• Tidak ada hasil yang ditemukan

TERHADAP SISTEM SOSIOKULTUR DI LAMALERA

6.3. Dinamika Penetapan Konservasi Laut di Lamalera

Ada beberapa daftar ancaman terhadap kawasan Laut Sawu yang diuraikan oleh aktivis konservasi. Ancaman tersebut adalah penangkapan ikan yang merusak, pencurian ikan oleh kapal asing, degradasi fisik habitat pesisir dan lautan, eksploitasi yang berlebihan untuk beberapa jenis komoditi perikanan yang bernilai tinggi, pencemaran laut oleh jalur pelayaran serta terancamnya berbagai jenis biota laut seperti paus, lumba-lumba, pari dan penyu. Dengan alasan ancaman yang diurai di atas, maka kawasan laut sawu perlu dikelola dengan menggenalkan konsep ekologi skala besar. Konsep yang ditawarkan oleh WWF untuk mengelola Laut Sawu adalah konsep kawasan bentang laut yaitu pengelolaan areal laut dan pesisir yang saling berhubungan dari sisi ekologi, oseanologi/pola arus dan genetik biota laut.

Adanya kesinambungan yang tinggi antara terumbu karang, bakau dan komponen ekosistem laut di bentang Laut Sawu, maka WWF manyarankan agar bentang laut tersebut dikelola dengan basis ekosistem. Konsep pengelolaan berbasis ekosistem (PBE) berkaitan dengan dua kepemilikan sistem kelola alam: 1) sumberdaya alam yang dieksploitasi berhubungan dengan ekosistem disekitarnya, 2) pemanfaatan sumberdaya alam dapat berpengaruh terhadap sumberdaya lainnya dan aspek ekosistem lain. Dalam pengelolaan ini, Informasi ekologi merupakan sumber utama untuk membuat keputusan personal maupun keputusan sosial. Dengan konsep pengelolaan berbasis ekosistem maka untuk melindungi pokok-pokok ekologi kawasan pesisir, keanekaragaman biologi serta menjamin kemanfaatan berkelanjutan maka dipromosikan pemanfaatan sumberdaya laut yang tepat seperti dengan menggunakan budidaya dan ekowisata.

Konservasi dan KKL merupakan wadah dimana kepentingan untuk menjaga keseimbangan lingkungan laut dapat difasilitasi. WWF pada tahun 2006 datang ke Lamalera untuk mengenalkan masyarakat pada konservasi dan KKL.

Beberapa keuntungan yang akan didapat dari penetapan KKL menurut WWF,

meliputi: 1) memelihara keanekaragaman hayati dan menyediakan tempat

perlindungan bagi spesies, 2) melindungi habitat-habitat penting dari kerusakan oleh praktek penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) dan kegiatan manusia lainnya dan memungkinkan untuk memulihkan kawasan yang rusak, 3) menyediakan tempat bertelur dan berkembang sampai ukuran dewasa bagi ikan, 4) meningkatkan tangkapan ikan (baik secara ukuran dan kuantitas) di sekitar daerah pemancingan, 5) membangun resiliensi untuk melindungi lingkungan dari dampak-dakpak eksternal, seperti perubahan iklim 6) membantu untuk mempertahankan budaya lokal, ekonomi, dan mata pencaharian yang berhubungan erat dengan lingkungan laut dan, 7) menjadi patokan untuk diganggu, bagi ekosistem-ekosistem alami, yang dapat digunakan untuk mengukur dampak kegiatan manusia di daerah lain, dan dengan demikian bisa membantu meningkatkan manajemen sumberdaya.

Pengenalan kepada masyarakat diawali dengan memberikan pengetahuan tentang konservasi dan KKL kepada lima orang kepala suku yaitu Bataona, Belikololo, Lewotukan dan 2 kepala suku tuan tanah Lango Fujjo dan Tufaona. Dalam laporan WWF (2006), disampaikan bahwa pemahaman terhadap konservasi dan KKL dimengerti dengan baik oleh para kepala suku, dan mereka mendukung program MPA karena mereka memahami bahwa perburuan paus akan mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Selain itu mereka juga berpikir bahhwa perburuan tersebut tidak akan mampu mendukung biaya hidup mereka.

