i SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Disusun oleh:
Rebecca Ayu Ciptaningtyas 151224021
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2019
SKRIPSI
KAJIAN PRAGMATIK KONTEKS EKSTRALINGUISTIK PERTUTURAN ANTARA ROHANIWAN DENGAN UMAT: STUDI KASUS
Oleh:
Rebecca Ayu Ciptaningtyas
NLM: 151224021
Telah disetujui oleh
31 Mei 2019
KAJIAN PRAGMATIK KONTEKS EKSTRALINGUISTIK PERTUTURAN ANTARA ROHANIWAN DENGAN UMAT: STUDI KASUS
Dipersiapkan dan ditulis oleh Rebecca Ayu Ciptaningtyas
NIM: 151224021
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 8 Juli 2019
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
Nama Lengkap
Ketua : Rishe Pumatna Dewi, S.Pd., M.Hum. Sekretaris
Anggota 1 Anggota2 Anggota 3
: Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. : Dr. B. ~idharyanto, M.Pd. : Prof. Pranowo, M.Pd.
: Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum.
iii
Y ogyakarta, 8 Juli 2019 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma
iv
Seiring dengan ucapan syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat dan rahmad
yang telah dilimpahkan, sehinga saya dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Saya
mempersembahkan karya ini untuk:
Kedua orang tua saya, Bapak Antonius Edi Purwanta dan Ibu Yustina Maria Sri Astuti yang
selalu setia dan henti memberikan dukungan baik secara moril, materiil dan spiritual selama
proses belajar dan penyelesaian tugas akhir ini.
Kakak saya Angela Janice Christian Dewi yang telah menemani, memberikan nasehat dan
dukungan selama proses belajar dan penyelesaian tugas akhir ini.
Bagi teman-teman senasib seperjuangan Yosefin Ratnalestari, Anastasia Wilis Novita, Yohanna
Dwi Setyaningsih, Oktaviano Aditya Murti, dan Metodius Ardana yang telah membantu dan
memberikan dukungan selama penyelesaian tugas akhir ini.
Bagi teman-teman yang selalu ada untuk saya Yosefin Ratnalestari, Angela Marlyn Primatika,
dan Ririn Siswanti.
Bagi teman-teman PBSI angkatan 2015 yang selama ini telah memberikan dukungan,
v
Lakukanlah segala pekerjaanmu dalam kasih!
(1 Korintus 16:14)
Dream, believe and make it happen.
(Agnezmo)
“It’s your road and you are alone. Others may walk with you, but no one can walk It for you.”
PERNY ATAAN KEASLIAN KARY A
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa, skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah.
vi
Yogyakarta, 8 Juli 2019
Penulis
PUBLlKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswi Universitas Sanata Dharma
Nama : Rebecca Ayu Ciptaningtyas
NIM : 151224021
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, Skripsi saya berjudul:
KAJIAN PRAGMATIK KONTEKS EKSTRALINGUISTIK PERTUTURAN ANTARA ROHANIWAN DENGAN UMAT: STUDI KASUS
Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perJu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama say a sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Y ogyakarta
Pada tanggal: 8 Juli 2019
~~
enYntakan
\'Rebecc
~OZ
n~as
viii
Ciptaningtyas, Rebecca Ayu. 2019. Kajian Pragmatik Konteks Ekstralinguistik Pertuturan antara Rohaniwan dengan Umat: Studi Kasus. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, FKIP, USD.
Penelitian ini membahas kajian elemen dan fungsi konteks ekstralinguistik dalam pertuturan antara rohaniwan dengan umat. Penelitian ini dilakukan karena adanya tuturan antara rohaniwan dengan umat yang dipengaruhi oleh konteks atau latar belakang berbeda-beda, sehingga menghasilkan maksud dan makna berbeda-beda pula. Tujuan dari penelitian ini, yakni (1) mendeskripsikan elemen konteks ekstralinguistik dalam pertuturan antara rohaniwan dengan umat di Gereja Katolik Santo Petrus Wonosari Gunungkidul, (2) mendeskripsikan fungsi konteks ekstralinguistik dalam pertuturan antara rohaniwan dengan umat di Gereja Katolik Santo Petrus Kanisius Wonosari.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini adalah rohaniwan dan umat di Gereja Katolik Santo Petrus Kanisius Wonosari. Sementara itu, data berupa tuturan antara rohaniwan dengan umat yang di dalamnya mengandung konteks ekstralinguistik. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak dengan teknik Simak Libat Cakap (SLC), Simak Bebas Libat Cakap (SBLC), teknik rekam dan teknik catat. Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan teknik analisis deskriptif.
Hasil dari penelitian ini yaitu, (i) konteks ekstralinguistik muncul pada tuturan antara rohaniwan dengan umat yakni 10 konteks sosietal, 10 konteks situasi, 7 konteks sosial dan 3 konteks kultural, (ii) peneliti menemukan beberapa pola elemen konteks ekstralinguistik dalam pertuturan antara rohaniwan dengan umat, (iii) peneliti menemukan beberapa fungsi konteks ekstralinguistik dalam pertuturan antara rohaniwan dengan umat yang dapat dirangkum menjadi, fungsi menyampaikan pesan, memberikan informasi, meminta bantuan dan fungsi memastikan informasi.
Kata Kunci: elemen konteks ekstralinguistik, pola elemen konteks ekstralinguistik, fungsi konteks ekstralinguistik.
ix
Between Priest and Congregation: Case Study. Thesis. Yogyakarta: PBSI, FKIP,
USD.
This research discusses about the study of elements and functions of extralinguistic context in speech between priest and congregation. This research was carried out because there are differences in speech between priest and congregation that involved by the contexts or difference backgrounds, so that different purposes and meanings were produced. The purpose of this study (1) to describe the elements of the extralinguistic context in speech between priest and congregation in the Catholic Church of St. Peter Wonosari Gunungkidul, (2) to describe the extralinguistic method in speech between priest and congregation in the Catholic Church of St. Peter Kanisius Wonosari.
This research is a qualitative descriptive study. The data sources in this study are priest and congregation in the Catholic Church of St. Peter Kanisius Wonosari. Meanwhile, the data contains speech between priest and congregation in which contain an extralinguistic context. The method of collecting data in this study used the simak method with Simak, Libat, Cakap (SLC) technique, Simak, Bebas, Libat, Cakap (SBLC), recording technique and note technique. In analyzing the data, researchers used descriptive analysis techniques.
The results of this study are, (i) the extralinguistic context arises from speeches between priest and congregation, which are 10 societal contexts, 10 conversational contexts, 7 social contexts and 3 cultural contexts, (ii) research finds patterns of extralinguistic research in the speech between priest and conngregation, (iii) the researcher found several functions of the extralinguistic context in the speech between priest and congregation which can be summarized become, the function of conveying messages, providing information, asking for help and the function of ensuring information.
Keywords: elements of the extralinguistic context, the pattern of elements of the extralinguistic
x
Puji dan syukur saya haturkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas karunia, berkah dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi berjudul Konteks Ekstralinguistik dalam Pertuturan antara Rohaniwan dengan umat dengan lancar. Penyusunan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjan Pendidikan, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, pada Fakulltas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari dukungan, bantuan, semangat, nasehat, dukungan doa, serta kerja sama yang tak ternilai harganya dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si., selaku Dekan fakultas Keguruan dan Ilmuu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.
2. Rishe Purna Dewi, S.Pd., M.Hum., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia.
3. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., selaku dosen pembimbing yang selalu sabar memberikan waktu, tenaga, nasihat, arahan dan bimbingan kepada peneliti.
4. Dr. Yuliana Setyaningsih, M.Pd., yang telah bersedia menjadi triangulator data penelitian tugas akhir ini.
5. Segenap dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia yang telah membimbing dan mendidik peneliti dengan penuh kesabaran.
6. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah membantu peneliti dalam menemukan referensi dan menjadi tempat untuk menyelesaikan penelitian ini.
7. Romo, Suster, Ibu Bapak dan semua umat di Gereja Katolik Santo Petrus Kanisius Wonosari Gunungkidul yang telah memberikan kesempatan bagi peneliti untuk mengumpulkan data penelitian.
8. Theresia Rusmiyati, selaku karyawan sekretariat PBSI yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
9. Bagi kedua orang tua, Bapak Antonius Edi Purwanta dan Ibu Yustina Maria Sri Astuti yang selalu memberikan dukungan baik secara moril, materiil dan spiritual kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan penelitian ini.
penulis selarna rnengerjakan skripsi.
