• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sejarah Perkembangan Kawasan Empang

4.1.2 Periode Kolonial Belanda (1754-1945)

Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, bekas ibu kota Kerajaan Pajajaran telah berkembang menjadi sebuah wilayah pusat pemerintahan Karesidenan Kampung Baru atau Regentscape Buitenzorg yang menjadi cikal bakal lahirnya Kabupaten Bogor terhitung sejak tahun 1754-1872. Karesidenan

tersebut merupakan gabungan dari sembilan buah kampung dan dikepalai oleh seorang bupati pribumi yang diberi gelar Demang. Setelah dihapuskannya Karesidenan Kampung Baruoleh pemerintah Kolonial Belanda, kawasan Empang mulai berkembang menjadi konsentrasi pemukiman bagi warga keturunan Arab (1835-1945).

a) Kondisi Fisik

Awal perkembangan kawasan Empang sebagai ibu kota kabupaten dimulai sejak bupati Kampung Baru, Demang Wiranata, mengajukan permohonan penyewaan Tanah Sukahati kepada Gubernur Jendral Mossel untuk dijadikan sebagai tempat kediamannya. Semula, pusat pemerintahan yang berada di Tanah Baru merupakan daerah tandus dengan ketersediaan air yang terbatas. Demang Wiranata menilai bahwa Tanah Sukahati merupakan lahan yang subur dengan ketersediaan air yang melimpah serta pemandangan Gunung Salak yang indah. Itulah alasan mengapa kawasan ini diberi nama Sukahati karena dapat membuat hati seseorang menjadi senang apabila berada di kawasan tersebut. Sejak tahun 1754, pusat pemerintahan Kampung Baru resmi berpindah dari Tanah Baru ke Sukahati.

Sebuah sketsa yang melukiskan kunjungan Gubernur Jenderal Van der Parra (1761-1775) kepada bupati Kampung Baru di Sukahati memberikan informasi bahwa bila seseorang berdiri di bawah jembatan kereta api sekarang akan tepat berhadapan dengan rumah bupati tersebut (Gambar 5).

Gambar 5. Alun-alun Empang Abad Ke-18 (Sumber : Danasasmita, 1983)

Dokumen tanggal 18 Januari 1776 memberitakan bahwa kediaman bupati di Sukahati terletak di sebelah timur Sungai Cisadane dekat dengan muara Sungai Cipakancilan. Rumah sang bupati berdiri pada lahan yang termasuk dalam kawasan rumah Buitenzorg. Hayatullah (dalam Balebat, 2007) menyebutkan bahwa bangunan pendopo yang menjadi kediaman Bupati Kampung Baru merupakan dua bangunan besar yang dihubungkan oleh sebuah galeri dari kayu dengan lantai yang terbuat dari anyaman bambu. Bangunan pendopo bupati dibatasi oleh :

 Sebelah Utara : berupa lapangan luas yang difungsikan sebagai alun-alun kabupaten. Disetiap sisi alun-alun ditanami pohon beringin (Ficus elastica). Diluar pagar alun-alun, terdapat kolam ikan besar (vijver). Masyarakat saat itu menyebut kolam ini dengan nama empang.

 Sebelah Timur : berupa parit besar dan tebing terjal sisa peninggalan benteng alam Kerajaan Pajajaran. Parit tersebut dikenal dengan nama Parit Cibalok. Sementara jalan sempit yang memisahkan tebing dengan parit dikenal dengan nama Lolongok.

 Sebelah Selatan : merupakan kolam yang dibuat disisi sebelah barat Parit Cibalok. Kolam tersebut kemudian dikenal dengan nama Kolam Jaya. Di seberangnya, terdapat rumah bagi penghulu dan para kerabat bupati. Tidak jauh dari sana, lebih ke arah selatan, terdapat Kampung Rawa Balong yang dijadikan tempat interniran (tahanan) yang melawan pemerintah Belanda. Diantara yang ditawan itu adalah Gusti Arsyad atau lebih dikenal dengan nama Ratu Saleh dari Banjarmasin beserta keluarganya. Sampai saat ini, bekas pemukiman para tawanan Belanda diabadikan menjadi nama sebuah gang, yaitu Gang Banjar.

 Sebelah Barat : berupa mushola tempat melakukan ibadah shalat secara bersama-sama. Di belakang mushola sebelah timur

Sungai Cisadane terdapat Kampung Kaum sebagai tempat tinggal para petugas masjid (marbot).