Dukungan terhadap konservasi ketika itu dikatakan 100 persen. Meskipun dengan beberapa catatan yang ingin dipertahankan apabila konservasi berjalan, seperti 1) mereka ingin tetap memegang tradisi dan budayanya, 2) mereka tidak mau dilarang untuk berburu paus, 3) mereka memerlukan beberapa training perikanan terutama penangkapan tuna, dan 4) menghentikan nelayan-nelayan luar datang menangkap ikan di Lamalera. Ketika pemahaman mengenai konservasi diberikan kepada kaum muda, kebanyakan memahami secara berbeda, dan mereka

meyakini bahwa konservasi adalah pelarangan bagi penangkapan ikan atau aktivitas lainnya. Dari sejak awal ini dapat diketahui bahwa penerimaan antar masyarakat terhadap konservasi berbeda.

Walaupun memiliki pemahaman yang berbeda, tetapi kehadiran WWF masih diterima dengan baik oleh masyarakat Lamalera. Beberapa program WWF berjalan baik dengan melibatkan masyarakat secara langsung. Salah satu kegiatan besar adalah program photovoice yang terselenggara atas kerjasama antara WWF dengan National Geographic Indonesia. Photovoice disebut sebagai wadah untuk memberdayakan masyarakat melalui photografi, dengan tujuan memberikan informasi visual kepada orang luar mengenai komunitas Lamalera langsung dari masyarakat Lamalera. Dalam sebuah catatan seorang anggota photovoice dikatakan bahwa photo-photo yang dihasilkan akan membantu WWF, LSM lain serta pemerintah untuk mengembangkan serta mengimplementasikan sebuah rencana pengelolaan area dilindungi.

Konflik antara masyarakat Lamalera dengan WWF muncul ketika Agus Darmawan, Direktur Konservasi dan Taman Nasional Laut Ditjen Kelautan Pesisir dan Pulau Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) mengatakan "Laut seluas 4,5 juta hektar tersebut akan menjadi satu-satunya kawasan konservasi nasional yang khusus melindungi ikan paus,". Pernyataan itu disampaikan oleh Agus Darmawan di sela acara seminar nasional "Moluska II: Peluang Bisnis dan Konservasi" di Bogor. Pernyataan Agus Darmawan menjadi berita di Antara pada besok harinya.

Informasi ini berkembang kemana-mana. Mendengar informasi ini, masyarakat Lamalera yang merantau di Jakarta, Kupang, Labuan Bajo dan Loweleba segera menghubungi sanak keluarga mereka untuk mendapatkan informasi mengenai apa yang sedang terjadi di lefo, kegiatan apa yang dilakukan dan kesepakatan apa saja yang dibuat oleh masyarakat dengan WWF selama ini.

Bagi masyarakat di Lamalera, pertanyaan-pertanyaan yang datang dari rantau berbalik menjadi informasi. Walau pernah terlintas pemikiran bahwa konservasi akan berdampak pelarangan untuk berburu paus, tetapi hubungan yang tercipta dengan WWF serta pemahaman mengenai konservasi dan KKL yang

diterima tidak pernah sampai pada pelarangan berburu paus, maka masyarakat tidak menolak kedatangan WWF dan bekerjasama secara baik dengan WWF.

Kehebohan mulai terjadi lefo Lamalera. Beberapa pihak yang dekat dengan WWF dan dipilih untuk membantu program WWF bertahan untuk membina hubungan baik dengan WWF sementara banyak masyarakat berbalik menentang WWF dan program-programnya. Narasi berkembang bahwa konservasi yang dibawa WWF akan melarang mereka untuk berburu paus. Beberapa sosialisasi yang diberikan kembali untuk meluruskan pemahaman pernah dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata, tetapi masyarakat Lamalera lebih percaya dengan apa yang dikatakan saudara-saudara mereka diperantauan. Bahwa konservasi kelak akan mengamcam budaya leluhur mereka.

Selain WWF, sebenarnya di Lamalera juga pernah kedatangan LSM lain yaitu Whale Dolphin Wacthing Program (WDWP). LSM ini adalah LSM kecil yang digerakkan oleh dua orang pecinta satwa dari Eropa. WDWP dengan jelas memberikan alternatif kegiatan pengganti perburauan paus dengan kegiatan menonton paus (whale wacthing). Sebagai contoh, mereka mengenalkan kepada masyarakat tentang kegiatan Pengintaian Paus dan Lumba-lumba (PPLL) di Kaikora-Selandia Baru. WDWP datang ke Lamalera hanya sebentar saja. Selanjutnya dua aktivis mereka kembali ke Eropa. Mereka mengatakan akan menggalang dana di Eropa untuk menjalankan program di Lamalera. Selanjutnya mereka menggandeng satu LSM lokal untuk tetap membangun interaksi dengan masyarakat sampai nanti mereka kembali lagi ke Lamalera dan melanjutkan programnya.

