• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Identifikasi Lanskap Sejarah Kawasan Empang

4.2.2 Elemen Lanskap Sejarah Kawasan Empang

Perkembangan kawasan Empang dari dulu sampai sekarang meninggalkan jejak-jejak sejarah dalam bentuk fisik dan budaya. Identifikasi elemen lanskap sejarah dalam bentuk fisik dianalisis dengan menelusuri sejarah perkembangan kawasan dan melihat peta kawasan Empang tahun 1920, sehingga diketahui fitur lanskap yang berperan dalam pembentukan karakteristik kawasan. Kondisi elemen lanskap sejarah saat ini diketahui dengan melakukan pengecekan lapang.

Berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata Kota Bogor tahun 2007 dan hasil analisis dengan menggunakan kriteria pada UU Republik Indonesia tahun 1992 tentang BCB, teridentifikasi 32 elemen lanskap sejarah pembentuk kawasan Empang (Tabel 11) meliputi Alun-alun Empang, Masjid Agung Empang, Pasar Bogor, Kediaman Resmi Bupati Kampung Baru, dan Kediaman Resmi Kapiten Arab sebagai elemen pembentuk zona I, Pemakaman Arab, Masjid At Taqwa, Masjid An Noer, Makam Habib Abdullah bin Mukhsin al Attas, serta Pemukiman Arab di Pekojan (4 bangunan), Kaum (1 bangunan), dan Lolongok (6 bangunan) sebagai elemen pembentuk zona II, Makam Keluarga Dalem Shalawat, Pemukiman Pribumi di Sadane (10 bangunan), serta Bendungan Empang sebagai elemen pembentuk zona III. Sebaran lokasi elemen lanskap sejarah kawasan Empang dapat dilihat pada Gambar 20.

Dari 32 elemen lanskap sejarah yang telah teridentifikasi, lima belas elemen lanskap sejarah (Gambar 21) masuk dalam kategori Benda Cagar Budaya menurut UU No. 5 Tahun 1992 (Disbudpar Kota Bogor, 2007). Masjid Agung Empang telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya oleh Pemerintah Kota Bogor melalui Surat Penetapan BCB Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI No : PM.26/PW.007/MKP/2007. Sementara tujuh belas elemen lanskap sejarah lainnya belum ditetapkan secara resmi melalui legislasi di tingkat pusat ataupun daerah. Perkembangan beberapa elemen lanskap sejarah pembentuk kawasan Empang akan dijelaskan secara singkat dalam uraian berikut.

a) Alun-alun Empang

Alun-alun Empang merupakan sisa peninggalan Alun-alun Luar Kerajaan Pajajaran (1482-1579) yang telah ada sejak sekitar abad ke-15. Dahulu, alun-alun tersebut terbentang dari sisi Cisadane sampai ke Cipakancilan dan berfungsi sebagai medan latihan keprajuritan bagi para laskar Pajajaran. Segala jenis acara keramaian umum di luar protokol keraton juga dilaksanakan di alun-alun ini, sebelum akhirnya alun-alun tersebut menjadi palagan (medan pertempuran) saat melawan laskar Banten yang ingin menguasai wilayah Pajajaran di tahun 1579. Sejak kawasan Empang dijadikan sebagai pusat pemerintahan Kampung Baru

Tabel 11. Identifikasi Elemen Lanskap Sejarah Pembentuk Kawasan Empang

No. Kategori Jenis Elemen/Lanskap Kondisi Fisik Tipe

Arsitektur Tahun Pembangunan Fungsi Status Pengelola Dahulu Sekarang

Zona I. Pusat Pemerintahan 1. Ruang

Terbuka

Alun-alun Alun-alun Empang Mengalami degradasi fisik akibat penambahan elemen lanskap yang tidak sesuai dengan karakter awal sebagai sebuah alun-alun tradisional. Kondisi fisik alun-alun saat ini kurang terawat.

Alun-alun tradisional Jawa.

Sisa alun-alun luar Kerajaan Pajajaran (1482-1579). Alun-alun yang ada saat ini terbentuk sejak tahun 1754.

Ruang terbuka yang memiliki makna khusus sebagai simbol kekuasaan dan identitas pusat pemerintahan karesidenan Kampung Baru.