11. Ternan-ternan yang selalu rnenernani saya selarna proses penyelesaian skripsi Y osefin Ratnalestari, Angela Marlyn Prirnatika, Ririn Siswanti, Maria Erlina W.
12. Ternan-ternan sepayung Yosefin Ratnalestari, Anastasia Wilis Novita, Yohana Dwi Suryaningsih, Oktavianius Rornanues, dan Ardana yang telah setia berjuang bersarna dalarn rnenyelesaikan penelitian ini.
13. Bagi ternan-ternan PBSI terkhusus angkatan 2015 A yang telah rnernberikan sernangat, kerja keras, tanggung jawab, dan pantang rnenyerah selarna proses belajar dan penyelesaian penelitian ini.
14. Sernua pihak yang telah rnernbantu dan rnernberikan dukungan bagi penulis.
Penulis rnenyadari bahwa tulisan ini rnasih jauh dari yang diharapkan. Narnun penulis berharap skripsi ini dapat berrnanfaat bagi para pernbaca.
Y ogyakarta, 8 Juli 2019
~
Y
Penulis
xii
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMISI ... vii
ABSTRAK ... viii
ABTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 4
1.3 Tujuan Penelitian ... 4
1.4 Manfaat Penelitian ... 4
1.5 Batasan Istilah ... 6
1.6 Sistematika Penelitian ... 8
BAB II STUDI KEPUSTAKAAN ... 10
2.1 Penelitian yang Relevan ... 10
2.2 Landasan Teori... 13
2.2.1 Pragmatik ... 13
2.2.2 Konteks ... 15
2.2.3 Hakikat Konteks Linguistik ... 17
2.2.4 Hakikat Konteks Ekstralinguistik ... 17
2.2.4. 1Konteks Sosial ... 18
2.2.4.2 Elemen dan Fungsi Konteks Sosial... 19
2.2.4.3 Konteks Sosietal... 23
xiii
2.2.4.7 Konteks Situasi ... 32
2.2.4.8 Elemen dan Fungsi Konteks Situasi ... 34
2.3 Kerangka Berpikir ... 37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 39
3.1 Jenis Penelitian... 39
3.2 Sumber Data dan Data Penelitian ... 39
3.3 Objek Penelitian ... 40
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 40
3.5 Instrumen Penelitian ... 43
3.6 Metode dan Teknik Analisis Data... 43
3.7 Triangulasi Data ... 45
BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 47
4.1 Deskripsi Data ... 47
4.2 Hasil Analisis ... 52
4.2.1 Konteks Situasi ... 53
4.2.2 Pola Elemen Konteks Situasi ... 54
4.2.2.1 Konteks yang Mengandung 5 Elemen ... 54
4.2.2.2 Konteks yang Mengandung 4 Elemen ... 57
4.2.3 Konteks Kultural ... 59
4.2.4 Pola Elemen Konteks Kultural ... 60
4.2.4.1 Pola Elemen SPEAKING ... 60
4.2.5 Konteks Sosietal ... 63
4.2.6 Pola Elemen Konteks Sosietal ... 63
4.2.6.1 Elemen O,O,E,M,U,B,I,C,A,R,A ... 64
4.2.6.2 Elemen O,O,E,M,A,U,B,I,C,A,R,A ... 66
4.2.6.3 Elemen O,O,E,M,U,B,I,C,A,A ... 68
4.2.7 Konteks Sosial ... 70
4.2.8 Pola Elemen Konteks Sosial ... 71
xiv
4.2.8.3 Elemen OOEMUBICARA ... 76
4.2.8.4 Elemen OOEMUBICAA ... 77
4.2.9 Fungsi Konteks Situasi ... 79
4.2.9.1 Menyampaikan Pesan Kepada Peserta Tutur ... 79
4.2.9.2 Memberikan Motivasi ... 82
4.2.9.3 Memberi Informasi Lanjutan ... 83
4.2.9.4 Memastikan Informasi ... 85
4.2.10 Fungsi Konteks Kultural ... 86
4.2.10.1 Fungsi Memastikan Informasi... 87
4.2.10.2Memberi Informasi Tambahan ... 88
4.2.11 Fungsi Konteks Sosietal... 90
4.2.11.1Memberi Informasi untuk Memperoleh Keputusan/ Kepastian ... 90
4.2.11.2 Memastikan Informasi ... 92
4.2.11.3 Memberi Informasi Tambahan ... 93
4.2.11.4 Meminta Bantuan ... 94
4.2.12 Fungsi Konteks Sosial ... 96
4.2.12.1 Fungsi Memberi Informasi Tambahan Sebelum Peristiwa Tuturan ... 96
4.2.12.2 Fungsi Memastikan Informasi ... 98
4.2.12.3 Memberikan Keterangan Keadaan/ Kondisi Peserta Tutur ... 100
4.2.12.4 Memberikan Informasi Tambahan Pengetahuan Peserta Tutur ... 101
4.3 Pembahasan... 102 BAB V PENUTUP ... 106 5.1 Simpulan ... 106 5.2 Saran ... 108 DAFTAR PUSTAKA ... 110 LAMPIRAN
1 BAB I PENDAHULUAN
Pada bab pendahuluan ini memaparkan: a) latar belakang, b) rumusan masalah, c)
tujuan penelitian, d) manfaat penelitian, e) batasan istilah, dan f) sistematika
penyajian. Paparan selengkapnya disampaikan sebagai berikut:
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk sosial. Hal tersebut tercermin pada setiap segi
kehidupan manusia yang saling membutuhkan satu sama lain untuk bertahan hidup.
Setiap manusia tentu memerlukan komunikasi untuk mencapai kebutuhannya.
Berdasarkan cara penyampaiannya komunikasi tersebut dapat berupa komunikasi
lisan dan komunikasi tertulis. Komunikasi lisan yakni pertuturan langsung yang
dilakukan secara tatap muka tanpa adanya jarak apapun, sedangkan komunikasi
tertulis merupakan komunikasi yang disampaikan melalui media tulisan. Ketika
komunikasi lisan berlangsung seseorang harus dapat memahami makna dan maksud
yang disampaikan oleh penutur. Ketika komunikasi berlangsung, seseorang tidak
cukup hanya memperhatikan tuturan kebahasaannya saja, melainkan juga perlu untuk
memperhatikan segala aspek non kebahasaan yang disampaikan oleh penutur kepada
mitra tutur. Dalam ilmu kebahasaan, hal tersebut dipelajari dalam salah satu cabang
ilmu linguistik yakni pragmatik. Pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari
2
konteks situasi tutur di dalam masyarakat dan wahana kebudayaan yang mewadahi
dan melatarbelakanginya (Rahardi, 2003: 15). Hal-hal yang berada di luar unsur
kebahasaan disebut dengan istilah ekstralinguistik. Ekstralinguistik memiliki salah
satu penanda yakni konteks. Konteks merupakan aspek-aspek yang berhubungan
dengan lingkungan fisik dan sosial pada sebuah tuturan (Leech, 1983: 19). Konteks
pada ilmu pragmatik dibagi menjadi beberapa jenis diantaranya, yakni konteks sosial,
konteks sosietal, konteks kultural dan konteks situasional.
Dalam kehidupan sehari-hari, terdapat beberapa kebutuhan yang dibutuhkan oleh
manusia. Salah satu kebutuhan tersebut adalah kebutuhan rohani. Kebutuhan rohani
merupakan kebutuhan yang berhubungan dengan ketuhanan, iman dan kepercayaan
kepada sang pencipta. Setiap manusia pasti memiliki suatu kepercayaan atau agama
tertentu sebagai landasaan dalam melakukan tindakan baik dan buruk di setiap segi
kehidupannya. Dalam penelitian ini, peneliti akan mengamati pertuturan antara
rohaniwan dengan umatnya di Gereja Katolik Santo Petrus Kanisius Wonosari
Gunungkidul. Rohaniwan yang akan menjadi sumber data penelitian, yakni romo dan
suster, sedangkan umat yang akan menjadi sumber data penelitian yakni kaum
beriman kristiani yang berada di lingkup Gereja Katolik Santo Petrus Kanisius
Wonosari Gunungkidul. Latar belakang umat yang berasal dari berbagai kalangan,
tentu akan menimbulkan pertuturan yang berbeda pula. Kepentingan bertutur antara
rohaniwan dengan umat pun beragam. Dalam kegiatan bertutur terdapat beberapa
3
Ragam formal digunakan dalam situasi resmi atau formal, sehingga bahasa yang
digunakan menggunakan bahasa baku. Misalnya saat sedang rapat, upacara, ibadat
dan sebagainya. Sebaliknya ragam informal digunakan dalam situasi santai dan akrab,
sehingga bahasa yang digunakan yakni bahasa tidak baku atau menggunakan bahasa
sehari-hari seperti saat berbicara dengan teman dan sebagainya. Dalam penelitian ini,
peneliti akan meneliti pertuturan baik yang menggunakan ragam bahasa formal
maupun ragam informal antara rohaniwan dengan umat di Gereja Katolik Santo
Petrus Kanisius Wonosari. Apabila partisipan yang terlibat yakni penutur dan mitra
tutur memperhatikan konteks maka pertuturan akan berjalan lancar dan maksud
tersampaikan dengan baik. Oleh karena itu, terlihat dengan jelas bahwa konteks
memegang peranan penting dalam proses pemaknaan bahasa.
