• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PRAGMATIK KONTEKS EKSTRALINGUISTIK PERTUTURAN ANTARA ROHANIWAN DENGAN UMAT: STUDI KASUS SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN PRAGMATIK KONTEKS EKSTRALINGUISTIK PERTUTURAN ANTARA ROHANIWAN DENGAN UMAT: STUDI KASUS SKRIPSI"

Copied!
216
0
0

Teks penuh

(1)

i SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Disusun oleh:

Rebecca Ayu Ciptaningtyas 151224021

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2019

(2)

SKRIPSI

KAJIAN PRAGMATIK KONTEKS EKSTRALINGUISTIK PERTUTURAN ANTARA ROHANIWAN DENGAN UMAT: STUDI KASUS

Oleh:

Rebecca Ayu Ciptaningtyas

NLM: 151224021

Telah disetujui oleh

31 Mei 2019

(3)

KAJIAN PRAGMATIK KONTEKS EKSTRALINGUISTIK PERTUTURAN ANTARA ROHANIWAN DENGAN UMAT: STUDI KASUS

Dipersiapkan dan ditulis oleh Rebecca Ayu Ciptaningtyas

NIM: 151224021

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 8 Juli 2019

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap

Ketua : Rishe Pumatna Dewi, S.Pd., M.Hum. Sekretaris

Anggota 1 Anggota2 Anggota 3

: Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. : Dr. B. ~idharyanto, M.Pd. : Prof. Pranowo, M.Pd.

: Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum.

iii

Y ogyakarta, 8 Juli 2019 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma

(4)

iv

Seiring dengan ucapan syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat dan rahmad

yang telah dilimpahkan, sehinga saya dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Saya

mempersembahkan karya ini untuk:

Kedua orang tua saya, Bapak Antonius Edi Purwanta dan Ibu Yustina Maria Sri Astuti yang

selalu setia dan henti memberikan dukungan baik secara moril, materiil dan spiritual selama

proses belajar dan penyelesaian tugas akhir ini.

Kakak saya Angela Janice Christian Dewi yang telah menemani, memberikan nasehat dan

dukungan selama proses belajar dan penyelesaian tugas akhir ini.

Bagi teman-teman senasib seperjuangan Yosefin Ratnalestari, Anastasia Wilis Novita, Yohanna

Dwi Setyaningsih, Oktaviano Aditya Murti, dan Metodius Ardana yang telah membantu dan

memberikan dukungan selama penyelesaian tugas akhir ini.

Bagi teman-teman yang selalu ada untuk saya Yosefin Ratnalestari, Angela Marlyn Primatika,

dan Ririn Siswanti.

Bagi teman-teman PBSI angkatan 2015 yang selama ini telah memberikan dukungan,

(5)

v

Lakukanlah segala pekerjaanmu dalam kasih!

(1 Korintus 16:14)

Dream, believe and make it happen.

(Agnezmo)

“It’s your road and you are alone. Others may walk with you, but no one can walk It for you.”

(6)

PERNY ATAAN KEASLIAN KARY A

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa, skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah.

vi

Yogyakarta, 8 Juli 2019

Penulis

(7)

PUBLlKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswi Universitas Sanata Dharma

Nama : Rebecca Ayu Ciptaningtyas

NIM : 151224021

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, Skripsi saya berjudul:

KAJIAN PRAGMATIK KONTEKS EKSTRALINGUISTIK PERTUTURAN ANTARA ROHANIWAN DENGAN UMAT: STUDI KASUS

Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perJu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama say a sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Y ogyakarta

Pada tanggal: 8 Juli 2019

~~

enYntakan

\'

Rebecc

~OZ

n~as

(8)

viii

Ciptaningtyas, Rebecca Ayu. 2019. Kajian Pragmatik Konteks Ekstralinguistik Pertuturan antara Rohaniwan dengan Umat: Studi Kasus. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, FKIP, USD.

Penelitian ini membahas kajian elemen dan fungsi konteks ekstralinguistik dalam pertuturan antara rohaniwan dengan umat. Penelitian ini dilakukan karena adanya tuturan antara rohaniwan dengan umat yang dipengaruhi oleh konteks atau latar belakang berbeda-beda, sehingga menghasilkan maksud dan makna berbeda-beda pula. Tujuan dari penelitian ini, yakni (1) mendeskripsikan elemen konteks ekstralinguistik dalam pertuturan antara rohaniwan dengan umat di Gereja Katolik Santo Petrus Wonosari Gunungkidul, (2) mendeskripsikan fungsi konteks ekstralinguistik dalam pertuturan antara rohaniwan dengan umat di Gereja Katolik Santo Petrus Kanisius Wonosari.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini adalah rohaniwan dan umat di Gereja Katolik Santo Petrus Kanisius Wonosari. Sementara itu, data berupa tuturan antara rohaniwan dengan umat yang di dalamnya mengandung konteks ekstralinguistik. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak dengan teknik Simak Libat Cakap (SLC), Simak Bebas Libat Cakap (SBLC), teknik rekam dan teknik catat. Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan teknik analisis deskriptif.

Hasil dari penelitian ini yaitu, (i) konteks ekstralinguistik muncul pada tuturan antara rohaniwan dengan umat yakni 10 konteks sosietal, 10 konteks situasi, 7 konteks sosial dan 3 konteks kultural, (ii) peneliti menemukan beberapa pola elemen konteks ekstralinguistik dalam pertuturan antara rohaniwan dengan umat, (iii) peneliti menemukan beberapa fungsi konteks ekstralinguistik dalam pertuturan antara rohaniwan dengan umat yang dapat dirangkum menjadi, fungsi menyampaikan pesan, memberikan informasi, meminta bantuan dan fungsi memastikan informasi.

Kata Kunci: elemen konteks ekstralinguistik, pola elemen konteks ekstralinguistik, fungsi konteks ekstralinguistik.

(9)

ix

Between Priest and Congregation: Case Study. Thesis. Yogyakarta: PBSI, FKIP,

USD.

This research discusses about the study of elements and functions of extralinguistic context in speech between priest and congregation. This research was carried out because there are differences in speech between priest and congregation that involved by the contexts or difference backgrounds, so that different purposes and meanings were produced. The purpose of this study (1) to describe the elements of the extralinguistic context in speech between priest and congregation in the Catholic Church of St. Peter Wonosari Gunungkidul, (2) to describe the extralinguistic method in speech between priest and congregation in the Catholic Church of St. Peter Kanisius Wonosari.

This research is a qualitative descriptive study. The data sources in this study are priest and congregation in the Catholic Church of St. Peter Kanisius Wonosari. Meanwhile, the data contains speech between priest and congregation in which contain an extralinguistic context. The method of collecting data in this study used the simak method with Simak, Libat, Cakap (SLC) technique, Simak, Bebas, Libat, Cakap (SBLC), recording technique and note technique. In analyzing the data, researchers used descriptive analysis techniques.

The results of this study are, (i) the extralinguistic context arises from speeches between priest and congregation, which are 10 societal contexts, 10 conversational contexts, 7 social contexts and 3 cultural contexts, (ii) research finds patterns of extralinguistic research in the speech between priest and conngregation, (iii) the researcher found several functions of the extralinguistic context in the speech between priest and congregation which can be summarized become, the function of conveying messages, providing information, asking for help and the function of ensuring information.

Keywords: elements of the extralinguistic context, the pattern of elements of the extralinguistic

(10)

x

Puji dan syukur saya haturkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas karunia, berkah dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi berjudul Konteks Ekstralinguistik dalam Pertuturan antara Rohaniwan dengan umat dengan lancar. Penyusunan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjan Pendidikan, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, pada Fakulltas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

Saya menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari dukungan, bantuan, semangat, nasehat, dukungan doa, serta kerja sama yang tak ternilai harganya dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si., selaku Dekan fakultas Keguruan dan Ilmuu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

2. Rishe Purna Dewi, S.Pd., M.Hum., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia.

3. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., selaku dosen pembimbing yang selalu sabar memberikan waktu, tenaga, nasihat, arahan dan bimbingan kepada peneliti.

4. Dr. Yuliana Setyaningsih, M.Pd., yang telah bersedia menjadi triangulator data penelitian tugas akhir ini.

5. Segenap dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia yang telah membimbing dan mendidik peneliti dengan penuh kesabaran.

6. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah membantu peneliti dalam menemukan referensi dan menjadi tempat untuk menyelesaikan penelitian ini.

7. Romo, Suster, Ibu Bapak dan semua umat di Gereja Katolik Santo Petrus Kanisius Wonosari Gunungkidul yang telah memberikan kesempatan bagi peneliti untuk mengumpulkan data penelitian.