Ruang terbuka publik yang tidak memiliki makna khusus. Digunakan sebagai lapangan olahraga oleh warga dan tempat penggembalaan kambing oleh pedagang makanan olahan yang ada di sekitarnya.

Belum BCB Yayasan At Tohirriyah

2. Bangunan Sarana Ibadah Masjid Agung Empang Terletak di Jl. Empang No. 1. Kondisi fisik bangunan kurang terawat, terkait kebersihan dan beberapa bagian bangunan yang rusak tidak segera diperbaiki.

Perpaduan

arsitektur kolonial dan arsitektur tradisional Jawa.

Masjid pertama yang dibangun tahun 1817 di Buitenzorg.

Masjid. Memiliki keterkaitan fungsi antara masjid dan alun-alun.

Masjid Agung dan majlis ta’lim, pusat berbagai aktivitas keagamaan seperti dakwah dan pengajian rutin. Tidak ada keterkaitan fungsi antara masjid dan alun-alun.

BCB Yayasan At Tohirriyah dan Pemerintah Kota 3. Perdagangan dan Jasa

Pasar Bogor Kepadatan di lingkungan pasar diramaikan oleh pedagang kaki lima dan terminal angkutan umum. Karakter pasar dengan ruko khas pedagang cina masih terasa kuat.

Arsitektur Cina. Terbentuk pada tahun 1777.

Pasar kelontong para pedagang cina sekaligus sebagai tempat petani menyerahkan semua hasil buminya kepada pemerinah Belanda.

Pasar tradisional yang menjual segala keperluan rumah tangga dan bahan makanan.

Belum BCB Pemerintah Kota

4. Rumah Tinggal Kediaman Resmi Bupati Kampung Baru

Terletak di Jl. Empang No. 2A-C. Struktur dan elemen pada bangunan masih asli dan kokoh. Kondisi fisik bangunan cukup terawat.

Perpaduan arsitektur kolonial dan arsitektur tradisional Jawa. Tahun 1754, ketika pusat pemerintahan Kampung Baru berpindah dari Tanah Baru ke Sukahati (Empang.).

Rumah tinggal resmi bagi Bupati Kampung Baru.

Rumah tinggal seorang keturunan Arab-Sunda bernama Abdul Aziz al Wahdi.

BCB Pemilik dan Pemerintah Kota

5. Rumah Tinggal Kediaman Resmi Kapiten Arab

Terletak di Jl. Empang Masjid No. 15. Kondisi fisik bangunan terawat dengan baik. Sampai saat ini bentuk bangunan tidak mengalami perubahan struktur, elemen, dan detail ornamennya.

Perpaduan

arsitektur kolonial dan arsitektur Arab.

Ada sebelum tahun 1900.

Rumah tinggal resmi Kapiten Arab dari keluarga Bajenet bernama Ahmad bin Syaid Bajenet.

Masih menjadi rumah tinggal salah seorang keturunan dari keluarga besar Bajenet bernama Ibu Titi Bajenet.

BCB Pemilik dan Pemerintah Kota

Zona I. Pemukiman Arab 6. Ruang

Terbuka

Pemakaman Pemakaman Arab Merupakan tanah wakaf dari Keluarga Bajenet

seluas 2,5 Ha.

Pemakaman ini dikenal dengan nama los.

- Digunakan sebagai pemakaman sejak tahun 1898.

Pemakaman khusus orang Arab beserta keturunannya.

Pemakaman khusus orang Arab beserta keturunannya yang tinggal di Kota Bogor.

Belum BCB Pribadi

58

59 Tabel 11. Lanjutan

No. Kategori Jenis Elemen/Lanskap Kondisi Fisik Tipe

Arsitektur Tahun Pembangunan Fungsi Status Pengelola Dahulu Sekarang

7. Bangunan Sarana Ibadah Masjid At Taqwa Nilai sejarah pada bangunan masjid sudah hilang karena pembangunan masjid baru yang lebih mengutamakan nilai fungsional dan efisiensi pada bangunan masjidnya.

Arsitektur modern 1900-an Masjid Masjid serta pusat kegiatan ceramah, tabligh, dan dakwah para tokoh agama dari golongan non sayyid yang berhimpun dalam organisasi Al Irsyad.

