• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II STUDI KEPUSTAKAAN

2.2 Landasan Teori

2.2.4 Hakikat Konteks Ekstralinguistik

2.2.4.4 Elemen dan Fungsi Konteks Sosietal

2.2.4.4. Elemen dan Fungsi Konteks Sosietal

Menurut Poedjosoedarmo (1985) dalam (Baryadi 2015: 24) terdapat beberapa komponen tutur yang dapat dirumuskan dalam istilah memoteknik OOEMAUBICARA. Komponen ini merupakan pengembangan konsep yang dikemukakan oleh Dell Hymes dengan penjelasan sebagai berikut, (1) O1= orang ke satu atau penutur. Asal, latar belakang penutur (menyangkut jenis kelamin, golongan kelas masyarakat, umur, jenis profesi, etnik dan aliran kepercayaan), keadaan fisik, keadaan mental dan bagaimana kemahiran bahasa O1 mempengaruhi pertuturan. Sebagai contoh umur O1 yang lebih tinggi daripada mitra tuturnya akan menimbulkan pertuturan yang berbeda. Dalam hal ini O1 akan lebih dihormati dan disegani oleh O2. (2) O2= orang kedua atau mitra tutur. O2 berhubungan dengan seberapa tinggi tingkatan sosial dan seberapa akrab hubungan O2 dan O1. Apabila O2 dan O1 memiliki hubungan yang akrab maka pertuturan akan lebih santai begitu pula sebaliknya

Selanjutnya, (3) E= warna emosi O1. Warna emosi mencakup keadaan marah, gugup, sakit. Oleh karena itu ketika penutur sedang merasa gugup maka akan melontarkan ujaran yang putus-putus, terbata-bata, dan kurang teratur baik frasa maupun kata-katanya. (4) M= maksud dan tujuan percakapan. Maksud dan kehendak O1 mempengaruhi tingkat tutur, ragam, dialeg maupun pemilihan ungkapan tertentu. Sebagai contoh apabila penutur

26

memiliki maksud untuk memarahi maka akan menggunakan ungkapan tertentu misalnya umpatan dengan nada tinggi dan ragam kasar atau makian. (5) A= adanya O3 dan barang-barang lain disekeliling adegan percakapan. Hal ini disebabkan adanya O3 yang diikutsertakan dalam percakapan. Oleh karena itu terjadi pengubahan kode bahasa, misalnya percakapan O1 dan O2 yang bermula menggunakan Bahasa Jawa beralih menjadi Bahasa Indonesia karena hadirnya O3 yang berasal dari luar Jawa. (6) U= urutan tutur. Urutan tutur atau urutan bicara dipengaruhi oleh aturan yang ada dalam masyarakat, bahwa yang berstatus sosial lebih tinggi atau orang yang lebih tua harus berbicara terlebih dahulu.

Elemen konteks berikutnya adalah (7) B= bab yang dipercakapkan; pokok pembicaraan. Bab yang dibicarakan mempengaruhi warna bicara atau ragam bahasa tertentu. Misalnya sedang membicarakan sebuah isu sosial dalam sebuah forum maka warna bicara akan lebih serius menggunakan ragam resmi. (8) I= instrumen tutur atau sarana tutur. Sarana tutur meliputi bahasa lisan dan tulis. Sarana tersebut meliputi, telepon, handphone, email dan sebagainya yang mempengaruhi ujaran penutur. (9) C= citarasa tutur. Nada suara bicara mempengaruhi ragam bahasa penutur. Misalnya ragam bahasa santai, formal maupun ragam bahasa indah. (10) A= adegan tutur, dipengaruhi oleh waktu, tempat dan peristiwa (dipengaruhi pula oleh kualitas suprasegmental tutur dan pilihan pokok pembicaraan) misalnya, percakapan

27

yang terjadi di gereja atau masjid akan dilakukan dengan sopan dan tidak bersenda gurau. Begitu pula saat upacara bendera berlangsung pertuturan dilakukan tidak terlalu keras dan khidmad. (11) R= register tuturan atau bentuk wacana. Di dalam masyarakat terdapat wacana yang sudah mapan atau memiliki struktur yang sudah diketahui oleh masyarakat seperti surat menyurat dinas, pidato, seminar, ujub, tajuk rencana. Misalnya bentuk wacana pidato dimulai dengan sapaan, salam, perknelan, isi pidato dan penutup. (12) A= aturan atau norma kebahasaan. Norma kebahasaan dipengaruhi oleh situasi masyarakat pemakai bahasa. Sebagai contoh dalam pertuturan di masyarakat Indonesia dianjurkan untuk tidak menanyakan usia, jumlah gaji, hal-hal yang bersifat pribadi, dan menghindari kata-kata yang dianggap tabu. Hal tersebut akan menentukan variasi bahasa yang akan dipilih oleh penutur.

