• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksplorasi Geografi Emosi Guru dalam Mengelolah Kelas Daring Selama Pandemi

Dalam dokumen New Normal (Halaman 135-149)

Covid-19

Khoiriyah9 dan Fathur Rohman10

Pengantar

Selama delapan bulan terakhir di tahun 2020 ini, pandemik covid -19, wabah yang berasal dari Wuhan China, merupakan topik yang sangat menarik untuk dibahas. Setelah penyebarannya di seluruh belahan dunia termasuk Indonesia mulai bulan Januari hingga bulan Agustus 2020 berdampak pada seluruh aspek kehidupan sehingga masing-masing negara mengeluarkan kebijakan masing-masing di negaranya. Di Indonesia, wabah pandemic Covid-19 dinyatakan sebagai wabah yang mengharuskan penduduknya melakukan lock down pada akhir bulan Maret 2020. Dengan adanya kebijakan pemerintah untuk melakukan lock down atau pembatasan sosial berskala besar (PSBB), masyarakat harus melakukan isolasi mandiri di rumah masing-masing.

Segala aktifitas di luar dan di kantor semuanya dikendalikan dari rumah yang lazim disebut dengan work from home (WFH). Hal ini terjadi dalam dunia pendidikan dan pengajaran dimana biasanya guru dan murid melakukan interaksi langsung. Suasana pembelajaran lebih leluasa memberi peluang guru dan murid untuk face-to-face [1] dalam menyam-paikan materi dan guru lebih leluasa merancang pembelajaran serta mengelolah kelas. Namun pengelolaan kelas selama masa pandemic Covid-19, baik guru maupun siswa harus berinteraksi dengan jarak jauh karena harus menerapkan social distancing.

Selama masa social distancing, pembelajaran yang dilakukan jarak jauh mengakibatkan banyak hal yang harus diperhatikan oleh guru dan murid antara lain; pertama, bagaimana pola interaksi antara guru dan siswa selama pembelajaran jarak jauh. Kedua, bagaimana pola mengatur formasi tempat duduk [2]. Ketiga, bagaimana pola penyampaian materi dan pemberian tugas. Keempat, bagaimana bentuk tugas yang diberikan.

Kelima, bagaimana pemanfaatan teknologi yang digunakan. Keenam, bagaimana akses internet yang digunakan. Ketujuh, bagaimana

9 Khoiriyah, M Pd. Dosen Program Studi Tadris Bahasa Inggris, IAIN Jember

10 Fathur Rohman, M Pd. Guru Biologi SMP Negeri 9 Pasuruan

dukungan sekolah, pemerintah serta kesiapan orang tua dalam menghadapi model pembelajaran jarak jauh yang dilaksanakan selama masa pandemic Covid-19 ini. Dengan berbagai macam persiapan yang harus dilakukan oleh guru dalam mengelolah kelas, maka diperlukan kesiapan dalam berbagai hal terkait dengan proses pembelajaran yang efektif dan efisien dengan menggunakan teknologi tertentu atau pem-belajaran secara daring.

Model pembelajaran selama pandemic Covid-19 yang mengharuskan guru dan siswa tidak bisa bertatap muka, membutuhkan pengelolaan waktu yang cukup menguras tenaga dan pikiran serta finansial untuk menyediakan koneksi internet [3]. Bagi seorang ibu maupun ayah sekaligus pemimpin keluarga yang berprofesi sebagai guru membutuhkan pengelolaan waktu yang luar biasa dalam mengelolah kelas daring selama pamdemi. Hal ini yang menarik perhatian peneliti bagaimana seorang ibu yang harus mendampingi putra putrinya belajar secara daring di rumah, sementara dia juga harus mengajar siswa di sekolah secara daring juga. Begitu pula dengan ayah, mereka harus menyiapkan gawai untuk putra-putrinya sementara dia juga harus memiliki gawai dan koneksi internet yang cukup lancar untuk melaksanakan kelas daring. Kondisi seperti ini memerlukan alokasi dana yang cukup untuk menyediakan alat teknologi atau gawai yang mendukung.

