• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.2 Hasil Analisis Data

4.2.1 Analisis Elemen Pokok Wacana Argumentasi

4.2.1.2 Elemen Alasan

Alasan adalah bukti-bukti yang bersifat khusus yang diperlukan untuk mendukung pernyataan. Alasan atau bukti pendukung dapat berupa data statistik,

contoh, ilustrasi, penalaran, observasi eksperimental, dan materi ilmu pengetahuan umum, maupun pengujian. Kesemua alasan tersebut mendukung pernyataan.

Dalam wacana argumentasi, elemen alasan merupakan elemen yang menduduki posisi kedua terbanyak setelah elemen pernyataan. Berdasarkan analisis data, ditemukan sebanyak 199 kalimat dalam 14 wacana yang termasuk ke dalam elemen alasan. Data tersebut disajikan di antaranya adalah sebagai berikut.

1. “Pertama, kalau melihat ke belakang khususnya saat melakukan penjaringan nama-nama calon menteri yang akan duduk di Kabinet Kerja Jokowi-Jusuf Kalla, pola penjaringan Presiden Jokowi terbilang cukup baik karena melibatkan KPK dan PPATK guna mengetahui rekam jejak mereka.” (A5.1, 13/01/15)

(Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Baharuddin selaku Aktivis Jogja Police Wacth yang menanggapi kasus calon tunggal Kapolri pilihan Presiden Jokowi. Penulis memberikan penalaran dengan kembali melihat konsep penjaringan yang dilakukan Jokowi dengan melibatkan KPK dan PPATK. Pemaparan alasan ditandai dengan awalan kata “pertama” lalu penulis menjabarkan penalarannya.)

2. “Mungkin para pembaca masih ingat di era Orde Baru berkuasa tidak ada yang berani menyebut Presiden Soeharto hanya dengan sebutan “Soeharto” tanpa embel-embel “Presiden” atau “Bapak Presiden”.” (B3.1, 20/02/15)

(Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Yulius Dwi Cahyono, M.Pd. selaku Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma yang menanggapi kesantunan berbahasa kaum intelektual

di media massa. Penulis memberikan alasan berupa contoh betapa kesantunan berbahasa begitu diterapkan ketika pembicaraan menyinggung orang-orang yang berkuasa. Contoh itu berupa penyebutan “Bapak Presiden”.)

3. “Di media televisi mereka berbicara dengan mudah dan ringannya ketika menyebut nama sesorang entah yang memiliki kedudukan atau tidak semisal Presiden Jokowi hanya disebut Jokowi. Gubernur DKI Basuki Tjahaja Poernama alias Ahok hanya disebut Ahok.” (B6.1 dan B6.2, 20/02/15)

(Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Yulius Dwi Cahyono, M.Pd. selaku Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma yang menanggapi kesantunan berbahasa kaum intelektual di media massa. Penulis memberikan alasan berupa contoh betapa mudahnya media menyebut presiden dengan memanggil namanya saja. Contoh lain berupa penyebutan “Ahok”.

4. “Misalnya, DPR RI sejak awal sudah lebih dahulu memberikan tekanan, dengan pengajuan revisi Undang-Undang KPK, dengan mencoba menghapus fungsi penuntutan Komisi. DPR juga bersikeras mengharuskan KPK melakukan penyadapan hanya atas izin pengadilan.” (C6.2 dan C6.3, 27/01/15)

(Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Mardiyanto selaku Managing Coordinator Mishbah Cultural Studies Center yang menanggapi kasus KPK dan Telikungan Habitus Korupsi. Penulis memberikan penalaran bahwa DPR sejak awal telah memberikan tekanan terhadap KPK dengan membatasi keleluasaan KPK dalam

menyelidiki kasus korupsi. Alasan berupa penalaran ini ditandai dengan adanya kata “misalnya”.)

5. “Maka, “ihwal kegentingan yang memaksa” terkait kondisi KPK, bila mengacu pada Pasal 21 ayat (5) UU KPK tersebut, dapat dimaknai sebagai kondisi di mana pimpinan KPK tidak dapat lagi menetapkan kebijakan-kebijakan penting KPK yang menyangkut fungsi dan kewenangannya dalam upaya memberantas tindak pidana korupsi. Sehingga bila dikaitkan dengan kondisi KPK kekinian, meskipun jajaran pimpinan KPK aktif yang tersisa hanya tinggal tiga orang, yaitu Abraham Samad, Adnan Pandu Praja, dan Zulkarnaen, akan tetapi ketentuan konstitutif “ihwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5) UU KPK belum dapat terpenuhi.” (D6.1 dan D6.2, 03/02/15)

(Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Sumarsih selaku Peneliti Alwi Research & Consulting / Alumnus Fisipol UGM yang menanggapi wacana Perppu Imunitas KPK. Penulis memberikan penalaran mengenai pasal-pasal yang mengatur keabsahan putusan KPK, dengan jumlah pimpinan KPK aktif sebanyak tiga orang maka putusan dinilai sah, sehingga pembuatan Perppu tidak begitu mendesak. Alasan berupa penalaran ini ditandai dengan adanya kata “maka”, “bila”, “sehingga”, dan “meskipun”.)