Bagi masyarakat di Lamalera WDWP dianggap sama dengan WWF atau WDWP sebenarnya juga dari WWF. Karena tujuan mereka sama yaitu menghentikan perburuan paus. Aktivis WWF ketika peneliti tanya mengenai WDWP jelas menolak bahwa WDWP adalah WWF. Mereka menyayangkan dugaan yang berkembang di masyarakat. Mereka juga mengatakan bahwa WDWP merusak semua hubungan baik antara WWF dengan masyarakat selama ini. Karena WDWP lah yang berniat untuk menghentikan perburuan paus di Lamalera sedangkan WWF tidak pernah sekalipun mengatakan hal itu kepada masyarakat Lamalera. Whale whacthing adalah ide yang dibawa oleh WDWP. Sedangkan

WWF memilih untuk mengenalkan usaha perikanan yang berkesinambungan (sustainable fisheries) untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.

: Menunjukkan konflik : Menunjukkan aviliasi

Gambar 9. Peta Konflik Konservasi di Lamalera

Kegiatan perikanan berkelanjutan dari WWF dalam bentuk pengenalan rumpon dan penangkapan tuna dengan pancing pada mulanya diikuti dengan baik oleh nelayan Lamalera. Setalah konflik konservasi muncul ke permukaan, program itu dipahami terbalik oleh masyarakat. WWF berusaha merubah pola hidup mereka dengan mengalihkan pencarian masyarakat dari berburu menjadi memancing tuna dan memasang rumpon. Itulah caranya, dimana masyarakat perlahan-lahan dijauhkan dari tradisi berburu sehingga dalam beberapa tahun kemudian generasi yang ada akan lupa bagaimana cara leluhur mereka menikam koteklema. Cara ini adalah sebuah strategi agar WWF tidak perlu secara terbuka menyampaikan kepada masyarakat bahwa berburu paus itu dilarang dan harus dihentikan. Karena masyarakat yakin WWF pasti tahu bahwa masyarakat akan menolak mereka apabila mereka mengatakan secara terang-terangan kepada mereka bahwa konservasi ini jangka panjang bertujuan menghentikan perburuan pada mamalia laut, koteklema.

WWF menyangkal semua asumsi itu. Tidak ada keinginan untuk menghentikan perburuan paus. Kepada peneliti, WWF mengatakan bahwa mereka sadar benar bahwa perburuan paus itu tidak mungkin bisa dilakukan. Walaupun demikian mereka juga paham bahwa perburuan paus tidak memberi andil yang

Masy. Lamalera

PEMDA

WWF WDWP

signifikan bagi perekonomian masyarakat. Sehingga apabila mereka bertahan berburu paus maka tidak akan membantu penghidupan apalagi dengan tingkat kebutuhan yang tidak bisa terpenuhi lagi dengan barter. Seperti biaya sekolah untuk anak-anak, biaya transportasi yang besar, pengobatan bagi yang sakit dan keperluan lain yang membutuhkan uang. Maka WWF berniat untuk membantu masyarakat Lamalera memiliki akses perekonomian di perikanan tangkap yang lebih menjanjikan.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, mengapa LSM lingkungan sebesar WWF bertindak seperti LSM yang bergerak di perekonomian masyarakat? Mengapa program-program yang dijalankan adalah program untuk meningkatkan pendapatan masyarakat? Pertanyaan seperti ini muncul dari PT, seorang tokoh masyarakat Lamalera di Jakarta yang pulang ke lefo ketika itu. PT berpendapat bahwa kerancuan itu jelas menjadi bukti bagi masyarakat bahwa mereka WWF memiliki niat lain diluar apa yang mereka katakan kepada masyarakat. Mereka menutupi target kegitan mereka yang kepada masyarakat.

BB seorang Lamalera di Jakarta mengatakan bahwa masyarakat telah dibohongi. Tetapi ini bukan kesalahan mereka. Karena masyarakat di lefo memang tidak tahu siapa WWF, apa saja kegiatan mereka, dimana mereka melakukan kegiatan dan apa yang menjadi perhatian besar LSM tersebut. Bagi masyarakat ketika WWF datang dengan bantuan dan perhatian yang baik kepada mereka, sudah pasti diterima dengan baik. Tetapi orang Lamalera yang diluar lefo pastinya akan berpikir berbeda. Karena mereka memiliki akses untuk mencari tahu apa yang diinginkan WWF ke Lamalera.