Walaupun banyak penelitian yang membahas masalah pengelolaan kelas namun jarang yang memperhatikan emosi geografi yang dialami seorang ibu maupun ayah yang merangkap sebagai guru pada masa pandemic Covid-19. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi geografi emosi guru yang merangkap sebagai orang tua dalam mengelolah kelas secara daring. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab masalah yang berkaitan dengan (1) bagaimana pola interaksi guru dan murid selama pembelajaran daring pada saat pandemic Covid-19?, (2) bagaimana perbedaan mengelolah kelas antara ibu yang merangkap sebagai seorang guru dan ayah yang merangkap sebagai seorang guru pada masa pandemic Covid-19? (3) bagaimana kebijakan pembelajaran daring mempengaruhi aktifitas bagi seorang guru yang harus mendampingi putra-putrinya di rumah dengan menggunakan pembelajaran daring?.

Pada penelitian ini, narrative inquiry [9] digunakan untuk menggali data tentang geografi emosi guru dalam mengelolah kelas secara daring dengan merujuk pada Hargreaves [4] tentang geografi

emosi sebagi alat konseptual analitis dengan lima kategori geografi emosi yaitu: Socio-cultural geography, Moral geography, Professional geography, Physical geography, dan Political geography [5], [4], [6], [7], [8]. Adapun partisipan pada penelitian ini adalah dua orang guru yang masih memiliki putra putri yang bersekolah di sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP). Penelitian ini diharapkan mampu memberi kontribusi terhadap guru guru lain yang mengalami permasalahan yang sama.

Geografi Emosi

Geografi emosi pada penelitian ini mengadopsi teori Hargreaves [5], [4], [6], [7], [8] dengan mengelompokkan lima katagori geografi emosi yaitu: Socio-cultural geography, Moral geography, Professional geography, Physical geography, dan Political geography.

Geografi sosiokultural

Geografi sosiokultural merujuk pada kedekatan dan/atau jarak yang diciptakan oleh perbedaan gender, ras, etnik, bahasa, dan budaya.

Guru laki-laki dan guru perempuan dari daerah yang berbeda, dari pelosok desa dan kota, memiliki kebiasaan yang berbeda dan cara yang berbeda. Perbedaan ini akan sangat terlihat ketika mereka berinteraksi dengan siswanya dan juga dengan putra putrinya di rumah. Perbedaan gender, ras, etnik, bahasa, dan budaya akan memunculkan perbedaan emosi yang berbeda pula.

Geografi moral

Geografi moral merupakan geografi yang berkaitan dengan kedekatan dan/atau jarak yang diciptakan oleh perbedaan tujuan dan indra pencapaian dalam praktik professional. Ibu maupun bapak yang berstatus sebagai seorang guru akan dihadapkan pada masa yang amat sulit dan rumit ketika mereka tidak bisa menyelesaikan tugas sekolah sehingga mereka harus membawa tugas tersebut ke rumah. Dengan kondisi demikian tugas yang semestinya dia selesaikan di sekolah, ketika dibawah kerumah, maka akan menyita waktu keluarga untuk menyelesaikan tugas tersebut sehingga porsi waktu untuk keluarga tersita oleh penyelesaian tugas. Hal ini akan berpotensi mengganggu keharmonisan keluarga serta kesehatan mentalnya jika tidak diiringi dengan sikap spiritual yang kuat.

Geografi professional

Geografi professional menjelaskan seberapa dekat atau jauh yang diciptakan oleh perbedaan pemahaman norma professional dan praktik professional. Perbedaan budaya akan memiliki cara pandang yang berbeda terhadap praktek profesionalisme. Ibu guru yang berada di daerah pelosok desa akan memahami praktik profesionalisme yang berbeda dengan bapak guru yang berasal dari kota.

Geografi fisik

Geografi fisik berhubungan dengan kedekatan atau jarak yang diciptakan oleh ruang dan waktu. Karena mengajar secara daring yang membutuhkan gawai yang mutahir seperti teleponan seluler Android dengan aplikasi Zoom, Google classroom, maupun Quipper class serta koneksi internet dan signal yang bagus, maka guru harus dilengkapi dengan alat teknologi tersebut. Begitu pula dengan siswa yang juga menggunakan alat yang sama untuk melaksanakan pembelajaran daring.