Peneliti beranggapan bahwa konteks ekstralinguistik dalam pertuturan antara
rohaniwan dengan umat memiliki ciri khas tersendiri. Ciri tersebut tentunya akan
berbeda dengan pertuturan antara guru dengan siswa, dosen dengan mahasiswa,
pedagang dengan pembeli, maupun konselor dengan konselernya. Hal tersebut
menjadi hal yang menarik perhatian bagi peneliti untuk mengamati elemen konteks
ekstralinguistik dan fungsi konteks ekstralinguistik dengan objek penelitian yaitu
rohaniwan dan umat. Peneliti berharap agar penelitian ini dapat memberikan
wawasan lebih terkait pertuturan rohaniwan dengan umatnya dilihat dari sudut
4 1.2 Rumusan Masalah
1. Apa sajakah elemen konteks ekstralinguistik dalam pertuturan antara
rohaniwan dengan umat di Gereja Katolik Santo Petrus Kanisius Wonosari
Gunungkidul Yogyakarta?
2. Apa sajakah fungsi konteks ekstralinguistik dalam pertuturan antara
rohaniwan dengan umat di Gereja Katolik Santo Petrus Kanisius Wonosari
Gunungkidul Yogyakarta?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan penelitian dapat
dijabarkan sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan elemen konteks ekstralinguistik dalam pertuturan antara
rohaniwan dengan umat di Gereja Katolik Santo Petrus Kanisius Wonosari
Gunungkidul Yogyakarta.
2. Mendeskripsikan fungsi konteks ekstralinguistik dalam pertuturan antara
rohaniwan dengan umat di Gereja Katolik Santo Petrus Kanisius Wonosari
Gunungkidul Yogyakarta.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian mengenai kajian pragmatik konteks ekstralinguistik dalam pertuturan
5
Gunungkidul Yogyakarta ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi beberapa pihak.
Terdapat dua manfaat penelitian yaitu berupa manfaat teoritis dan manfaat praktis.
Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menambah wawasan dan
khasanah pengetahuan serta memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu
pragmatik khususnya dalam bidang kajian pragmatik konteks ekstralinguistik
dalam pertuturan antara rohaniwan dengan umat di Gereja Katolik Santo Petrus
Kanisius Wonosari, Gunungkidul Yogyakarta.
2. Manfaat Praktis a. Bagi peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menambah pengetahuan
dan memberikan gambaran mengenai konteks ekstralinguistik dalam
pertuturan antara rohaniwan dengan umat di Gereja Katolik Santo Petrus
Kanisius Wonosari Gunungkidul Yogyakarta.
b. Bagi program studi
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak jurusan
dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kompetensi dalam proses
belajar mengajar di Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia,
6
Yogyakarta. Hal tersebut perlu menjadi perhatian khusus sehingga proses
komunikasi dapat diterima dan dipahami secara lebih baik dengan
memperhatikan konteks.
1.5 Batasan Istilah
Penulis memberikan batasan istilah agar memiliki konsep yang digunakan dalam
penelitian ini. Batasan istilah yang digunakan sebagai berikut:
1. Pragmatik
Mey dalam Rahardi (2003: 15) mengungkapkan “Pragmatic is the study of the
conditions of human language uses as these are determined by the context of society.” Yang berarti pragmatik merupakan ilmu bahasa yang mempelajari penggunaan bahasa berdasarkan konteks situasi tutur dalam masyarakat dan
kebudayaan yang melatarbelakanginya.
2. Konteks
Rahardi (2005: 51) mendefinisikan konteks merupakan semua latar belakang
pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki penutur dan mitra tutur yang
mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan penutur itu dalam
7 3. Konteks Ekstralinguistik
Konteks ekstralinguistik merupakan hal-hal yang berada di luar kebahasaan.
Dalam buku karangan Kunjana Rahardi yang berjudul “Pragmatik Fenomena Kesantunan Berbahasa” menjelaskan bahwa konteks ekstralinguistik adalah
hal-hal di luar kebahasaan (yang melatarbelakangi sebuah pertuturan).
4. Konteks Sosial
Mey dalam Rahardi (2003: 15) mengungkapkan konteks sosial merupakan
konteks kebahasaan yang timbul sebagai akibat dari munculnya komunikasi dan
interaksi antar anggota masyarakat dengan latar belakang sosial budaya yang
sangat tertentu sifatnya.
5. Konteks Sosietal
Mey dalam Rahardi (2003: 15) mengungkapkan konteks sosietal merupakan
konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan sosial relalif (relative social
rank) setiap anggota masyarakat di dalam institusi-institusi yang ada pada masyarakat dan lingkungan sosial tertentu.
6. Konteks Situasional
Cutting (2002: 1-5) dalam Baryadi (2015: 32) menyatakan bahwa konteks situasi
8
Hal ini menyangkut pengetahuan fisik, sosial, psikologi serta waktu dan tempat
tuturan dihasilkan.
7. Konteks Kultural
Halliday (1989) menyebutkan bahwa konteks kultural merupakan “Context
cultural is the institusional and ideological background that give value to the text and contains its interpretation. Artinya, konteks kultural sebagai latar belakang institusional dan ideologis yang memberikan nilai pada tutunan yang harus
diinterpretasikan karena menggambarkan kebudayaan.
1.6 Sistematika Penelitian
Penelitian ini dijabarkan dalam lima bab yang diuraikan secara sistematis sebagai
berikut:
Bab I berisi tentang pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang penelitian,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah serta
sistematika penelitian. Bab II tentang studi pustaka yang menguraikan beberapa hal,
sebagai berikut: penelitian yang relevan, pragmatik, konteks, hakikat konteks
linguistic, hakikat konteks ekstralinguistik, konteks sosial, elemen dan fungsi konteks
sosial, konteks sosietal, elemen dan fungsi konteks sosietal, konteks kultural, elemen
dan fungsi konteks kultural, konteks situasional, elemen dan fungsi konteks
situasional. Pada bab III akan dijelaskan tentang metodologi penelitian yang
9
objek analisis data serta trianggulasi. Bab IV berisi pembahasan berdasarkan data
yang telah diperoleh. Bab V merupakan bab terakhir dalam penelitian. Pada bab V
10 BAB II
STUDI KEPUSTAKAAN 2.1 Penelitian yang Relevan
Peneliti menemukan beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan
penelitian yang akan dilakukan. Penelitian tersebut merupakan penelitian yang
dilakukan oleh Priscilla Felicia Elu (2018), Kristina Jayanti Andang (2018),
Philipus Wai Lawet (2018), dan Lastri Rindiyantika (2018). Keempat penelitian
tersebut memiliki topik penelitian yang sama, yakni meneliti mengenai elemen
dan fungsi konteks dalam menentukan maksud berkomunikasi.
Penelitian yang disusun oleh saudari Priscilla Felicia Elu berjudul ”Kajian
Elemen dan Fungsi Konteks Sosio-Kultural dalam Menentukan Maksud
Berbahasa Para Mahasiswa Berlatar Belakang Kultur Jawa Prodi PBSI
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada Semester Gasal Tahun Akademik 2017/ 2018”. Penelitian tersebut, mendeskripsikan tentang apa saja elemen dan
bagaimana fungsi konteks sosio-kultural dalam menentukan maksud berbahasa
para mahasiswa berlatar belakang kultur Jawa prodi PBSI Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta pada Semester Gasal Tahun Akademik 2017/ 2018. Adapun
kesamaan antara penelitian saya dengan penelitian tersebut adalah sama-sama
meneliti terkait elemen dan fungsi konteks, sedangkan perbedaannya terletak pada
11
yakni konteks sosiokultural dan subjek penelitianya merupakan mahasiswa
berlatar belakang kultur Jawa di Prodi PBSI Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta pada Semester Gasal Tahun Akademik 2017/ 2018.