Belum BCB Yayasan Al Irsyad Bogor

8. Sarana Ibadah Masjid An Noer Kondisi fisik bangunan terawat dengan baik. Sampai saat ini bentuk bangunan tidak mengalami perubahan struktur dan elemen, termasuk detail ornamennya.

Perpaduan

arsitektur Arab negeri Yaman dan arsitektur

tradisional.

1909 Majid Masjid dan pusat kegiatan ceramah, tabligh, dan dakwah para tokoh agama dengan gelar Habib, pusat perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, serta pelaksanaan tradisi khatam Al-Quran setiap tanggal 21 Ramadhan.

BCB Yayasan An Noer Tauhid dan

Pemerintah Kota

9. Sarana Ibadah Makam Habib Abdullah bin Mukhsin al Attas

Kondisi fisik bangunan cungkup makam terawat dengan baik. Kebersihan bagian dalam cungkup terjaga untuk memberi kenyamanan bagi para peziarah.

Arsitektur Arab 1933 Komplek makam Habib Abdullah bin Mukhsin al Attas beserta lima orang anak dan seorang murid kesayanganya.

Makam yang dikeramatkan oleh sebagian masyarakat sehingga banyak dikunjungi peziarah baik dari dalam ataupun luar Kota Bogor.

BCB Yayasan An Noer Tauhid dan Pemerintah Kota 10. Perdagangan dan Jasa

Jl. Raden Saleh No. 19 Atap bangunan toko masih dapat menunjukkan gaya arsitektur khas dengan kondisi yang masih kokoh.

Arsitektur Cina 1946-an Toko kelontong pedagang Cina.

Toko kitab dan wewangian khas bangsa Arab.

Belum BCB Pribadi

11. Rumah Tinggal Jl. Raden Saleh No. 12 Struktur, elemen, dan detail ornamen bangunan relatif tidak mengalami perubahan. Bangunan saat ini berada di tengah lingkungan perdagangan padat di tepi jalan Empang

Arsitektur tradisional

1920-an Rumah tinggal Rumah tinggal BCB Pemilik dan

Pemerintah Kota

12. Rumah Tinggal Jl. RA. Wiranata No.18 Beberapa elemen seperti jendela dan detail ornamen bangunannya mengalami penurunan kualitas fisik akibat pengelolaan yang kurang intensif terhadap kondisi bangunan.

Arsitektur Arab (Moor)

Akhir abad 19. Rumah tinggal Rumah tinggal yang bagian bawah rumahnya digunakan sebagai toko onderdil dan kois pulsa telepon selular.

Belum BCB Pribadi

Tabel 11. Lanjutan

No. Kategori Jenis Elemen/Lanskap Kondisi Fisik Tipe Arsitektur Tahun

Pembangunan

Fungsi

Status Pengelola

Dahulu Sekarang

13. Bangunan Rumah Tinggal Jl. Pekojan No. 31 Merupakan salah satu bangunan dengan struktur, elemen, dan detail ornamen yang masih asli sejak awal dibangunnya. Kondisi fisik bangunan cukup terawat.

Arsitektur tradisional

1932 Rumah tinggal Rumah tinggal milik Ibu Zakiyyah Abdullah.

Belum BCB Pribadi

14. Rumah Tinggal Jl. Masjid No. 5 Penggunaan dinding bilik dan pondasi bangunan bekas rumah panggung menunjukan arsitektur khas tradisional Jawa Barat. Kondisi fisik bangunan cukup terawat.

Arsitektur tradisional

1920-an Rumah tinggal Rumah tinggal Belum BCB Pribadi

15. Rumah Tinggal Jl. Masjid No. 7 Struktur, elemen, dan detail ornamen bangunan masih asli. Mengalami degradasi lingkungan fisik akibat penataan warung dan lapak dagang pada bagian depan bangunan.

Arsitektur tradisional

1920-an Rumah tinggal Rumah tinggal Belum BCB Pribadi

16. Rumah Tinggal Jl. Kaum No. 17 Merupakan tipe bangunan yang mengadopsi pola ruang dalam bangunan khas bangsa Timur Tengah yang membagi ruang berdasarkan jenis kelamin.

