• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sapenake

Dalam dokumen New Normal (Halaman 81-87)

Psikologi Jawa: Menghadirkan Ajaran Lama Enem Sa dalam Kebiasaan Baru (New Normal)

6. Sapenake

Prinsip terakhir dari Ajaran Enem Sa ini memiliki kata dasar penak atau enak, artinya dalam hidup seseorang perlu berpegang pada prinsip sapenake (seenaknya). Namun jangan sampai dimaknai sebagai bentuk egoisme yang membiarkan seseorang berbuat sakepenanake dhewe (seenaknya sendiri) atau sakarepe dhewe (semaunya sendiri). Sapenake merupakan rasa yang tidak hanya mementingkan kenyamanan diri sendiri, tetapi juga kenyamanan orang lain [4].

Lalu bagaimana penerapannya? Misalnya dalam kebutuhan dasar berupa pangan, maka jika kita lapar tentu segera mencari makanan untuk memenuhi kebutuhan. Namun jika makanan yang ditemukan tidak hanya satu jenis saja, dan dirinya mampu membeli semuanya, maka dirinya akan menyantap sesuai dengan kebutuhan (sabutuhe), secukupnya saja (sakukupe), dan seperlunya saja (saperlune). Meskipun dirinya bisa memilih tempat makan yang mewah dan mahal, namun tetap memilih yang penting makanan itu sehat dan mengenyangkan.

Tidak jarang orang memaksa makan di tempat yang mewah demi mengejar keinginan sehingga mengabaikan kemampuan, kekepantasan dan kenyamanan. Saat inilah kita kembali mengingat prinsip sabenere, samesthine, dan sapeknake agar tidak terjebak di tempat makan yang mewah atau mahal, tetapi pada khirnya memberatkan diri dan merasa canggung karena tidak terbiasa. Melalui satu contoh sederhana ini, tampak bahwa enam prinsip dalam Ajaran Enem Sa harus wutuh (satu kesatuan), tidak berdiri sendiri-sendiri.

Sejalan dengan hal itu, menurut Triwikromo [9] ada banyak cara yang harus dilakukan agar orang Jawa tidak hidup dalam situasi yang kokehan atau berlebihan. Jika segala sesuatu masih berada dalam takaran sesuai dengan kebutuhannya, dan memang diperlukan, serta sudah semestinya dilakukan, maka lakukanlah dengan secukupnya dan

cara-cara yang sebenarnya dan senyamanannya. Sebagai contoh, saat merasa lapar (luwe), maka makanlah (mangan), tetapi jangan lantas mongan-mangan atau berkali-kali makan. Demikian pula saat mengantuk (ngantuk), maka tampak wajar saja jika kemudian menguap (angop), tetapi jangan lantas ongap-angop (berkali-kali menguap) saja. Kalau sudah begitu seharusnya (semesthine) segera mapan turu (tidur), tetapi jangan lantas tura-turu (berkali-kali tidur). Tampak bahwa tindakan yang semula wajar dan positif jika dilakukan sekali saja sesuai kebutuhan (sacukupe), keperluan (saperlune), kecukupan (sacukupe), dan sudah sepantasnya (samesthine) agar tetap nyaman (sapenake) akan berubah menjadi ketidakwajaran atau hal negatif jika hal itu dilakukan berkali-kali dan meninggalkan prinsip 6Sa. Seperti dalam kasus kebutuhan tidur tadi, maka yang perlu diingat bahwa memilih papan nggo turu (tempat tidur) tetap berpegang pada prinsip samesthine (sepantasnya) saja, meski ada prinsip sapenake buakan berarti harus bermewah-mewah, karena prinsip sapenake ini tidak berdiri sendirian tetapi berkaitan dengan prinsip “sa”

lainnya. Tampak bahwa prinsip-prinsip dalam Ajaran 6 Sa sesungguhnya mengajarkan pola hidup yang sederhana.