8. Theresia Rusmiyati, selaku karyawan sekretariat PBSI yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi

9. Bagi kedua orang tua, Bapak Antonius Edi Purwanta dan Ibu Yustina Maria Sri Astuti yang selalu memberikan dukungan baik secara moril, materiil dan spiritual kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan penelitian ini.

(11)

penulis selarna rnengerjakan skripsi.

11. Ternan-ternan yang selalu rnenernani saya selarna proses penyelesaian skripsi Y osefin Ratnalestari, Angela Marlyn Prirnatika, Ririn Siswanti, Maria Erlina W.

12. Ternan-ternan sepayung Yosefin Ratnalestari, Anastasia Wilis Novita, Yohana Dwi Suryaningsih, Oktavianius Rornanues, dan Ardana yang telah setia berjuang bersarna dalarn rnenyelesaikan penelitian ini.

13. Bagi ternan-ternan PBSI terkhusus angkatan 2015 A yang telah rnernberikan sernangat, kerja keras, tanggung jawab, dan pantang rnenyerah selarna proses belajar dan penyelesaian penelitian ini.

14. Sernua pihak yang telah rnernbantu dan rnernberikan dukungan bagi penulis.

Penulis rnenyadari bahwa tulisan ini rnasih jauh dari yang diharapkan. Narnun penulis berharap skripsi ini dapat berrnanfaat bagi para pernbaca.

Y ogyakarta, 8 Juli 2019

~

Y

Penulis

(12)

xii

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMISI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.5 Batasan Istilah ... 6

1.6 Sistematika Penelitian ... 8

BAB II STUDI KEPUSTAKAAN ... 10

2.1 Penelitian yang Relevan ... 10

2.2 Landasan Teori... 13

2.2.1 Pragmatik ... 13

2.2.2 Konteks ... 15

2.2.3 Hakikat Konteks Linguistik ... 17

2.2.4 Hakikat Konteks Ekstralinguistik ... 17

2.2.4. 1Konteks Sosial ... 18

2.2.4.2 Elemen dan Fungsi Konteks Sosial... 19

2.2.4.3 Konteks Sosietal... 23

(13)

xiii

2.2.4.7 Konteks Situasi ... 32

2.2.4.8 Elemen dan Fungsi Konteks Situasi ... 34

2.3 Kerangka Berpikir ... 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 39

3.1 Jenis Penelitian... 39

3.2 Sumber Data dan Data Penelitian ... 39

3.3 Objek Penelitian ... 40

3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 40

3.5 Instrumen Penelitian ... 43

3.6 Metode dan Teknik Analisis Data... 43

3.7 Triangulasi Data ... 45

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 47

4.1 Deskripsi Data ... 47

4.2 Hasil Analisis ... 52

4.2.1 Konteks Situasi ... 53

4.2.2 Pola Elemen Konteks Situasi ... 54

4.2.2.1 Konteks yang Mengandung 5 Elemen ... 54

4.2.2.2 Konteks yang Mengandung 4 Elemen ... 57

4.2.3 Konteks Kultural ... 59

4.2.4 Pola Elemen Konteks Kultural ... 60

4.2.4.1 Pola Elemen SPEAKING ... 60

4.2.5 Konteks Sosietal ... 63

4.2.6 Pola Elemen Konteks Sosietal ... 63

4.2.6.1 Elemen O,O,E,M,U,B,I,C,A,R,A ... 64

4.2.6.2 Elemen O,O,E,M,A,U,B,I,C,A,R,A ... 66

4.2.6.3 Elemen O,O,E,M,U,B,I,C,A,A ... 68

4.2.7 Konteks Sosial ... 70

4.2.8 Pola Elemen Konteks Sosial ... 71

(14)

xiv

4.2.8.3 Elemen OOEMUBICARA ... 76

4.2.8.4 Elemen OOEMUBICAA ... 77

4.2.9 Fungsi Konteks Situasi ... 79

4.2.9.1 Menyampaikan Pesan Kepada Peserta Tutur ... 79

4.2.9.2 Memberikan Motivasi ... 82

4.2.9.3 Memberi Informasi Lanjutan ... 83

4.2.9.4 Memastikan Informasi ... 85

4.2.10 Fungsi Konteks Kultural ... 86

4.2.10.1 Fungsi Memastikan Informasi... 87

4.2.10.2Memberi Informasi Tambahan ... 88

4.2.11 Fungsi Konteks Sosietal... 90

4.2.11.1Memberi Informasi untuk Memperoleh Keputusan/ Kepastian ... 90

4.2.11.2 Memastikan Informasi ... 92

4.2.11.3 Memberi Informasi Tambahan ... 93

4.2.11.4 Meminta Bantuan ... 94

4.2.12 Fungsi Konteks Sosial ... 96

4.2.12.1 Fungsi Memberi Informasi Tambahan Sebelum Peristiwa Tuturan ... 96

4.2.12.2 Fungsi Memastikan Informasi ... 98

4.2.12.3 Memberikan Keterangan Keadaan/ Kondisi Peserta Tutur ... 100

4.2.12.4 Memberikan Informasi Tambahan Pengetahuan Peserta Tutur ... 101

4.3 Pembahasan... 102 BAB V PENUTUP ... 106 5.1 Simpulan ... 106 5.2 Saran ... 108 DAFTAR PUSTAKA ... 110 LAMPIRAN

(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

Pada bab pendahuluan ini memaparkan: a) latar belakang, b) rumusan masalah, c)

tujuan penelitian, d) manfaat penelitian, e) batasan istilah, dan f) sistematika

penyajian. Paparan selengkapnya disampaikan sebagai berikut:

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk sosial. Hal tersebut tercermin pada setiap segi

kehidupan manusia yang saling membutuhkan satu sama lain untuk bertahan hidup.

Setiap manusia tentu memerlukan komunikasi untuk mencapai kebutuhannya.

Berdasarkan cara penyampaiannya komunikasi tersebut dapat berupa komunikasi

lisan dan komunikasi tertulis. Komunikasi lisan yakni pertuturan langsung yang

dilakukan secara tatap muka tanpa adanya jarak apapun, sedangkan komunikasi

tertulis merupakan komunikasi yang disampaikan melalui media tulisan. Ketika

komunikasi lisan berlangsung seseorang harus dapat memahami makna dan maksud

yang disampaikan oleh penutur. Ketika komunikasi berlangsung, seseorang tidak

cukup hanya memperhatikan tuturan kebahasaannya saja, melainkan juga perlu untuk

memperhatikan segala aspek non kebahasaan yang disampaikan oleh penutur kepada

mitra tutur. Dalam ilmu kebahasaan, hal tersebut dipelajari dalam salah satu cabang

ilmu linguistik yakni pragmatik. Pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari

(16)

2

konteks situasi tutur di dalam masyarakat dan wahana kebudayaan yang mewadahi

dan melatarbelakanginya (Rahardi, 2003: 15). Hal-hal yang berada di luar unsur

kebahasaan disebut dengan istilah ekstralinguistik. Ekstralinguistik memiliki salah

satu penanda yakni konteks. Konteks merupakan aspek-aspek yang berhubungan

dengan lingkungan fisik dan sosial pada sebuah tuturan (Leech, 1983: 19). Konteks

pada ilmu pragmatik dibagi menjadi beberapa jenis diantaranya, yakni konteks sosial,

konteks sosietal, konteks kultural dan konteks situasional.