Ketika hal tersebut dialami oleh seorang guru yang sekaligus dia adalah orang tua yang memiliki putra-putri yang masih duduk di bangku SD maupun SMP dimana anak-anak tersebut masih tergantung pada gawai yang sama dengan profesi yang diperlukan oleh ibunya maka hal yang amat sulit dan rumit akan dialami oleh kedua belah pihak.

Geografi politik

Geografi politik menjelaskan kedekatan/jarak yang diciptakan oleh perbedaan pemahaman tentang kekuasaan. Dalam konteks pem-belajaran daring di masa pandemi COVID-19, bapak atau ibu yang berstatus sebagai guru juga harus mematuhi kebijakan yang berlaku mengenai sistim pembelajaran dimana mereka bertempat tinggal.

Konteks Penelitian

Bapak dan ibu yang berprofesi sebagai guru dipilih sebagai partisipan karena mereka memiliki kompleksitas aktivitas yang luar biasa. Disatu sisi mereka harus bekerja secara profesiaonal sebagai guru yang harus membimbing siswa dengan menggunakan moda daring sementara disisi lain dia juga harus mendampingi putra putrinya di di rumah dengan cara yang sama. Selain itu waktu untuk memberi pelayanan terbaik untuk istri maupun suami juga harus dia lakukan mengingat suami maupun istri juga butuh perhatian. Kedua partisipan ini berasal dari dua tempat yang berbeda, partisipan 1 adalah seorang ibu

yang berprofesi sebagai guru dan berasal dari pelosok desa sedangkan partisipan dua adalah seorang bapak yang berprofesi sebagai guru dan berasal dari kota. Dengan adanya pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau work from home (WFH) sepertinya guru tidak berbuat apa-apa karena tidak hadir ke sekolahan untuk mengajar sehingga stereotype masyarakat terhadap guru pada masa pandemi tidak melakukan aktivitas mengajar sehingga di masa pandemi ini guru sering mendapatkan predikat

“makan gaji buta” dari warganet dalam dunia maya. Pasuruan dipilih sebagai latar dalam penelitian ini karena kota kecil ini adalah titik temu antara kota-kota besar dalam propinsi yaitu antara Surabaya – Pasuruan – Probolinggo – Jember – Banyuwangi, begitu pula sebaliknya. Begitu juga dari jalur selatan yaitu Malang – Pasuruan – Probolinggo – Jember - Banyuwangi sehingga Kota kecil ini sebagai titik temu penyebaran wabah COVID-19 hingga pada masa normal baru masih dalam kategori zona merah sehingga mereka tidak diperkenankan melakukan pembelajara tatap muka.

Pada penelitian ini, desain penelitian naratif [9] digunakan untuk menggali informasi para partisipan untuk mengetahui cerita kehidupan serta pengalaman seseorang dalam konteks tertentu untuk dimaknai menjadi sebuah pengalaman yang bermakna [10]. Dalam penelitian naratif ini, peran peneliti harus sangat berhati-hati dalam menggali informasi dan menganalisa data informasi karena peneliti kedua yang juga sebagai kolaborator partisipan adalah perpanjangan informasi dari pemikiran partisipan. Oleh karena itu peneliti kedua yang juga sebagai kolaborator harus berkali kali melakukan konfirmasi terhadap partisipan supaya mendapatkan informasi pengalaman yang benar. Kedua peneliti yang bertempat tinggal di kota kecil Pasuruan ini akan mendukung data yang akurat dalam memberi informasi karena sudah mengenal baik letak geografi maupun demografi dari kota dimana tempat penelitian ini diambil.

Pengumpulan dan Analisa Data.

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan aplikasi WhatsApp. Pertama-tama partisipan dihubungi untuk dimintai kesedia-annya menjadi partisipan dalam penelitian. Setelah bersedia, protokol wawancara dikirimkan kepada partisipan melalui WhatsApp dan minta persetujuan untuk melakukan wawancara. Pada saat wawancara yang dilakukan selama tiga kali yaitu pada tanggal 22 Juni 2020, wawancara kedua dilaksanakan pada tanggal 26 Juni 2020, sedangkan wawancara ketiga dilaksanakan pada tanggal 27 Juni 2020 susah dengan durasi

waktu masing-masing partisipan 50 menit setiap kali wawancara.