Penelitian yang relevan berikutnya adalah penelitian dari saudari Kristina
Jayanti Andang yang berjudul “Kajian Elemen dan Fungsi Konteks Situasi dalam
Menentukan Maksud Berbahasa Mahasiswa dan Dosen di Prodi PBSI Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada Semester Gasal Tahun Akademik 2017/ 2018”.
Pada penelitian tersebut, saudari Kristina Jayanti Andang melakukan penelitan
dengan mendeskripsikan tentang apa saja elemen dan bagaimana fungsi konteks
situasi dalam menentukan maksud berbahasa mahasiswa dan dosen di Prodi PBSI
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada Semester Gasal Tahun Akademik 2017/ 2018”. Penelitian tersebut memiliki kesamaan dan perbedaaan dengan
penelitian yang akan saya lakukan. Persamaan penelitian tersebut adalah
sama-sama meneliti tentang elemen dan fungsi konteks, sedangkan perbedaannya
terletak pada piranti analisis dan objeknya. Pada penelitian tersebut saudari
Kristina Jayanti Andang menggunakan konteks situasi sebagai fokus analisisnya,
sedangkan dalam penelitian saya menggunakan konteks dan berbagai macamnya.
Selain itu, subjek penelitian yang digunakan pun berbeda dengan dengan
penelitian ini.
Berikutnya penelitian yang dilakukan oleh Lastri Rindiyantika yang berjudul ”Kajian Elemen dan Fungsi Konteks Sosietal dalam Maksud Berkomunikasi
12
antara Mahasiswa dan Dosen FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Tahun Akademik 2017/ 2018”. Penelitian ini mendeskripsikan tentang apa saja
elemen dan fungsi konteks sosietal dalam menentukan maksud berkomunikasi
antara mahasiswa dan dosen FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Tahun
Akademik 2017/ 2018. Persamaan penelitian yang akan diteliti dengan penelitian
tersebut adalah sama-sama meneliti tentang elemen dan fungsi konteks,
sedangkan perbedaannya terletak pada fokus analisis dan objeknya. Dalam
penelitian tersebut piranti yang menjadi fokus penelitian yakni konteks sosietal,
sedangkan peneliti menggunakan piranti analisis konteks dan berbagai
macamnya. Subjek yang digunakan pada penelitian tersebut pun berbeda dengan
subjek yang akan digunakan pada penelitian ini.
Penelitian relevan yang terakhir adalah penelitian dari saudara Pilipus Wai
Lawet yang berjudul “Kajian Elemen dan Fungsi Konteks Sosial dalam
Menentukan Maksud Berkomunikasi Antarmahasiswa dan Dosen Non-FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Tahun Akademik 2017/ 2018”. Pada
penelitian tersebut, saudara Pilipus Wai Lawet meneliti tentang apa saja elemen
dan bagaimana fungsi konteks sosial dalam menentukan maksud berkomunikasi
antarmahasiswa dan dosen non-FKIP. Adapun persamaan penelitian ini dengan
penelitian tersebut adalah sama-sama meneliti tentang elemen dan fungsi konteks,
sedangkan perbedaannya terletak pada fokus yang akan dianalisis dan subjeknya.
13
analisis konteks sosial, sedangkan penelitian yang akan diteliti menggunakan
piranti analisis konteks dan berbagai macamnya meliputi konteks sosial, sosietal,
kultural, dan situasional. Subjek yang digunakan oleh Pilipus Wai Lawet juga
berbeda dengan penelitian yang akan diteliti.
2.2 Landasan Teori
Dalam sub bab ini, peneliti akan memaparkan beberapa teori yang mendukung
penelitian. Adapun teori tersebut antara lain: (1) pragmatik, (2) konteks, (3)
hakikat konteks linguistik, (4) hakikat konteks ekstralinguistik, (5) konteks sosial,
(6) elemen dan fungsi konteks sosial, (6) konteks sosietal, (7) elemen dan fungsi
konteks sosietal, (8) konteks kultural, (9) elemen dan fungsi konteks kultural, (10)
konteks situasional, (11) elemen dan fungsi konteks situasional. Berikut
penjelasan teori-teori yang digunakan sebagai pendukung penelitian.
2.2.1 Pragmatik
Pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu linguistik yang berkaitan
dengan hadirnya konteks. Dengan kata lain, konteks menjadi penentu dalam
analisis pragmatik. Hal tersebut diperjelas dalam definisi konteks menurut
Rahardi (2005:49) dalam bukunya yang berjudul Pragmatik: Kesantunan
Imperatif Bahasa Indonesia mengemukakan bahwa pragmatik merupakan ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia yang pada
14
melatarbelakangi. Pentingnya konteks dalam pragmatik juga ditekankan oleh
Wijana dalam (Nadar, 2009: 4) yang menyebutkan bahwa pragmatik mengkaji
makna yang terikat konteks. Definisi tersebut sama halnya dengan pendapat
Mey (1993: 42) dalam Rahardi (2003: 15) pragmatik merupakan ilmu bahasa
yang mempelajari tentang pemakaian atau penggunaan bahasa, yang pada
dasarnya selalu harus ditentukan oleh konteks situasi tutur di dalam
masyarakat dan wahana kebudayaan yang mewadahi dan
melatarbelakanginya. Berdasarkan ketiga pendapat pakar di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa pragmatik berkaitan dengan konteks tuturan yang
melatarbelakanginya, sehingga akan menimbulkan interpretasi yang sama
antara penutur dan mitra tuturnya.
Pakar lain yaitu, Kridalaksana, (1993) dalam Putrayasa (2014: 27)
pragmatik adalah (1) aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa
yang memberikan sumbangan pada makna ujaran, (2) syarat-syarat yang
mengakibatkan serasi atau tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi.
Pemakaian bahasa dalam komunikasi berpengaruh terhadap makna dan
maksud yang diinterpretasikan atau ditafsirkan oleh mitra tutur (pendengar
atau pembaca). Pemakaian bahasa yang tepat akan menghasilkan tafsiran
makna dan maksud yang tepat pula. Pemakaian bahasa tersebut tentu
disesuaikan dengan konteks masyarakat pengguna bahasa. Hal ini diperjelas
15
mempelajari tentang studi makna yang disampaikan oleh penutur (atau
penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (pembaca). Kedua pakar tersebut
memiliki kesamaan dalam memahami definisi pragmatik, yaitu pragmatik
sebagai suatu cabang ilmu bahasa yang menelaah tentang aspek pemakaian
bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dengan mitra tutur untuk
memperoleh makna ujaran yang dikaitkan pada hal-hal ekstralingual atau
konteks di luar bahasa.
Berdasarkan beberapa pendapat pakar di atas, dapat didefinisikan bahwa
pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang mempelajari bahasa dalam
pemakaiannya dan dikaitkan dengan konteks ekstralingual atau situasi yang
melatarbelakanginya, sehingga maksud yang hendak disampaikan oleh
penutur dipahami oleh mitra tutur.
2.2.2 Konteks
Sebelum membahas lebih jauh mengenai hakikat konteks linguistik dan
konteks ekstralinguistik, kita akan membahas mengenai hakikat konteks.
Konteks sangat penting dalam kajian pragmatik. Leech (1983:19)
mendefinisikan konteks adalah aspek-aspek yang berhubungan dengan
lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan dan pengetahuan latar belakang
yang secara bersama dimiliki oleh penutur (P) dan mitra turut (MT). Menurut
Pranowo (2015) dalam Prosiding Seminar Nasional PBSI XXXII yang
16
belakang pengetahuan yang dimiliki oleh pembicara dan pendengar sehingga
dapat saling berkomunikasi untuk menyampaikan maksud. Kedua pendapat
tersebut sejalan dengan pendapat Rahardi (2005: 51) konteks adalah semua
latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki oleh
penutur dan mitra tutur serta mendukung intepretasi mitra tutur atas apa yang
disampaikan oleh penutur dalam proses bertutur.
Pendapat pakar lain yang dapat memperjelas definisi konteks yaitu
Kridalaksana (2011: 134) mengemukakan bahwa konteks adalah (1)
aspek-aspek lingkungan fisik atau sosial yang kait mengait dengan ujaran tertentu,
(2) pengetahuan yang sama-sama memiliki pembicara dan pendengar
sehingga pendengar paham apa yang dimaksud pembicara.
