• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASSESSMENT LANSKAP SEJARAH KAWASAN EMPANG UNTUK MENDUKUNG PERENCANAAN TATA RUANG KOTA BOGOR RANI ANGGRAENI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ASSESSMENT LANSKAP SEJARAH KAWASAN EMPANG UNTUK MENDUKUNG PERENCANAAN TATA RUANG KOTA BOGOR RANI ANGGRAENI"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

ASSESSMENT LANSKAP SEJARAH KAWASAN EMPANG

UNTUK MENDUKUNG PERENCANAAN TATA RUANG

KOTA BOGOR

RANI ANGGRAENI

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi Assessment Lanskap Sejarah Kawasan Empang untuk Mendukung Perencanaan Tata Ruang Kota Bogor adalah benar merupakan hasil karya saya dengan arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juni 2011

Rani Anggraeni A44062268

(3)

RINGKASAN

RANI ANGGRAENI. Assessment Lanskap Sejarah Kawasan Empang untuk Mendukung Perencanaan Tata Ruang Kota Bogor. Dibimbing oleh NURHAYATI HADI SUSILO ARIFIN.

Kawasan Empang merupakan salah satu kampung atau pemukiman awal yang menjadi inti dari pertumbuhan Kota Bogor. Sejarah perkembangan kawasan yang cukup panjang serta adanya akulturasi budaya antara etnis Sunda dan etnis Arab sejak masa Kolonial Belanda menjadikan kawasan Empang sebagai kawasan pemukiman yang memiliki karakter khas dan keunikan budaya yang berbeda dengan pemukiman lain yang terdapat di Kota Bogor. Pembangunan Kota Bogor saat ini mengalami peningkatan dan perubahan yang sangat cepat. Hal tersebut dapat berpengaruh terhadap kelestarian bangunan dan/atau lingkungan cagar budaya. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu rencana pelestarian kawasan bersejarah yang terintegrasi dengan rencana tata ruang kota sehingga dapat menjaga keberlanjutan kawasan Empang sebagai salah satu kawasan bersejarah yang membentuk wajah Kota Bogor.

Tujuan penelitian ini adalah (1) menelusuri perkembangan lanskap sejarah kawasan Empang, (2) mengidentifikasi tatanan lanskap sejarah kawasan Empang berikut elemen pembentuknya, (3) melakukan assessment dan analisis lanskap sejarah kawasan Empang, serta (4) menyusun rekomendasi upaya pelestarian kawasan Empang yang dapat mendukung perencanaan tata ruang Kota Bogor. Hasil penelitian ini diharapkan dapat (1) memberikan informasi tentang perkembangan dan karakteristik lanskap sejarah kawasan Empang dan kondisinya saat ini, serta (2) menjadi bahan rekomendasi kepada pemerintah dan masyarakat Kota Bogor dalam upaya pelestarian lanskap sejarah kawasan Empang.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan proses yang dikemukakan oleh Goodchild (1990), yaitu (1) tahap survei meliputi pengambilan dan pengumpulan data menggunakan metode penelusuran sejarah. Data yang dikumpulkan meliputi aspek sejarah, aspek fisik, dan aspek sosial, (2) tahap identifikasi tapak untuk mengidentifikasi perkembangan, karakteristik, dan elemen pembentuk lanskap sejarah kawasan Empang menggunakan metode penelusuran sejarah dan analisis spasial, (3) tahap analisis dan assessment untuk mengetahui nilai signifikansi sejarah kawasan menggunakan metode skoring terhadap aspek keaslian dan keunikan, serta analisis aspek sosial menggunakan metode statistik deskriptif untuk menganalisis persepsi, pendapat, dan keinginan masyarakat, dan (4) tahap sintesis untuk menyusun rekomendasi upaya pelestarian lanskap sejarah kawasan Empang.

Awalnya, kawasan Empang merupakan bagian dari sebuah alun-alun luar Kota Pakuan yang membentang dari tepi Sungai Cisadane sampai ke Cipakancilan. Sejak masa Pemerintahan Belanda, kawasan Empang mulai membentuk pola-pola ruang yang menjadi dasar perkembangan kawasan selanjutnya. Tahun 1754, pemerintah kolonial Belanda menjadikannya sebagai pusat pemerintahan Karesidenan Kampung Baru. Kebijakan wijkenstelsel mengkhususkan kawasan ini sebagai pemukiman bagi masyarakat etnis Arab. Pada masa sekarang, kawasan Empang berkembang sebagai kawasan pemukiman

(4)

dan perdagangan dengan nilai sejarah penting bagi perkembangan Kota Bogor serta memiliki potensi budaya khas yang dapat dilihat pada keragaman corak arsitektur, aktivitas budaya dan keagamaan, serta aktivitas ekonomi yang kental dengan kebudayaan masyarakat Arab. Secara administratif kawasan ini berada di wilayah Kelurahan Empang, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Pengembangan tata ruang kawasan Empang tidak lepas dari arahan kebijaksanaan Kota Bogor dan diarahkan untuk dapat mewujudkan fungsi Kecamatan Bogor Selatan sebagai kawasan pemukiman yang ditunjang oleh kegiatan perdagangan dan jasa serta merupakan kawasan konservasi ekologi sungai.

Hasil identifikasi tatanan lanskap sejarah menunjukkan bahwa kawasan Empang memiliki karakteristik yang terbagi ke dalam tiga zona berdasarkan fungsi kawasan di masa lalu, yaitu zona I berupa zona pusat pemerintahan Kampung Baru (1754-1872) dengan pola ruang konsentrik yang berpusat pada alun-alun, zona II berupa zona pemukiman Arab dengan pola ruang linear-konsentrik menempatkan masjid sebagai pusat pemukiman, serta zona III berupa zona pemukiman Pribumi dengan pola ruang linear yang tidak memiliki elemen lanskap sebagai pusat pemkiman dan berkembang sepanjang aliran sungai. Identifikasi elemen lanskap sejarah kawasan Empang menghasilkan 32 elemen lanskap yang berperan dalam pembentukan karakter sejarah pada ketiga zona di kawasan Empang. Elemen lanskap sejarah pembentuk zona I adalah Alun-alun Empang, Masjid Agung Empang, Pasar Bogor, Kediaman Resmi Bupati Kampung Baru, dan Kediaman Resmi Kapiten Arab. Elemen lanskap sejarah pembentuk zona II adalah Pemakaman Arab, Masjid At Taqwa, Masjid An Nur, Makam Habib Abdullah bin Mukhsin al Attas, serta bangunan rumah tinggal dengan corak bangunan khas di Pekojan (4 bangunan), Kaum (1 bangunan), dan Lolongok (6 bangunan). Sedangkan elemen lanskap sejarah pembentuk zona III adalah Makam Keluarga Dalem Shalawat, bangunan rumah tinggal dengan corak bangunan khas di Sadane (10 bangunan), dan Bendungan Empang.

Penilaian aspek keaslian dan keunikan terhadap ketiga zona menyatakan bahwa zona I memiliki nilai signifikansi sejarah tinggi dengan tingkat keaslian tinggi dan keunikan sedang, zona II memiliki nilai signifikansi sejarah sedang dengan tingkat keaslian dan keunikan sedang, dan zona III memiliki nilai signifikansi sejarah rendah dengan tingkat keaslian dan keunikan rendah. Perbedaan nilai signifikansi sejarah serta adanya rencana penggunaan lahan kawasan Empang tahun 2002-2012 akan mempengaruhi tindakan pelestarian yang diusulkan pada setiap zona. Hasil analisis persepsi menunjukkan bahwa responden memiliki pengetahuan sejarah perkembangan kawasan Empang yang cukup tinggi. Mereka berpendapat bahwa kawasan ini memiliki karakter sebagai pemukiman Arab dengan masjid dan makam sebagai landmark. Selain itu, dukungan dan keinginan masyarakat untuk melestarikan aset sejarah dan budaya kawasan Empang menunjukkan hasil yang sangat tinggi.