Partisipan lebih nyaman menggunakan voice note karena mereka bebas berekspresi senang, wawancara pertama dilakukan, sedih, maupun tertekan dengan menggunakan intonasi tertentu dibandingkan dengan menulis pesan di WhatsApp. Langkah selanjutnya peneliti melakukan transkrip dari hasil wawancara melalui voice note. Transkrip hasil wawancara dianalisis dengan menggunakan konsep tematik [11] dengan menganalisa pola yang sering muncul dalam data melalui proses pengkodean dalam kalimat maupun frasa yang menghasilkan sebuah tema.

Adapun proses pemberian kode ini, peneliti merujuk pada teori Hargreaves [5], [6], [7], [8] yang terdiri dari lima geografi emosi yaitu socio-cultural, moral, professional, physical, dan political geography. Melalui lima geografi emosi ini maka akan muncul lima tema yang bisa didentifikasi sesuai dengan konteks bagaimana geografi emosi seorang guru dalam mengelolah kelas daring sekaligus bagaimana mendampingi putra-putrinya yang menggunakan pola yang sama pada masa pandemi COVID-19. Kelima tema tersebut merupakan tema temuan dari penelitian yang diambil sebagai tema hasil temuan.

Pembahasan

Berdasarkan hasil wawancara semi terstruktur dengan dua orang guru yang merangkap sebagai ibu dan bapak dari putra putri yang masih sekolah di SD dan SMP, diketahui ada dua hal pokok yang akan kami ulas dalam pembahasan ini berkaitan dengan pengelolaan kelas daring bagi siswa siswinya di sekolah serta pengelolaan pembelajaran daring untuk mendampingi putra putrinya di rumah dalam waktu yang bersamaan. Dengan kondisi demikian, penelitian ini dirancang untuk mengeksplorasi geografi emosi guru yang merangkap sebagai orang tua dalam mengelolah kelas siswa dan mengelolah jadwal pembelajaran daring di rumah pada masa pandemic Covid-19. Adapun dua tema ini akan diulas untuk menjawab pertanyaan penelitian yang diharapkan bisa memberi kontribusi pemikiran pada guru lain selama wabah pandemic Covid-19 dan pada mase normal baru ini berlangsung.

Dari hasil analisa data dari wawancara terstruktur ditemukan dua tema utama yang masing masing tema akan dijabarkan menjadi beberapa sub tema. Adapun sub tema pengelolaan kelas daring yaitu (1) bentuk interaksi guru dan siswa, (2) bentuk pemberian tugas pada siswa, (3) bentuk penilaian terhadap tugas siswa, (4) penggunaan teknologi [5].

Adapun penyajian data menggunakan tematik berdasarkan lima aspek geografi emosi.

Geografi sosiokultural: Meskipun tidak bertemu kusapa mereka dengan “salam”

Dalam konteks ini, kedua partisipan mengalami hal yang sama dalam hal budaya masayarakat Indonesia yang hangat. Kehangatan tersebut diungkapkan dalam bentuk memberi salam ketika bertemu dengan mengucapkan “Assalamualaikum” dengan mencium tangan pada guru. Hal ini tidak terjadi ketika pembelajaran daring berlangsung. Salam diucapkan ketika mengirim pesan lewat WhatsApp, namun mereka tidak bisa berjabatan tangan menandakan saling berkasih sayang. Selain itu bentuk kehangatan lain yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia termasuk siswa adalah mereka lebih suka berinteraksi langsung sehingga guru bisa menanamkan karakter melalui interaksi ini [12]. Masyarakat Indonesia yang cenderung lebih mengutamakan kebersamaan dalam kehangatan akan mengalami kendala ketika mereka harus dihadapkan pada pembelajaran secara individu dengan alat gawai tertentu [13]. Jadi baik bapak maupun ibu guru memiliki emosi yang sama ketika mereka tidak bisa bertemu dengan siswanya. Begitu pula sebaliknya siswa akan merindukan kehangatan sapaan salam sekaligus panjatan doa-doa dari guru ketika berjabat tangan langsung. Dari interaksi langsung inilah guru bisa menilai aspek sikap siswa sehari-hari selain dari aspek kognitif.