6. “Ini berarti memberikan celah terhadap ketentuan jumlah

pimpinan KPK aktif yang berada di dalam institusi KPK untuk dapat menetapkan kebijakan tertentu. Sebab, keputusan yang ditetapkan oleh tiga atau empat pimpinan aktif keduanya telah memenuhi ketentuan konstitutif yang termaktub dalam frasa “Pimpinan KPK” dan “Kolektif kolegial”.” (D7.3 dan D7.4, 03/02/15)

(Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Sumarsih selaku Peneliti Alwi Research & Consulting / Alumnus Fisipol UGM yang menanggapi wacana Perppu Imunitas KPK. Penulis memberikan alasan berupa penalaran mengenai frasa yang dimaksud dalam sebuah Undang-undang yang mengatur kebasahan keputusan yang dikeluarkan oleh KPK. Alasan berupa penalaran ini ditandai dengan adanya frase dan kata “ini berarti” dan “sebab”.)

7. “Pertama, para tersangka kasus dugaan korupsi, termasuk di Yogyakarta, bisa jadi akan berduyun-duyun melakukan gugatan praperadilan atas penetapan tersangka yang ditetapkan oleh kejaksaan maupun kepolisian.” (F13.1, 17/02/15)

(Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Baharuddin selaku Aktivis Jogja Police Watch yang menanggapi adanya implikasi pasca vonis BG. Penulis memberikan alasan berupa penalaran mengenai dampak yang timbul akibat gugatan praperadilan atas penetapan tersangka korupsi terhadap BG yang kemudian dimenangkan oleh pihak BG. Alasan berupa penalaran ini ditandai dengan adanya kata dan frasa “pertama” dan “bisa jadi”, lalu penulis menjabarkan penalarannya.)

8. “Jika tujuan hukuman adalah memberi efek jera, sudah barang tentu hukuman mati adalah sebuah bentuk perlindungan negara terhadap pelaku kejahatan. Tidak bisa dianggap lagi sebagai bentuk pelanggaran.” (G11.1 dan G11.2, 24/02/15)

(Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Mardiyanto selaku Managing Coordinator Mishbhah Cultural Studies Center yang menanggapi tentang daulat hukuman mati di Indonesia. Penulis memberikan penalaran mengenai bagaimana Indonesia melihat dan memahami sebuah kasus, lantas menindak lanjuti hukuman dari kasus yang dilihat. Alasan ini untuk memperkuat pernyataan bahwa Australia berusaha menggoyahkan keteguhan Indonesia dalam mengeksekusi dua warga Negaranya. Alasan berupa penalaran ini ditandai dengan adanya kata dan frasa “jika” dan “sudah barang tentu”, lalu penulis menjabarkan penalarannya.)

9. “Publik tentu patut mewaspadai manuver DPR terkait rencana amandemen UU KPK tersebut. Sebab, menurut salah satu pimpinan KPK, Zulkarnaen, UU KPK masih relevan dan memadai untuk diterapkan pada saat ini. Dengan kata lain, dari sisi esensi dan urgensi, amandemen terhadap UU KPK belum menemukan relevansinya yang memaksa untuk harus segera diamandemen.” (H3.1, H3.2, dan H3.3, 03/03/15)

(Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Pangky T. Hadiningrat selaku Direktur Eksekutif Research Center for Democratic Education yang menanggapi adanya potensi pelemahan UU KPK. Penulis memberikan alasan berupa penalaran bahwa UU KPK masih layak dan belum mendesak untuk dilakukan amandemen. Alasan ini digunakan untuk memperkuat pernyataan bahwa manuver DPR perlu untuk diwaspadai. Alasan berupa penalaran ini

ditandai dengan adanya frasa dan kata “public tentu patut” “sebab”, dan ”dengan kata lain”.)