Beberapa pakar di atas mengasumsikan bahwa hakikat konteks merupakan
latar belakang pengetahuan yang sama antara penutur dan mitra tutur dalam
suatu pertuturan, sehingga maksud tuturan dapat tersampaikan dengan baik
dan dapat dimengerti. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan definisi
konteks merupakan latar belakang dan situasi lingkungan yang diasumsikan
sama oleh penutur dan mitra tutur dalam sebuah pertuturan, sehingga makna
17 2.2.3 Hakikat Konteks Linguistik
Supardo (2000:46) membagi konteks menjadi konteks bahasa (linguistik)
dan konteks di luar bahasa (nonlinguistik). Konteks bahasa berupa unsur yang
membentuk struktur lahir, yakni bunyi, kata, kalimat, dan ujaran atau teks.
Konteks nonbahasa adalah konteks yang tidak termasuk unsur kebahasaan.
Yule (2015: 190) konteks linguistik disebut juga co-text. Co-text dari
sebuah kata adalah rangkaian kata lain yang digunakan dalam frasa atau
kalimat yang sama. Konteks linguistik mengacu pada suatu makna yang
kemunculannya dipengaruhi oleh struktur kalimat atau keberadaan suatu kata
atau frasa yang mendahului atau mengikuti unsur-unsur bahasa (kata/frasa)
dalam suatu kalimat. Konteks linguistik berhubungan dengan unsur-unsur
kebahasaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konteks linguistik
merupakan konteks wacana atau lingkungan wacana yang berupa unsur-unsur
bahasa.
2.2.4 Hakikat Konteks Ekstralinguistik
Konteks ekstralinguistik merupakan hal-hal yang berada di luar kebahasaan. Dalam buku karangan Kunjana berjudul “Pragmatik Fenomena
Kesantunan Berbahasa” menjelaskan bahwa konteks ekstralinguistik adalah
hal-hal di luar kebahasaan (yang melatarbelakangi sebuah pertuturan).
18
Dapat diartikan juga bahwa konteks ekstralinguistik merupakan konteks yang
bukan berupa unsur-unsur bahasa.
Konteks non-linguistik atau ekstralinguistik adalah suatu konteks yang
unsur-unsur pembentuknya berada di luar struktur kalimat/ bahasa. Hal
tersebut dapat terlihat pada komunikasi non verbal seperti lambaian tangan,
anggukan, kedipan mata, maupun senyuman. Unsur-unsur konteks meliputi
penyapa dan pesapa, konteks sebuah tuturan, tujuan sebuah tuturan, tuturan
sebagai bentuk tindakan, dan tuturan sebagai produk suatu tindak verbal
(bukan tindak verbal itu sendiri) (Leech,1983). Konteks ekstralinguistik pada
penelitian ini digunakan untuk mendeskripsikan fungsi dan elemen konteks
ekstralinguistik dalam pertuturan antara rohaniwan dengan umatnya.
2.2.4.1 Konteks Sosial
Mey dalam Rahardi (2003: 15) mengungkapkan konteks sosial merupakan
konteks kebahasaan yang timbul sebagai akibat dari munculnya komunikasi
dan interaksi antar anggota masyarakat dengan latar belakang sosial budaya
yang sangat tertentu sifatnya.
Konteks sosial merupakan segala konteks yang berkaitan dengan kelas
sosial. Hal tersebut mengacu pada kesamaan golongan sosial masyarakat di
bidang tertentu seperti, bidang politik, pendidikan, ekonomi, pekerjaan dan
19
dan latar belakang penutur dengan mitra tutur. Setiap tuturan yang terjadi
antara penutur dan mitra tutur tentu didasarkan pada latar belakang
pemahaman lingkungan sosial yang sama, sehingga hal-hal yang akan
dibicarakan dapat dipahami dengan baik oleh penutur maupun mitra tutur.
Melalui konteks sosial, maka akan memudahkan dalam memahami sebuah
pertuturan antara rohaniwan dengan umatnya di Gereja Katolik Santo Petrus
Kanisius Wonosari Gunungkidul.
2.2.4.2 Elemen dan Fungsi Konteks Sosial
Menurut Poedjosoedarmo (1985) dalam (Baryadi, 2015: 24) terdapat
beberapa komponen tutur yang dapat dirumuskan dalam istilah memoteknik
OOE MAU BICARA, dengan penjelasan sebagai berikut:
1. O1 = Pribadi penutur. Pribadi penutur menentukan sedikit banyaknya
ujaran yang terjadi. Ujaran tersebut ditentukan oleh latar belakang
penutur menyangkut jenis kelamin, asal daerah, asal golongan
masyarakat, umur, profesi, kelompok etnik, dan aliran kepercayaan.
2. O2 = Orang kedua yakni lawan tutur. Keintiman relasi antara O1
dengan O2 akan menentukan corak bahasa yang dituturkan.
Keintiman relasi yang perlu diperhatikan dalam sebuah pertuturan
antara lain, anggapan O1 tentang seberapa tinggi tingkatan sosial
orang kedua (O2) dan seberapa akrab hubungan antara kedua orang
20
3. E = Warna emosi atau suasana hati O1. Suasana hati penutur
mempengaruhi bentuk tuturan yang diujarkan, misalnya seorang
penutur yang gugup, takut, dan marah akan menimbulkan pertuturan
yang terbata-bata, tidak beraturan, dan kurang jelas.
4. M = Maksud dan tujuan percakapan. Maksud dan tujuan O1
menentukan bentuk tuturan tersebut, misalnya menghasilkan bahasa
yang lugas maupun bahasa yang berbelit-belit tergantung maksud dan
tujuan pertuturan yang hendak disampaikan oleh O1 atau yang bisa
disebut dengan pribadi penutur.
5. A = Adanya O3 dan barang-barang lain di sekitar lingkup
percakapan. Suatu pertuturan dapat beralih menjadi bentuk pertuturan
lain apabila terdapat O3 atau barang-barang lain yang hadir di sekitar
adegan tutur. Misalnya, O1 dan O2 yang semula menggunakan
bahasa Jawa dalam pertuturan beralih menggunakan bahasa
Indonesia karena hadirnya O3 yang berasal dari daerah luar Jawa.
6. U = Urutan tutur. Pribadi penutur orang pertama (O1) akan lebih
bebas dalam menentukan bentuk tuturan daripada lawan tuturnya.
Misalnya, ketika O1 memulai suatu pertuturan dengan menggunakan
Bahasa Indonesia maka O2 akan menjawabnya dengan menggunakan
bahasa Indonesia pula. Demikian juga ketika O1 bertutur
menggunakan bahasa Jawa halus, maka O2 juga akan menanggapi
21
terdapat pengecualian apabila dalam situasi pertuturan tersebut status
sosial O2 lebih tinggi daripada O1.
7. B = Bab yang dibicarakan; pokok pembicaraan. Pokok pembicaraan
atau bab yang sedang dibicarakan akan mempengaruhi warna suasana
bicara. Misalnya, ketika beberapa ahli sedang membicarakan tentang
masalah ilmiah, masalah sosial dan bab-bab yang serius maka
pertuturan akan dilakukan dengan menggunakan bahasa formal dan
suasana resmi.
8. I = Instrumen atau sarana tutur. Sarana tuturan yang digunakan,
misalnya telegram, telepon akan mempengaruhi bentuk ujaran.
Pertuturan yang digunakan dalam beberapa sarana tutur tersebut
biasanya menggunakan bahasa yang ringkas, singkat dan lanngsung
pada pokok yang dibicarakan.
9. C = Citarasa tutur. Cita rasa bahasa juga mempengaruhi suatu bentuk
ragam bahasa yang digunakan dalam pertuturan. Ragam bahasa
formal maupun ragam bahasa santai akan digunakan tergantung pada
berbagai faktor. Ragam bahasa formal tentu akan digunakan pada
saat suasana khidmat misalnya pidato presiden. Sebaliknya ragam
bahasa santai digunakan saat partisipan (penutur dan mitra tutur)
tidak diburu waktu atau tidak dalam dalam situasi yang tergesa-gesa.
10. A = Adegan tutur. Terdapat beberapa faktor yang terkait dalam
22
dan peristiwa tutur. Pertuturan yang dilakukan di masjid, gereja,
kelenteng maupun tempat ibadah lainnya tentu akan berbeda dengan
pertuturan yang dilakukan di pasar.