Rekomendasi upaya pelestarian yang diusulkan berupa konsep umum pelestarian lanskap sejarah kawasan Empang agar dapat mendukung perencanaan tata ruang Kota Bogor, yaitu melindungi, memelihara, serta meningkatkan integritas dan karakter sejarah kawasan melalui strategi pelestarian yang bersinergi dengan aktivitas ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat lokal di kawasan tersebut. Tindakan pelestarian terhadap setiap zona antara lain revitalisasi (zona I), konservasi (zona II), dan rehabilitasi (zona III).

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tujuan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

(6)

ASSESSMENT LANSKAP SEJARAH KAWASAN EMPANG

UNTUK MENDUKUNG PERENCANAAN TATA RUANG

KOTA BOGOR

RANI ANGGRAENI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap

Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(7)

Judul Penelitian : Assessment Lanskap Sejarah Kawasan Empang untuk Mendukung Perencanaan Tata Ruang Kota Bogor

Nama : Rani Anggraeni

NIM : A44062268

Menyetujui Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Nurhayati Hadi Susilo Arifin, MSc. NIP. 19620121 198601 2001

Mengetahui

Ketua Departemen Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA. NIP. 19480912 197412 2001

(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan segala nikmat dan rahmat yang begitu besar sehingga penulisan skripsi yang berjudul “Assessment Lanskap Sejarah Kawasan Empang untuk Mendukung Perencanaan Tata Ruang Kota Bogor” dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian, Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Nurhayati Hadi Susilo Arifin, MSc selaku dosen pembimbing atas bimbingan, dorongan, masukan, perhatian dan kesabarannya dari awal penelitian hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Inotji Hayatullah, Abdullah Batarfie, Umar Thalib, Ahmad Muflih, Bapak Haris dan Bapak Latif, serta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bogor, Badan Perencanaan Daerah Kota Bogor, dan warga Empang yang telah memberikan segala bantuan, kemudahan, dan informasi yang diberikan selama penelitian. Ucapan yang sama juga disampaikan kepada komunitas Kampoeng Bogor atas bantuan, kemudahan, dan informasi yang diberikan selama penelitian. Begitu pula kepada kepada rekan-rekan seperjuangan di Arsitektur Lanskap angkatan 43 atas dukungan, semangat, doa, kebersamaan, keceriaan, dan kegalauan yang selalu dibagi bersama selama kuliah hingga penulis menyelesaikan tugas akhir.

Terakhir, penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada keluarga tercinta, Bapak, Ibu, dan Adik atas kasih sayang, perhatian, motivasi, dan doa tulus yang tidak pernah berhenti terucap setiap sehabis shalat. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam merencanakan tata ruang Kota Bogor yang lebih berorientasi pada aspek sejarah dan budaya di masa yang akan datang.

Bogor, Juni 2011 Penulis

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 25 September 1988 sebagai anak sulung dari dua bersaudara, putri dari Bapak Achmad Djuheri dan Ibu Siti Wasi’ah.

Jenjang pendidikan yang ditempuh penulis diawali di TK Alita Bogor pada tahun 1993-1994, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan dasar di SD Negeri Sindang Barang 01 hingga tahun 2000. Pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama diselesaikan di SLTP Negeri 1 Bogor pada tahun 2003. Selanjutnya penulis melanjutkan Sekolah Menengah Umum di SMA Negeri 1 Bogor hingga lulus pada tahun 2006.

Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan selama satu tahun menjalankan program Tingkat Persiapan Bersama (TPB). Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswi di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian. Pada tahun ajaran 2010-2011 penulis dipercaya sebagai Asisten Mata Kuliah Pelestarian Lanskap Sejarah dan Budaya. Penulis pernah berpartisipasi dalam kegiatan Bogor Botanical Gardens Internasional Workshop tahun 2010 sebagai volunteer. Selain itu, penulis juga aktif dalam berbagai pelatihan dan seminar yang mendukung kegiatan akademis.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ... xii

DAFTAR GAMBAR ... ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... ... xv I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 2 1.3 Manfaat ... 3 1.4 Kerangka Pikir ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Sejarah ... 5

2.2 Kriteria Lanskap Sejarah ... 5

2.3 Assessment Lanskap Sejarah ... 7

2.4 Pelestarian Kawasan Bersejarah ... 9

2.5 Tindakan Pelestarian Kawasan Bersejarah ... 11

2.6 Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor ... 14

III. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 16

3.2 Metode Penelitian ... 17

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sejarah Perkembangan Kawasan Empang ... 23

4.1.1 Periode Kerajaan Pajajaran (1482-1579) ... 23

a) Kondisi Fisik ... 23

b) Kondisi Sosial Masyarakat ... 24

4.1.2 Periode Kolonial Belanda (1754-1945) ... 25

a) Kondisi Fisik ... 26

b) Kondisi Sosial Masyarakat ... 33

4.1.3 Periode Kemerdekaan (1945-Sekarang) ... 37

a) Fase Pertama Periode Kemerdekaan (1945-1965) ... 37

b) Fase Kedua Periode Kemerdekaan (1965-1995) ... 39

(11)

4.2 Identifikasi Lanskap Sejarah Kawasan Empang ... 49

4.2.1 Karakter Lanskap Sejarah Kawasan Empang ... 49

4.2.2 Elemen Lanskap Sejarah Kawasan Empang ... 54

a) Alun-alun Empang ... 56

b) Masjid Agung Empang ... 65

c) Pasar Bogor ... 68

d) Kediaman Resmi Bupati Kampung Baru ... 69

e) Kediaman Resmi Kapiten Arab ... 70

f) Masjid At Taqwa ... 71

g) Masjid An Noer ... 73

h) Makam Habib Abdullah bin Mukhsin al Attas ... 75

i) Makam Keluarga Dalem Shalawat ... 76

j) Bendungan Empang ... 77

4.2.3 Lanskap Budaya Kawasan Empang ... 78

4.2.4 Kebijakan Pelestarian Lanskap Sejarah Kawasan Empang ... 83

4.3 Assessment Lanskap Sejarah Kawasan Empang ... 84

4.3.1 Nilai Keaslian Lanskap Sejarah Kawasan Empang ... 85

4.3.2 Nilai Keunikan Lanskap Sejarah Kawasan Empang ... 88

4.3.3 Hasil Analisis ... 91

4.4 Persepsi, Pendapat, dan Keinginan Masyarakat Terhadap Lanskap Sejarah Kawasan Empang ... 93

4.4.1 Masyarakat Empang ... 95

4.4.2 Masyarakat Kota Bogor ... 96

V. REKOMENDASI PELESTARIAN LANSKAP SEJARAH KAWASAN EMPANG 4.6.1 Konsep Pelestarian ... 101

4.6.2 Tindakan Pelestarian ... 102

VI. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... ... 106

5.2 Saran ... 107

DAFTAR PUSTAKA ... 108

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Tindakan Pelestarian Kawasan Sejarah ... 12