Tanggal 28 Oktober 1763 dikeluarkan akte resmi pembentukan Karesidenan Kampung Baru (Regentscape Buitenzorg) yang setingkat dengan kabupaten. Sejak tahun 1770, nama Empang sudah mulai muncul dan masyarakat lebih sering menyebut kawasan ini dengan nama Empang. Sebutan ini berangsur-angsur mendesak nama Sukahati. Dokumen tanggal 28 November 1815 secara resmi sudah menyebut kawasan ini dengan nama Empang (Soelaeman, 2004). Kegiatan pemerintahan Kampung Baru berpusat di alun-alun Empang. Konsep alun-alun berkembang sebagai identitas pusat pemerintahan bagi kota-kota di Jawa pada masa Kolonial Belanda (Mustapa, 2010).

Pada masa pemerintahan Demang Aria Natanegara (1761-1789) dibangun saluran air dari Empang menuju Kedungbadak yang sangat penting bagi perkembangan pertanian. Demang Aria Natanegara membangun bendungan pada muara Sungai Cipakancilan dan menyalurkan alirannya melalui kanal buatan. Sejak tahun 1775 aliran Sungai Cisadane dipecah menjadi dua dengan Sungai Cipakancilan. Pengalihan aliran air membentuk Empang Pulo. Aliran Sungai Cipakancilan dipecah kembali dengan kanal Cidepit dan selanjutnya aliran air tersebut disalurkan menuju Sungai Ciliwung. Saluran air dan bendungan yang diselesai dibuat tahun 1776 merupakan penerapan teknologi maju pengelolaan air karya bangsa pribumi yang dibangun tanpa campur tangan pemerintah kolonial Belanda (Danasasmita, 1983).

Pada awal abad ke-19, belum terdapat bangunan megah berupa masjid yang berada di sebelah barat alun-alun. Dari lukisan karya R. Toelar yang dibuat tanggal 18 April 1847 (Gambar 6), didapat informasi bahwa di wilayah Empang, yang dicirikan oleh Gunung Salak, saat itu baru terdapat bangunan kecil dengan atap berundak yang diidentifikasi sebagai sebuah surau (Iskandar, 2010). Surau tersebut merupakan cikal bakal Masjid Agung Empang yang ada sekarang.

Kepindahan pusat pemerintahan Kampung Baru membangkitkan kegiatan perekonomian, sampai terbentuk sebuah pasar di arah utara Empang yang saat ini dikenal dengan nama Pasar Bogor. Keberadaan pasar tersebut menarik minat para

pedagang asing untuk ikut berdagang di Buitenzorg. Oleh pemerintah Belanda para pedagang asing dimasukan ke dalam golongan timur asing (vreemde oosterlingen) yang kedudukannya lebih tinggi dari golongan pribumi (inlanders) (de Jonge, 2000).

Gambar 6. Lukisan R. Toelar Tahun 1843 (Sumber : Tropenmuseum, 2010)

Perbedaan penggolongan ini bertujuan untuk menjaga agar bangsa pribumi tidak mendapatkan pengaruh berbahaya dari keberadaan bangsa timur asing. Untuk itu, maka pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan yang mengatur pembagian zona pemukiman berdasarkan etnis. Kebijakan tersebut dikenal dengan wijkenstelsel yang mulai berlaku sejak ditetapkan oleh Gubernur Jendral Belanda J.J Rochussen tahun 1835. Mereka membagi tanah jajahan kedalam tiga zona, yaitu zona satu untuk bangsa Eropa, zona dua untuk bangsa Timur Asing, dan zona tiga untuk bangsa Pribumi (Gambar 7).

Kawasan Empang khususnya Pekojan, diperuntukkan bagi orang Arab yang bermukim di Buitenzorg. Para pedagang Arab diharuskan untuk bermukim di dalam Pekojan dan tidak diijinkan keluar kawasan pemukimannya tanpa adanya surat ijin (wijken-en passenstelsen) dari pemerintah Belanda. Sementara bangsa pribumi mendiami bagian selatan Empang dan wilayah lain di pinggiran Buitenzorg.

Gambar 7. Pembagian Zona Etnis di Buitenzorg Tahun 1745-1845 (Sumber : Universitas Parahyangan, 1985/86)

Pekojan merupakan kawasan dataran rendah berupa lembah di sebelah selatan pemukiman orang Cina dan berbatasan dengan pusat pemerintahan Kampung Baru. Menurut Prof Dr LWC van den Berg yang pernah meneliti perkampungan komunitas Arab pada tahun 1884-1886, sebelum dihuni oleh orang Arab dari Hadramaut, Pekojan lebih dulu menjadi pemukiman bagi orang Benggali yang berasal dari India. Kata Pekojan berasal dari kata koja, sebutan untuk muslim India yang datang dari Benggali. Berdasarkan kesamaan profesi dan kepercayaan, para imigran Arab dan Benggali hidup berdampingan dalam perkampungan yang sama. Dalam perkembangannya jumlah orang Arab semakin banyak jumlahnya. Lama kelamaan Pekojan yang awalnya di huni oleh orang Benggali digantikan oleh orang Arab (van den Berg, 2010).

