ Steward cukup dekat mengartikulasikan pendekatan materialis dalam kebudayaan, yang merupakan sebuah gagasan fundamental moda produksi Marxian. Afinitas kedua teori ini terletak pada pendekatan materialis yang digunakan untuk melihat perkembangan masyarakat15. Perbedaan pendekatan Steward dan Marxian terdapat pada cara Steward memfokuskan keterhubungan antara teknologi, lingkungan dan masyarakat, sebagaimana secara spesifik menjadi uraian pada tiga prosedur dasar metodologi ekologi budaya yang dikembangkannya. Steward tidak melihat sebagaimana karateristik Marxis melihat konflik sebagai penggerak evolusi.

2.2.1. Perubahan Sosial hingga Dikotomi pada Sistem Sosiokultur

Sebuah catatan dari tulisan Barnes, Sea Hunters of Indonesia (1996) yang menjadi perhatian pada penelitian ini adalah mengenai dikotomi pada sistem sosial di Lamalera. Barnes mengatakan bahwa dari sudut pandang kategori-kategori antropologis, Lamalera bisa digambarkan memiliki sebentuk sistem ekonomi campuran yang terbagi atas ekonomi subsisten dan ekonomi pasar,

15

Dengan mengelaborasi dua akar teori Steward dan Marxian serta pemikiran White, telah menyebabkan munculnya sudut pandang cultural materialism. Lihat Marvin Harris. Culture, People, Nature. An Introduction to General Anthropology (1993).

walaupun batasan antara kedua sistem tersebut dapat ditembus. Bisa juga dikatakan mengalami dualisme ekonomi internal terhadap perekonomiannya sendiri. Kategori apapun yang diterapkan ke Lamalera, satu sisi kehidupan di desa ini sangat signifikan menunjukkan jati diri masyarakat sehingga seringkali disayangkan bila digantikan oleh pola-pola pekerjaan yang sesuai dengan perekonomian nasional atau internasional. Tekanan-tekanan serupa ini mungkin juga akan ditemukan pada semua sisi kehidupan masyarakat Lamalera, termasuk dalam kehidupan agama, keluarga, ekonomi dan politik (Barnes 1996: 5).

Kondisi dikotomi yang digambarkan oleh Barnes mengenai kehidupan masyarakat Lefo Lamalera juga merupakan gambaran desa-desa di Indonesia secara umum. Jauh pada masa kolonial, J. H. Boeke seorang ahli antropologi ekonomi telah mengemukakan konsep dualisme dalam sistem sosial di masyarakat16. Boeke (Sajogjo 1982: 1) mengatakan, apabila dalam waktu yang sama terdapat dua atau lebih sistem sosial, dan masing-masing sistem sosial ini jelas berbeda satu sama lain dan masing-masing menguasai bagian tertentu dari masyarakat yang bersangkutan, disitu kita berhadapan dengan masyarakat ganda (dual) atau jamak (plural society).

Penekanan konsep dualisme Boeke diletakkan pada aspek ekonomi, untuk menggambarkan kondisi perekonomian di Indonesia dengan dua sistem ekonomi yang berjalan sekaligus yaitu sistem ekonomi kapitalisme dan sistem ekonomi tradisional. Dualisme akan muncul pada masa-masa peralihan seperti pada masa pra-kapitalisme atau kapitalisme awal (early capitalism). Dalam masyarakat ganda, biasanya salah satu sistem sosial (yang termaju) merupakan sistem sosial yang diimpor dari luar dan hidup dalam lingkungan yang baru tanpa berhasil menyingkirkan atau menyerap sistem sosial lain yang telah lama hidup disitu. Menurut Boeke sifat sosial ganda adalah pertarungan antara sistem sosial impor dari luar lawan sistem sosial asli yang bergaya tersendiri. Sistem sosial impor biasanya merupakan sistem kapitalisme tinggi. Teori ekonomi ganda yang dimaksudkan Boeke adalah adalah tiga teori ekonomi yang menjadi satu, terdiri dari 1) teori ekonomi masyarakat pra-kapitalis, biasanya disebut ilmu ekonomi

16

Pandangan ini banyak mendapat kritik terutama dalam pandangannya yang terlalu menekanan perbedaan antara tata sosial kapitalis dan pra-kapitalis, antara motif ekonomi modern barat dan pribumi.

promitif, 2) teori ekonomi masyarakat kapitalis atau sosialis, biasanya disebut teori ekonomi umum atau ringkasnya teori ekonomi sosial dan, 3) teori ekonomi dari hubungan antara dua sistem sosial yang berbeda dalam satu lingkungan masyarakat (Sajogjo 1982: 3).