2. Aspek, Jenis, Bentuk, Sumber, dan Analisis Data ... 17

3. Kriteria Penilaian Keaslian (Originality) ... 19

4. Kriteria Penilaian Keunikan (Uniqueness) ... 20

5. Jumlah Orang Arab di Batavia Tahun 1859-1885 ... 36

6. Topografi Kelurahan Empang ... 42

7. Tata Guna Lahan Kelurahan Empang ... 43

8. Jumlah Penduduk Menurut Agama ... 47

9. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian ... 48

10. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ... 48

11. Identifikasi Elemen Lanskap Sejarah Pembentuk Kawasan Empang ... 59

12. Penilaian Keaslian (Originality) Lanskap Sejarah Kawasan Empang ... 85

13. Penilaian Keunikan (Uniqueness) Lanskap Sejarah Kawasan Empang ... 88

14. Penilaian Gabungan Aspek Keaslian dan Keunikan Lanskap Sejarah Kawasan Empang ... 91

15. Pendapat Masyarakat Empang Terhadap Eksistensi Bangunan Kuno di Kawasan Empang ... 97

16. Pendapat Masyarakat Kota Bogor Terhadap Eksistensi Bangunan Kuno di Kawasan Empang ... 99

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Bagan Kerangka Pikir ... 4

2. Lokasi Penelitian ... 16

3. Tahapan Penelitian ... 22

4. Denah Benteng Kerajaan Pajajaran ... 25

5. Alun-alun Empang Abad Ke-18 ... 26

6. Lukisan R. Toelar Tahun 1843 ... 29

7. Pembagian Zona Etnis di Buitenzorg Tahun 1745-1845 ... 30

8. Perkembangan Pemukiman di Buitenzorg Tahun 1845-1945 ... 32

9. Peta Kawasan Empang Tahun 1900... 34

10. Peta Kawasan Empang Tahun 1920... 35

11. Peta Kawasan Empang Tahun 1946... 38

12. Peta Wilayah Kelurahan Empang ... 41

13. Tata Guna Lahan Kelurahan Empang ... 44

14. Rencana Penggunaan Lahan Kecamatan Bogor Selatan Th 2002-2012 ... 46

15. Peta Identifikasi Karakteristik Lanskap Sejarah Kawasan Empang Tahun 1754-1872 ... 50

16. Konsep Pusat Kota Tradisional Jawa ... 51

17. Peta Identifikasi Pola Tata Letak Elemen Lanskap Pusat Pemerintahan Kampung Baru ... 52

18. Pola Pemukiman Arab ... 53

19. Peta Identifikasi Pola Pemukiman Arab di Kawasan Empang ... 55

20. Peta Sebaran Elemen Lanskap Sejarah Kawasan Empang ... 57

21. Peta Sebaran Benda Cagar Budaya (BCB) Kawasan Empang ... 58

22. (a) Alun-alun Empang Tahun 1880 dan (b) Tahun 2010 ... 64

23. Kondisi Lingkungan di Sekitar Alun-alun Empang ... 65

24. (a) Masjid Agung Empang Tahun 1847 dan (b) Tahun 1873 ... 66

25. (a) Masjid Agung Empang Tahun 1952 dan (b) Tahun 2010 ... 67

26. (a) Pasar Bogor Periode Kolonial Belanda dan (b) Tahun 2010 ... 69

27. (a) Pendopo Bupati Periode Kolonial Belanda dan (b) Tahun 2010 ... 70

(14)

29. (a) Masjid At Taqwa Tahun 1933 dan (b) Tahun 2010 ... 72

30. Masjid An Noer Tahun 1909 ... 73

31. (a) Masjid An Noer Tahun 2010 dan (b) Kaligrafi pada Atap Masjid ... 74

32. Pedagang Musiman di Lingkungan Sekitar Makam Habib ... 75

33. (a) Cungkup Makam Habib Abdullah bin Mukhsin al Attas dan (b) Komplek Makam Dalam Cungkup ... 76

34. (a) Makam RH Muhammad Tohir dan (b) Komplek Makam Keluarga Besar Dalem Shalawat ... 77

35. (a) Bendungan Empang Periode Kolonial Belanda dan (b) Tahun 2010... .. 78

36. Ragam Corak Arsitektur pada Elemen Bangunan di Kawasan Empang ... . 79

37. Peringatan Haul Habib Abdullah bin Mukhsin al-Attas (a) di Dalam Cungkup Makam (b) di Luar Cungkup Makam ... 81

38. Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Kawasan Empang ... ... 82

39. Ragam Aktivitas Ekonomi di Kawasan Empang ... ... 83

40. Peta Keaslian Lanskap Sejarah Kawasan Empang ... ... 86

41. Peta Keunikan Lanskap Sejarah Kawasan Empang ... ... 89

42. Peta Komposit Keaslian dan Keunikan Lanskap Sejarah Kawasan Empang ... 92

43. Overlay Peta Komposit dan Rencana Penggunaan Lahan Kawasan Empang Kecamatan Bogor Selatan Th 2002-2012 ... 94

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Kuesioner Persepsi Masyarakat di Dalam Kawasan Empang ... 112 2. Kuesioner Persepsi Masyarakat di Luar Kawasan Empang .. ... 114 3. Penilaian Tingkat Keaslian (Originality) Lanskap Sejarah Kawasan

Empang ... 117 4. Penilaian Tingkat Keunikan (Uniqueness) Lanskap Sejarah Kawasan

(16)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kondisi suatu kota pada kenyataannya tidak akan terlepas dari perkembangan sejarah yang membentuknya. Berbagai kejadian historis secara langsung maupun tidak langsung mengisi ruang kota yang mempengaruhi perkembangan kota tersebut (Bappeda, 2005). Pengaruh dari berbagai aspek sosial-budaya seperti kepercayaan, tradisi, kebiasaan, dan agama, aspek ekonomi pada masa kolonial dan pengaruh yang didapatkan dari pedagang asing, serta aspek biofisik kota merupakan keunikan yang membentuk mozaik budaya dari kota di Indonesia (Roslita, 1999).

Kota Bogor telah mengalami perkembangan sejarah kota yang panjang, mulai dari masa Kerajaan Pajajaran (1482-1579), masa Kolonial Belanda (1754-1945), sampai dengan masa Kemerdekaan (1945-sekarang). Hal ini menyebabkan Kota Bogor memiliki keragaman budaya dan keunikan sejarah masa lalu yang tinggi. Hal tersebut dapat terlihat dari banyaknya peninggalan bersejarah dalam bentuk ruang, komunitas, dan arsitektur yang membentuk keragaman kota ini.

Pada dasarnya, Kota Bogor mempunyai lanskap yang ideal sebagai tempat bermukim karena potensi fisiknya. Letak yang strategis karena dekat dengan pusat pemerintahan dan kekayaan alam yang dimilikinya menjadikan Kota Bogor sejak dulu banyak disinggahi oleh para pelancong dunia (Baehaqie, 2009). Kegiatan perekonomian yang berkembang di Kota Bogor, menarik banyak pedagang asing datang ke kota ini untuk berdagang. Pada akhirnya, banyak dari mereka memilih untuk bermukim di Kota Bogor.

Kawasan Empang merupakan salah satu kampung atau pemukiman awal yang menjadi inti dari pertumbuhan Kota Bogor (Danasasmita, 1983). Sejarah perkembangan kawasan yang cukup panjang serta adanya akulturasi budaya antara etnis Arab dan etnis Sunda sejak masa Kolonial Belanda menjadikan kawasan Empang sebagai kawasan pemukiman yang memiliki karakter khas dan keunikan budaya yang berbeda dengan pemukiman lainnya yang terdapat di Kota Bogor.

(17)

Namun perkembangan Kota Bogor saat ini mengalami peningkatan dan perubahan yang sangat cepat. Hal tersebut dapat berpengaruh terhadap kelestarian bangunan dan/atau lingkungan cagar budaya (Pemerintah Kota Bogor, 2009). Umumnya, kawasan-kawasan bernilai budaya dan sejarah tinggi, akibat komersialisasi pembangunan perkotaan yang tidak terarah, secara sedikit demi sedikit cenderung lenyap atau hancur, rusak, dan bahkan diabaikan (Nurisjah dan Pramukanto, 2001). Oleh karena itu, dibutuhkan suatu rencana pelestarian kawasan bersejarah yang terintegrasi dengan rencana tata ruang kota. Aspek sosial, budaya, dan ekonomi harus diakomodasi untuk mendapatkan perencanaan kota yang berkesinambungan, baik ditinjau dari segi sejarah, ruang, dan lingkungan (Roslita, 1999).

Rencana pelestarian kekayaan dari beragam budaya kota yang tercermin dari lanskap kota merupakan hal penting, baik untuk tujuan kesejarahan, pendidikan maupun kepariwisataan. Kawasan Empang sebagai salah satu pembentuk keberagaman budaya dan sejarah kota Bogor, menjadi penting untuk mendapat perhatian dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk merumuskan rencana pelestarian yang tepat sehingga dapat menjaga keberlanjutan kawasan Empang sebagai salah satu kawasan bersejarah di Kota Bogor. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan pemerintah kota dalam merencanakan tata ruang yang mempertimbangkan aspek budaya, sosial, dan ekonomi sehingga Kota Bogor menjad lebih baik pada masa yang akan datang.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menelusuri perkembangan lanskap sejarah kawasan Empang

2. Mengidentifikasi tatanan lanskap sejarah kawasan Empang berikut elemen pembentunnya.

3. Melakukan assessment dan analisis lanskap sejarah kawasan Empang.

4. Menyusun rekomendasi upaya pelestarian lanskap sejarah kawasan Empang yang dapat mendukung perencanaan tata ruang Kota Bogor.