11. R = Register khusus atau bentuk wacana atau genre tutur. Beberapa
pertuturan yang hendak disampaikan memiliki bentuk wacana atau
register tutur. Misalnya, bentuk wacana pidato akan dilakukan sesuai
dengan ketentuan dan aturan yang lazim yakni dimulai dengan
sapaan, salam, introduksi, isi pidato dan penutup.
12. A = Aturan atau norma kebahasaan lain. aturan atau norma
kebahasaan juga mempengaruhi bentuk tuturan. Misalnya, norma
yang harus dipatuhi yakni kejelasan dalam berbicara. Selain itu,
terdapat beberapa aturan atau anjuran yang harus dilakukan yakni
tidak menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi, usia, dan jumlah gaji
Adapun fungsi dari konteks sosial ditemukan dalam penelitian Pilipus Wai Lawet yang berjudul “Kajian Elemen dan Fungsi Konteks Sosial dalam
Menentukan Maksud Berkomunikasi Antarmahasiswa dan Dosen Non-FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Tahun Akademik 2017/ 2018”.
Adapun fungsi sosial tersebut, antara lain:
1. Fungsi memberi informasi tambahan
Dalam hal ini penutur memberikan informasi tambahan mengenai
23
pemberitahuan, info atau berita tentang sesuatu. Fungsi ini
memiliki beberapa perincian, yakni (a) memberi informasi
tambahan peristiwa sebelum tuturan, (b) memberi informasi
tambahan pengetahuan peserta tutur, (c) memberi informasi
tambahan identitas peserta tutur, dan (d) memberi informasi
tambahan kronologis.
2. Fungsi memberi penjelasan rinci
Memberi penjelasan secara rinci atau mempertegas suatu informasi
merupakan salah satu fungsi konteks. Fungsi mempertegas
informasi dapat dilakukan oleh penutur atau mitra tutur. Dalam hal
tersebut, baik penutur maupun mitra tutur dapat memberikan
penjelasan secara lebih rinci. Misalnya, penutur memberikan
informasi mengenai suatu hal kemudian mitra tutur menambahkan
informasi terkait hal yang dibicarakan agar maksud dan makna
pertuturan dapat dipahami secara lebih jelas dan rinci. Fungsi ini
dapat dibagi lagi menjadi dua macam, yakni memberi penjelasan
rinci peristiwa sebelum tuturan, (2) memberi penjelasan rinci
pengetahuan peserta tutur.
2.2.4.3 Konteks Sosietal
Mey dalam Rahardi (2003: 15) mengungkapkan konteks sosietal
24
(relative social rank) setiap anggota masyarakat di dalam institusi-institusi
yang ada pada masyarakat dan lingkungan sosial tertentu. Konteks sosietal
memiliki kaitan dengan hubungan dalam komunikasi antara penutur dan mitra
tutur dengan faktor penentu yakni atasan dan bawahan.
Konteks sosietal muncul dari adanya power (kekuatan) yang berasal dari
peran setiap pribadi atau individu di dalam masyarakat. Sebagai salah satu
contoh yakni rohaniwan dengan umatnya. Rohaniwan memiliki kekuasaan
dan kedudukan lebih tinggi jika dibandingkan dengan umatnya. Ketika sebuah
pertuturan berlangsung, rohaniwan akan lebih memiliki kekuasaan, sehingga
menimbulkan rasa hormat dan rasa segan dari umatnya. Hal tersebut
dikarenakan seorang rohaniwan dianggap sebagai seorang perantara
kewahyuan yang lebih mengerti mengenai iman kepada Tuhan dibandingkan
dengan umat biasa.
Dari paparan mengenai konteks sosietal di atas maka dapat disimpulkan
bahwa konteks sosietal merupakan hubungan komunikasi vertikal yakni
atasan dan bawahan yang dimiliki oleh penutur maupun mitra tutur dalam
sebuah pertuturan, sehingga seseorang yang memiliki status sosial lebih tinggi
akan memiliki kedudukan dan kekuasaan daripada seseorang yang memiliki
25
2.2.4.4. Elemen dan Fungsi Konteks Sosietal
Menurut Poedjosoedarmo (1985) dalam (Baryadi 2015: 24) terdapat
beberapa komponen tutur yang dapat dirumuskan dalam istilah memoteknik
OOEMAUBICARA. Komponen ini merupakan pengembangan konsep yang
dikemukakan oleh Dell Hymes dengan penjelasan sebagai berikut, (1) O1=
orang ke satu atau penutur. Asal, latar belakang penutur (menyangkut jenis
kelamin, golongan kelas masyarakat, umur, jenis profesi, etnik dan aliran
kepercayaan), keadaan fisik, keadaan mental dan bagaimana kemahiran
bahasa O1 mempengaruhi pertuturan. Sebagai contoh umur O1 yang lebih
tinggi daripada mitra tuturnya akan menimbulkan pertuturan yang berbeda.
Dalam hal ini O1 akan lebih dihormati dan disegani oleh O2. (2) O2= orang
kedua atau mitra tutur. O2 berhubungan dengan seberapa tinggi tingkatan
sosial dan seberapa akrab hubungan O2 dan O1. Apabila O2 dan O1 memiliki
hubungan yang akrab maka pertuturan akan lebih santai begitu pula
sebaliknya
Selanjutnya, (3) E= warna emosi O1. Warna emosi mencakup keadaan
marah, gugup, sakit. Oleh karena itu ketika penutur sedang merasa gugup
maka akan melontarkan ujaran yang putus-putus, terbata-bata, dan kurang
teratur baik frasa maupun kata-katanya. (4) M= maksud dan tujuan
percakapan. Maksud dan kehendak O1 mempengaruhi tingkat tutur, ragam,
26
memiliki maksud untuk memarahi maka akan menggunakan ungkapan
tertentu misalnya umpatan dengan nada tinggi dan ragam kasar atau makian.
(5) A= adanya O3 dan barang-barang lain disekeliling adegan percakapan.
Hal ini disebabkan adanya O3 yang diikutsertakan dalam percakapan. Oleh
karena itu terjadi pengubahan kode bahasa, misalnya percakapan O1 dan O2
yang bermula menggunakan Bahasa Jawa beralih menjadi Bahasa Indonesia
karena hadirnya O3 yang berasal dari luar Jawa. (6) U= urutan tutur. Urutan
tutur atau urutan bicara dipengaruhi oleh aturan yang ada dalam masyarakat,
bahwa yang berstatus sosial lebih tinggi atau orang yang lebih tua harus
berbicara terlebih dahulu.
Elemen konteks berikutnya adalah (7) B= bab yang dipercakapkan; pokok
pembicaraan. Bab yang dibicarakan mempengaruhi warna bicara atau ragam
bahasa tertentu. Misalnya sedang membicarakan sebuah isu sosial dalam
sebuah forum maka warna bicara akan lebih serius menggunakan ragam
resmi. (8) I= instrumen tutur atau sarana tutur. Sarana tutur meliputi bahasa
lisan dan tulis. Sarana tersebut meliputi, telepon, handphone, email dan
sebagainya yang mempengaruhi ujaran penutur. (9) C= citarasa tutur. Nada
suara bicara mempengaruhi ragam bahasa penutur. Misalnya ragam bahasa
santai, formal maupun ragam bahasa indah. (10) A= adegan tutur, dipengaruhi
oleh waktu, tempat dan peristiwa (dipengaruhi pula oleh kualitas
27
yang terjadi di gereja atau masjid akan dilakukan dengan sopan dan tidak
bersenda gurau. Begitu pula saat upacara bendera berlangsung pertuturan
dilakukan tidak terlalu keras dan khidmad. (11) R= register tuturan atau
bentuk wacana. Di dalam masyarakat terdapat wacana yang sudah mapan atau
memiliki struktur yang sudah diketahui oleh masyarakat seperti surat
menyurat dinas, pidato, seminar, ujub, tajuk rencana. Misalnya bentuk wacana
pidato dimulai dengan sapaan, salam, perknelan, isi pidato dan penutup. (12)
A= aturan atau norma kebahasaan. Norma kebahasaan dipengaruhi oleh
situasi masyarakat pemakai bahasa. Sebagai contoh dalam pertuturan di
masyarakat Indonesia dianjurkan untuk tidak menanyakan usia, jumlah gaji,
hal-hal yang bersifat pribadi, dan menghindari kata-kata yang dianggap tabu.
Hal tersebut akan menentukan variasi bahasa yang akan dipilih oleh penutur.