Boeke mencoba menggambarkan sifat ganda dalam beberapa ungkapan seperti timur-barat (eastern-western), kota-desa (town-village), asli-asing (native-foreign) ataupun dengan ungkapan ekonomi tanah jajahan (colonial economy) dan ekonomi daerah berilim panas (tropical economy). Tetapi ungkapan yang dipandang meyakinkan untuk menyampaikan gagasannya adalah kata kapitalis dan bukan kapitalis atau pra-kapitalis. Boeke mempertegas penggunaan kapitalis dalam arti materialis. Kapitalisme adalah pandangan hidup.

Menurut Boeke ekonomi pra-kapitalis dicirikan dengan ikatan komunal (communalism); ikatan sosial organik yang asli; Gemeinschaft; pembagian masyarakat atas kelas-kelas tradisional; kebutuhan, paling tidak kebutuhan rakyat banyak, yang terbatas dan sederhana; jual beli tidak ada atau sedikit sekali; yang diproduksi adalah barang pemuas kebutuhan bukan barang dagang; produksi dilakukan dalam dan untuk keperluan rumah tangga; kalau ada produksi untuk pasar, tidak ada pembedaan tajam antara kegiatan usaha dan rumah tangga; tidak ada orang yang pekerjaannya khusus berdagang; keluarga atau keluarga besar dalam produksi dan konsumsi adalah satuan dasar; orang mungkin bekerja bersama-sama, tetapi pembagian kerja sedikit; organisasi ekonomi hampir tidak ada; dan akhirnya, dorongan ekonomi dan bukan-ekonomi campur aduk, ekonomi menduduki tempat lebih rendah, tunduk pada ketentuan agama, tata susila dan tradisi (Sajogjo 1982:12).

Sementara kapitalisme terwujud dalam rasionalitas; berkecenderungan memiliki kepentingan pribadi; tingkat kebutuhan yang terus bertambah tanpa batas; jual beli; kegiatan industri dengan modal sebagai landasan dan laba sebagai tujuan; perbedaan tajam antara kegiatan usaha dan rumah tangga; semua hasil produksi untuk diperdagangkan; pembagian kerja; organisasi dan perencanaan; kontrak dan dalam bentuk perusahaan. Kapitalisme tumbuh berangsur-angsur dari kapitalisme awal hingga kapitalisme akhir. Perkembangan keduanya sangat bergantung pada kapitalisme barat yang berkembang penuh. Pada puncak

perkembangannya kapitalisme tinggi memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut: penggunaan mesin di bidang industri dan angkutan sangat maju; perusahaan tersusun rapi dan terpusat; produksi besar-besaran (Sajogjo 1982:11).

Meskipun memberikan penekanan terhadap aspek ekonomi, akan tetapi Boeke menyadari bahwa pertarungan antara dua tahap sosial itu sebenarnya adalah gejala kejiwaan, yang tercermin juga dalam segi-segi kehidupan lain yaitu dalam bidang perundang-undangan dan pemerintahan, hukum dan peradilan, organisasi sosial, dan juga dalam pandangan manusia mengenai kebutuhannya, penilaian terhadap peristiwa-peristiwa, dalam kerja, agama dan tata susila (Sajogjo 1982: 13).

Pada penelitian ini, dikotomi masyarakat serta dualisme sistem ekonomi menjadi perhatian terutama dalam melihat proses adaptasi terhadap lingkungan. Sistem sosiokultur asli di Lefo Lamalera lahir atas adaptasi terhadap lingkungan biofisik Laut Sawu melalui proses migrasi dan sosialisasi yang panjang dengan masyarakat gunung di daratan Lembata. Sementara itu sistem baru muncul melalui introduksi teknologi. Masih dalam kerangka adaptasi terhadap kondisi ekologis, cara-cara yang lebih efektif dalam mengeksploitasi sumberdaya dilakukan dengan menggunakan teknologi baru sehingga akhirnya mempengaruhi elemen-elemen sosiokultur lain serta melahirkan sistem pengelolaan ekonomi yang berbeda dari bentuk awal yang dibangun di sejarah masyarakat Lamalera.

2.3. Teori Diskursus

Diskursus diartikan sebagai cara untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan. Michel Foucault, pemikir Perancis, menggunakan terminologi ini sebagai dasar teorinya mengenai kekuasaan dan struktur sosial. Bagi Foucoult kekuasaan dan pengetahuan tidak hanya terkait erat, tetapi juga tidak terpisahkan. Bukan hanya tentang kekuasaan pengetahuan tetapi juga mengenai kekuasaan yang mengontrol pengetahuan (Slattery 2003: 208). Dalam pandangannya, siapapun yang memiliki kekuasaan mempunyai kapasitas untuk medefinisikan dan mengontrol pengetahuan dalam wilayah kekuasaannya.

Foucault mengembangkan ide bahwa pengetahuan berperan penting