(18)

1.3 Manfaat

Manfaat dari penelitian ini antara lain :

1. Memberikan informasi tentang perkembangan berikut karakteristik lanskap sejarah kawasan Empang dan kondisinya saat ini.

2. Sebagai bahan rekomendasi kepada pemerintah dan masyarakat Kota Bogor dalam upaya pelestarian lanskap sejarah kawasan Empang.

1.4 Kerangka Pikir

Kawasan Empang merupakan salah satu lanskap bersejarah yang memiliki karakteristik khas dan keunikan budaya hasil akulturasi etnis Arab dan Sunda pada masa Kolonial yang berbeda dari kawasan lainnya di Kota Bogor. Perkembangan Kota Bogor saat ini mengalami peningkatan yang sangat pesat dan lebih berorientasi pada sektor ekonomi dibandingkan dengan potensi sejarah dan budaya yang dimiliki kota ini. Sehingga timbul kekhawatiran bahwa pembangunan Kota Bogor yang tidak memperhatikan potensi sejarah dan budaya dapat mengakibatkan hilangnya bangunan dan/atau kawasan bernilai sejarah, termasuk kawasan Empang. Hal tersebut dapat melemahkan identitas Kota Bogor sebagai kota dengan keragaman sejarah dan budaya peninggalan masa Kolonial Belanda.

Untuk itu, perlu dilakukan penelitian agar dapat menelusuri perkembangan lanskap sejarah kawasan Empang, mengidentifikasi karakteristik lanskap sejarah kawasan Empang saat ini, serta melakukan penilaian terhadap keaslian dan keunikan karekteristik lanskap sejarah kawasan Empang. Sehingga diketahui zona pelestarian yang dibutuhkan untuk melindungi karakteristik lanskap sejarah Kawasan Empang yang dapat dijadikan bahan pertimbangan Pemerintah Kota Bogor dalam perencanaan tata ruang kota yang tidak hanya mempertimbangkan sektor ekonomi, tetapi juga mempertimbangkan potensi sejarah dan budaya yang dimiliki. Bagan kerangka pikir dapat dilihat pada Gambar 1.

(19)

Latar Belakang

Penelitian Hasil

Gambar 1. Bagan Kerangka Pikir Lanskap Sejarah Kawasan Empang

Perkembangan Kota Bogor yang Pesat dengan Orientasi pada Sektor Ekonomi

Hilangnya Bangunan dan Kawasan Bernilai Sejarah

Identitas Kota Melemah

Mengidentifikasi Karakteristik dan Elemen Lanskap Sejarah Kawasan Empang Dulu dan Sekarang

Assessment Lanskap Sejarah

Penilaian Keaslian dan Keunikan Lanskap

Pertimbangan Pemerintah Kota Bogor dalam Perencanaan Tata Ruang Kota untuk Melestarikan Karakteristik Lanskap Sejarah Kawasan Empang

Zona Pelestarian Lanskap Sejarah Menelusuri Perkembangan Lanskap Sejarah

(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lanskap Sejarah

Lanskap adalah suatu bentang alam yang memiliki karakteristik tertentu yang dapat dinikmati keberadaannya melalui seluruh indera yang dimiliki manusia (Simonds dan Starke, 2006). Sedangkan menurut Eckbo (1964), lanskap adalah ruang di sekeliling manusia yang mencakup segala sesuatu yang dapat dilihat dan dirasakan serta merupakan pengalaman terus menerus di sepanjang waktu dan seluruh ruang kehidupan manusia.

Lanskap sejarah secara sederhana dapat dinyatakan sebagai bentukan lanskap tempo dulu dan merupakan bentuk fisik dari keberadaan manusia di atas bumi ini (Harris dan Dines, 1988). Sedangkan menurut Nurisjah dan Pramukanto (2001) lanskap sejarah merupakan bagian dari suatu bentuk lanskap budaya yang memiliki dimensi waktu di dalamnya.

Lanskap budaya (cultural landscape) merupakan suatu model atau bentuk lanskap binaan, yang dibentuk oleh suatu nilai budaya yang dimiliki suatu kelompok masyarakat yang dikaitkan dengan sumberdaya alam dan lingkungan yang ada pada tempat tersebut. Hal ini diekspresikan kelompok-kelompok masyarakat dalam bentuk pola pemukiman dan perkampungan, pola penggunaan lahan, sistem sirkulasi, arsitektur bangunan dan struktur serta lainnya. Waktu yang tertera atau tercermin dari suatu lanskap sejarah, yang membedakannya dengan design landscape lainnya, adalah keterkaitan pembentukan essential character dari lanskap tersebut pada waktu/periode yang lalu yang didasarkan pada sistem periodikal yang khusus (seperti sistem politik, ekonomi, sosial). Karena itu lanskap sejarah akan memainkan peranan penting dalam mendasari dan membantuk berbagai tradisi kultural/budaya, ideologikal, dan etnikal suatu kelompok masyarakat (Nurisjah dan Pramukanto, 2001).

2.2 Kriteria Lanskap Sejarah

Menurut Goodchild (1990), suatu bentukan lanskap dapat dikatakan memiliki nilai sejarah apabila memiliki minimal satu kriteria dan /atau alasan sebagai berikut :

(21)

1. Kriteria umum

a.Etnografis, yang merupakan produk khas suatu sistem ekonomi dan sosial suatu kelompok/suku masyarakat (etnik). Dua bentuk utama dari lanskap ini adalah rural landscape (lanskap pedesaan) dan urban landscape (lanskap perkotaan).

Rural landscape, merupakan suatu model atau bentuk lanskap yang dapat mencerminkan aspek ekonomi pedesaan dan berbagai kehidupan pedesaan.

Urban lanscape, yaitu bentuk lanskap yang berhubungan dengan pembangunan kota dan kehidupan perkotaan.

b.Associative, suatu bentuk lanskap yang berasosiasi atau yang dapat dihubungkan dengan suatu peristiwa, personal, masyarakat, legenda, pelukis, estetika, dan sebagainya.

c.Adjoining, adalah bentukan lanskap yang merupakan bagian dari suatu unit tertentu, bagian monumen, atau bagian struktur bangunan tertentu.

2. Kriteria khusus

a. Lanskap tersebut merupakan suatu contoh penting dan harus dihargai dari suatu tipe sejarah.

b. Mengandung bukti-bukti peristiwa penting, baik yang tampak di permukaan maupun yang berada di bawah tanah, yang menarik untuk dikaji dan dipelajari lebih lanjut.

3. Terdapat kaitannya dengan masyarakat atau peristiwa sejarah yang penting dengan berbagai alasan atau latar belakang :

a.Peranan sejarah

Suatu tempat merupakan lokasi peristiwa penting sebagai bentuk ikatan simbolis antara peristiwa dahulu dan sekarang dalam kehidupan kita. b.Kejamakan

Melestarikan suatu karya sebagai wakil dari suatu kelas, contoh, atau tipe lanskap tertentu.

(22)

Lanskap, bentang alam, atau taman merupakan satu-satunya contoh, atau merupakan perwakilan tipe budaya tertentu bahkan mungkin merupakan satu-satunya keterwakilan di dunia.

d.Keistimewaan

Merupakan suatu karya yang memiliki keistimewaan, seperti yang terpanjang, yang tertua, yang pertama kali dan sebagainya, yang dapat dikategorikan dan dinyatakan sebagai masterpiece.

e.Estetika

Pelestarian karena suatu karya merupakan prestasi khusus dalam suatu gaya sejarah tertentu.

f. Memperkuat kedudukan (silsilah sejarah) kawasan di dekat atau sekitarnya Adanya investasi pada suatu karya dapat memperkuat atau mempengaruhi secara positif pada kawasan-kawasan yang berada di sekitarnya.