Dalam kehidupan sehari-hari, terdapat beberapa kebutuhan yang dibutuhkan oleh

manusia. Salah satu kebutuhan tersebut adalah kebutuhan rohani. Kebutuhan rohani

merupakan kebutuhan yang berhubungan dengan ketuhanan, iman dan kepercayaan

kepada sang pencipta. Setiap manusia pasti memiliki suatu kepercayaan atau agama

tertentu sebagai landasaan dalam melakukan tindakan baik dan buruk di setiap segi

kehidupannya. Dalam penelitian ini, peneliti akan mengamati pertuturan antara

rohaniwan dengan umatnya di Gereja Katolik Santo Petrus Kanisius Wonosari

Gunungkidul. Rohaniwan yang akan menjadi sumber data penelitian, yakni romo dan

suster, sedangkan umat yang akan menjadi sumber data penelitian yakni kaum

beriman kristiani yang berada di lingkup Gereja Katolik Santo Petrus Kanisius

Wonosari Gunungkidul. Latar belakang umat yang berasal dari berbagai kalangan,

tentu akan menimbulkan pertuturan yang berbeda pula. Kepentingan bertutur antara

rohaniwan dengan umat pun beragam. Dalam kegiatan bertutur terdapat beberapa

(17)

3

Ragam formal digunakan dalam situasi resmi atau formal, sehingga bahasa yang

digunakan menggunakan bahasa baku. Misalnya saat sedang rapat, upacara, ibadat

dan sebagainya. Sebaliknya ragam informal digunakan dalam situasi santai dan akrab,

sehingga bahasa yang digunakan yakni bahasa tidak baku atau menggunakan bahasa

sehari-hari seperti saat berbicara dengan teman dan sebagainya. Dalam penelitian ini,

peneliti akan meneliti pertuturan baik yang menggunakan ragam bahasa formal

maupun ragam informal antara rohaniwan dengan umat di Gereja Katolik Santo

Petrus Kanisius Wonosari. Apabila partisipan yang terlibat yakni penutur dan mitra

tutur memperhatikan konteks maka pertuturan akan berjalan lancar dan maksud

tersampaikan dengan baik. Oleh karena itu, terlihat dengan jelas bahwa konteks

memegang peranan penting dalam proses pemaknaan bahasa.

Peneliti beranggapan bahwa konteks ekstralinguistik dalam pertuturan antara

rohaniwan dengan umat memiliki ciri khas tersendiri. Ciri tersebut tentunya akan

berbeda dengan pertuturan antara guru dengan siswa, dosen dengan mahasiswa,

pedagang dengan pembeli, maupun konselor dengan konselernya. Hal tersebut

menjadi hal yang menarik perhatian bagi peneliti untuk mengamati elemen konteks

ekstralinguistik dan fungsi konteks ekstralinguistik dengan objek penelitian yaitu

rohaniwan dan umat. Peneliti berharap agar penelitian ini dapat memberikan

wawasan lebih terkait pertuturan rohaniwan dengan umatnya dilihat dari sudut

(18)

4 1.2 Rumusan Masalah

1. Apa sajakah elemen konteks ekstralinguistik dalam pertuturan antara

rohaniwan dengan umat di Gereja Katolik Santo Petrus Kanisius Wonosari

Gunungkidul Yogyakarta?

2. Apa sajakah fungsi konteks ekstralinguistik dalam pertuturan antara

rohaniwan dengan umat di Gereja Katolik Santo Petrus Kanisius Wonosari

Gunungkidul Yogyakarta?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan penelitian dapat

dijabarkan sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan elemen konteks ekstralinguistik dalam pertuturan antara

rohaniwan dengan umat di Gereja Katolik Santo Petrus Kanisius Wonosari

Gunungkidul Yogyakarta.

2. Mendeskripsikan fungsi konteks ekstralinguistik dalam pertuturan antara

rohaniwan dengan umat di Gereja Katolik Santo Petrus Kanisius Wonosari

Gunungkidul Yogyakarta.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian mengenai kajian pragmatik konteks ekstralinguistik dalam pertuturan

(19)

5

Gunungkidul Yogyakarta ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi beberapa pihak.

Terdapat dua manfaat penelitian yaitu berupa manfaat teoritis dan manfaat praktis.

Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menambah wawasan dan

khasanah pengetahuan serta memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu

pragmatik khususnya dalam bidang kajian pragmatik konteks ekstralinguistik

dalam pertuturan antara rohaniwan dengan umat di Gereja Katolik Santo Petrus

Kanisius Wonosari, Gunungkidul Yogyakarta.

2. Manfaat Praktis a. Bagi peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menambah pengetahuan

dan memberikan gambaran mengenai konteks ekstralinguistik dalam

pertuturan antara rohaniwan dengan umat di Gereja Katolik Santo Petrus

Kanisius Wonosari Gunungkidul Yogyakarta.

b. Bagi program studi

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak jurusan

dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kompetensi dalam proses

belajar mengajar di Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia,

(20)

6

Yogyakarta. Hal tersebut perlu menjadi perhatian khusus sehingga proses

komunikasi dapat diterima dan dipahami secara lebih baik dengan

memperhatikan konteks.

1.5 Batasan Istilah

Penulis memberikan batasan istilah agar memiliki konsep yang digunakan dalam

penelitian ini. Batasan istilah yang digunakan sebagai berikut:

1. Pragmatik

Mey dalam Rahardi (2003: 15) mengungkapkan “Pragmatic is the study of the

conditions of human language uses as these are determined by the context of society.” Yang berarti pragmatik merupakan ilmu bahasa yang mempelajari penggunaan bahasa berdasarkan konteks situasi tutur dalam masyarakat dan

kebudayaan yang melatarbelakanginya.

2. Konteks

Rahardi (2005: 51) mendefinisikan konteks merupakan semua latar belakang

pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki penutur dan mitra tutur yang

mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan penutur itu dalam

(21)

7 3. Konteks Ekstralinguistik

Konteks ekstralinguistik merupakan hal-hal yang berada di luar kebahasaan.

Dalam buku karangan Kunjana Rahardi yang berjudul “Pragmatik Fenomena Kesantunan Berbahasa” menjelaskan bahwa konteks ekstralinguistik adalah

hal-hal di luar kebahasaan (yang melatarbelakangi sebuah pertuturan).

4. Konteks Sosial

Mey dalam Rahardi (2003: 15) mengungkapkan konteks sosial merupakan

konteks kebahasaan yang timbul sebagai akibat dari munculnya komunikasi dan

interaksi antar anggota masyarakat dengan latar belakang sosial budaya yang

sangat tertentu sifatnya.

5. Konteks Sosietal

Mey dalam Rahardi (2003: 15) mengungkapkan konteks sosietal merupakan

konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan sosial relalif (relative social

rank) setiap anggota masyarakat di dalam institusi-institusi yang ada pada masyarakat dan lingkungan sosial tertentu.

6. Konteks Situasional

Cutting (2002: 1-5) dalam Baryadi (2015: 32) menyatakan bahwa konteks situasi

(22)

8

Hal ini menyangkut pengetahuan fisik, sosial, psikologi serta waktu dan tempat

tuturan dihasilkan.

7. Konteks Kultural

Halliday (1989) menyebutkan bahwa konteks kultural merupakan “Context

cultural is the institusional and ideological background that give value to the text and contains its interpretation. Artinya, konteks kultural sebagai latar belakang institusional dan ideologis yang memberikan nilai pada tutunan yang harus

diinterpretasikan karena menggambarkan kebudayaan.

1.6 Sistematika Penelitian

Penelitian ini dijabarkan dalam lima bab yang diuraikan secara sistematis sebagai

berikut:

Bab I berisi tentang pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang penelitian,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah serta

sistematika penelitian. Bab II tentang studi pustaka yang menguraikan beberapa hal,

sebagai berikut: penelitian yang relevan, pragmatik, konteks, hakikat konteks

linguistic, hakikat konteks ekstralinguistik, konteks sosial, elemen dan fungsi konteks

sosial, konteks sosietal, elemen dan fungsi konteks sosietal, konteks kultural, elemen

dan fungsi konteks kultural, konteks situasional, elemen dan fungsi konteks

situasional. Pada bab III akan dijelaskan tentang metodologi penelitian yang

(23)

9

objek analisis data serta trianggulasi. Bab IV berisi pembahasan berdasarkan data

yang telah diperoleh. Bab V merupakan bab terakhir dalam penelitian. Pada bab V

(24)

10 BAB II

STUDI KEPUSTAKAAN 2.1 Penelitian yang Relevan

Peneliti menemukan beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan

penelitian yang akan dilakukan. Penelitian tersebut merupakan penelitian yang

dilakukan oleh Priscilla Felicia Elu (2018), Kristina Jayanti Andang (2018),

Philipus Wai Lawet (2018), dan Lastri Rindiyantika (2018). Keempat penelitian

tersebut memiliki topik penelitian yang sama, yakni meneliti mengenai elemen

dan fungsi konteks dalam menentukan maksud berkomunikasi.

Penelitian yang disusun oleh saudari Priscilla Felicia Elu berjudul ”Kajian

Elemen dan Fungsi Konteks Sosio-Kultural dalam Menentukan Maksud

Berbahasa Para Mahasiswa Berlatar Belakang Kultur Jawa Prodi PBSI

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada Semester Gasal Tahun Akademik 2017/ 2018”. Penelitian tersebut, mendeskripsikan tentang apa saja elemen dan

bagaimana fungsi konteks sosio-kultural dalam menentukan maksud berbahasa

para mahasiswa berlatar belakang kultur Jawa prodi PBSI Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta pada Semester Gasal Tahun Akademik 2017/ 2018. Adapun

kesamaan antara penelitian saya dengan penelitian tersebut adalah sama-sama

meneliti terkait elemen dan fungsi konteks, sedangkan perbedaannya terletak pada

(25)

11

yakni konteks sosiokultural dan subjek penelitianya merupakan mahasiswa

berlatar belakang kultur Jawa di Prodi PBSI Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta pada Semester Gasal Tahun Akademik 2017/ 2018.