Terdapat beberapa fungsi konteks sosietal yang dikutip dari penelitian
Lastri Rindiyantika yang berjudul ”Kajian Elemen dan Fungsi Konteks
Sosietal dalam Maksud Berkomunikasi antara Mahasiswa dan Dosen FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Tahun Akademik 2017/ 2018”.
Adapun beberapa fungsi dari konteks sosietal, antara lain
(1) Memberikan penjelasan informasi rinci
Fungsi ini berkaitan dengan pengetahuan penutur maupun mitra
tutur. Pengetahuan tersebut berupa pengetahuan tentang suatu
28
(2) Memberikan informasi situasi dan kondisi peserta tutur
Fungsi ini menerangkan situasi penutur dan mitra tutur saat
pertuturan berlangsung. Dalam fungsi ini meliputi kondisi fisik,
seperti raut wajah atau ekspresi, gerakan tubuh atau bahasa verbal
peserta tutur. Misalnya ekspresi senyum disertai ucapan terima kasih,
anggukan kepala, maupun menunjuk pada suatu benda atau arah.
(3) Memberikan informasi sebab terjadinya tuturan
Fungsi ini menandai bahwa terdapat situasi, peristiwa, kejadian atau
kondisi yang menjadi alasan berlangsungnya suatu tuturan. Misalnya
percakapan yang dilakukan untuk memastikan sebuah informasi atau
kejadian yang sebelumnya berlangsung antara penutur dan mitra
tutur.
(4) Memberikan informasi tambahan
Fungsi ini adalah memberikan infromasi lebih lanjur dan tidak
terbatas dari informasi yang diperoleh sebelumnya. Dengan demikian
mitra tutur akan memperoleh tambahan pemahaman agar informasi
yang diperoleh menjadi lebih jelas.
2.2.4.5 Konteks Kultural
Halliday (1989) mengemukakan bahwa konteks kultural “context cultural
is the institusional and ideological background that give a value to the text and
29
belakang institusional dan ideologis yang memberikan sebuah nilai pada suatu
tuturan yang harus diinterpretasikan, karena sistem nilai tersebut
menggambarkan suatu kebudayaan tertentu. Konteks kultural dalam penelitian
ini akan dilakukan untuk menganalisis data pertuturan antara rohaniwan
dengan umat di Gereja Santo Petrus Kanisius Wonosari Gunungkidul.
Konteks kultural adalah suatu sistem nilai dan norma yang
mempresentasikan kepercayaan di dalam kebudayaan tertentu. Sistem nilai ini
meliputi segala sesuatu yang dipercaya benar atau salah, baik atau buruk,
termasuk di dalamnya adalah ideologi, yang menyangkut keteraturan sosio
yang berlaku secara umum di dalam kebudayaan. Dari penjabaran pengertian
konteks kultural di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa konteks kultural
merupakan sistem nilai, norma, kebudayaan maupun ideologi yang dianut
oleh suatu masyarakat tertentu.
2.2.4.6 Elemen dan Fungsi Konteks Kultural
Dalam memahami pertuturan, terdapat beberapa komponen-komponen
yang digunakan untuk menentukan konteks kultural. Dell Hymes dalam
Mulyana (2005: 23-24) merumuskan ihwal faktor-faktor penentu peristiwa
tutur dalam konteks kultural. Melalui akronim SPEAKING setiap fonem
tersebut mewakili faktor penentu yang dimaksudkan, yaitu settings,
participants, ends, act of sequence, keys, instrumentalities, norms and genres.
30
1) S : Setting and scene, artinya latar dan suasana. Latar (setting) lebih
bersifat fisik (physical circumstances), yang meliputi tempat dan
waktu berlangsungnya pertuturan. Suasana (Scene) mengacu pada
situasi psikologis penutur maupun mitra tutur ketika pertuturan
berlangung. Situasi tersebut santai, serius, atau netral dan sebagainya.
Sebagai contoh latar yang yang terjadi di gereja saat ibadah
berlangsung, menimbulkan suasana yang khidmad, sopan dan situasi
yang serius.
2) P : Participants, menyangkut peserta tutur atau pihak-pihak yang
terlibat dalam pertuturan yang sedang berlangsung. Pihak-pihak
tersebut antara lain, pembicara, pendengar, penyapa, pesapa, pengirim
maupun penerima pesan. Dalam pertuturan melibatkan partisipan atau
peserta tutur, misalnya pertuturan di pasar melibatkan penjual dan
pembeli dalam kegiatan transaksi jual beli yang diasumsikan penjual
menjadi pengirim informasi, sedangkan pembeli sebagai penerima
informasi.
3) E : Ends, merujuk pada maksud dan tujuan yang hendak dicapai dalam
sebuah pertuturan. Tujuan pertuturan tersebut misalnya, membujuk,
merayu, menyuruh, memberikan informasi maupun mempengaruhi).
4) A : Acts if sequence, menunjuk pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Isi
ujaran dan bentuk ujaran memiliki keterkaitan. Sebagai contoh seorang
31
yang tegas. Begitu pula saat seseorang sedang marah biasanya
mengunakan bentuk dan isi ujaran yang kasar, memaki atau
mencemooh.
5) K : Key, mengacu pada nada, cara dan semangat yang digunakan
dalam berlangsungnya proses komunikasi. Hal ini mengacu pada
ekspresi penutur dan petutur, misalnya suatu pesan disampaikan
dengan senang hati, serius, mengejek, dan sebagainya. Misalnya
pertuturan pembina upacara yang memberikan amanat mengenai
semangat kemerdekaan tentu akan menggunakan nada yang
bersemangat dan berapi-api.
6) I : Instrumentalities, yakni sarana atau alat yang digunakan dalam
proses komunikasi. Misalnya, sebuah komunikasi disampaikan dengan
melalui, ujaran lisan maupun tulis, telegram atau telepon dan
sebagainya.
7) N : Norm of Interaction and Interpretation, mengacu pada norma atau
aturan dalam berkomunikasi. Dalam berkomunikasi terdapat
norma-norma dan aturan sosial yang harus ditaati, yakni apa yang seharusnya
dibicarakan dan yang tidak boleh dibicarakan serta bagaimana penutur
dan petutur menanggapi pembicaraan tersebut. Misalnya, dalam
sebuah pertuturan disarankan agar tidak menanyakan usia, hal-hal
32
8) G : Genre atau jenis percakapan. Sebagai contoh, jenis percakapan
yang diungkapkan dalam puisi akan berbeda dengan ceramah maupun
doa. Misalnya, ketika pembacaan doa, maka pertuturan akan
menggunakan jenis atau genre yang lembut dan sopan. Pranowo
(2012) mengartikan genre sebagai (ragam register) yang mengacu pada
ragam formal, santai, dan sebagainya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh saudari Priscilla Felicia Elu yang berjudul ”Kajian Elemen dan Fungsi Konteks Sosio-Kultural dalam
Menentukan Maksud Berbahasa Para Mahasiswa Berlatar Belakang Kultur
Jawa Prodi PBSI Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada Semester Gasal Tahun Akademik 2017/ 2018”. Terdapat beberapa fungsi konteks kultural
yakni (1) memberikan keterangan/ informasi situasi dan kondisi peserta tutur,
(2) memberikan keterangan/ informasi pengetahuan peserta tutur, (3)
memberikan keterangan/ informasi sebab terjadinya tuturan dan pengetahuan
peserta tutur, (4) fungsi konteks memberikan keterangan kronologi tuturan,
(5) fungsi konteks memberikan keteranfan / informasi sebab tuturan terjadi/
peristiwa sebelum tuturan terjadi, dan (6) memberikan informasi tambahan
mengenai peserta tutur.
2.2.4.7 Konteks Situasi
Leech (1993) dalam (Rahardi, 2003: 18) memaparkan bahwa konteks
33
(background knowledge) yang muncul dan dimiliki bersama-sama baik oleh
penutur maupun oleh mitra tutur, serta aspek-aspek non-kebahasaan lainnya
yang menyertai, mewadahi serta melatarbelakangi hadirnya sebuah pertuturan
tertentu. Menurut Halliday (1994) menyatakan bahwa konteks situasional
adalah lingkungan langsung tempat teks itu benar-benar berfungsi. Dengan
kata lain, konteks situasional merupakan situasi lingkungan sekitar ketika
suatu pertuturan berlangsung maupun dalam sebuah teks ketika teks tersebut
ditulis/ dibaca.