4. Mengandung nilai-nilai yang terkait dengan bangunan-bangunan bersejarah, monumen-monumen, bangunan, dan taman-taman.

2.3 Assessment Lanskap Sejarah

Assessment merupakan istilah dalam bahasa inggris. Kata assessment merupakan bentuk kata benda yang berasal dari kata kerja assess dan diberi imbuhan –ment sehingga menjadi sebuah kata benda. Menurut Wojowasito (1997) kata assess memiliki arti mendenda, menaksir, atau menetapkan. Assessment dapat diartikan sebagai taksiran atau penilaian.

Dalam kaitannya dengan assessment lanskap sejarah, assessment merupakan salah satu tahapan yang harus dilalui untuk dapat merumuskan rekomendasi pelestarian suatu kawasan bersejarah. Menurut Goodchild (1990) dalam Nurisjah dan Pramukanto (2001) ada delapan tahapan yang harus dilalui, yaitu :

1. Identifikasi tapak (lokasi dan lingkungannya) 2. Mendeskripsikan kondisi awal tapak

3. Analisis dan asssesment awal

Mempersiapkan pustakan dan berbagai keterangan tapak yang akan dinilai, antara lain kondisi, karakter, ciri-ciri umum, aksesibilitas, potensi gangguan,

(23)

dll. Metode analisis yang digunakan dapat bersifat kualitatif dan/atau kuantitatif tergantung dari permasalahan dan kepentingan kawasan pelestarian.

4. Memberi keputusan tentang berbagai tindakan yang akan dilakukan dan pihak mana atau siapa yang akan melakukannya

5. Membuat formulasi kebijakan terutama yang terkait berbagai tindakan yang akan dilakukan serta berbagai program ikutan yang tidak mengganggu kelestarian dari lanskap atau taman bersejarah

6. Memutuskan bentuk-bentuk kebijakan yang akan dilakukan

7. Melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap kondisi tapak dan tindakan konservasi yang dilakukan

8. Melakukan review dari waktu ke waktu dengan pertimbangan pengelolaan dan konservasi tapak haruslah menjadi objek evaluasi

Membuat penilaian merupakan hal utama dalam merencanakan pelestarian, sehingga penilaian atau pertimbangan terhadap informasi yang dikoleksi melalui survei kesejarahan, kondisi, dan keberadaan tapak yang diteliti perlu dilakukan (Sarilestari, 2009).

Kriteria yang digunakan untuk assessment lanskap sejarah berdasarkan penilaian yang telah dibuat terdiri dari :

1. Tipe lanskap

Tipe lanskap sejarah dapat berupa keseluruhan tapak maupun bagian kecil dari tapak sejarah yang harus dinilai.

2. Bagian alam yang menjadi daya tarik

Bagian dari alam yang menjadi daya tarik merupakan bagian dari warisan budaya yang harus dipertimbangkan. Penilaian terhadap daya tarik alam dan budaya membutuhkan spesialis yang sesuai dengan bidang tersebut.

3. Kondisi tapak

Kondisi lanskap sejarah ditentukan oleh integritas sejarah dan karakter, yaitu besarnya perbaikan dan pemeliharaan tapak, kesempurnaan tapak, serta tingkat perubahan bagian dari tapak sejarah. Kriteria ini sangat relatif karena

(24)

tergantung pada standar tipe dan umur tapak. Skala penilaian dimulai dari kondisi yang sangat buruk sampai dengan kondisi yang sangat baik.

4. Konteks geografi

Konteks geografi dinilai berdasarkan lokal, regional, nasional, atau internasional dengan mengenali batasan-batasan wilayah administratif, sehingga berhubungan dengan kebijakan administrasi yang sesuai (Goodchild, 1990).

2.4 Pelestarian Kawasan Bersejarah

Pelestarian lanskap sejarah dapat didefinisikan sebagai usaha manusia untuk melindungi peninggalan atau sisa budaya dan sejarah terdahulu yang bernilai dari berbagai perubahan negatif yang merusak keberadaanya atau nilai yang dimilikinya. Pelestarian suatu benda dan juga suatu kawasan yang bernilai sejarah, pada hakekatnya bukan untuk melestarikannya tetapi terutama berperan sebagai alat untuk mengolah transformasi dan revitalisasi dari kawasan tersebut. Upaya ini bertujuan pula untuk memberikan kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik berdasar kekuatan aset-aset budaya lama, melakukan program pencangkokan program-program yang menarik, kreatif, dan berkelanjutan, serta merencanakan program partisipasi dengan memperhitungkan estimasi ekonomi (Nurisjah dan Pramukanto, 2001).

Pelestarian lanskap sejarah dapat memberikan suatu kaitan simbolis antara peristiwa-peristiwa terdahulu dengan peristiwa-peristiwa yang ada sekarang dalam kehidupan kita (Attoe, 1988). Secara spesifik, pelestarian yang dilakukan pada lanskap sejarah adalah suatu usaha untuk melindungi nilai-nilai warisan (heritage values) atau peninggalan budaya dan sejarah masa lampau terhadap berbagai perubahan, dampak negatif atau segala sasuatu yang membahayakan keberadaan dan kelestariannya dalam suatu area dan lingkungan tertentu (Nurisjah dan Pramukanto, 2001).

Menurut Attoe (1988) motif pelestarian suatu lanskap yang terkait dengan aspek budaya dan sejarah adalah untuk :

1. Melindungi warisan budaya/sejarah yang memiliki karakter spesifik dari suatu kawasan

(25)

Apabila suatu lanskap yang memiliki nilai budaya/sejarah dari masa lalu tidak dilindungi dengan peraturan atau kebijakan, maka proses perubahan secara alamiah akan merubahnya atau bahkan bisa melenyapkannya. Sisa-sisa masa lalu dipandang memiliki nilai didaktif atau mengandung unsur pembelajaran bagi masyarakat.

2. Menjamin variasi dalam bangunan perkotaan

Motif pelestarian untuk menjamin variasi berkaitan dengan dua aspek, yaitu esteika dan strategis. Melestarikan peninggalan masa lalu dalam suatu kawasan tertentu yang relatif modern dapat memberikan kesan visual dan sosial yang berbeda, sehingga suasana kota yang tercipta terhindar dari kesan monoton. Secara politis dan ekonomis, variasi dalam suatu kawasan diperlukan untuk mengakomodasi berbagai aspirasi dan kebutuhan dari berbagai kelompok sosial dalam kota tersebut.

3. Motivasi ekonomi

Peninggalan budaya dan sejarah memiliki nilai yang tinggi apabila dipelihara dengan baik, terutama dapat mendukung perekonomian kota/daerah bila dikembangkan sebagai kawasan tujuan wisata. Hal ini tergantung pada faktor-faktor lain yang terjadi di sekitar kawasan, rencana kota jangka panjang, dan dukungan untuk upaya pelestarian dalam suatu daerah.

4. Memberikan makna simbolis

Objek atau lanskap peninggalan masa lalu merupakan manifestasi fisik dari identitas suatu kelompok masyarakat tertentu. Motif simbolis untuk pelestarian berkaitan dengan suatu pandangan bahwa menghancurkan objek atau lanskap tersebut hampir sama dengan menghancurkan kelompok yang bersangkutan.

Kawasan bersejarah merupakan elemen positif yang menunjukkan kualitas dari suatu kota. Perencanaan kota yang kurang tepat, seperti mengganti karakter suatu kawasan bersejarah menjadi kawasan komersil atau pemukiman dapat mengakibatkan penurunan kualitas suatu lanskap bersejarah. Oleh karena itu, diperlukan suatu usaha untuk melestarikan kembali dalam menunjang program pembangunan kota (Attoe, 1988). Attoe (1988) juga menyatakan bahwa

(26)

perlindungan benda bersejarah merupakan bagian penting dari perencanaan kota. Perlindungan ini dapat meliputi penggunaan kembali yang bersifat adaptif, rehabilitasi, dan pembangunan kembali kawasan kuno yang terletak di pusat kota.