Arsitektur Arab 1960-an Rumah tinggal Rumah tinggal milik Bapak Achmad bin Ali Abdad sekaligus sebagai industri rumah tangga yang membuat roti konde khas Arab.

Belum BCB Pribadi

17. Rumah Tinggal Jl. Lolongok No. 1 Kondisi fisik bangunan saat ini tidak terawat. Kerusakan berat terjadi pada beberapa elemen bangunan seperti atap, jendela, dan dinding.

Perpaduan

arsitektur kolonial dan arsitektur tradisional.

1935 Rumah tinggal milik keluarga besar al Attas.

Rumah tinggal milik keluarga besar al Attas saat ini tidak dihuni dan dibiarkan kosong.

BCB Pemilik dan Pemerintah Kota

18. Rumah Tinggal Jl. Lolongok No. 3 Struktur, elemen, dan detail ornamen pada bangunan asli dan tidak mengalami kerusakan,

namun cat dinding

kusam sehingga secara visual kurang menarik.

Arsitektur kolonial 1940 Rumah tinggal milik keluarga besar al Attas.

Tetap menjadi rumah tinggal milik keluarga besar al Attas.

BCB Pemilik dan Pemerintah Kota

19. Rumah Tinggal Jl. Lolongok No. 5 Memliki kesamaan tipe dan bentuk bangunan dengan rumah di Jl. Lolongok No.3. Namun penambahan ruang pada bagian depan bangunan

mengurangi tingkat

keaslian bangunan.

Arsitektur kolonial 1940 Rumah tinggal milik keluarga besar al Attas.

Tetap menjadi rumah tinggal milik keluarga besar al Attas.

Belum BCB Pribadi

60

Tabel 11. Lanjutan

No. Kategori Jenis Elemen/Lanskap Kondisi Fisik Tipe Arsitektur Tahun

Pembangunan

Fungsi

Status Pengelola

Dahulu Sekarang

20. Bangunan Rumah Tinggal Jl. Lolongok No. 7 Struktur, elemen, dan detail ornamen pada bangunan asli dan tidak mengalami kerusakan. Kondisi fisik bangunan saat ini terawat dengan baik.

Arsitektur kolonial

1956 Rumah tinggal milik Keluarga besar al Attas.

Tetap menjadi rumah tinggal milik Keluarga besar al Attas.

BCB Pemilik dan Pemerintah Kota

Zona III. Pemukiman Pribumi 21. Ruang

Terbuka

Pemakaman Makam Keluarga Dalem Shalawat

Kondisi lingkungan

makam dan bangunan

utamanya terpelihara

dengan baik, dalam

keadaan bersih, terawat, dan dijaga oleh dua

orang penjaga dari

Yayasan At Tohirriyah.

Arsitektur tradisional

1882 Makam Bupati Kampung Baru beserta keluatganya.

Komplek makam keluarga besar Dalem Shalawat. Merupakan makan yang juga dikeramatkan oleh sebagian masyarakat Bogor sehingga dikunjungi oleh peziarah.

Belum BCB Yayasan At Tohirriyah

22. Bangunan Rumah Tinggal Jl. Lolongok No.10 Kondisi fisik bangunan saat ini terawat dengan baik dengan struktur, elemen, dan ornamen pada bangunan yang masih asli sejak awal dibangunnya.

Arsitektur kolonial

1955 Rumah tinggal Rumag tinggal Belum BCB Pribadi

23. Rumah Tinggal Jl. Lolongok No.13 Bangunan mengalami

asilimilasi struktur

pondasi dan dinding.

Namun elemen dan

ornamen detail pada jendela dan pintu masih asli.

Arsitektur tradisional

1960-an Rumah tinggal Rumag tinggal BCB Pemilik dan

Pemerintah Kota

24. Rumah Tinggal Jl. Lolongok No.14 Struktur, elemen, dan detail ornamen pada

bangunan mengalami

asimilasi namun tidak

mengubah karakter

tradisional sebagai ciri bangunan masa lalu.

Arsitektur tradisional

1960-an Rumah tinggal Rumag tinggal milik ibu Nunung.