Orang Lamalera diperantauan tidak bisa membiarkan konservasi masuk ke daerah mereka. Oleh karena itu mereka bersepakat untuk menolaknya. Di Lefo Lamalera, masyarakat yang merasa khawatir, tidak berani membuat tindakan tanpa persetujuan dari saudara mereka yang ada di Jakarta, Kupang dan Flores. PKB, orang tua dan tokoh masyarakat Lamalera mengatakan bahwa mereka meminta orang Lamalera di rantau untuk bersama dengan mereka ketika mereka harus berhadapan dengan orang WWF, Pemerintah Lembata dan pihak lain. PKB khawatir apabila masyarakat lefo sendiri menghadapi WWF maka mereka akan

dibohongi kembali. Seperti WWF dan WDWP dulu membohongi mereka dengan tidak jujur mengatakan tujuan mereka melakukan program di Lamalera.

Orang Lamalera di Jakarta dan Kupang memiliki andil besar dalam penolakan Sawu II menjadi wilayah KKPN Sawu. Hal ini juga tidak terlepas dari kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat di lefo kepada mereka untuk tetap mengambil sikap dan memantau setiap perkembangan yang terjadi. Kepercayaan yang diberikan terlihat sangat berlebihan. Masyarakat bahkan tidak mau membuat keputusan dengan pihak luar tanpa melibatkan saudara-saudara mereka di perantauan. Mereka khawatir akan dibodohi oleh WWF, Dinas Kelautan dan Perikanan, WDWP dan LSM lain yang pernah masuk membawa program ke dalam lefo.

Di Jakarta, penolakan terhadap konservasi Laut Sawu mendorong orang Lamalera disana membuat Forum Masyarakat Peduli Tradisi Penangkapan Ikan Paus Lamalera. Forum ini terdiri dari masyarakat Lamalera di Jakarta dan sekitarnya, orang Lembata dan orang Flores yang peduli dengan tradisi ini. Forum ini secara aktif memantau perkembangan di Lamalera. Forum membuat surat pernyataan sikap yang disampaikan kepada Menteri Kelautan dan Perikanaan bahwa mereka menolak rencana Konservasi Laut Sawu khususnya Sawu II. Forum juga secara aktif mengumpulkan dukungan dari ilmuan yang pernah melakukan studi di Lamalera, para wisatawan yang peduli dengan tradisi mereka serta melakukan advokasi melalui surat kabar.

Di Kupang melalui pers, orang Lamalera mengangkat persoalan ini. Mereka juga mengadakan pertemuan-pertemuan untuk mendapatkan opini yang mendukung penolakan Konservasi Sawu terutama yang berhubungan dengan pelarangan berburu paus. Baik di Kupang maupun Jakarta, beberapa orang Lamalera sendiri aktif bergerak di jurnalisme, sehingga tidak mengherankan pada masa-masa konflik antara masyarakat Lamalera dan WWF terjadi, cukup banyak berita pada surat kabar di Kupang dan Flores mengangkat persoalan ini. Sementara di Jakarta, surat kabar Kompas, Media Indonesia dan Antara beberapa kali memberitakan hal ini.

Gambar 10. Peta Usulan Kawasan Konservasi Perairan Laut Sawu.

Sawu II dalam usulan KKP Laut Sawu terdiri dari kawasan pesisir dan perairan di Kab. Flores Timur, Solor, Lembata, Pantar dan Alor. Berdasarkan hasil studi marine biology yang pernah dilakukan dikatakan bahwa wilayah ini merupakan tempat peruaya paus dan lumba-lumba. Arti pentingnya kawasan ini bagi konservasi biota laut menjadi ancaman tersendiri bagi masyarakat Lamalera. Peneliti mengetahui bahwa bagi masyarakat Lamalera berburu paus bukan sebatas kegiatan ekonomi semata, tetapi tradisi yang sarat nilai. Pemaknaan tradisi ini bagi masyarakat Lamalera tentunya lebih dari apa yang peneliti ketahui.