Sedangkan menurut Goodchild (1990) beberapa alasan yang melatarbelakangi pelestarikan suatu lanskap bersejarah adalah :

1. Lanskap bersejarah merupakan bagian yang penting dan integral dari warisan budaya (cultural heritage). Keberadaannya dapat mendefinisikan warisan alam sebagai suatu referensi atau landmark yang dapat dimengerti dan juga bernilai penting.

2. Lanskap bersejarah dapat menjadi bukti fisik dan arkeologi dari sejarah suatu warisan budaya.

3. Lanskap bersejarah memberi kontribusi untuk keberlanjutan pembangunan kehidupan berbudaya, keberadaannya dapat dimanfaatkan sebagai obyek yang dapat dikunjungi dan dipelajari.

4. Lanskap bersejarah dapat memberikan suatu kenyamanan publik (public amenity), karena dapat menjadi tempat bersantai, rileks, rekreasi, serta dapat membangkitkan semangat dan menemukan inspirasi.

5. Lanskap bersejarah memiliki nilai ekonomis karena dapat memberikan keuntungan serta mendorong kepariwisataan.

Goodchild (1990) menyimpulkan bahwa lanskap sejarah merupakan sebuah sumberdaya penting dan merupakan sesuatu yang esensial apabila dikelola dengan cerdas dan dengan cara yang tepat, terutama pada kawasan yang mengalami pembangunan cepat.

2.5 Tindakan Pelestarian Kawasan Bersejarah

Tindakan, perlakuan, atau treatment kegiatan pelestarian adalah berbagai upaya atau proses penerapan cara-cara untuk dapat mempertahankan, mendukung keutuhan bentuk dan karakter dari suatu daerah, tapak, dan termasuk juga elemen pembentuknya. Harris dan Dines (1988) mengemukakan beberapa bentuk tindakan pelestarian lanskap sejarah yang umum dilakukan (Tabel 1).

(27)

Tabel 1. Tindakan Pelestarian Kawasan Sejarah (Harris dan Dines, 1988)

No. Pendekatan Definisi Implikasi

1. Preservasi Mempertahankan tapak seperti kondisi awal tanpa melakukan penambahan maupun merusaknya.

 Intervensi (campur tangan) rendah, melindungi lanskap sejarah tanpa perusakan.

 Tanpa membedakan perkembangan tapak.

2. Konservasi Mencegah bertambahnya

kerusakan pada tapak atau elemen tapak.

 Melindungi lanskap bersejarah, terkadang melibatkan sedikit penambahan atau penggantian.

 Pemakaian teknologi dan adanya pengujian secara keilmuan.

3. Rehabilitasi Meningkatkan standar modern dengan tetap memperkenalkan dan mempertahankan karakter sejarah.

 Terbatasnya penelitian mengenai sejarah untuk mengetahui elemen yang sesuai.

 Adanya kesatuan antara elemen sejarah dan modern.

 Melibatkan tingginya tingkat intervensi, sehingga semakin menghilangkan lanskap sejarah.

4. Restorasi Mengembalikan seperti kondisi awal (tempo dulu) sebisa mungkin.

 Mengembangkan penelitian kesejarahan secara luas dan tepat.

 Pada umumnya melibatkan tingkat intervensi yang tinggi.

 Penggantian konstruksi dan desain.

5. Rekonstruksi Menciptakan kembali seperti kondisi awal,

dimana tapak

(eksisting) sudah tidak bertahan lagi.

 Melakukan penelitian mengenai sejarah dan arkeologi untuk memperoleh ketepatan.

 Mengembangkan desain, elemen, dan artifak apabila diperlukan.

 Mempertimbangkan tapak museum yang sesuai.

6. Rekonstitusi Menempatkan atau mengembalikan

periode (waktu), skala, penggunaan, dan lainnya yang sesuai.

 Memperluas penelitian

kesejarahan untuk

mempertahankan karakter dan pola yang akan dikembangkan.

(28)

Sementara Goodchild (1990) menyatakan bahwa tindakan pelestarian yang dapat diterapkan pada suatu kawasan atau bagiannya, terdiri dari satu atau campuran dari beberapa tindakan dengan kombinasi yang berbeda. Beberapa tindakan pelestarian tersebut antara lain :

1. Rekontruksi, yaitu mengembalikan keadaan suatu obyek atau tempat yang pernah ada, tetapi sebagian besar telah hilang atau sama sekali hilang.

2. Preservasi, yaitu menjaga suatu obyek pada kondisi yang ada, dengan mencegah kerusakan dan perubahan.

3. Pemberian informasi, sebagai pedoman atau saran kepada pengelola, penghuni, dan pihak yang terkait, seperti pemerintah.

4. Meningkatkan pengelolaan dan perawatan pada tapak.

5. Perbaikan obyek, yaitu memperbaiki obyek yang telah rusak atau keadaannya telah memburuk dengan tidak merubah karakter atau keutuhan obyek.

6. Meningkatkan karakter sejarah pada tapak melalui tindakan perbaikan, rekonstruksi, atau pembuatan desain baru berdasarkan nilai sejarah.

7. Stabilitas dan konsolidasi, yaitu memperbaiki dan menyelamatkan obyek dari segi struktur tanpa mengubah atau dengan perubahan yang minimal pada penampakan dan keutuhan sejarahnya.

8. Memperbaiki karakter estetis dari tapak melalui tindakan perbaikan, pembaharuan, rekonstruksi, atau desain baru berdasarkan nilai sejarah.

9. Adaptasi atau revitalisasi, yaitu menyesuaikan suatu obyek pada suatu kawasan untuk keadaan atau penggunaan baru yang sesuai, yang dilakukan dengan pemahaman yang mendalam terhadap karakter sejarah yang dimiliki obyek, sehingga karakter dan keutuhan kawasan asli dapat tetap terpelihara.

Kriteria untuk melakukan tindakan pelestarian didasarkan atas pertimbangan faktor-faktor berikut (Nurisjah dan Pramukanto, 2001):

1. Makna sejarah (Historical significance)

Pertimbangan didasarkan pada kepentingan relatif dari makna kesejarahan dan keunikan. Harris dan Dines (1988) menyebutkan bahwa makna kekhususan sejarah dari suatu lanskap meliputi beberapa kriteria seperti kumpulan lahan, tata guna lahan, perlakuan terhadap topografi, hubungan

(29)

spasial, pola sirkulasi, seleksi bahan tanaman, disposisi dari bahan tanaman, tipe struktur, penempatan struktur, ornamental features, sistem yang fungsional, kualitas estetik, dan place in oeuver of designer. Sedangkan untuk makna keunikan sejarah dari suatu lanskap, Harris dan Dines (1988) menyebutkan bahwa kualitas estetik, inovasi teknologi, asosiasi kesejarahan, keragaman yang berbeda dari kebiasaan, integritas, dan place in oeuver of designer merupakan kriteria untuk mengetahui keunikan suatu lanskap sejarah.

2. Extant historic resource

Pertimbangan didasarkan pada jumlah dan tipe feature utama yang terkait dengan periode sejarah tapak tersebut. Integritas historikal dari berbagai sumberdaya yang dapat dipertahankan keberadaannya (Historical integrity of surviving resource).

3. Kondisi dari sumberdaya sejarah

Pertimbangan didasarkan pada kondisi struktural dan kondisi material tanaman dari suatu lanskap sejarah.

4. Seleksi periode sejarah

Pertimbangan didasarkan pada kepentingan asosiasi sejarah, ketersediaan sumberdaya eksisting (saat ini), keterpaduan dari sumberdaya yang tersedia, keterkaitan antara sumberdaya eksisting dengan keterkaitan sejarah, kondisi sumberdaya saat ini, dan ketersediaan informasi sejarah periode yang otentik untuk upaya restorasi.