Partisipan 1

Saya itu kalau ketemu siswa mesti mereka lari mengejar saya untuk bersalaman sambil mencium tangan atau “salim”. Saat-saat itu yang amat saya rindukan ketika harus melaksanakan pembelajaran jarak jauh seperti ini. Dari sisi juga saya bisa melakukan penilaian terhadap sikap siswa saya. Kalau penilaian kognitif saya bisa mengambil dari tugas yang dia selesaikan sesuai arahan, tepat waktu, dan isinya sesuai dengan soal yang diberikan. Namun kalau dari kita tidak bisa menilai sikap mereka yang berkaitan dengan etika, akhlak, dan karakter (Pak Amin, wawancara WhatsApp, 27 Juni 2020)

Partisipan 2 adalah seorang ibu guru yang berada di desa dimana koneksi internet sangat sulit karena kendala signal sehingga informasi tentang Covid tidak begitu berdampak pada kondisi emosionalnya. Bahkan siswapun menganggap seperti tidak ada wabah sehingga ketika seorang guru menerapkan protokol kesehatan mereka cenderung mengabaikan.

Apalagi memakai masker yang begitu menyiksa bagi mereka sehingga mereka bergantian memakai masker dengan kelas sebelumnya.

Partisipan 2

Pake masker pun harus maksa. Kadang demi mengumpulkan tugas k sekolah, maskernya gantian dgn kelas sebelumnya. Jadi…ya anak anak merasa tidak nyaman kalau memakai masker. Mereka seperti tidak ada Covid saja, santai ke sekolah ya seperti biasanya…..(Ibu Lara, wawancara voice note WhatsApp, 27 Juni 2020)

Geografi moral: Saya atur ulang jadwal sholat berjamaahku bersama keluarga Kenikmatan yang sangat luar biasa pada saat pandemi COVID-19 adalah ketika jadwal sholat berjamaah bersama keluarga bisa ditata ulang karena saat ini adalah saat yang hampir jarang dilakukan. Berkumpul dengan keluarga pada saat pandemi ini adalah saat dimana keluarga bisa melakukan sholat berjamaah lima waktu karena mereka tidak terikat dengan pekerjaan masing-masing. Seluruh pekerjaan dilakukan dari rumah membuat mereka lebih bisa meningkatkan spiritualitas bersama keluarga. Walaupun beban tugas yang banyak dan semua membutuhkan alat teknologi yang sama dan koneksi internet, mereka bisa mengendalikan dari rumah sehingga rumah merupakan tempat tinggal sekaligus kantor dan tempat transaksi jual beli secara online. Partisipan 1 lebih fokus pada penataan spiritual bersama keluarga sehingga mereka merasakan kenyamanan walaupun tidak bisa kemana-mana karena semuanya bisa dikendalikan dari rumah.

Partisipan 1

Jadi selama pandemic COVID-19 ini kami semuanya berkumpul dimana momen seperti ini jarang kami alami, sehingga kami bisa melatih anak dan keluarga untuk tetap istiqomah berjamaah dan itu menjadi suatu komitmen. Momen seperti ini jarang kami lakukan ketika sebelum pandemic karena kita masih tergantung dengan jadwal ditempat kerja kita masing-masing. Pada saat pandemic ini, saya bebas mengatur jadwal saya termasuk sholat berjamaah karena setelah saya rasakan beban berat yang saya alami bisa mencair ketika bisa selalu bersama-sama beribadah sehingga beban berat itu bisa kita selesaikan (Pak Amin, wawancara voive notes WhatsApp, 26 Juni 2020).

Lain halnya dengan partisipan 2 yang berstatus sebagai guru di Madrasah swasta di pelosok desa. Dia nampaknya tidak peduli dengan adanya isu COVID-19 karena dia lebih fokus pada mendampingi anaknya yang mengalami hyperactive disorder. Bagi partisipan 2 Corona itu seolah olah tidak ada sehingga dia tetap melaksanakan pembelajaran tatap muka terjadwal dengan tidak terang terangan. Sebaliknya

siswa-siswa partisipan 2 ini juga berpendapat yang sama. Mereka menganggap tidak pernah terjadi apa-apa walaupun berita didunia maya begitu gencar tentang penyebaran dan bahaya COVID-19. Mereka bersikap seperti itu karena tidak mengikuti berita apa yang sedang terjadi.