Penelitian yang relevan berikutnya adalah penelitian dari saudari Kristina

Jayanti Andang yang berjudul “Kajian Elemen dan Fungsi Konteks Situasi dalam

Menentukan Maksud Berbahasa Mahasiswa dan Dosen di Prodi PBSI Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada Semester Gasal Tahun Akademik 2017/ 2018”.

Pada penelitian tersebut, saudari Kristina Jayanti Andang melakukan penelitan

dengan mendeskripsikan tentang apa saja elemen dan bagaimana fungsi konteks

situasi dalam menentukan maksud berbahasa mahasiswa dan dosen di Prodi PBSI

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada Semester Gasal Tahun Akademik 2017/ 2018”. Penelitian tersebut memiliki kesamaan dan perbedaaan dengan

penelitian yang akan saya lakukan. Persamaan penelitian tersebut adalah

sama-sama meneliti tentang elemen dan fungsi konteks, sedangkan perbedaannya

terletak pada piranti analisis dan objeknya. Pada penelitian tersebut saudari

Kristina Jayanti Andang menggunakan konteks situasi sebagai fokus analisisnya,

sedangkan dalam penelitian saya menggunakan konteks dan berbagai macamnya.

Selain itu, subjek penelitian yang digunakan pun berbeda dengan dengan

penelitian ini.

Berikutnya penelitian yang dilakukan oleh Lastri Rindiyantika yang berjudul ”Kajian Elemen dan Fungsi Konteks Sosietal dalam Maksud Berkomunikasi

(26)

12

antara Mahasiswa dan Dosen FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Tahun Akademik 2017/ 2018”. Penelitian ini mendeskripsikan tentang apa saja

elemen dan fungsi konteks sosietal dalam menentukan maksud berkomunikasi

antara mahasiswa dan dosen FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Tahun

Akademik 2017/ 2018. Persamaan penelitian yang akan diteliti dengan penelitian

tersebut adalah sama-sama meneliti tentang elemen dan fungsi konteks,

sedangkan perbedaannya terletak pada fokus analisis dan objeknya. Dalam

penelitian tersebut piranti yang menjadi fokus penelitian yakni konteks sosietal,

sedangkan peneliti menggunakan piranti analisis konteks dan berbagai

macamnya. Subjek yang digunakan pada penelitian tersebut pun berbeda dengan

subjek yang akan digunakan pada penelitian ini.

Penelitian relevan yang terakhir adalah penelitian dari saudara Pilipus Wai

Lawet yang berjudul “Kajian Elemen dan Fungsi Konteks Sosial dalam

Menentukan Maksud Berkomunikasi Antarmahasiswa dan Dosen Non-FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Tahun Akademik 2017/ 2018”. Pada

penelitian tersebut, saudara Pilipus Wai Lawet meneliti tentang apa saja elemen

dan bagaimana fungsi konteks sosial dalam menentukan maksud berkomunikasi

antarmahasiswa dan dosen non-FKIP. Adapun persamaan penelitian ini dengan

penelitian tersebut adalah sama-sama meneliti tentang elemen dan fungsi konteks,

sedangkan perbedaannya terletak pada fokus yang akan dianalisis dan subjeknya.

(27)

13

analisis konteks sosial, sedangkan penelitian yang akan diteliti menggunakan

piranti analisis konteks dan berbagai macamnya meliputi konteks sosial, sosietal,

kultural, dan situasional. Subjek yang digunakan oleh Pilipus Wai Lawet juga

berbeda dengan penelitian yang akan diteliti.

2.2 Landasan Teori

Dalam sub bab ini, peneliti akan memaparkan beberapa teori yang mendukung

penelitian. Adapun teori tersebut antara lain: (1) pragmatik, (2) konteks, (3)

hakikat konteks linguistik, (4) hakikat konteks ekstralinguistik, (5) konteks sosial,

(6) elemen dan fungsi konteks sosial, (6) konteks sosietal, (7) elemen dan fungsi

konteks sosietal, (8) konteks kultural, (9) elemen dan fungsi konteks kultural, (10)

konteks situasional, (11) elemen dan fungsi konteks situasional. Berikut

penjelasan teori-teori yang digunakan sebagai pendukung penelitian.

2.2.1 Pragmatik

Pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu linguistik yang berkaitan

dengan hadirnya konteks. Dengan kata lain, konteks menjadi penentu dalam

analisis pragmatik. Hal tersebut diperjelas dalam definisi konteks menurut

Rahardi (2005:49) dalam bukunya yang berjudul Pragmatik: Kesantunan

Imperatif Bahasa Indonesia mengemukakan bahwa pragmatik merupakan ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia yang pada

(28)

14

melatarbelakangi. Pentingnya konteks dalam pragmatik juga ditekankan oleh

Wijana dalam (Nadar, 2009: 4) yang menyebutkan bahwa pragmatik mengkaji

makna yang terikat konteks. Definisi tersebut sama halnya dengan pendapat

Mey (1993: 42) dalam Rahardi (2003: 15) pragmatik merupakan ilmu bahasa

yang mempelajari tentang pemakaian atau penggunaan bahasa, yang pada

dasarnya selalu harus ditentukan oleh konteks situasi tutur di dalam

masyarakat dan wahana kebudayaan yang mewadahi dan

melatarbelakanginya. Berdasarkan ketiga pendapat pakar di atas dapat ditarik

kesimpulan bahwa pragmatik berkaitan dengan konteks tuturan yang

melatarbelakanginya, sehingga akan menimbulkan interpretasi yang sama

antara penutur dan mitra tuturnya.

Pakar lain yaitu, Kridalaksana, (1993) dalam Putrayasa (2014: 27)

pragmatik adalah (1) aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa

yang memberikan sumbangan pada makna ujaran, (2) syarat-syarat yang

mengakibatkan serasi atau tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi.

Pemakaian bahasa dalam komunikasi berpengaruh terhadap makna dan

maksud yang diinterpretasikan atau ditafsirkan oleh mitra tutur (pendengar

atau pembaca). Pemakaian bahasa yang tepat akan menghasilkan tafsiran

makna dan maksud yang tepat pula. Pemakaian bahasa tersebut tentu

disesuaikan dengan konteks masyarakat pengguna bahasa. Hal ini diperjelas

(29)

15

mempelajari tentang studi makna yang disampaikan oleh penutur (atau

penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (pembaca). Kedua pakar tersebut

memiliki kesamaan dalam memahami definisi pragmatik, yaitu pragmatik

sebagai suatu cabang ilmu bahasa yang menelaah tentang aspek pemakaian

bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dengan mitra tutur untuk

memperoleh makna ujaran yang dikaitkan pada hal-hal ekstralingual atau

konteks di luar bahasa.

Berdasarkan beberapa pendapat pakar di atas, dapat didefinisikan bahwa

pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang mempelajari bahasa dalam

pemakaiannya dan dikaitkan dengan konteks ekstralingual atau situasi yang

melatarbelakanginya, sehingga maksud yang hendak disampaikan oleh

penutur dipahami oleh mitra tutur.

2.2.2 Konteks

Sebelum membahas lebih jauh mengenai hakikat konteks linguistik dan

konteks ekstralinguistik, kita akan membahas mengenai hakikat konteks.

Konteks sangat penting dalam kajian pragmatik. Leech (1983:19)

mendefinisikan konteks adalah aspek-aspek yang berhubungan dengan

lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan dan pengetahuan latar belakang

yang secara bersama dimiliki oleh penutur (P) dan mitra turut (MT). Menurut

Pranowo (2015) dalam Prosiding Seminar Nasional PBSI XXXII yang

(30)

16

belakang pengetahuan yang dimiliki oleh pembicara dan pendengar sehingga

dapat saling berkomunikasi untuk menyampaikan maksud. Kedua pendapat

tersebut sejalan dengan pendapat Rahardi (2005: 51) konteks adalah semua

latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki oleh

penutur dan mitra tutur serta mendukung intepretasi mitra tutur atas apa yang

disampaikan oleh penutur dalam proses bertutur.