BCB Pemilik dan Pemerintah Kota

25. Rumah Tinggal Jl. Lolongok No.20 Memliki kesamaan tipe

bangunan dengan

rumah di Jl. Lolongok No. 20. Namun kondisi fisiknya saat ini kurang terawat.

Arsitektur tradisional

1960-an Rumah tinggal Rumag tinggal milik Bapak Salie al Batatie.

Belum BCB Pribadi

61

(Sumber : Disbudpar 2007 dan Survey Lapang 2010) Tabel 11. Lanjutan

No.

Kategori Jenis Elemen/Lanskap Kondisi Fisik Tipe Arsitektur Tahun

Pembangunan

Fungsi

Status Pengelola

Dahulu Sekarang

26. Bangunan Rumah Tinggal Jl. Lolongok No.22 Struktur, elemen, dan detail ornamen pada bangunan saat ini asli dan terawat. Serambi depan yang ditopang kolom dan halaman depan yang luas berfungsi sebagai private open space.

Arsitektur kolonial

1958 Rumah tinggal Rumag tinggal BCB Pemilik dan

Pemerintah Kota

27. Rumah Tinggal Jl. Lolongok No.31 Bekas pondasi rumah panggung masih dapat terlihat walaupun sudah mengalami asimilasi. Pintu dan jendela masih menggunakan elemen bangunan asli.

Arsitektur tradisional

1960-an Rumah tinggal Rumag tinggal Belum BCB Pribadi

28. Rumah Tinggal Jl. Lolongok No.38 Struktur, elemen, dan detail ornamen pada bangunan masih asli sejak awal dibangun. Kondisi fisiknya saai ini terawat dengan baik.

Arsitektur kolonial

1960-an Rumah tinggal Rumag tinggal milik keluarga RD. Koesoemapradja.

BCB Pemilik dan Pemerintah Kota

29. Rumah Tinggal Jl. Sadane No. 13 Tampak bangunan yang simetris menunjukkan arsitektur khas kolonial. Namun kondisi fisik bangunan tidak terawat. Bagian atap, jendela, dan pagar rusak mengalami kerusakan ringan.

Arsitektur kolonial

1935 Rumah tinggal Rumag tinggal Belum BCB Pribadi

30. Rumah Tinggal Jl. Sadane No. 23 Tampak depan bangunan tradisional terhalangi oleh penggunaan elemen tambahan seperti atap terpal sehingga mengalami penurunan kualitas secara visual.

Arsitektur tradisional

1946 Rumah tinggal Rumah tinggal milik Ibu Jumilah saat ini juga berfungsi sebagai rumah makan makanan khas bangsa Timur Tengah.

BCB Pemilik dan Pemerintah Kota

31. Rumah Tinggal Jl. Sadane No. 71 Struktur bangunan mengalami asimilasi, namun elemen dan detail ornamen pada bangunan masih dapat menunjukkan kekhasan masa lalunya. Kondisi fisiknya saai ini terpelihara dengan baik.

Arsitektur tradisional

1 Januari 1938 Rumah tinggal Rumah tinggal milik Bapak Ali Ahuway. Halaman depan rumahnya digunakan sebagai area parkir penyewaan mobil.

BCB Pemilik dan Pemerintah Kota

32. Bangunan Bendungan Bendungan Empang Struktur fisik bendungan sampai sekarang masih utuh dan dalam keadaan kokoh.

Arsitektur kolonial

1776 atas prakarsa Bupati Kampung Baru Aria Natanegara

Pengontrol debit air sungai Cisadane untuk kepentingan saluran irigasi pada lahan pertanian.

Pengontrol debit air Sungai Cisadane untuk mengetahui debit air sungai saat terjadi curah hujan yang tinggi.