Bersamaan dengan diberlakukannya zona pemukiman di Buitenzorg, pemerintah Belanda juga mengeluarkan peraturan yang melarang mendirikan warung, toko, ataupun pasar di kawasan Empang. Akibat peraturan tersebut, para pedagang Arab menjual barang dagangannya secara berkeliling dari rumah ke rumah. Mereka tidak memiliki toko seperti orang Cina di wilayah pemukimannya (de Jonge, 2000).

Tahun 1870, Ratu Belanda mengeluarkan besluit (keputusan) yang menyebutkan bahwa pusat pemerintahan Hindia-Belanda dipindahkan dari Batavia (Jakarta) ke Buitenzorg (Bogor). Dengan adanya keputusan tersebut, tata pemerintahan pun berubah. Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1872 Karesidenan Kampung Baru dihapuskan. Sejak itu, banyak dari para kerabat bupati memilih untuk pindah dan bermukin di kawasan luar Empang seperti di Batutulis (Hayatullah, 2007).

Masjid Kabupaten dipugar pada tahun 1873 menjadi bangunan permanen berbentuk joglo yang memiliki menara berundak dua tingkat. Dalem Shalawat menghibahkan tanah miliknya untuk menambah lahan masjid, alun-alun, dan lahan untuk pemakaman bagi para bupati dan kerabatnya yang telah wafat. Tanah wakaf tersebut terletak tidak jauh dari pintu air Pulau Empang. Salah satu tokoh agama keturunan Arab bernama Ismail bin Alaydrus, mewakafkan tanahnya untuk membangun masjid baru yang saat ini dikenal dengan nama Masjid At Taqwa, guna menampung jamaah Masjid Kabupaten yang jumlahnya semakin meningkat. Tanah wakaf tersebut terletak 200 M arah utara Masjid Kabupaten.

Pada tahun 1915, kebijakan pembagian zona pemukiman berdasarkan etnis dihapuskan. Perkembangan selanjutnya kawasan Empang menjadi pemukiman bagi keturunan Arab-Sunda serta jalan masuk bagi imigran Arab yang baru datang dari Hadramaut (Gambar 8). Pemukiman orang Arab semakin meluas ke arah yang dahulu menjadi pusat pemerintahan Karesidenan Kampung Baru dan menyebar ke daerah lain di sekitar Pekojan, seperti ke Empang Pulo, Kebon Kelapa, Lolongok, dan Bondongan. Orang Arab tinggal di rumah yang bergaya sama dengan rumah pribumi atau bagi mereka yang kaya tinggal di rumah besar atau kecil bergaya villa seperti orang Eropa (van den Berg, 2010).

Gambar 8. Perkembangan Pemukiman di Buitenzorg Tahun 1845-1945 (Sumber : Universitas Parahyangan, 1985/86)

Penyebaran agama Islam di Empang sangat kuat. Salah satu tokoh penting yang memiliki pengaruh dalam penyebaran Agama Islam adalah Habib Abdullah bin Mukhsin al-Attas. Beliau membangun masjid di atas tanah rawa dan berjarak 100 M ke arah timur Masjid Kabupaten. Bangunan masjid memiliki gaya arsitektur khas karena mengadopsi bentuk masjid yang ada di Yaman. Masjid ini kemudian dikenal dengan nama Masjid An Nur. Setelah Habib Abdullah bin Mukhsin al-Attas wafat pada tanggal 29 Djulhijjah 1351 H, dibangun cungkup di sebelah barat masjid. Di dalam cungkup tersebut terdapat tujuh makam yang merupakan makam dari Habib Abdullah bin Moekhsin al-Attas, lima orang putranya, dan seorang murid kesayangan beliau.

Keberadaan makam Habib Abdullah bin Moehsin al-Attas menarik banyak peziarah dari luar Buitenzorg berdatangan ke kawasan Empang. Perkembangan kawasan Empang sejak awal abad ke-20 sampai dengan akhir masa pemerintahan Belanda dapat dilihat pada Gambar 9 dan Gambar 10.

b) Kondisi Sosial Masyarakat

Sampai dengan awal abad ke-20, keberadaan komunitas Arab walaupun dalam jumlah sedikit membentuk komunitas khas yang berbeda dengan komunitas lainnya di Buitenzorg. Orang Arab menjalin hubungan baik dengan pemerintahan Kampung Baru. Mereka lebih mudah menyesuaikan diri dengan kehidupan orang pribumi dan menyatukan diri dengan lingkungan sekitarnya.

