• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.2 Hasil Analisis Data

4.2.1 Analisis Elemen Pokok Wacana Argumentasi

4.2.1.3 Elemen Pembenaran

Pembenaran adalah pernyataan yang menunjukkan kaidah-kaidah umum untuk mempertahankan pernyataan. Pembenaran sebagai jembatan penghubung antara pernyataan dan alasan. Dengan alasan dan pernyataan, pembenaran dapat dipertahankan dan diterima secara rasional.

Dalam wacana argumentasi, elemen pembenaran merupakan elemen yang terdapat pada setiap wacana, meskipun jumlahnya tidak sebanyak elemen pernyataan dan alasan. Berdasarkan analisis data, ditemukan sebanyak 54 kalimat dari 14 wacana yang termasuk ke dalam elemen pembenaran. Data tersebut disajikan di antaranya adalah sebagai berikut.

1. “Disertai alasan. Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia menyebutkan bahwa Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sedangkan ayat (2) mengatakan, usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri yang diajukan Presiden kepada DPR disertai alasannya.” (A11.1 dan A11.2, 13/01/15)

(Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Baharuddin selaku Aktivis Jogja Police Wacth yang menanggapi kasus calon tunggal Kapolri pilihan Presiden Jokowi. Penulis yang memiliki latar sosial sebagai salah seorang pengamat kinerja aparat kepolisian ini menunjukkan pembenaran umum berupa pasa-pasal. Pembenaran iyang berdasar pada pasal-pasal ni untuk mempertahankan pernyataan mengenai pengankatan dan pemberhentian Kapolri.)

2. “Keterlibatan institusi dalam upaya melindungi diri secara satire pernah dikritik oleh budayawan Emha Ainun Najib dalam bukunya Kiai Bejo, Kiai Untung, dan Kiai Hoki. Dalam tulisannya ia menyebut, “Kita adalah masyarakat yang melarang siapa pun melakukan korupsi, kecuali kita kecipratan. Kita tidak ikhlas ada KKN, kalau tidak dilibatkan di dalamnya. Korupsi tidak haram asalkan yang melakukan adalah keluarga kita sendiri, bapak kita, tokoh parpol kita, atau ulama panutan kita”.” (C7.1, C7.2, C7.3, dan C7.4, 27/02/15)

(Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Mardiyanto selaku Managing Coordinator Mishbah Cultural Studies Center yang menanggapi kasus KPK dan Telikungan Habitus Korupsi. Penulis memberikan pembenaran mengenai perlidungan secara satire oleh sebuah instuisi seperti yang disebutkan oleh seorang budayawan Emha Ainun Najib. Pembenaran ini untuk memperkuat pernyataan

penulis bahwa Polri senantiasa bermanuver manakala anggotanya berseteru dengan KPK. )

3. “Di antaranya, dijelaskan dalam Pasal 22 ayat (1) Undang- Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu bahwa Presiden berhak mengeluarkan Perppu hanya bila terjadi kondisi “ihwal kegentingan yang memaksa”.” (D3.3, 03/02/15)

(Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Sumarsih selaku Peneliti Alwi Research & Consulting / Alumnus Fisipol UGM yang menanggapi wacana Perppu Imunitas KPK. Penulis memberikan pembenaran dari pasal yang terdapat pada UUD mengenai Perppu yang dikeluarkan presiden. Pembenaran ini untuk menguatkan alasan bahwa Perppu dikeluarkan jika telah memenuhi syarat- syarat yang telah ditetapkan oleh undang-undang Pembenaran ini ditandai dengan frasa “di antaranya dijelaskan dalam”.)

4. “Landasan pemerintah dalam melakukan eksekusi hukuman mati kuat karena memiliki dasar hukum tetap : selain tercantum di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juga tercantum di dalam perundangan yang lain, antara lain Undang- undang (UU) No 22 tahun 1997 tentang Narkotika, dan UU No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.” (G5.1, 24/02/15)

(Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Mardiyanto selaku Managing Coordinator Mishbhah Cultural Studies Center yang menanggapi tentang daulat hukuman mati di Indonesia. Penulis memberikan pembenaran berupa landasan hukum mengenai narkotika yang tercantum dalam KUHP. Pembenaran ini untuk

memperkuat pernyataan mengenai eksekusi terpidana mati yang harus ditegakkan tanpa terpengaruh oleh pihak-pihak asing, khususnya negara asal terpidana. Pembenaran ini ditandai dengan frasa “tercantum dalam”, “juga tercantum”, dan “antara lain”.)