2.6 Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor

Secara umum, pengertian rencana adalah suatu usaha untuk membuat keadaan dimasa mendatang lebih baik dari pada keadaan yang ada saat ini. Rencana tata ruang itu sendiri merupakan kebijakan dasar bagi arah pembangunan kota, yang harus di buat dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Rencana ini menjadi dasar kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan lainnya. Oleh karena itu, proses pembuatannya harus dilakukan secara komperhensif, mempertimbangkan berbagai kepentingan masyarakat, pemerintah, maupun swasta (Pemda Kota Bogor, 2002).

(30)

Berdasarkan Perda Kota Bogor Nomor 1 Tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (Tahun 1999-2009) Kota Bogor memiliki fungsi sebagai: 1. Kota Perdagangan

2. Kota Industri 3. Kota Pemukiman 4. Kota Wisata Ilmiah 5. Kota Pendidikan

Pengembangan tata ruang Kecamatan Bogor Selatan tidak lepas dari arahan kebijaksanaan daerah yang berada di sekitarnya. Dalam hal ini Kecamatan Bogor Selatan menyesuaikan pada arahan kebijaksanaan Propinsi Jawa Barat, Jabodetabek, Kabupaten Bogor, dan Kota Bogor. Sebagaimana diketahui berdasarkan RTRW Kota Bogor (2002), fungsi Kecamatan Bogor Selatan sebagai daerah pemukiman yang ditunjang oleh kegiatan perdagangan dan jasa serta merupakan daerah konservasi ekologis sungai. Dalam kaitannya dengan pelestarian lanskap bersejarah, Pemerintah Kota Bogor (2009) menyatakan rencana tata ruang kota harus mempertimbangkan dan menyesuaikan dengan keberadaan bangunan dan/atau lanskap bersejarah.

(31)

III. METODOLOGI

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di kawasan Empang yang secara administratif masuk dalam wilayah Kelurahan Empang, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat (Gambar 2). Waktu penelitian dilapang dilakukan selama enam bulan mulai bulan Maret 2010 sampai dengan Agustus 2010.

(32)

3.2 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan proses pendekatan yang dikemukakan oleh Goodchild (1990), meliputi tahap survey, identifikasi tapak, analisis dan assessment, serta sintesis. Adapun, penjelasan mengenai tahapan yang dilakukan adalah sebagai berikut (Gambar 3) :

1. Survey

Merupakan tahap pengambilan dan pengumpulan data dengan metode survey dan penelusuran sejarah. Data yang dikumpulkan meliputi aspek sejarah, aspek fisik, dan aspek sosial (Tabel 2). Secara teknis tahap pengambilan dan pengumpulan data dilakukan dengan cara :

a. Observasi lapang, untuk mengetahui langsung kondisi tapak, yaitu kondisi fisik lanskap bersejarah, karakter lanskap dan lingkungan sekiarnya, elemen bersejarah, serta pola pemukiman dan penggunaan lahan saat ini.

b. Wawancara/kuesioner, untuk memperoleh data dan informasi dari masyarakat sekitar, pengelola, tokoh masyarakat dan pihak-pihak yang bersangkutan mengenai kondisi lanskap, sejarah perkembangan kota Bogor dan kawasan, serta persepsi masyarakat.

c. Studi Literatur, untuk mendapatkan data dan informasi sekunder sebagai penunjang yang tidak didapatkan dari observasi lapang melalui kepustakaan/dokumen yang dapat diperoleh dari perpustakaan, pemda, dan instansi terkait mengenai sejarah perkembangan kota Bogor dan kawasan Empang, peta kawasan tahun 1900-2005, RTRW Kecamatan Bogor selatan, dan data demografi Kelurahan Empang.

Tabel 2. Aspek, Jenis, Bentuk, Sumber, dan Analisis Data Aspek dan Jenis Data Bentuk

Data Sumber Data Analisis Data Aspek Sejarah

1. Sejarah perkembangan Kota Bogor dan kawasan Empang

Foto, peta, dan teks

Tokoh masyarakat, ahli sejarah, Pemda, Tropenmuseum

Spasial- Deskriptif

2. Elemen sejarah pembentuk lanskap kawasan Empang

Foto dan teks

Tapak, ahli sejarah, Pemda

Deskriptif

3. Kebijakan, peraturan, dan pengelolaan terkait elemen bersejarah dalam kawasan

Teks Pemda, pengelola, masyarakat

(33)

Tabel 2. Lanjutan

Aspek dan Jenis Data Bentuk Data Sumber Data Analisi Data Aspek Fisik

1. Pola pemukiman Peta dan teks Tapak Spasial- Deskriptif 2. Karakter lanskap, arsitektur bangunan,

dan ruang terbuka

Foto, gambar, dan teks Tapak, Literatur Spasial-Deskriptif 3. Tata guna lahan Kelurahan Empang Peta, tabel,

dan teks

Tapak, Pemda Spasial-Deskriptif 4. RTRW Kecamatan Bogor Selatan

tahun 2002-2012

Peta dan teks Bappeda Spasial-Deskriptif Aspek Sosial

1. Data demografi Tabel dan teks Kelurahan Empang

Deskriptif

2. Persepsi, pendapat, dan keinginan masyarakat Frekuensi dan tabel Responden Statistik-Deskriptif 2. Identifikasi tapak

Identifikasi perkembangan lanskap sejarah kawasan Empang dianalisis secara deskriptif menggunakan metode penelusuran sejarah sehingga dapat diketahui tahap perkembangan kawasan sejak awal terbentuk sampai sekarang. Peta kawasan Empang tahun 1920 digunakan untuk mengidentifikasi tatanan dan elemen lanskap sejarah kawasan Empang. Peta tersebut dianalisis secara spasial deskriptif sehingga dapat diketahui zonasi karakteristik lanskap sejarah kawasan Empang pada masa lalu dan elemen lanskap sejarah yang berperan dalam pembentukan karakteristik kawasan. Kondisi elemen lanskap sejarah saat ini diketahui dengan melakukan pengecekan langsung di lapang. Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (BCB) menjadi dasar dalam mengidentifikasi elemen lanskap sejarah kawasan Empang yang ada sekarang, dengan kriteria sebagai berikut :

 Batas usia benda cagar budaya sekurang-kurangnya 50 tahun.

 Bernilai estetik berkaitan dengan aspek arsitektural yang menggambarkan suatu zaman atau gaya/langgam tertentu.

 Berada dalam jumlah yang terbatas dari jenis atau fungsinya. Dapat juga merupakan warisan terakhir, perwakilan satu-satunya dalam suatu lingkungan atau wilayah dan tidak terdapat di daerah lain.

(34)

 Bernilai ilmu pengetahuan berkaitan dengan sejarah/peristiwa perkembangan wilayah, perjuangan bangsa, ketokohan, sosial, politik, budaya, dan arsitektur.  Keberadaannya dapat memperkuat dan meningkatkan kualitas atau citra

kawasan disekitarnya.

3. Analisis dan asssesment lanskap

Assessment lanskap sejarah dilakukan untuk mengetahui nilai signifikansi lanskap sejarah kawasan Empang. Penilaian dilakukan terhadap beberapa aspek penting menurut Harris dan Dines (1988), meliputi penilaian keaslian (originality) dan keunikan (uniqueness). Penilaian terhadap aspek tersebut dihitung menggunakan metode skoring yang dikemukakan oleh Selamet (Selamet, 1983 dalam Allindani 2007) dengan rumus interval kelas :

Tinggi = SMi + 2IK + 1 sampai SMa Sedang = SMi + IK + 1 sampai (SMi + 2IK) Rendah = SMi sampai SMi + IK

Kriteria yang digunakan sebagai dasar penilaian untuk mengetahui tingkat keaslian dan keunikan disajikan pada Tabel 3 dan 4. Selanjutnya skor penilaian dijumlahkan untuk mengetahui tingkat keaslian dan keunikan dari setiap zona yang dinilai.

Tabel 3. Kriteria Penilaian Keaslian (Originality)

No. Kriteria Skor

1 (Rendah) 2 (Sedang) 3 (Tinggi) 1. Pola Penggunaan Lahan Mengalami perubahan penggunaan lahan >50%. Mengalami perubahan penggunaan lahan 25-50%. Tidak mengalami perubahan penggunaan lahan atau berubah <25% . 2. Pola pemukiman Tidak terdapat elemen lanskap yang menjadi pusat pemukiman. Pola pemukiman linear.