Dalam komunitas Arab, terdapat dua golongan masyarakat yang dibedakan berdasarkan statusnya, yaitu golongan sayyid dan golongan non-sayyid. Golongan sayyid adalah golongan yang memiliki kekerabatan dengan Nabi Muhammad SAW dari keturunan al-Husein. Orang Arab yang masuk dalam golongan sayyid tidak berprofesi sebagai pedagang ataupun petani. Mereka aktif berperan dalam penyebaran Agama Islam dan bergelar Habib (untuk laki-laki) dan Hababah (untuk perempuan). Kata sayyid digunakan sebagai keterangan pada nama seorang Arab dan bukan merupakan sebuah gelar (van den Berg, 2010). Salah satu tokoh penting dari golongan sayyid yang memiliki pengaruh dalam penyebaran Agama Islam di Empang adalah Habib Abdullah bin Mukhsin al-Attas. Jamiatul Khair merupakan perhimpunan bagi golongan sayyid yang terbentuk sejak tahun 1905.

Orang Arab yang berprofesi sebagai pedagang umumnya merupakan golongan non-sayyid. Di bidang perdagangan, komoditas barang dagangan mereka yang utama adalah bahan pakaian, seperti kain katun impor dan batik. Komoditas lainnya yang mereka jual adalan bahan bangunan/material, furniture, batu berharga, parfum, barang-barang dari kulit hewan, dan kebutuhan rumah tangga sehari-hari (de Jonge, 2000). Golongan non-sayyid berhimpun dalam organisasi Al Irsyad. Sejak tahun 1915, perhimpunan Al Irsyad cabang Bogor sudah melaksanakan aktivitas sosial dan dakwah (Batarfie, 2003).

Kebijakan pemerintah Belanda yang memberlakukan zona pemukiman (wijkenstelsel) dan surat ijin keluar kawasan pemukimannya (passen-stelsel) membatasi ruang gerak orang Arab. Pengurusan surat ijin dilakukan oleh kepala kelompok komunitas Arab berpangkat Kapiten yang bertanggung jawab langsung kepada Gubernur Jendral Belanda. Kebijakan tersebut menghambat perkembangan bisnis para pedagang Arab.

Pada tahun 1885, dilakukan sensus khusus dan rinci oleh pemerintah Belanda pada setiap Karesidenan tempat bermukim orang Arab di Jawa dan Madura. Saat itu, wilayah Buitenzorg secara administratif masih berada di bawah pemerintahan karesidenan Batavia. Sehingga sensus yang dilakukan pada tahun 1859, 1870, dan 1885 merupakan jumlah dari Karesidenan Batavia yang meliputi wilayah Batavia (sekarang Jakarta), Mr. Cornelis (sekarang Jatinegara), Buitenzorg (sekarang Bogor), dan Tanggerang (Tabel 5).

Tabel 5. Jumlah Orang Arab di Batavia Tahun 1859-1885

No. Tahun Jumlah Orang Arab

1. 1859 312 jiwa

2. 1870 952 jiwa

3. 1885 1662 jiwa

Sumber : van den Berg (2010)

Dari sensus tahun 1885, didapat data yang lebih terperinci. Diketahui bahwa jumlah orang Arab yang bermukim di Karesidenan Buitenzorg sebesar 97 jiwa. Orang Arab yang lahir di Arab berjumlah 31 jiwa dan semuanya adalah laki-laki. Sementara orang Arab yang lahir di Indonesia berjumlah 66 jiwa, dengan rincian 12 orang laki-laki, 15 orang perempuan, dan 39 orang anak-anak (van den Berg, 2010). Jumlah orang Arab semakin bertambah karena adanya pernikahan dengan orang pribumi dan banyaknya orang Arab baru yang datang langsung dari Arab. Istilah muwalad digunakan untuk keturunan Arab yang keluarganya telah lama tinggal di Indonesia dan wulaiti digunakan untuk orang Arab yang baru datang dari negeri asalnya.

Sejak kebijakan zona pemukiman dihapuskan pada tahun 1915, orang Arab memiliki kebebasan untuk bermukim di luar zona yang telah ditentukan. Hal

tersebut menyertai pergeseran batas sosial dan budaya. Setelah beberapa generasi, terjadi asimilasi budaya Arab dan Sunda. Budaya Arab yang pertama mulai luntur adalah penggunaan bahasa Arab, kemudian ciri khas berpakaian, dan terakhir penggunaan nama keluarga (van den Berg, 2010).