5. “Dalam latar hukum di Indonesia, sejatinya terdapat dua konsep

hukuman yang diterapkan. Satu sisi sebagai bentuk

pemasyarakatan. Artinya, terpidana merupakan warga binaan yang berada di dalam pengawasan lembaga pemasyarakatan (Lapas), mereka adalah terpidana yang diusahakan dapat diperbaiki, dibina dan diberi bekal hidup sebagai warga yang berguna di dalam masyarakat. Satu sisi lainnya, para terpidana yang mendapat hukuman maksimal atau berat, yakni hukuman mati karena melakukan kejahatan “luar biasa” dan sah secara undang- undang dipidana hukuman mati.” (G9.1, G9.2, G9.3, dan G9.4)

(Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Mardiyanto selaku Managing Coordinator Mishbhah Cultural Studies Center yang menanggapi tentang daulat hukuman mati di Indonesia. Penulis memberikan berupa penjelasan mengenai 2 konsep hukuman yang terdapat di Indonesia. Pembenaran ini untuk memperkuat pernyataan bahwa Indonesia memiliki dua konsep hukuman, dan praktik hukuman mati selalu menuai pro dan kontra, termasuk di dalam negeri. Pembenaran ini ditandai dengan frasa “sejatinya terdapat dua konsep”, “satu sisi sebagai”, dan “sisi lain sebagai”.)

6. “Sabdatama Sultan yang merupakan hukum tertinggi di keraton telah memberi arah yang jelas kepada Panitia Khusus DPRD DIY dalam menyelesaikan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Istimewa (Raperdais) tentang Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur.” (I3.1, 10/03/15)

(Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Winarta Hadiwiyono selaku Deputi Direktur Independent Legal Aid Institude Yogyakarta yang menanggapi isi pesan Sabdatama Sultan HB X. Penulis memberikan pembenaran berupa prinsip bahwa sabdatama merupakan hukum tertinggi di keraton. Pembenaran ini untuk memperkuat pernyataan penulis bahwa Sabdatama harus menjadi acuan semua pembahasan, termasuk paugeran kraton maupun peraturan perundang-undangan Negara.)

7. “Pada pasal itu disebutkan bahwa setiap negara peserta konvensi wajib mempertimbangkan memberikan kemungkinan dalam kasus- kasus tertentu untuk mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang diterapkan dalam konvensi tersebut.” (K6.1, 14/03/15)

(Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Pangky T. Hidayat selaku Direktur Eksekutif Research Center for Democratic Education yang mengkritisi rencana pemberian remisi terhadap terpindana kasus korupsi. Penulis memberikan pembenaran mengenai ketentuan yang ditetapkan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Antikorupsi bahwa remisi terhadap tahanan korupsi wajib dipertimbangkan kembali. Pembenaran ditandai dengan adanya klausa “pada pasal itu disebutkan bahwa”.)

8. “Gejala umum meningitis pada mereka yang berusia di atas 2 tahun adalah demam tinggi, sakit kepala, lemah, dan kekakuan

leher. Gejala ini bisa berkembang dari beberapa jam, atau mungkin sampai 1-2 hari. Gejala lain bisa berupa mual, muntah, tidak nyaman dengan cahaya terang, bingung, dan mengantuk.” (L3.1, L3.2 dan L3.3, 31/01/15)

(Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Addina Azca Cahyasari selaku Peneliti di Research of Healt and Pharmacology yang menyumbangkan argumentasinya mengenai penyakit meningitis yang serupa dengan sakit flu biasa. Penulis memberikan pembenaran berupa ciri bahwa gejala meningitis pada anak di atas dua tahun seperti gejala-gejala flu pada umumnya.)

9. “Perpres itu merupakan revisi Perpres sebelumnya yakni Peraturan Presiden No 68 Tahun 2010 (Tribun Jogja 3 April 2015).” (M1.3, 07/04/15)

(Keterangan: Kalimat di atas ditulis oleh Paulus Mujiran selaku Ketua Pelaksana Yayasan Soegijapranata Semarang yang mengkritisi tunjangan pembelian mobil pribadi bagi anggota DPR. Penulis memberikan pembenaran berupa hukum bahwa Perpres No 39 tahun 2015 tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka Bagi Pejabat Negara telah diganti menjadi Perpres No 68 Tahun 2010, dengan kenikan nominal menjadi Rp 210. 890 juta. Pembenaran ditandai dengan adanya klausa “itu merupakan revisi”.)

Berdasarkan sample dari analisis data yang dipaparkan di atas, pada bagian pembenaran, penulis menyajikan penguatan berupa pembenaran umum yang berasal dari pasal-pasal. Selain pasal-pasal, pembenaran juga dapat berupa konsep

dan kaidah. Hal ini sesuai dengan pemikiran Abdul Rani (2014:41), bahwa pada bagian pembenaran, penulis memaparkan kaidah umum sebagai jembatan penghubung antara pernyataan dan alasan.

Dokumen terkait