Penolakan Sawu II ke dalam KKPN Laut Sawu oleh masyarakat Lamalera dapat dipahami. Usaha mereka untuk menggagalkannya dilakukan di lefo dengan menyampaikan penolakan kepada Bupati Kab. Lembata dan Dinas Kelautan dan Perikanan. Opini dan dukungan publik didapatkan dengan mengangkat isu ini di surat kabar di Kupang dan Jakarta dan dari Jakarta, BB diutus untuk mengawal World Ocean Conference (WOC) and Coral Triangle Initiative Summit yang dilaksanakan di Manado, Sulawesi Utara pada Mei 2009. Mengutus BB ke WOC di Menado bertujuan untuk memastikan bahwa Sawu II benar dikeluarkan dari KKN Laut Sawu pada saat KKPN ini dideklarasikan. Even ini adalah momen

yang paling penting dalam perjuangan masyarakat Lamalera dalam menggagalkan program konservasi di kampung mereka.

Lamalera tidak hanya berhasil menolak Sawu II dalam KKPN Laut Sawu tetapi Lamalera juga keluar dari KKLD Solar. Meskipun usaha mereka menolak konservasi telah berhasil, tetapi di dalam lefo sebenarnya telah terjadi ketidakharmonisan. Prasangka antar orang merusak hubungan bermasyarakat. Kecurigaan kepada beberapa orang yang dianggap kaki tangan WWF terus bermunculan. Musyawarah di lefo yang diselesaikan untuk menyelesaikan konflik memutuskan bahwa WWF tidak lagi diijinkan datang ke Lamalera, dan masyarakat dilarang untuk membahas lagi masalah konservasi. Semua pembicaraan mengenai konservasi dihentikan, lefo memutuskan tidak akan pernah menerima program tersebut dan masyarakat diminta untuk kembali menjalankan kegiatan sebagaimana biasanya.

Peneliti berada di Lamalera pada saat pembicaraan tentang konservasi tidak boleh lagi dibahas di dalam lefo. Sehingga beberapa informasi kadang kala dikumpulkan secara diam-diam. Memang lefo Lamalera belum tenang sepenuhnya. Ketidakharmonisan dalam masyarakat masih saja ada. Ketika itu musim lefa, musim dimana koteklema paling sering ditemukan bermain diperairan mereka. Di sepanjang tahun ketika lefo dilanda kekacauan, koteklema tidak pernah terlihat. Dalam sistem keyakinannya, masyarakat percaya bahwa ketika lefo dalam keadaan tidak tenang dan tidak harmonis serta rasa percaya dalam msyarakat sangat kurang maka tidak akan pernah berhasil nelayan menikam koteklema. Masyarakat Lamalera harus membayar kekacauan yang terjadi di dalam lefo dengan paceklik dan selama hampir setahun koteklema tidak datang ke kampung mereka.

7.1. Kesimpulan

Perubahan pengelolaan ekonomi dan diskursus konservasi adalah dua topik yang menjadi perhatian dalam penelitian ini. Ada perubahan yang cukup berarti dalam usaha memanfaatkan sumberdaya perikanan di Lamalera saat ini yaitu 1) penggunaan mesin pada tena laja, 2) penggunaan alat tangkap pukat yang mempengaruhi intensitas pengoperasian tena laja. Pada tahun-tahun sebelumnya, di musim lefa hampir semua peledang bertolak ke laut untuk berburu. Akan tetapi di musim lefa tahun ini, setiap harinya rata-rata hanya dua tena laja yang berangkat sementara kegiatan nelayan lainnya beralih ke penggunaan pukat pada malam hari.

Orang Lamalera pernah berbeda pendapat dalam merespon pengoperasian pukat. Kegiatan berpukat telah mengurangi semangat nelayan untuk menghidupkan lefa. Meskipun khawatir kegiatan ini akan mematikan tradisi lefa tetapi likatelo belum bisa membatasi nelayan berpukat oleh karena pukat adalah salah satu cara bagi nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Alat yang dipakai untuk berpukat sendiri, sampan, pukat, mesin johnson dan minyak adalah milik perorangan. Likatelo tidak memiliki kewenangan untuk mencampuri keputusan pada alat produksi perorangan. Apalagi dengan melihat hasil tangkapan dengan yang diperoleh dari pukat cukup banyak (hasil tangkapan pukat yaitu lumba-lumba, pari, hiu, tongkol, tuna, tenggiri, ikan raja dan ikan-ikan ukuran menengah lainnya), maka akan sulit bagi likatelo untuk melarang atau membatasi nelayan Lamalera menggunakan pukat.