Partisipan 2

Karena anak2 tidak begtu percaya dengan adanya covid karena sudah terbawa dari rumah dan lingkungan. Kadang2 kalau kami terlalu menjaga protokoler kesehatan, mereka bilang; “covid itu ndak ada bu….”.

Geografi professional: Walaupun beban itu berat, saya harus bersikap “solutip”

Kedua partisipan mempunyai cara yang berbeda dalam menyi-kapi serta memberikan tugas pada siswa. Partisipan 1 tetap meng-gunakan protokol kesehatan yang ketat walaupun dia merasa pembelajaran daring sangat memberatkan guru karena dia juga harus mengajari putra di rumah dengan pembelajaran daring sehingga membawa pekerjaan di rumah dengan konekuensi kuota internet harus membeli sendiri dengan berlangganan wifi. Partisipan 1 adalah pak Amin (nama samaran) seorang bapak guru yang berpenghasilan cukup untuk berlangganan wifi sehingga dia tanpa ada keluhan dalam hal finansial.

Namun dia harus bekerja ekstra lebih dibanding dia mengajar secara luring karena waktu yang dia gunakan tidak terikat oleh jadwa pelajaran namun dia bisa membagi waktu 24 jam itu untuk sekolah dan rumah.

Walaupun dia merasa tidak puas dengan pembelajaran daring namun dia merasa datar-datar saja menyikapi kondisi tersebut. Hal ini dikarenakan pak Amin adalah seorang bapak yang sudah matang secara emosional untuk berfikir dan bertindak sehingga dia harus mencari jalan keluar permasalahan yang tidak merugikan siswa dan keluarga. Mendukung dari apa yang disampaikan oleh [14] tentang kondisi pandemi ini memberi kesempatan guru, siswa dan mahasiswa untuk melakukan refleksi dan mencari jalan keluar yang lebih baik. Berikut kutipan wawancara dari kedua partisipan.

Partisipan 1

Pengelolaan kelas, diutamakan dulu koordinasi dengan semua siswa mengenai cara koordinasi, dari penyampaian materi dan tugas. Daerah kami wilayah rawan covid-19 sehingga harus daring. Perasaan kurang maksimal dalam pengelolaan kelas, karena harus daring sehingga kurang cepat bisa memahami kondisi siwa dalam pembelajaran karena tidak bertatap muka langsung, namun kita harus bersikap “solutip”. Ditambah lagi kondisi siswa kami tidak semuanya punya fasilitas Hp Android dan internet

jadi harus sama-sama sabar dan telaten. Siswa juga sabar, orang tua juga sabar, terlebih adalah guru harus supper sabbar, melayani 150 siswa saya satu persatu melalui google class (Pak Amin, wawancara voice note WhatsApp, 22 Juni 2020).

Berbeda dengan pak Amin, Ibu Lara sebagai seorang guru di Madrasah swasta di desa, merasa sangat keberatan model pembelajaran daring. Ibu lara menyatakan bahwa dia tidak melaksanakan kelas daring karena sebagian besar siswanya tidak punya HP, kalau ada yang punya Hp itu mereka pinjam ke orang tua atau saudara. Dengan kondisi yang demikian ibu lara lebih baik tidak melaksanakan kelas daring daripada anak-anak harus ke warung untuk mencari koneksi internet. Ibu Lara lebih menggunakan kelas tatap muka dengan membuat jadwal sendiri dan disetujui oleh kepala sekolah melalui wakil urusan kurikulum.

Jadwal pertemuan seminggu dua kali untuk menyerahkan dan mengambil tugas ke sekolah melalui wali kelas.