Pola Hidup Sederhana

Tidak dapat dimungkiri bahwa sebelum Pandemi Covid-19 betapa mudahnya kita menghabiskan waktu lebih lama dari yang seharusnya saat datang ke pusat perbelanjaan, sehingga mudah tergoda untuk membeli barang atau mengkonsumsi sesuatu yang kadang bukan karena kebutuhan tapi lebih pada keinginan. Tidak dimungkiri bahwa keberlimpahan materi dan kelonggaran waktu yang kita miliki acapkali meningkatkan hasrat akan hal-hal yang sebenarnya tidak kita butuhkan sehingga jauh dari kesederhanaan [6]. Sementara sejak Pandemi Covid-19, maka pola hidup kita mengalami perubahan, daam segala aspek kehidupan, terutama dalam kegiatan ekonomi dan relasi. Terkait dengan ekonomi, tidak sedikit orang yang terdampak pandemi secara langsung sehingga mengalami penurunan pendapatan atau bahkan kehilangan pekerjaan. Kehidupan mereka yang sudah terbatas pada awalnya menjadi semakin sulit pada saat ini. Sementara sebagian lainnya secara ekonomi mungkin saja tidak terdampak langsung pada pendapatan, tetapi turut merasakan dampak akibat pembatasan sosial maupun fisik yang telah diterapkan. Keluar rumah seperlunya saja, secukupnya dan utamanya pada hal-hal yang menunjang kebutuhan pokok. Keperluan rekreatif mau tidak mau dibatasi dan kebiasaan yang berlebihan dalam menggunakan sumber daya, baik material (uang atau barang), maupun

non-material seperti waktu, jasa, dan kesenangan lainnya mau tidak mau terbatasi pula. Dengan kata lain, hidup mulai harus kembali cermat, hemat, dan tepat dalam segala hal. Keterbatasan di masa Pandemi Covid-19 ini sudah semestinya menjadi momentum untuk membangun dan menguatkan kesetiakawanan sosial atau solidaritas sosial dalam kehidupan masyarakat. Kelompok masyarakat yang masih berkecukupan secara ekonomi diharapkan semakin memiliki kepedulian pada kelompok masyarakat yang kesulitan hidupnya. Hidup hemat, cermat, dan tepat dalam menggunakan sumber daya yang dimiliki sejalan dengan prinsip pola hidup sederhana. Hidup sederhana adalah perilaku yang disesuaikan dengan kebutuhan dasar atau kebutuhan utama. Setelah kebutuhan dasar dipenuhi, kebahagiaan tidak lagi ditentukan oleh banyaknya barang yang dimiliki [8].

Dalam perspektif agama Islam, pola hidup sederhana sejatinya telah dicontohkan dalam kehidupan Rasulullah Muhammad Saw.

Berdasarkan salah satu hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim menyebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw sangat sederhana dalam hal berpakaian, tempat tinggal, maupun makanan. Meskipun Allah Swt menawarkan emas sebanyak butiran pasir di gurun kota Makkah kepada Rasulullah, namun Beliau tidak pernah silau dengan kenikmatan duniawi. Dalam konsep Islam, kesedehanaan ini dekat dengan apa yang disebut zuhud. Namun zuhud menurut Nabi Muhammad Saw merupakan jalan tengah atau i’tidal dalam menghadapi segala sesuatu, bukan berarti meninggalkan urusan dunia sama sekali, tetapi mengingatkan manusia untuk tidak terlena dengan keindahan duniawi.

Sebagaimana Beliau pernah bersabda dan diriwayatkan dalam salah satu hadist bahwa “bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya, dan beramal-lah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok pagi” [10].

Menurut Al-Ghazali [11] orang yang zuhud memiliki tolok ukur sederhana dalam pemenuhan kebutuhan pokok, seperti makanan pakaian, dan tempat tinggal. Dalam hal makanan, Al Ghazali menekankan pada tiga pertimbangan, yakni jenis makanan, waktu menyantap, dan kuantitas atau jumlah yang disantap. Orang zuhud akan mengonsumsi secukupnya makanan sekedar menahan lapar dan menambahkan kekuatan pada tubuh agar dapat beribadah kepada Allah Swt. dengan sempurna. Dari aspek pakaian, Al-Ghazali membaginya menjadi tiga tingkatan, yakni pakaian rendah dengam harga murah dan tidak brkualitas, pakaian sederhana, dan pakaian tingkat tinggi yang

mahal dan mewah. Orang zuhud akan memilih pakaian dengan tujuan untuk melindungi diri dari cuaca panas atau dingin, bukan dengan tujuan untuk brmewah-mewah, sehingga pakain yang dipilih cenderung sederhana dan tidak perlu mahal. Demikian pula dalam hal tempat tinggal. Orang zuhud memilih tempat tinggal yang memudahkan mereka untuk beramal dan beribadah pada Allah Swt sehingga yang diutamakan adalah kebersihan dan kemudahan untuk mendapat tempat untuk ibadah, bukan kemewahannya. Dengan kata lain, zuhud mengajarkan manusia untuk hidup sederhana. Kesederhanaan yang mengedepankan kebijaksanaan dalam memenuhi kebutuhan hidup, tidak berperilaku secara berlebihan, dan menghamba pada materi.