Pendapat pakar lain yang dapat memperjelas definisi konteks yaitu

Kridalaksana (2011: 134) mengemukakan bahwa konteks adalah (1)

aspek-aspek lingkungan fisik atau sosial yang kait mengait dengan ujaran tertentu,

(2) pengetahuan yang sama-sama memiliki pembicara dan pendengar

sehingga pendengar paham apa yang dimaksud pembicara.

Beberapa pakar di atas mengasumsikan bahwa hakikat konteks merupakan

latar belakang pengetahuan yang sama antara penutur dan mitra tutur dalam

suatu pertuturan, sehingga maksud tuturan dapat tersampaikan dengan baik

dan dapat dimengerti. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan definisi

konteks merupakan latar belakang dan situasi lingkungan yang diasumsikan

sama oleh penutur dan mitra tutur dalam sebuah pertuturan, sehingga makna

(31)

17 2.2.3 Hakikat Konteks Linguistik

Supardo (2000:46) membagi konteks menjadi konteks bahasa (linguistik)

dan konteks di luar bahasa (nonlinguistik). Konteks bahasa berupa unsur yang

membentuk struktur lahir, yakni bunyi, kata, kalimat, dan ujaran atau teks.

Konteks nonbahasa adalah konteks yang tidak termasuk unsur kebahasaan.

Yule (2015: 190) konteks linguistik disebut juga co-text. Co-text dari

sebuah kata adalah rangkaian kata lain yang digunakan dalam frasa atau

kalimat yang sama. Konteks linguistik mengacu pada suatu makna yang

kemunculannya dipengaruhi oleh struktur kalimat atau keberadaan suatu kata

atau frasa yang mendahului atau mengikuti unsur-unsur bahasa (kata/frasa)

dalam suatu kalimat. Konteks linguistik berhubungan dengan unsur-unsur

kebahasaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konteks linguistik

merupakan konteks wacana atau lingkungan wacana yang berupa unsur-unsur

bahasa.

2.2.4 Hakikat Konteks Ekstralinguistik

Konteks ekstralinguistik merupakan hal-hal yang berada di luar kebahasaan. Dalam buku karangan Kunjana berjudul “Pragmatik Fenomena

Kesantunan Berbahasa” menjelaskan bahwa konteks ekstralinguistik adalah

hal-hal di luar kebahasaan (yang melatarbelakangi sebuah pertuturan).

(32)

18

Dapat diartikan juga bahwa konteks ekstralinguistik merupakan konteks yang

bukan berupa unsur-unsur bahasa.

Konteks non-linguistik atau ekstralinguistik adalah suatu konteks yang

unsur-unsur pembentuknya berada di luar struktur kalimat/ bahasa. Hal

tersebut dapat terlihat pada komunikasi non verbal seperti lambaian tangan,

anggukan, kedipan mata, maupun senyuman. Unsur-unsur konteks meliputi

penyapa dan pesapa, konteks sebuah tuturan, tujuan sebuah tuturan, tuturan

sebagai bentuk tindakan, dan tuturan sebagai produk suatu tindak verbal

(bukan tindak verbal itu sendiri) (Leech,1983). Konteks ekstralinguistik pada

penelitian ini digunakan untuk mendeskripsikan fungsi dan elemen konteks

ekstralinguistik dalam pertuturan antara rohaniwan dengan umatnya.

2.2.4.1 Konteks Sosial

Mey dalam Rahardi (2003: 15) mengungkapkan konteks sosial merupakan

konteks kebahasaan yang timbul sebagai akibat dari munculnya komunikasi

dan interaksi antar anggota masyarakat dengan latar belakang sosial budaya

yang sangat tertentu sifatnya.

Konteks sosial merupakan segala konteks yang berkaitan dengan kelas

sosial. Hal tersebut mengacu pada kesamaan golongan sosial masyarakat di

bidang tertentu seperti, bidang politik, pendidikan, ekonomi, pekerjaan dan

(33)

19

dan latar belakang penutur dengan mitra tutur. Setiap tuturan yang terjadi

antara penutur dan mitra tutur tentu didasarkan pada latar belakang

pemahaman lingkungan sosial yang sama, sehingga hal-hal yang akan

dibicarakan dapat dipahami dengan baik oleh penutur maupun mitra tutur.

Melalui konteks sosial, maka akan memudahkan dalam memahami sebuah

pertuturan antara rohaniwan dengan umatnya di Gereja Katolik Santo Petrus

Kanisius Wonosari Gunungkidul.

2.2.4.2 Elemen dan Fungsi Konteks Sosial

Menurut Poedjosoedarmo (1985) dalam (Baryadi, 2015: 24) terdapat

beberapa komponen tutur yang dapat dirumuskan dalam istilah memoteknik

OOE MAU BICARA, dengan penjelasan sebagai berikut:

1. O1 = Pribadi penutur. Pribadi penutur menentukan sedikit banyaknya

ujaran yang terjadi. Ujaran tersebut ditentukan oleh latar belakang

penutur menyangkut jenis kelamin, asal daerah, asal golongan

masyarakat, umur, profesi, kelompok etnik, dan aliran kepercayaan.

2. O2 = Orang kedua yakni lawan tutur. Keintiman relasi antara O1

dengan O2 akan menentukan corak bahasa yang dituturkan.

Keintiman relasi yang perlu diperhatikan dalam sebuah pertuturan

antara lain, anggapan O1 tentang seberapa tinggi tingkatan sosial

orang kedua (O2) dan seberapa akrab hubungan antara kedua orang

(34)

20

3. E = Warna emosi atau suasana hati O1. Suasana hati penutur

mempengaruhi bentuk tuturan yang diujarkan, misalnya seorang

penutur yang gugup, takut, dan marah akan menimbulkan pertuturan

yang terbata-bata, tidak beraturan, dan kurang jelas.

4. M = Maksud dan tujuan percakapan. Maksud dan tujuan O1

menentukan bentuk tuturan tersebut, misalnya menghasilkan bahasa

yang lugas maupun bahasa yang berbelit-belit tergantung maksud dan

tujuan pertuturan yang hendak disampaikan oleh O1 atau yang bisa

disebut dengan pribadi penutur.

5. A = Adanya O3 dan barang-barang lain di sekitar lingkup

percakapan. Suatu pertuturan dapat beralih menjadi bentuk pertuturan

lain apabila terdapat O3 atau barang-barang lain yang hadir di sekitar

adegan tutur. Misalnya, O1 dan O2 yang semula menggunakan

bahasa Jawa dalam pertuturan beralih menggunakan bahasa

Indonesia karena hadirnya O3 yang berasal dari daerah luar Jawa.

6. U = Urutan tutur. Pribadi penutur orang pertama (O1) akan lebih

bebas dalam menentukan bentuk tuturan daripada lawan tuturnya.

Misalnya, ketika O1 memulai suatu pertuturan dengan menggunakan

Bahasa Indonesia maka O2 akan menjawabnya dengan menggunakan

bahasa Indonesia pula. Demikian juga ketika O1 bertutur

menggunakan bahasa Jawa halus, maka O2 juga akan menanggapi

(35)

21

terdapat pengecualian apabila dalam situasi pertuturan tersebut status

sosial O2 lebih tinggi daripada O1.

7. B = Bab yang dibicarakan; pokok pembicaraan. Pokok pembicaraan

atau bab yang sedang dibicarakan akan mempengaruhi warna suasana

bicara. Misalnya, ketika beberapa ahli sedang membicarakan tentang

masalah ilmiah, masalah sosial dan bab-bab yang serius maka

pertuturan akan dilakukan dengan menggunakan bahasa formal dan

suasana resmi.

8. I = Instrumen atau sarana tutur. Sarana tuturan yang digunakan,

misalnya telegram, telepon akan mempengaruhi bentuk ujaran.

Pertuturan yang digunakan dalam beberapa sarana tutur tersebut

biasanya menggunakan bahasa yang ringkas, singkat dan lanngsung

pada pokok yang dibicarakan.

9. C = Citarasa tutur. Cita rasa bahasa juga mempengaruhi suatu bentuk

ragam bahasa yang digunakan dalam pertuturan. Ragam bahasa

formal maupun ragam bahasa santai akan digunakan tergantung pada

berbagai faktor. Ragam bahasa formal tentu akan digunakan pada

saat suasana khidmat misalnya pidato presiden. Sebaliknya ragam

bahasa santai digunakan saat partisipan (penutur dan mitra tutur)

tidak diburu waktu atau tidak dalam dalam situasi yang tergesa-gesa.

10. A = Adegan tutur. Terdapat beberapa faktor yang terkait dalam

(36)

22

dan peristiwa tutur. Pertuturan yang dilakukan di masjid, gereja,

kelenteng maupun tempat ibadah lainnya tentu akan berbeda dengan

pertuturan yang dilakukan di pasar.