Cutting (2002: 1-5) dalam Baryadi (2015: 32) menyatakan bahwa konteks
situasi menyangkut hal yang diketahui pembicara tentang apa yang ada
disekitar mereka. Hal ini menyangkut pengetahuan fisik, sosial, psikologi
serta waktu dan tempat tuturan dihasilkan. Menurut Malinowsky dalam
Verschueren (1998: 75) konteks situasi atau context of situation berbunyi “…
in the reality of a spoken living tongue, the utterance has no meaning except in the context of situation.” Dari pernyataan Malinowsky tersebut, dapat
disimpulkan bahwa sebuah pertuturan tidak akan memiliki arti apabila tidak
ada kehadiran konteks situasi didalamnya. Sejalan dengan pendapat Pranowo
(2015: 144) dalam bukunya yang berjudul Teori Belajar Bahasa menyatakan
bahwa konteks situasi yaitu segala situasi yang dapat melingkupi suatu ujaran
dan dapat menentukan maksud.
Berdasarkan pemaparan beberapa pendapat para ahli di atas, dapat ditarik
34
latar belakang pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra
tutur baik menyangkut lingkungan fisik, sosial, psikologi, waktu serta objek
tertentu yang menjadi dasar berlangsungnya sebuah peristiwa komunikasi.
2.2.4.8 Elemen dan Fungsi Konteks Situasi
Dalam memahami pertuturan, terdapat beberapa komponen-komponen
yang digunakan untuk menentukan konteks situasi. Menurut Geoffrey N.
Leech (1993) dalam Baryadi (2015: 31) merumuskan komponen-komponen
penentu dalam konteks situasi bahasa yang digunakan sebagai acuan dalam
proses komunikasi. Berikut penjelasan secara ringkas mengenai
kompenen-komponen penentu dalam konteks situasional:
1) Penyapa (yang menyapa) dan pesapa (yang disapa)
Leech (1993) mengemukakan bahwa penyapa adalah salah satu
komponen penentu dalam konteks situasi. Penyapa mengacu pada
pengertian pembicara atau penulis. Penyapa dan pesapa merupakan
orang yang terlibat dalam sebuah proses berlangsungnya komunikasi.
Menurut Leech (1993) pesapa merupakan salah satu partisipan
komunikasi yang menjadi komponen penentu dalam konteks situasi.
Penyapa mengacu pada pengertian pendengar maupun pembaca. Pesapa
menjadi lawan bicara dalam sebuah pertuturan yang disampaikan oleh
35
dalam ketika ibadat berlangsung. Dalam hal ini rohaniwan dianggap
sebagai penyapa, sedangkan umat merupakan pesapa.
2) Konteks sebuah tuturan
Konteks dalam sebuah tuturan mencakup beberapa aspek, yaitu aspek
lingkungan fisik, sosial serta pengetahuan latar belakang sama-sama
dimiliki oleh partisipan yakni penutur dan mitra tutur. Hal tersebut
menjadi penentu bagi mitra tutur untuk menafsirkan maksud dan makna
sebuah pembicaraan. Memperhatikann konteks dalam sebuah pertuturan
merupakan hal yang penting agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam
menginterpretasi maksud atau makna yang hendak disampaikan.
Sebagai contoh, penyampaian pertuturan antara orang tua dengan siswa
SD (Sekolah Dasar) akan berbeda dengan pertuturan yang dilakukan
antara orang tua dengan siswa SMA (Siswa Menengah Atas).
3) Tujuan tuturan
Sebuah tuturan memiliki berbagai macam tujuan, antara lain bertanya,
meminta, menyuruh, menghimbau, memberitahu, dan meminta maaf.
Tujuan-tujuan tuturan dalam hal ini memiliki kesamaan dengan fungsi
tuturan.
4) Tuturan sebagai bentuk tindakan atau tindak ujar
Tuturan dianggap sebagai aktivitas ujar. Hal tersebut mengandung arti
bahwa pragmatik mampu menganalisis aktivitas yang bersifat konkret
36
waktu tertentu ketika pertuturan berlangsung. Tindakan verbal tersebut
merupakan hasil dari pertuturan penutur kepada mitra tutur, berupa
perintah, ajakan maupun himbauan.
5) Tuturan sebagai tindak verbal
Secara pragmatik, tuturan sebagai tindakan verbal merupakan tuturan
yang sama-sama dimiliki oleh pembicara dan lawan bicara. Akan tetapi
tuturan secara gramatikal merupakan tuturan berupa kalimat yang
digunakan oleh penutur dan mitra tutur untuk memahami maksud suatu
percakapan.
Dalam penelitian ini, terdapat beberapa fungsi yang dapat diperankan oleh
konteks situasi. Fungsi ini diperoleh dari hasil penelitian saudari Elfriska
Kurni Tau yang berjudul Kajian Elemen dan Fungsi Konteks Situasi dalam
Menentukan Maksud Berbahasa Para Mahasiswa dan Dosen di Prodi PBSI Universitas Sanata Dharma Tahun Akademik 2017/2018. Adapun fungsi tersebut antara lain sebagai berikut, (1) memberi informasi lanjutan, fungsi ini
berguna untuk menyampaikan informasi secara lebih lanjut dari informasi
sebelumnya. Dengan begitu informasi yang diperoleh mitra tutur semakin
bertambah. (2) memberi informasi rinci, fungsi ini memberikan informasi
secara mendalam atau lebih detail mengenai suatu hal untuk memperoleh
kejelasan. (3) fungsi konteks memastikan, konteks berguna untuk
37
mengenai suatu hal yang dirasa masih meragukan. (4) memberi motivasi,
konteks memberi dan mendorong seseorang agar terus menjalankan hal-hal
yang mendukung tercapainya sesuatu yang diinginkan.
2.3 Kerangka Berpikir
Penelitian yang berjudul “Kajian Pragmatik Konteks Ekstralinguistik dalam
Pertuturan antara Rohaniwan dengan Umat di Gereja Katolik Santo Petrus Kanisius Wonosari Gunungkidul Yogyakarta” menggunakan teori kajian pragmatic dan teori
konteks. Adapun konteks dibagi menjadi beberapa macam, diantaranya (1) konteks
kultural, (2) konteks situasional, (3) Konteks sosial, dan (4) konteks sosietal.
Keempat konteks tersebut selanjutnya akan dijadikan sebagai dasar untuk
menganalisis data dengan memperhatikan elemen apasajakah yang terdapat dalam
pertuturan antara rohaniwan dengan umatnya di Gereja Katolik Santo Petrus Kanisius
38
Kajian Pragmatik Konteks Ekstralinguistik dalam Pertuturan antara Rohaniwan dengan Umat di Gereja Katolik Santo Petrus Kanisius Wonosari Gunungkidul Yogyakarta
Linguistik
Pragmatik
Konteks
Konteks Ekstralinguistik
Konteks Sosial Konteks Kultural Konteks Situasional
Pertuturan antara Rohaniwan dengan Umat di Gereja Katolik Santo Petrus Kanisius Wonosari Gunungkidul Yogyakarta
1. Mengetahui elemen konteks ekstralinguistik dalam
pertuturan antara
rohaniwan dengan umatnya.
3. Mengetahui fungsi konteks ekstralinguistik dalam
pertuturan antara
rohaniwan dengan umatnya. Konteks Sosietal
39 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan untuk mengetahui konteks ekstralinguistik
dalam pertuturan antara rohaniwan dengan umat di Gereja Katolik Santo Petrus
Kanisius Wonosari Gunungkidul Yogyakarta termasuk jenis penelitian kualitatif yang
bersifat deskriptif. Penelitian tersebut termasuk jenis penelitian kualitatif deskkriptif
karena data yang diteliti berupa kata-kata dan bukan angka-angka. Penelitian
kualitatif adalah kegiatan yang berlangsung secara simulant dengan kegiatan analasisi
data (Mahsun, 2005: 257).
Menurut Sudaryanto (2015: 15) mengemukakan bahwa metode kualitatif
adalah metode penelitian yang semata-mata hanya berdasarkan fakta yang ada atau
fenomena yang memang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya sehingga
yang dihasilkan atau dicatat berupa data yang apa adanya.
3.2 Sumber Data dan Data Penelitian
Sumber data penelitian ini adalah rohaniwan dengan umat di Gereja Katolik
Santo Petrus Kanisius Wonosari Gunungkidul Yogyakarta. Rohaniwan yang menjadi
sumber data penelitian merupakan romo dan suster. Data yang diperoleh berupa