Pola hidup sederhana juga membiasakan kita cerdas dalam mengambil keputusan, tidak bersikap boros karena terbiasa hemat dan cermat dalam mengelola sumber daya, serta membiasakan kita lebih pandai bersyukur atas apa yang sudah dimiliki, sehingga hidup menjadi lebih tenang dan bahagia [12]. Dan kebahagiaan bukanlah tentang apa yang kita inginkan, melainkan menginginkan apa yang sudah kita miliki dan bahagia juga tidak mengejar kepuasan, tetapi mensyukuri apa yang sudah dimiliki [6].

Penutup

Untuk dapat mengubah perilaku tentu saja tidak dapat dipisahkan dari tata nilai yang diyakini seseorang ataupun sekelompok orang.

Sebagai salah satu nilai-nilai hidup, maka sudah saatnya Ajaran Enem Sa kita hadirkan kembali sebagai bagian dari tata nilai dalam kebiasaan baru yang mencerminkan pola hidup sederhana, yang dekat dengan kehidupan orang-orang zuhud. Melatih hidup sederhana dapat diajarkan orang tua kepada anak-anak sejak dini dan dimulai dari cara mengenali dan membedakan antara apa yang sesungguhnya menjadi kebutuhan-nya, dan apa yang merupakan keinginan. Dengan kata lain, sederhana

mengarahkan anak pada perilaku yang disesuaikan dengan keadaan yang sebenar-benarnya, senyatanya, dan apa adanya sejalan dengan prinsip (sabenere). Hidup yang menekankan pada pemenuhan kebutuhan utama yang sejalan dengan prinsip sabutuhe. Dengan demikian, anak akan terbiasa untuk melakukan segala sesuatu seperlunya dan secukupnya saja (saperlune dan sacukupe), tidak terjebak untuk berfoya-foya atau bermegah-megah demi menuruti keinginannya, karena mempertimbangkan kepatutan dan kenyamanan (samesthine dan sapenake). Selain itu, pola hidup sederhana juga melatih kemampuan anak untuk mengelola apa yang sudah dimiliki dapat bermanfaat sebanyak-banyaknya, baik bagi dirinya maupun orang lain [13].

Rujukan

[1]. Darmanto, Jt. Psikologi Jawa. Yogyakarta: Bentang Budaya. 1997.

[2]. Darmanto, Jt. Psikologi Jawa Jangkep. Semarang: Limpad. 2004.

[3]. Prihartanti, N. Kepribadian Lintas Indigenus Lintas Budaya. Surakarta:

Muhammadiyah University Press. 2019

[4]. Afif, A. Ilmu Bahagia Menurut Ki Ageng Suryomentaram. Sleman:

Pustaka Ifada. 2012.

[5]. Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892-1962) Bagian II. Posted by Marcel Bonneff (https://langgar.co/ki-ageng-suryomentaram-bagian-ii/), diunduh 20 Juli 2020.

[6]. Anwar, D. Hidup Sederhana. Jakarta: PT Gramedia. 2015.

[7]. Maslow, A.H. A Theory of human motivation. Psychology Review, Vol.50 (4), 370-396. 1943.

[8]. Jay, F. Seni Hidup Minimalis. Jakarta: Kompas Gramedia. 2019 [9]. Triwikromo, T. Kokehan. Kolom Pringitan di Suara Merdeka,

Minggu, 21 Oktober 2018.

[10]. Hidayati, T.W. Perwujudan Sikap Zuhud dalam Kehidupan.

Millati: Journal of Islamic Studies and Humanities. Vol. 1(2), 91-106.

2016.

[11]. Ismail, A.M. Konsep Zuhud Menurut Imam Ghazali. Proceeding International Conference On Islamic Educations. Selangor: UKM. 2014.

[12]. Sumarti, Roshonah, A.F., Yifiarti, Maznah, N., Widiati, Y., &

Perwitasari. Seri Pendidikan Orang Tua: Membiasakan Hidup Sederhana (Penyunting: Agus Mohamad Solihin, Suradi). Jakarta:

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2018.

[13]. Solihin, A.M., Prabowo, Y.T., Zakaria, M.R., & Hayati, L.Seri Pendidikan Orang Tua: Menanamkan Hidup Sederhana. Jakarta:

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2016.

Bab 6

Menggagas Edukasi Masyarakat Era New

Dalam dokumen New Normal (Halaman 81-87)