11. R = Register khusus atau bentuk wacana atau genre tutur. Beberapa

pertuturan yang hendak disampaikan memiliki bentuk wacana atau

register tutur. Misalnya, bentuk wacana pidato akan dilakukan sesuai

dengan ketentuan dan aturan yang lazim yakni dimulai dengan

sapaan, salam, introduksi, isi pidato dan penutup.

12. A = Aturan atau norma kebahasaan lain. aturan atau norma

kebahasaan juga mempengaruhi bentuk tuturan. Misalnya, norma

yang harus dipatuhi yakni kejelasan dalam berbicara. Selain itu,

terdapat beberapa aturan atau anjuran yang harus dilakukan yakni

tidak menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi, usia, dan jumlah gaji

Adapun fungsi dari konteks sosial ditemukan dalam penelitian Pilipus Wai Lawet yang berjudul “Kajian Elemen dan Fungsi Konteks Sosial dalam

Menentukan Maksud Berkomunikasi Antarmahasiswa dan Dosen Non-FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Tahun Akademik 2017/ 2018”.

Adapun fungsi sosial tersebut, antara lain:

1. Fungsi memberi informasi tambahan

Dalam hal ini penutur memberikan informasi tambahan mengenai

(37)

23

pemberitahuan, info atau berita tentang sesuatu. Fungsi ini

memiliki beberapa perincian, yakni (a) memberi informasi

tambahan peristiwa sebelum tuturan, (b) memberi informasi

tambahan pengetahuan peserta tutur, (c) memberi informasi

tambahan identitas peserta tutur, dan (d) memberi informasi

tambahan kronologis.

2. Fungsi memberi penjelasan rinci

Memberi penjelasan secara rinci atau mempertegas suatu informasi

merupakan salah satu fungsi konteks. Fungsi mempertegas

informasi dapat dilakukan oleh penutur atau mitra tutur. Dalam hal

tersebut, baik penutur maupun mitra tutur dapat memberikan

penjelasan secara lebih rinci. Misalnya, penutur memberikan

informasi mengenai suatu hal kemudian mitra tutur menambahkan

informasi terkait hal yang dibicarakan agar maksud dan makna

pertuturan dapat dipahami secara lebih jelas dan rinci. Fungsi ini

dapat dibagi lagi menjadi dua macam, yakni memberi penjelasan

rinci peristiwa sebelum tuturan, (2) memberi penjelasan rinci

pengetahuan peserta tutur.

2.2.4.3 Konteks Sosietal

Mey dalam Rahardi (2003: 15) mengungkapkan konteks sosietal

(38)

24

(relative social rank) setiap anggota masyarakat di dalam institusi-institusi

yang ada pada masyarakat dan lingkungan sosial tertentu. Konteks sosietal

memiliki kaitan dengan hubungan dalam komunikasi antara penutur dan mitra

tutur dengan faktor penentu yakni atasan dan bawahan.

Konteks sosietal muncul dari adanya power (kekuatan) yang berasal dari

peran setiap pribadi atau individu di dalam masyarakat. Sebagai salah satu

contoh yakni rohaniwan dengan umatnya. Rohaniwan memiliki kekuasaan

dan kedudukan lebih tinggi jika dibandingkan dengan umatnya. Ketika sebuah

pertuturan berlangsung, rohaniwan akan lebih memiliki kekuasaan, sehingga

menimbulkan rasa hormat dan rasa segan dari umatnya. Hal tersebut

dikarenakan seorang rohaniwan dianggap sebagai seorang perantara

kewahyuan yang lebih mengerti mengenai iman kepada Tuhan dibandingkan

dengan umat biasa.

Dari paparan mengenai konteks sosietal di atas maka dapat disimpulkan

bahwa konteks sosietal merupakan hubungan komunikasi vertikal yakni

atasan dan bawahan yang dimiliki oleh penutur maupun mitra tutur dalam

sebuah pertuturan, sehingga seseorang yang memiliki status sosial lebih tinggi

akan memiliki kedudukan dan kekuasaan daripada seseorang yang memiliki

(39)

25

2.2.4.4. Elemen dan Fungsi Konteks Sosietal

Menurut Poedjosoedarmo (1985) dalam (Baryadi 2015: 24) terdapat

beberapa komponen tutur yang dapat dirumuskan dalam istilah memoteknik

OOEMAUBICARA. Komponen ini merupakan pengembangan konsep yang

dikemukakan oleh Dell Hymes dengan penjelasan sebagai berikut, (1) O1=

orang ke satu atau penutur. Asal, latar belakang penutur (menyangkut jenis

kelamin, golongan kelas masyarakat, umur, jenis profesi, etnik dan aliran

kepercayaan), keadaan fisik, keadaan mental dan bagaimana kemahiran

bahasa O1 mempengaruhi pertuturan. Sebagai contoh umur O1 yang lebih

tinggi daripada mitra tuturnya akan menimbulkan pertuturan yang berbeda.

Dalam hal ini O1 akan lebih dihormati dan disegani oleh O2. (2) O2= orang

kedua atau mitra tutur. O2 berhubungan dengan seberapa tinggi tingkatan

sosial dan seberapa akrab hubungan O2 dan O1. Apabila O2 dan O1 memiliki

hubungan yang akrab maka pertuturan akan lebih santai begitu pula

sebaliknya

Selanjutnya, (3) E= warna emosi O1. Warna emosi mencakup keadaan

marah, gugup, sakit. Oleh karena itu ketika penutur sedang merasa gugup

maka akan melontarkan ujaran yang putus-putus, terbata-bata, dan kurang

teratur baik frasa maupun kata-katanya. (4) M= maksud dan tujuan

percakapan. Maksud dan kehendak O1 mempengaruhi tingkat tutur, ragam,

(40)

26

memiliki maksud untuk memarahi maka akan menggunakan ungkapan

tertentu misalnya umpatan dengan nada tinggi dan ragam kasar atau makian.

(5) A= adanya O3 dan barang-barang lain disekeliling adegan percakapan.

Hal ini disebabkan adanya O3 yang diikutsertakan dalam percakapan. Oleh

karena itu terjadi pengubahan kode bahasa, misalnya percakapan O1 dan O2

yang bermula menggunakan Bahasa Jawa beralih menjadi Bahasa Indonesia

karena hadirnya O3 yang berasal dari luar Jawa. (6) U= urutan tutur. Urutan

tutur atau urutan bicara dipengaruhi oleh aturan yang ada dalam masyarakat,

bahwa yang berstatus sosial lebih tinggi atau orang yang lebih tua harus

berbicara terlebih dahulu.

Elemen konteks berikutnya adalah (7) B= bab yang dipercakapkan; pokok

pembicaraan. Bab yang dibicarakan mempengaruhi warna bicara atau ragam

bahasa tertentu. Misalnya sedang membicarakan sebuah isu sosial dalam

sebuah forum maka warna bicara akan lebih serius menggunakan ragam

resmi. (8) I= instrumen tutur atau sarana tutur. Sarana tutur meliputi bahasa

lisan dan tulis. Sarana tersebut meliputi, telepon, handphone, email dan

sebagainya yang mempengaruhi ujaran penutur. (9) C= citarasa tutur. Nada

suara bicara mempengaruhi ragam bahasa penutur. Misalnya ragam bahasa

santai, formal maupun ragam bahasa indah. (10) A= adegan tutur, dipengaruhi

oleh waktu, tempat dan peristiwa (dipengaruhi pula oleh kualitas

(41)

27

yang terjadi di gereja atau masjid akan dilakukan dengan sopan dan tidak

bersenda gurau. Begitu pula saat upacara bendera berlangsung pertuturan

dilakukan tidak terlalu keras dan khidmad. (11) R= register tuturan atau

bentuk wacana. Di dalam masyarakat terdapat wacana yang sudah mapan atau

memiliki struktur yang sudah diketahui oleh masyarakat seperti surat

menyurat dinas, pidato, seminar, ujub, tajuk rencana. Misalnya bentuk wacana

pidato dimulai dengan sapaan, salam, perknelan, isi pidato dan penutup. (12)

A= aturan atau norma kebahasaan. Norma kebahasaan dipengaruhi oleh

situasi masyarakat pemakai bahasa. Sebagai contoh dalam pertuturan di

masyarakat Indonesia dianjurkan untuk tidak menanyakan usia, jumlah gaji,

hal-hal yang bersifat pribadi, dan menghindari kata-kata yang dianggap tabu.