10. “Misalnya, rencana menghilangkan kewenangan penyadapan (Pasal 7), rencana memberikan kewenangan penghentian perkara (Pasal 40), dan penyitaan harus dengan izin pengadilan (Pasal 47). Bila substansi materi itu terealisasi dalam amandemen UU KPK mendatang, maka KPK jelas bukan semakin kuat, melainkan semakin lemah dan mudah diintervensi.” (H4.2 dan H4.3, 03/03/15)

(Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Pangky T. Hadiningrat selaku Direktur Eksekutif Research Center for Democratic Education yang menanggapi adanya potensi pelemahan UU KPK. Penulis memberikan alasan berupa ilustrasi dan penalaran mengenai UU KPK jika telah diamandemen justru semakin mempersempit ruang gerak KPK dalam menyelidiki kasus korupsi. Alasan ini digunakan untuk memperkuat pernyataan bahwa manuver DPR perlu untuk diwaspadai. Penulis memberikan alasan berupa contoh dan penalaran upaya pelemahan KPK. Alasan berupa contoh dan penalaran ini ditandai dengan adanya frasa dan kata “misalnya”,“bila”, “maka”, “jelas”, dan “melainkan”.)

11. “Bagaimana mungkin kita dapat memaksakan gubernur DIY

harus laki-laki, sementara penentuan penerus takhta Kasultanan Ngayogyakarta menjadi kewenangan raja yang bertakhta.” (I7.1, 10/03/15)

(Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Winarta Hadiwiyono selaku Deputi Direktur Independent Legal Aid Institude

Yogyakarta yang menanggapi isi pesan Sabdatama Sultan HB X. Penulis memberikan alasan berupa penalaran bahwa calon penerus tahta diputuskan oleh gubernur DIY jadi masyarakat tidak dapat memaksakan gubernur DIY adalah laki-lak. Alasan berupa penalaran ini ditandai dengan frasa “bagaimana mungkin” dan kata “sementara”.)

12. “Contoh kasus yang masih hangat adalah kasus hukuman mati terhadap para pengedar narkoba di Indonesia dari Brazil, Belanda, dan Australia.” (J6.2, 17/02/15)

(Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh J Yulius Dwi Cahyono, M.Pd selaku Deputi Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma yang mengkritisi ingatan kolektif bangsa. Penulis memberikan alasan berupa contoh beberapa Warga Negara Asing yang terlibat kasus kriminal berat di Indonesia, yang vonis hukuman matinya dihalangi oleh Negara mereka. Ketiga Negara itu berdalih, vonis mati adalah pelanggaran HAM. Alasan berupa contoh ini ditandai dengan kata “contoh”. Contoh ini untuk memperkuat pernyataan mengenai pentingnya Indonesia membentengi kedaulatan hukumnya dengan menelusuri sejarah, sehingga bangsa ini dapat dengan tegas menjalankan vonis terhadap terdakwa kasus kriminal berat.)

13. “Salah satu contoh upaya dari Australia yang masih hangat dalam ingatan adalah adanya tawaran pertukaran narapidana.” (J8.1, 17/02/15)

(Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh J Yulius Dwi Cahyono, M.Pd selaku Deputi Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma yang mengkritisi ingatan kolektif bangsa. Penulis memberikan alasan berupa contoh upaya Australia menyelamatkan warganya dari vonis hukuman mati dengan cara pertukaran narapidana. Alasan berupa contoh ini ditandai dengan frasa “salah satu contoh”).

14. “Apabila peran justice collaborator yang termaktub dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 itu kemudian diamputasi, tentu bisa dibayangkan betapa sulitnya para penegak hukum negara ini untuk menuntaskan pelbagai kasus korupsi yang terjadi.” (K8.2, 24/03/15)

(Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Pangky T. Hidayat selaku Direktur Eksekutif Research Center for Democratic Education yang mengkritisi rencana pemberian remisi terhadap terpindana kasus korupsi. Penulis memberikan penalaran mengenai sulitnya memecahkan kasus korupsi jika peran justice collabobator dihapuskan. Justice collabobator adalah narapidana yang diajak bekerja sama memberantas kasus korupsi. Penalaran ini untuk memperkuat bahwa Kemenkumham merupakan kementrian dari pemerintahan Jokowi-JK yang sering mengeluarkan kebijakan yang

controversial. Alasan berupa penalaran ini ditandai dengan kata “apabila” dan “tentu”.)

Berdasarkan sample dari analisis data yang dipaparkan di atas, pada bagian alasan, penulis menyajikan alasan berupa penalaran, ilustrasi dan contoh. Penalaran dan ilustrasi ditandai dengan ditemukannya frasa dan kata, di antaranya “misalnya”, “bila”, “melainkan”, “sebab”, “justru”, “betapa tidak” dan “sama artinya”. Pemaparan contoh ditandai dengan adanya kata “contoh” atau “contohnya”, lalu penulis memaparkan bukti-bukti yang dapat memperkuat pernyataan yang sebelumnya dipaparkan. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Abdul Rani (2014:41) bahwa pada bagian alasan, penulis memaparkan contoh, ilustrasi, penalaran, yang mana bukti-bukti yang bersifat khusus tersebut menguatkan pernyataan penulis.

Dokumen terkait