Terdapat beberapa fungsi konteks sosietal yang dikutip dari penelitian Lastri Rindiyantika yang berjudul ”Kajian Elemen dan Fungsi Konteks Sosietal dalam Maksud Berkomunikasi antara Mahasiswa dan Dosen FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Tahun Akademik 2017/ 2018”. Adapun beberapa fungsi dari konteks sosietal, antara lain

(1) Memberikan penjelasan informasi rinci

Fungsi ini berkaitan dengan pengetahuan penutur maupun mitra tutur. Pengetahuan tersebut berupa pengetahuan tentang suatu peristiwa, pengalaman, informasi yang lebih rinci.

28

(2) Memberikan informasi situasi dan kondisi peserta tutur

Fungsi ini menerangkan situasi penutur dan mitra tutur saat pertuturan berlangsung. Dalam fungsi ini meliputi kondisi fisik, seperti raut wajah atau ekspresi, gerakan tubuh atau bahasa verbal peserta tutur. Misalnya ekspresi senyum disertai ucapan terima kasih, anggukan kepala, maupun menunjuk pada suatu benda atau arah. (3) Memberikan informasi sebab terjadinya tuturan

Fungsi ini menandai bahwa terdapat situasi, peristiwa, kejadian atau kondisi yang menjadi alasan berlangsungnya suatu tuturan. Misalnya percakapan yang dilakukan untuk memastikan sebuah informasi atau kejadian yang sebelumnya berlangsung antara penutur dan mitra tutur.

(4) Memberikan informasi tambahan

Fungsi ini adalah memberikan infromasi lebih lanjur dan tidak terbatas dari informasi yang diperoleh sebelumnya. Dengan demikian mitra tutur akan memperoleh tambahan pemahaman agar informasi yang diperoleh menjadi lebih jelas.

2.2.4.5 Konteks Kultural

Halliday (1989) mengemukakan bahwa konteks kultural “context cultural is the institusional and ideological background that give a value to the text and constrain its interpretation. Artinya, konteks kultural merupakan suatu latar

29

belakang institusional dan ideologis yang memberikan sebuah nilai pada suatu tuturan yang harus diinterpretasikan, karena sistem nilai tersebut menggambarkan suatu kebudayaan tertentu. Konteks kultural dalam penelitian ini akan dilakukan untuk menganalisis data pertuturan antara rohaniwan dengan umat di Gereja Santo Petrus Kanisius Wonosari Gunungkidul.

Konteks kultural adalah suatu sistem nilai dan norma yang mempresentasikan kepercayaan di dalam kebudayaan tertentu. Sistem nilai ini meliputi segala sesuatu yang dipercaya benar atau salah, baik atau buruk, termasuk di dalamnya adalah ideologi, yang menyangkut keteraturan sosio yang berlaku secara umum di dalam kebudayaan. Dari penjabaran pengertian konteks kultural di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa konteks kultural merupakan sistem nilai, norma, kebudayaan maupun ideologi yang dianut oleh suatu masyarakat tertentu.

2.2.4.6 Elemen dan Fungsi Konteks Kultural

Dalam memahami pertuturan, terdapat beberapa komponen-komponen yang digunakan untuk menentukan konteks kultural. Dell Hymes dalam Mulyana (2005: 23-24) merumuskan ihwal faktor-faktor penentu peristiwa tutur dalam konteks kultural. Melalui akronim SPEAKING setiap fonem tersebut mewakili faktor penentu yang dimaksudkan, yaitu settings, participants, ends, act of sequence, keys, instrumentalities, norms and genres. Berikut penjelasann singkat mengenai akronim SPEAKING:

30

1) S : Setting and scene, artinya latar dan suasana. Latar (setting) lebih bersifat fisik (physical circumstances), yang meliputi tempat dan waktu berlangsungnya pertuturan. Suasana (Scene) mengacu pada situasi psikologis penutur maupun mitra tutur ketika pertuturan berlangung. Situasi tersebut santai, serius, atau netral dan sebagainya. Sebagai contoh latar yang yang terjadi di gereja saat ibadah berlangsung, menimbulkan suasana yang khidmad, sopan dan situasi yang serius.