Hal tersebut akan menentukan variasi bahasa yang akan dipilih oleh penutur.

Terdapat beberapa fungsi konteks sosietal yang dikutip dari penelitian

Lastri Rindiyantika yang berjudul ”Kajian Elemen dan Fungsi Konteks

Sosietal dalam Maksud Berkomunikasi antara Mahasiswa dan Dosen FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Tahun Akademik 2017/ 2018”.

Adapun beberapa fungsi dari konteks sosietal, antara lain

(1) Memberikan penjelasan informasi rinci

Fungsi ini berkaitan dengan pengetahuan penutur maupun mitra

tutur. Pengetahuan tersebut berupa pengetahuan tentang suatu

(42)

28

(2) Memberikan informasi situasi dan kondisi peserta tutur

Fungsi ini menerangkan situasi penutur dan mitra tutur saat

pertuturan berlangsung. Dalam fungsi ini meliputi kondisi fisik,

seperti raut wajah atau ekspresi, gerakan tubuh atau bahasa verbal

peserta tutur. Misalnya ekspresi senyum disertai ucapan terima kasih,

anggukan kepala, maupun menunjuk pada suatu benda atau arah.

(3) Memberikan informasi sebab terjadinya tuturan

Fungsi ini menandai bahwa terdapat situasi, peristiwa, kejadian atau

kondisi yang menjadi alasan berlangsungnya suatu tuturan. Misalnya

percakapan yang dilakukan untuk memastikan sebuah informasi atau

kejadian yang sebelumnya berlangsung antara penutur dan mitra

tutur.

(4) Memberikan informasi tambahan

Fungsi ini adalah memberikan infromasi lebih lanjur dan tidak

terbatas dari informasi yang diperoleh sebelumnya. Dengan demikian

mitra tutur akan memperoleh tambahan pemahaman agar informasi

yang diperoleh menjadi lebih jelas.

2.2.4.5 Konteks Kultural

Halliday (1989) mengemukakan bahwa konteks kultural “context cultural

is the institusional and ideological background that give a value to the text and

(43)

29

belakang institusional dan ideologis yang memberikan sebuah nilai pada suatu

tuturan yang harus diinterpretasikan, karena sistem nilai tersebut

menggambarkan suatu kebudayaan tertentu. Konteks kultural dalam penelitian

ini akan dilakukan untuk menganalisis data pertuturan antara rohaniwan

dengan umat di Gereja Santo Petrus Kanisius Wonosari Gunungkidul.

Konteks kultural adalah suatu sistem nilai dan norma yang

mempresentasikan kepercayaan di dalam kebudayaan tertentu. Sistem nilai ini

meliputi segala sesuatu yang dipercaya benar atau salah, baik atau buruk,

termasuk di dalamnya adalah ideologi, yang menyangkut keteraturan sosio

yang berlaku secara umum di dalam kebudayaan. Dari penjabaran pengertian

konteks kultural di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa konteks kultural

merupakan sistem nilai, norma, kebudayaan maupun ideologi yang dianut

oleh suatu masyarakat tertentu.

2.2.4.6 Elemen dan Fungsi Konteks Kultural

Dalam memahami pertuturan, terdapat beberapa komponen-komponen

yang digunakan untuk menentukan konteks kultural. Dell Hymes dalam

Mulyana (2005: 23-24) merumuskan ihwal faktor-faktor penentu peristiwa

tutur dalam konteks kultural. Melalui akronim SPEAKING setiap fonem

tersebut mewakili faktor penentu yang dimaksudkan, yaitu settings,

participants, ends, act of sequence, keys, instrumentalities, norms and genres.

(44)

30

1) S : Setting and scene, artinya latar dan suasana. Latar (setting) lebih

bersifat fisik (physical circumstances), yang meliputi tempat dan

waktu berlangsungnya pertuturan. Suasana (Scene) mengacu pada

situasi psikologis penutur maupun mitra tutur ketika pertuturan

berlangung. Situasi tersebut santai, serius, atau netral dan sebagainya.

Sebagai contoh latar yang yang terjadi di gereja saat ibadah

berlangsung, menimbulkan suasana yang khidmad, sopan dan situasi

yang serius.

2) P : Participants, menyangkut peserta tutur atau pihak-pihak yang

terlibat dalam pertuturan yang sedang berlangsung. Pihak-pihak

tersebut antara lain, pembicara, pendengar, penyapa, pesapa, pengirim

maupun penerima pesan. Dalam pertuturan melibatkan partisipan atau

peserta tutur, misalnya pertuturan di pasar melibatkan penjual dan

pembeli dalam kegiatan transaksi jual beli yang diasumsikan penjual

menjadi pengirim informasi, sedangkan pembeli sebagai penerima

informasi.

3) E : Ends, merujuk pada maksud dan tujuan yang hendak dicapai dalam

sebuah pertuturan. Tujuan pertuturan tersebut misalnya, membujuk,

merayu, menyuruh, memberikan informasi maupun mempengaruhi).

4) A : Acts if sequence, menunjuk pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Isi

ujaran dan bentuk ujaran memiliki keterkaitan. Sebagai contoh seorang

(45)

31

yang tegas. Begitu pula saat seseorang sedang marah biasanya

mengunakan bentuk dan isi ujaran yang kasar, memaki atau

mencemooh.

5) K : Key, mengacu pada nada, cara dan semangat yang digunakan

dalam berlangsungnya proses komunikasi. Hal ini mengacu pada

ekspresi penutur dan petutur, misalnya suatu pesan disampaikan

dengan senang hati, serius, mengejek, dan sebagainya. Misalnya

pertuturan pembina upacara yang memberikan amanat mengenai

semangat kemerdekaan tentu akan menggunakan nada yang

bersemangat dan berapi-api.

6) I : Instrumentalities, yakni sarana atau alat yang digunakan dalam

proses komunikasi. Misalnya, sebuah komunikasi disampaikan dengan

melalui, ujaran lisan maupun tulis, telegram atau telepon dan

sebagainya.

7) N : Norm of Interaction and Interpretation, mengacu pada norma atau

aturan dalam berkomunikasi. Dalam berkomunikasi terdapat

norma-norma dan aturan sosial yang harus ditaati, yakni apa yang seharusnya

dibicarakan dan yang tidak boleh dibicarakan serta bagaimana penutur

dan petutur menanggapi pembicaraan tersebut. Misalnya, dalam

sebuah pertuturan disarankan agar tidak menanyakan usia, hal-hal

(46)

32

8) G : Genre atau jenis percakapan. Sebagai contoh, jenis percakapan

yang diungkapkan dalam puisi akan berbeda dengan ceramah maupun

doa. Misalnya, ketika pembacaan doa, maka pertuturan akan

menggunakan jenis atau genre yang lembut dan sopan. Pranowo

(2012) mengartikan genre sebagai (ragam register) yang mengacu pada

ragam formal, santai, dan sebagainya.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh saudari Priscilla Felicia Elu yang berjudul ”Kajian Elemen dan Fungsi Konteks Sosio-Kultural dalam

Menentukan Maksud Berbahasa Para Mahasiswa Berlatar Belakang Kultur

Jawa Prodi PBSI Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada Semester Gasal Tahun Akademik 2017/ 2018”. Terdapat beberapa fungsi konteks kultural

yakni (1) memberikan keterangan/ informasi situasi dan kondisi peserta tutur,

(2) memberikan keterangan/ informasi pengetahuan peserta tutur, (3)

memberikan keterangan/ informasi sebab terjadinya tuturan dan pengetahuan

peserta tutur, (4) fungsi konteks memberikan keterangan kronologi tuturan,

(5) fungsi konteks memberikan keteranfan / informasi sebab tuturan terjadi/

peristiwa sebelum tuturan terjadi, dan (6) memberikan informasi tambahan

mengenai peserta tutur.

2.2.4.7 Konteks Situasi

Leech (1993) dalam (Rahardi, 2003: 18) memaparkan bahwa konteks

(47)

33

(background knowledge) yang muncul dan dimiliki bersama-sama baik oleh

penutur maupun oleh mitra tutur, serta aspek-aspek non-kebahasaan lainnya

yang menyertai, mewadahi serta melatarbelakangi hadirnya sebuah pertuturan

tertentu. Menurut Halliday (1994) menyatakan bahwa konteks situasional

adalah lingkungan langsung tempat teks itu benar-benar berfungsi. Dengan

kata lain, konteks situasional merupakan situasi lingkungan sekitar ketika

suatu pertuturan berlangsung maupun dalam sebuah teks ketika teks tersebut

ditulis/ dibaca.