Belum BCB Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air 62

63

oleh Demang Wiranata, Alun-alun Empang menjadi bagian dari kediaman Bupati Kampung Baru.Pada masa Pemerintahan Belanda alun-alun berfungsi sebagai identitas pemerintahan Karesidenan Kampung Baru/Regentscape Buitenzorg dalam bentuk fisik. Selain itu, alun-alun memiliki fungsi sosial sebagai ruang terbuka publik dimana masyarakat melakukan berbagai aktivitas sosialnya. Pada masa itu masyarakat dapat menikmati pemandangan Gunung Salak dari alun-alun. Pada awal masa kemerdekaan, alun-alun Empang sewaktu-waktu berfungsi untuk menampung jamaah masjid apabila Masjid Agung Empang sudah tidak dapat menampung jamaahnya. Selain itu, setiap perayaan Hari Raya Idul Firti alun-alun Empang berubah menjadi kawasan bermain bagi anak-anak dimana mereka dapat naik delman dan kuda-kudaan. Saat ini, Alun-alun Empang mengalami pergeseran fungsi menjadi tempat bermain bola bagi warga sekitar dan tempat penggembalaan kambing milik pedagang makanan olahan yang berada di sekeliling alun-alun. Perbandingan situasi Alun-alun Empang pada masa Kolonial Belanda dan saat ini dapat dilihat pada Gambar 22.

(a) (b)

Gambar 22. (a) Alun-alun Empang Tahun 1880 dan (b) Tahun 2010 (Sumber : Tropenmuseum 2010, Survey Lapang 2010)

Alun-alun Empang terletak pada lokasi strategis, berada pada persimpangan Jalan Pahlawan-Raden Saleh-Raden Aria Wiranata. Hal tersebut menjadikan alun-alun sebagai penanda dan gerbang masuk wilayah Kecamatan Bogor Selatan. Alun-alun Empang merupakan lapangan berbentuk persegi dengan luas lahan sebesar 3660,54 m2. Di setiap sisinya ditanam sebuah pohon beringin. Pohon beringin terbesar sudah berusia sekitar dua puluh tahun merupakan jenis beringin karet (Ficus elastica).

Kondisi fisik Alun-alun Empang saat ini semakin lama semakin memburuk. Penambahan elemen fisik berupa pagar yang dipasang disekeliling alun membatasi keterkaitan fungsi dan hubungan kesejarahan antara alun-alun dan masjid. Selain itu, penambahan vegetasi yang tidak sesuai, seperti pinus (Pinus merkusii) dan palem raja (Roystonea regia) mengakibatkan pudarnya karakter alun-alun. Eksistensi Alun-alun Empang sebagai suatu alun-alun bersejarah di Kota Bogor semakin tenggelam akibat tertutup oleh para pedagang kaki lima yang berjualan disekelilingnya (Gambar 23). Setelah Indonesia Merdeka, status kepemilikan tanah alun-alun berada di pihak yayasan At Tohirriyah yang juga mengelola Masjid Agung Empang.

Gambar 23. Kondisi Lingkungan di Sekitar Alun-alun Empang (Sumber : Survey Lapang 2010)

b) Masjid Agung Empang

Masjid Agung Empang merupakan masjid pertama yang dibangun di

Buitenzorg pada masa pemerintahan Kampung Baru. Sebelum tahun 1817, sudah

terdapat bangunan kecil berupa surau dengan struktur bangunan yang belum permanen. Letak surau berada di sisi sebelah barat alun-alun Empang sesuai dengan konsep pusat pemerintahan tradisional di masa kolonial Belanda. Bangunan surau dengan struktur permanen mulai dibangun tahun 1817 oleh Bupati RH.Muhammad Tohir, yang terkenal sebagai buyut Kampung Baru. Beliau menghibahkan tanah seluas 5462,10 m2 untuk perluasan tanah masjid yang juga

mencakup lahan alun-alun dan lahan dekat Empang Pulo. Pembangunan masjid diteruskan oleh putra beliau yang bernama Dalem Wiranata. Pembangunan selanjutnya dilakukan oleh bupati Regentscape Buitenzorg terakhir yang masih berkedudukan di Empang bernama RA Wiranata (1854-1872) atau lebih dikenal dengan nama Dalem Shalawat.