2) P : Participants, menyangkut peserta tutur atau pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan yang sedang berlangsung. Pihak-pihak tersebut antara lain, pembicara, pendengar, penyapa, pesapa, pengirim maupun penerima pesan. Dalam pertuturan melibatkan partisipan atau peserta tutur, misalnya pertuturan di pasar melibatkan penjual dan pembeli dalam kegiatan transaksi jual beli yang diasumsikan penjual menjadi pengirim informasi, sedangkan pembeli sebagai penerima informasi.

3) E : Ends, merujuk pada maksud dan tujuan yang hendak dicapai dalam sebuah pertuturan. Tujuan pertuturan tersebut misalnya, membujuk, merayu, menyuruh, memberikan informasi maupun mempengaruhi). 4) A : Acts if sequence, menunjuk pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Isi

ujaran dan bentuk ujaran memiliki keterkaitan. Sebagai contoh seorang guru yang hendak menasehati siswa tentu menggunakan bentuk ujaran

31

yang tegas. Begitu pula saat seseorang sedang marah biasanya mengunakan bentuk dan isi ujaran yang kasar, memaki atau mencemooh.

5) K : Key, mengacu pada nada, cara dan semangat yang digunakan dalam berlangsungnya proses komunikasi. Hal ini mengacu pada ekspresi penutur dan petutur, misalnya suatu pesan disampaikan dengan senang hati, serius, mengejek, dan sebagainya. Misalnya pertuturan pembina upacara yang memberikan amanat mengenai semangat kemerdekaan tentu akan menggunakan nada yang bersemangat dan berapi-api.

6) I : Instrumentalities, yakni sarana atau alat yang digunakan dalam proses komunikasi. Misalnya, sebuah komunikasi disampaikan dengan melalui, ujaran lisan maupun tulis, telegram atau telepon dan sebagainya.

7) N : Norm of Interaction and Interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam berkomunikasi. Dalam berkomunikasi terdapat norma-norma dan aturan sosial yang harus ditaati, yakni apa yang seharusnya dibicarakan dan yang tidak boleh dibicarakan serta bagaimana penutur dan petutur menanggapi pembicaraan tersebut. Misalnya, dalam sebuah pertuturan disarankan agar tidak menanyakan usia, hal-hal yang bersifat pribadi maupun tabu.

32

8) G : Genre atau jenis percakapan. Sebagai contoh, jenis percakapan yang diungkapkan dalam puisi akan berbeda dengan ceramah maupun doa. Misalnya, ketika pembacaan doa, maka pertuturan akan menggunakan jenis atau genre yang lembut dan sopan. Pranowo (2012) mengartikan genre sebagai (ragam register) yang mengacu pada ragam formal, santai, dan sebagainya.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh saudari Priscilla Felicia Elu yang berjudul ”Kajian Elemen dan Fungsi Konteks Sosio-Kultural dalam Menentukan Maksud Berbahasa Para Mahasiswa Berlatar Belakang Kultur Jawa Prodi PBSI Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada Semester Gasal Tahun Akademik 2017/ 2018”. Terdapat beberapa fungsi konteks kultural yakni (1) memberikan keterangan/ informasi situasi dan kondisi peserta tutur, (2) memberikan keterangan/ informasi pengetahuan peserta tutur, (3) memberikan keterangan/ informasi sebab terjadinya tuturan dan pengetahuan peserta tutur, (4) fungsi konteks memberikan keterangan kronologi tuturan, (5) fungsi konteks memberikan keteranfan / informasi sebab tuturan terjadi/ peristiwa sebelum tuturan terjadi, dan (6) memberikan informasi tambahan mengenai peserta tutur.