Cutting (2002: 1-5) dalam Baryadi (2015: 32) menyatakan bahwa konteks

situasi menyangkut hal yang diketahui pembicara tentang apa yang ada

disekitar mereka. Hal ini menyangkut pengetahuan fisik, sosial, psikologi

serta waktu dan tempat tuturan dihasilkan. Menurut Malinowsky dalam

Verschueren (1998: 75) konteks situasi atau context of situation berbunyi “…

in the reality of a spoken living tongue, the utterance has no meaning except in the context of situation.” Dari pernyataan Malinowsky tersebut, dapat

disimpulkan bahwa sebuah pertuturan tidak akan memiliki arti apabila tidak

ada kehadiran konteks situasi didalamnya. Sejalan dengan pendapat Pranowo

(2015: 144) dalam bukunya yang berjudul Teori Belajar Bahasa menyatakan

bahwa konteks situasi yaitu segala situasi yang dapat melingkupi suatu ujaran

dan dapat menentukan maksud.

Berdasarkan pemaparan beberapa pendapat para ahli di atas, dapat ditarik

(48)

34

latar belakang pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra

tutur baik menyangkut lingkungan fisik, sosial, psikologi, waktu serta objek

tertentu yang menjadi dasar berlangsungnya sebuah peristiwa komunikasi.

2.2.4.8 Elemen dan Fungsi Konteks Situasi

Dalam memahami pertuturan, terdapat beberapa komponen-komponen

yang digunakan untuk menentukan konteks situasi. Menurut Geoffrey N.

Leech (1993) dalam Baryadi (2015: 31) merumuskan komponen-komponen

penentu dalam konteks situasi bahasa yang digunakan sebagai acuan dalam

proses komunikasi. Berikut penjelasan secara ringkas mengenai

kompenen-komponen penentu dalam konteks situasional:

1) Penyapa (yang menyapa) dan pesapa (yang disapa)

Leech (1993) mengemukakan bahwa penyapa adalah salah satu

komponen penentu dalam konteks situasi. Penyapa mengacu pada

pengertian pembicara atau penulis. Penyapa dan pesapa merupakan

orang yang terlibat dalam sebuah proses berlangsungnya komunikasi.

Menurut Leech (1993) pesapa merupakan salah satu partisipan

komunikasi yang menjadi komponen penentu dalam konteks situasi.

Penyapa mengacu pada pengertian pendengar maupun pembaca. Pesapa

menjadi lawan bicara dalam sebuah pertuturan yang disampaikan oleh

(49)

35

dalam ketika ibadat berlangsung. Dalam hal ini rohaniwan dianggap

sebagai penyapa, sedangkan umat merupakan pesapa.

2) Konteks sebuah tuturan

Konteks dalam sebuah tuturan mencakup beberapa aspek, yaitu aspek

lingkungan fisik, sosial serta pengetahuan latar belakang sama-sama

dimiliki oleh partisipan yakni penutur dan mitra tutur. Hal tersebut

menjadi penentu bagi mitra tutur untuk menafsirkan maksud dan makna

sebuah pembicaraan. Memperhatikann konteks dalam sebuah pertuturan

merupakan hal yang penting agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam

menginterpretasi maksud atau makna yang hendak disampaikan.

Sebagai contoh, penyampaian pertuturan antara orang tua dengan siswa

SD (Sekolah Dasar) akan berbeda dengan pertuturan yang dilakukan

antara orang tua dengan siswa SMA (Siswa Menengah Atas).

3) Tujuan tuturan

Sebuah tuturan memiliki berbagai macam tujuan, antara lain bertanya,

meminta, menyuruh, menghimbau, memberitahu, dan meminta maaf.

Tujuan-tujuan tuturan dalam hal ini memiliki kesamaan dengan fungsi

tuturan.

4) Tuturan sebagai bentuk tindakan atau tindak ujar

Tuturan dianggap sebagai aktivitas ujar. Hal tersebut mengandung arti

bahwa pragmatik mampu menganalisis aktivitas yang bersifat konkret

(50)

36

waktu tertentu ketika pertuturan berlangsung. Tindakan verbal tersebut

merupakan hasil dari pertuturan penutur kepada mitra tutur, berupa

perintah, ajakan maupun himbauan.

5) Tuturan sebagai tindak verbal

Secara pragmatik, tuturan sebagai tindakan verbal merupakan tuturan

yang sama-sama dimiliki oleh pembicara dan lawan bicara. Akan tetapi

tuturan secara gramatikal merupakan tuturan berupa kalimat yang

digunakan oleh penutur dan mitra tutur untuk memahami maksud suatu

percakapan.

Dalam penelitian ini, terdapat beberapa fungsi yang dapat diperankan oleh

konteks situasi. Fungsi ini diperoleh dari hasil penelitian saudari Elfriska

Kurni Tau yang berjudul Kajian Elemen dan Fungsi Konteks Situasi dalam

Menentukan Maksud Berbahasa Para Mahasiswa dan Dosen di Prodi PBSI Universitas Sanata Dharma Tahun Akademik 2017/2018. Adapun fungsi tersebut antara lain sebagai berikut, (1) memberi informasi lanjutan, fungsi ini

berguna untuk menyampaikan informasi secara lebih lanjut dari informasi

sebelumnya. Dengan begitu informasi yang diperoleh mitra tutur semakin

bertambah. (2) memberi informasi rinci, fungsi ini memberikan informasi

secara mendalam atau lebih detail mengenai suatu hal untuk memperoleh

kejelasan. (3) fungsi konteks memastikan, konteks berguna untuk

(51)

37

mengenai suatu hal yang dirasa masih meragukan. (4) memberi motivasi,

konteks memberi dan mendorong seseorang agar terus menjalankan hal-hal

yang mendukung tercapainya sesuatu yang diinginkan.

2.3 Kerangka Berpikir

Penelitian yang berjudul “Kajian Pragmatik Konteks Ekstralinguistik dalam

Pertuturan antara Rohaniwan dengan Umat di Gereja Katolik Santo Petrus Kanisius Wonosari Gunungkidul Yogyakarta” menggunakan teori kajian pragmatic dan teori

konteks. Adapun konteks dibagi menjadi beberapa macam, diantaranya (1) konteks

kultural, (2) konteks situasional, (3) Konteks sosial, dan (4) konteks sosietal.

Keempat konteks tersebut selanjutnya akan dijadikan sebagai dasar untuk

menganalisis data dengan memperhatikan elemen apasajakah yang terdapat dalam

pertuturan antara rohaniwan dengan umatnya di Gereja Katolik Santo Petrus Kanisius

(52)

38

Kajian Pragmatik Konteks Ekstralinguistik dalam Pertuturan antara Rohaniwan dengan Umat di Gereja Katolik Santo Petrus Kanisius Wonosari Gunungkidul Yogyakarta

Linguistik

Pragmatik

Konteks

Konteks Ekstralinguistik

Konteks Sosial Konteks Kultural Konteks Situasional

Pertuturan antara Rohaniwan dengan Umat di Gereja Katolik Santo Petrus Kanisius Wonosari Gunungkidul Yogyakarta

1. Mengetahui elemen konteks ekstralinguistik dalam

pertuturan antara

rohaniwan dengan umatnya.

3. Mengetahui fungsi konteks ekstralinguistik dalam

pertuturan antara

rohaniwan dengan umatnya. Konteks Sosietal

(53)

39 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan untuk mengetahui konteks ekstralinguistik

dalam pertuturan antara rohaniwan dengan umat di Gereja Katolik Santo Petrus

Kanisius Wonosari Gunungkidul Yogyakarta termasuk jenis penelitian kualitatif yang

bersifat deskriptif. Penelitian tersebut termasuk jenis penelitian kualitatif deskkriptif

karena data yang diteliti berupa kata-kata dan bukan angka-angka. Penelitian

kualitatif adalah kegiatan yang berlangsung secara simulant dengan kegiatan analasisi

data (Mahsun, 2005: 257).

Menurut Sudaryanto (2015: 15) mengemukakan bahwa metode kualitatif

adalah metode penelitian yang semata-mata hanya berdasarkan fakta yang ada atau

fenomena yang memang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya sehingga

yang dihasilkan atau dicatat berupa data yang apa adanya.

3.2 Sumber Data dan Data Penelitian

Sumber data penelitian ini adalah rohaniwan dengan umat di Gereja Katolik

Santo Petrus Kanisius Wonosari Gunungkidul Yogyakarta. Rohaniwan yang menjadi

sumber data penelitian merupakan romo dan suster. Data yang diperoleh berupa

Referensi

Dokumen terkait