Gaya bangunan masjid mendapat pengaruh dari arsitektur kolonial Belanda. Sementara pengaruh gaya arsitektur tradisional terlihat dari bentuk atap menara berundak tiga. Terdapat empat pilar penyangga bangunan utama masjid yang dikenal dengan saka guru (Fitri, 2006). Tiang-tiang ini memiliki filosofi yaitu 4 mashaf islam dan 4 jaman keislaman. Dalam perkembangannya, Masjid Agung Empang mengalami beberapa tahap pemugaran. Pada tahun 1873, masjid ini dipugar dari sebuah mushola kecil menjadi bangunan permanen berupa pendopo bergaya arsitektur tradisional yang memiliki atap menara berundak dua tingkat (Gambar 24). Kompleks masjid yang merupakan tanah wakaf dari RH Muhammad Tohir mengalami penambahan luas dengan adanya tambahan wakaf dari Sayyid Alwi Bin Ismail Alayidrus (1927) dan Habib Abdillah Assegaf (1937). Beliau mewakafkan tanahnya untuk menambah lahan masjid, alun-alun, dan lahan untuk pemakaman yang letaknya tidak jauh dari Pintu Air Pulau Empang. Kompleks pemakaman ini diperuntukkan sebagai tempat peristirahatan terakhir para kerabat bupati. Untuk keperluan urusan agama seperti pernikahan atau perceraian, di samping masjid didirikan Kantor Pengadilan Agama. Selain itu, dibangun ruangan untuk berkumpul dan melakukan pengajian bersama.

(a) (b)

Gambar 24. (a) Masjid Agung Empang Tahun 1847 dan (b) Tahun 1873 (Sumber : Tropenmuseum 2010, Danasasmita 1983)

Masjid Agung Empang kembali mengalami pemugaran pada tahun 1952. Bangunan joglo diubah menjadi bangunan yang mendapat pengaruh gaya arsitektur kolonial oleh Silaban, seorang arsitek yang juga merancang Masjid Istiqlal. Namun bentuk atap bangunan utama masjid mempertahankan gaya tradisional dengan bentuk segitiga sementara atap menara tidak lagi berundak dan digantikan oleh atap menara tinggi yang memiliki kubah.

Pada tahun 1955 saat digelar Konferensi Asia Afrika (KAA), Presiden Soekarno besama Presiden Mesir Jenderal Gamal Abdul Naser melaksanakan solat berjamaah di Masjid Agung Empang. Masjid Agung Empang sampai dengan sekarang masih berfungsi sebagai tempat ibadah. Selain sebagai tempat melaksanakan ibadah solat berjamaah, setiap malam di Masjid Agung Empang dilakukan pengajian rutin yang dihadiri oleh warga di sekitar lingkungan masjid. Kondisi fisiknya tidak jauh berubah sejak mengalami renovasi terakhir pada masa awal kemerdekaan (Gambar 25).

(a) (b)

Gambar 25. (a) Masjid Agung Empang Tahun 1952 dan (b) Tahun 2010 (Sumber : Danasasmita 1983, Survey Lapang 2010)

Masjid Agung Empang yang terletak di Jalan Empang No. 1 telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya (BCB) oleh Pemerintah Kota Bogor melalui Surat Penetapan BCB Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI No : PM.26/PW.007/MKP/2007, sehingga pelestarian Masjid Agung Empang berada di bawah pengawasan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Kota Bogor. Sementara pengelolaan keseharian lingkungan dalam dan sekitar masjid dilakukan

oleh penduduk setempat yang tergabung dalam Yayasan Masjid Agung At Tohirriyah. Kondisi fisik bangunan masjid saat ini terlihat kurang terawat, terkait dengan masalah kebersihan dan beberapa bagian bangunan yang rusak tidak segera diperbaiki.

c) Pasar Bogor

Kepindahan pusat pemerintahan Kampung Baru/Regentscape Buitenzorg membawa kesibukan pemerintahan berlangsung sepanjang jalur Tanah Baru dan Sukahati (Empang). Kawasan ini semakin bertambah ramai dengan adanya kegiatan perekonomian. Pemerintah Belanda mewajibkan para petani mengangkut semua hasil bumi ke gudang yang terletak di arah utara Empang. Setelah menjual hasil buminya, para petani singgah untuk beristirahat sejenak. Keadaan tersebut menciptakan terbentuknya pasar untuk memfasilitasi kebutuhan para petani. Pasar dibuka seminggu sekali sesuai dengan jadwal penyerahan hasil bumi petani kepada pemerintah Belanda.

Kemajuan pasar menarik para pedagang untuk menetap dan bermukim di dekat pasar, terutama bagi para pedagang Cina. Melihat potensi kawasan yang