Sementara itu program ekonomi perikanan berkelanjutan seperti pancing tuna dengan longline dan rumpon yang diperkenalkan WWF juga mengubah arah pengelolaan produksi nelayan Lamalera. Walaupun konservasi di perairan Lamalera dalam Sawu II dan KKLD Solar berhasil ditolak. Tetapi secara konsep program yang dijalankan oleh WWF memberi ruang terbentuknya jarak antara masyarakat Lamalera dengan tradisi tradisional tikam yang diwarisi dari leluhur mereka.

Perubahan-perubahan tersebut, baik pukat maupun pancing longline dan rumpon digerakkan oleh pihak luar yaitu FAO, Pemda kabupaten setempat dan WWF. Pukat serta konservasi telah mendesak eksistensi sistem produksi tradisional tikam yang merupakan landasan bagi sistem sosiokultur di Lamalera. Beberapa implikasi sosial terjadi karena pergeseran pola distribusi yang tidak merata dari sistem tikam ke sistem pukat. Dampak pola distribusi yang diuraikan Borras dalam kajian kebijakan lahan (2008)37 dapat ditemukan pada masyarakat pesisir Lamalera. Dua perubahan ini (motorisasi dan konservasi) telah menimbulkan akibat pada tiga hal yaitu menimblkan stratifikasi dan polarisasi sosial di masyarakat, menghapuskan sistem asuransi sosial dan, menciptakan ketidakadilan. Kesimpulan ini ditegaskan pula oleh Pastor YPB dalam diskusi peneliti dengan beliau. Pastor YPB mengatakan bahwa perubahan sistem hidup komunitas dari tena laja ke bodi johnson adalah awal bagi sejarah tumbuhnya kapitalisme di Lamalera. Dengan perubahan itu, di Lamalera mulai muncul kelompok masyarakat kaya-miskin sedangkan dulu masyarakat sama rata tanpa kelas. Bagi yang punya uang yang bisa memiliki dan membeli mesin johnson dan pukat. Sedangkan yang tidak memiliki akses terhadap alat tangkap tersebut menjadi buruh bagi kerabatnya sendiri.

Berikut uraian tiga dampak yang peneliti sebutkan diatas Pertama, dampak terhadap stratifikasi sosial dan polarisasi. Stratifikasi sosial tercipta dengan munculnya kelompok masyarakat pemilik alat tangkap dan kelompok masyarakat yang tidak memiliki alat tangkap. Hal ini tidak ada dalam sistem tikam, karena setiap orang merupakan pemilik dan pekerja di tena laja masing-masing. Pada sistem pukat, pemilik alat produksi di satu sisi berbeda dengan tenaga kerja atau meing. Setiap alat produksi, baik perahu sampan, mesin atau jaring pukat dimiliki individu. Meing merujuk pada tenaga kerja yang semata mengandalkan tenaga dan bukan pemilik alat produksi. Pergeseran alat produksi membangun relasi kerja baru yang terdiri dari pemilik alat dan pekerja (owners-workers). Munculnya kelompok-kelompok elit yang baru kelak akan semakin

37

Borras (2008) membagi dampak dari kebijakan lahan berbasis hubungan sosial atas empat tipe yaitu redistribusi, distribusi, non-(re)distribusi dan (re)konsentrasi. Di Lamalera, redistribusi yang berkembang dari sistem pukat menimbulkan pola pembagian hasil yang terkonsentrasi pada pihak-pihak pemilik alat tangkap, terutama pemilik jaring pukat.

tajam menjadi polarisasi sosial. Dugaan kuat peneliti ini didukung oleh kondisi alam di Lamalera, dimana panjang pantai untuk menyimpan tena laja dan perahu sampan sangat terbatas sementara kondisi arus, gelombang dan ombak tidak memungkinkan perahu untuk berlabuh di laut. Ketersediaan tempat merupakan syarat untuk memiliki perahu sampan. Oleh karena setiap jengkal pantai telah dimiliki oleh tena laja masing-masing suku, maka peluang memiliki sedikit ruang di pantai untuk menyimpan perahu sampan perorangan sangat kecil.

Kedua, menghilangkan jaminan sosial seiring tidak adanya organisasi ekonomi uma alep. Menjadi uma alep atau menjadi anggota sebuah tena laja merupakan cara masyarakat Lamalera untuk menjamin keamanan pangan masyarakatnya secara merata. Hak uma berlangsung seumur hidup, seumur tena laja. Apabila seorang anggota uma mulai tua dan tidak bisa berangkat ke laut,