Partisipan 2

Kadag punya hp tapi tidak punya kuota. Buka telat lagi tapi sebentar dengan protkol kesehatan Jam juga di tentukan Iy. Tp sbentar dengan protkol kesehatan Jam juga di tentukan. Serba sulit mau di beri tugas tapi tidak pernah di terangkan sehingga tidak bisa menjelaskan. Di beri video tidak bisa di buka..ya dibantu dengan LKS dengan membuat jadwal baru.Misalnya hari ini ada tugas bahasa Inggris..ada pertemuan lagi nanti ketemu hari sabtu maka pada hari sabtu itu tugas bahasa Inggris tersebut harus dikumplkan melalui wali kelas. (Ibu Lara, wawancara Voice note WhatsApp, 22 Juni 2020)

Geografi fisik: Jika tidak bertemu terasa ada yang hilang

Pengalaman kedua partisipan sama tentang bagaimana mereka berinteraksi dengan siswa. Keduanya menyatakan bahwa pembelajaran secara daring tidak bisa memberi kesempatan untuk langsung berin-teraksi sehingga keduanya menunjukkan kurang antusias dan meng-alami kesulitan dalam pembelajaran. Bentuk interaksi jarak jauh dimana guru berada di rumah dan siswa juga berada di rumah hanya menyajikan kata kata dalam bentuk pesan membuat mereka merasa ada yang kurang sebagaimana respon dari partisipan 1 dan partisipan 2 tentang interaksi dengan siswa. Temuan ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Moorhouse [15] tentang pembelajaran daring selama pandemi hanya memaksa guru dan siswa untuk seolah-olah mereka berinteraksi secara langsung seperti kutipan wawancara berikut.

Partisipan 1

Pengelolaan kelas, diutamakan dulu koordinasi dengan semua siswa mengenai cara koordinasi, dari penyampaian materi dan tugas. Daerah kami wilayah rawan covid-19 sehingga harus daring. Perasaan kurang maksimal dalam pengelolaan kelas, karena harus daring sehingga kurang cepat bisa memahami kondisi siswa dalam pembelajran karena tidak bertatap muka langsung.(pak Amin, wawancara Whats App, 22 Juni 2020) Partisipan 2

Ya lebih baik luring bu….karena kalau tidak bertemu anak anak terasa ada yang kurang dan anak-anak tidak begtu percaya dgn adanya covid karena sudah terbawa dari rumah dan lingkungan. Kadang2 kalau kami terlalu menjaga protokoler kesehatan, mereka bilang covid itu ndak ada bu. Di era pandemik tidak ada pembelajaran sama sekali karena masa transisi antara pandemi dan normal karena belum ada persiapan sehingga hanya menggunakan WA..tugas tugas di foto dan dikumpulkan ke sekolahan (Ibu Lara, wawancara, voice note WhatsApp, 22 Juni 2020) . Geografi politik: Saya menghabiskan kuota internet tiga kali lipat, sedangkan

saya guru honorer di sekolah swasta

Secara geografi politik, kondisi yang dialami oleh Pak Amin selaku partisipan 1 berbeda dengan kondisi yang dialami oleh Ibu Lara sebagai partisipan 2. Pak Amin yang berdomisili di kota tidak mengalami kendala jaringan internet dan signal. Pak Amin juga tercukupi dengan fasilitas gawai dan jaringan internet pribadi serta signal sehingga dia tidak mengalami kendala dalam mengelolah kelas daring. Hal ini karena Pak Amin sudah mempersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya bagaimana mempersiapkan kelas daring mulai dari persiapan: (1) melakukan pendataan siswa satu kelas dalam WhatsApp group, (2) mengecek kembali bagi siswa yang tidak punya gawai dan yang mempunyai gawai, (3) melakukan koordinasi bagaimana prosedur pemberian materi dan sistim penilaian yang semua dilakukan dengan menggunakan gawai WhatsApp. Dari cara menata dan merancang pembelajaran daring ini partisipan 1 lebih siap dan lebih tertata pengelolaannya mulai dari persiapan, pelaksanaan, sampai pada penilaian, semuanya disosialisasi-kan pada siswa dengan jelas.

Partisipan 1

Selagi ada signal internet saya tanggapi wajar-wajar saja, kalau memang pemerintah menyarankan untuk melaksanakan pembelajaran daring…ya saya laksanakan…kalau nanti disarankan luring, ya luring saja itu lebih baik. Walaupun membutuhkan kuota internet ya…saya

Dalam dokumen New Normal (Halaman 135-149)