Terdapat elemen lanskap yang menjadi pusat pemukiman. Pola pemukiman linear-konsentrik.

Terdapat elemen lanskap yang menjadi pusat pemukiman. Pola pemukiman konsentrik. Interval Kelas (IK) = Skor Maksimum (SMa) – Skor Minimum (SMi)

(35)

Tabel 3. Lanjutan

3. Bangunan Elemen bangunan mengalami perubahan struktur dan elemen. Tidak mewakili karakter dan gaya arsitektur masa lalu. Terdapat sedikit bangunan kuno dengan umur >50 tahun.

Elemen bangunan mengalami asimilasi struktur dan elemen namun masih mewakili karakter dan gaya arsitektur masa lalu. Terdapat cukup banyak bangunan kuno dengan umur >50 tahun. Elemen bangunan tidak mengalami perubahan karakter, struktur, dan elemen sehingga sangat mewakili gaya arsitektur masa lalu. Terdapat banyak bangunan kuno dengan umur >50 tahun.

4. Pola Sirkulasi Jaringan jalan mengalami

penambahan ruas dan merubah karakteristiknya. Jaringan jalan mengalami penambahan ruas namun masih mempertahankan karakteristiknya.

Jaringan jalan tetap, relatif tidak mengalami penambahan ruas, dan karakteristiknya masih asli.

(Sumber : Harris dan Dines, 1988)

Tabel 4. Kriteria Penilaian Keunikan (Uniqueness)

(Sumber : Harris dan Dines, 1988)

No. Kriteria Skor

1 (Rendah) 2 (Sedang) 3 (Tinggi) 1. Asosiasi Kesejarahan Lanskap/elemen tidak memiliki hubungan kesejarahan. Lanskap/elemen memiliki hubungan kesejarahan yang lemah. Lanskap/elemen memiliki hubungan kesejarahan yang kuat.

2. Integritas Elemen lanskap sejarah tersebar dalam jumlah yang sedikit sehingga tidak membentuk kesatuan lanskap bersejarah yang harmonis.

Elemen lanskap sejarah tersebar dalam jumlah yang cukup banyak sehingga membentuk kesatuan lanskap bersejarah dengan karakter lemah. Elemen lanskap sejarah menyatu dalam jumlah yang cukup banyak sehingga membentuk kesatuan lanskap bersejarah dengan karakter kuat. 3. Keragaman yang berbeda dari kebiasaan Lanskap memiliki > 5 perwakilan elemen bersejarah pada suatu kawasan.

Lanskap memiliki 2-5 perwakilan elemen bersejarah pada suatu kawasan.

Lanskap hanya memiliki satu perwakilan elemen bersejarah

pada suatu kawasan. 4. Kualitas

estetik

Elemen lanskap tidak memiliki

estetika/gaya arsitektur yang dapat menunjukkan kekhasannya pada masa lalu Elemen lanskap masih memiliki estetika/gaya arsitektur yang dapat menunjukkan kekhasannya pada masa lalu Elemen lanskap memiliki estetika/gaya arsitektur masa lalu yang khas pada hampir semua bagian, termasuk detail ornamennya

(36)

Hasil penilaian kedua aspek tersebut menghasilkan peta kaslian dan peta keunikan yang menampilkan skor-skor dengan skala (Goodchild, 1990) :

 Skor 1 = tingkat keaslian/keunikan rendah, mengalami banyak perubahan, namun lanskap sejarah di beberapa lokasi masih dipertahankan.  Skor 2 = tingkat keaslian/keunikan sedang, mengalami sedikit perubahan.  Skor 3 = tingkat keaslian/keunikan tinggi,lanskap sejarah tidak mengalami

perubahan.

Penilaian gabungan aspek keaslian dan keunikan menghasilkan peta komposit yang kemudian dianalisis secara spasial deskriptif untuk mengetahui zona di kawasan Empang dengan nilai signifikansi sejarah rendah, sedang, dan tinggi. Kriteria rendah diberikan untuk zona yang memiliki nilai gabungan kedua aspek berada pada interval kelas antara 8-13, kriteria sedang diberikan untuk zona yang memiliki nilai gabungan kedua aspek berada pada interval kelas antara 14-18, dan kriteria sedang diberikan untuk zona yang memiliki nilai gabungan kedua aspek berada pada interval kelas antara 19-24. Peta komposit selanjutnya

dioverlay dengan peta rencana penggunaan lahan kawasan Empang yang termuat

dalam Rencana Penggunaan Lahan Kecamatan Bogor Selatan Tahun 2002-2012 (Pemda, 2002). Hasil overlay kedua peta tersebut kemudian dianalisis menggunakan metode deskriptif untuk mengetahui keberlanjutan lanskap sejarah kawasan terhadap rencana penggunaan lahan yang ada, sehingga dapat diputuskan tindakan yang harus dilakukan untuk setiap zona dalam upaya pelestarian lanskap sejarah kawasan Empang yang dapat mendukung rencana tata ruang Kota Bogor pada tahap selanjutnya.

Sementara analisis persepsi dilakukan dengan menggunakan metode statistik-deskriptif untuk mendeskripsikan persepsi, pendapat, dan keinginan masyarakat terhadap kawasan Empang. Penilaian dilakukan dengan menjawab pertanyaan dalam bentuk kuesioner tertutup (Lampiran 1 dan Lampiran 2) oleh 60 orang responden. Penyebaran kuesioner menggunakan teknik purposive sampling dimana responden terpilih merupakan masyarakat Kota Bogor yang bermukim dalam kawasan Empang (n=30) dan di luar kawasan Empang (n=30).

(37)

4. Sintesis

Merupakan tahapan pengolahan hasil analisis. Pada tahap ini dibuat suatu rekomendasi pelestarian lanskap sejarah kawasan Empang berikut deliniasi kawasan, elemen yang perlu dilestarikan, serta tindakan yang dikenakan pada elemen lanskap sejarah pembentuk kawasan dalam upaya pelestarian lanskap sejarah kawasan Empang yang dapat mendukung perencanaan tata ruang kota Bogor.

SURVEY

ANALISIS

SINTESIS

Gambar 3. Tahapan Penelitian

Kawasan Empang

Aspek Sejarah

1. Sejarah

perkembangan Kota Bogor dan kawasan Empang 2. Elemen sejarah pembentuk lanskap kawasan Empang 3. Kebijakan, peraturan, dan pengelolaan elemen bersejarah dalam kawasan

Aspek Fisik Aspek Sosial

1. Data demografi 2. Persepsi, pendapat, dan keinginan masyarakat 1. Pola pemukiman 2. Karakter lanskap, arsitektur bangunan, dan ruang terbuka 3. Pola penggunaan

lahan Kelurahan Empang

4. RTRW Kecamatan Bogor Selatan

Rekomendasi Pelestarian Lanskap Sejarah Kawasan Empang

 Penelusuran Sejarah Perkembangan Kawasan Empang

 Identifikasi Tatanan Lanskap Sejarah Kawasan Empang Saai Ini

Assessment Lanskap Sejarah Kawasan Empang

(38)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sejarah Perkembangan Kawasan Empang

Perkembangan Kawasan Empang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan Kota Bogor itu sendiri. Kawasan Empang sebagai salah satu kampung atau pemukiman awal yang menjadi inti dari pertumbuhan Kota Bogor telah mengalami perubahan besar dan penggunaan lahan yang berbeda-beda sejak masa Kerajaan Pajajaran (1482-1579), masa Kolonial Belanda (1754-1945), dan masa Kemerdekaan (1945-sekarang). Letak kawasan Empang yang strategis karena dekat dengan pusat kota Bogor menyebabkan kawasan ini dipengaruhi oleh perkembangan yang cepat baik secara fisik maupun non fisik.

4.1.1 Periode Kerajaan Pajajaran (1482-1579)

Pada masa Kerajaan Pajajaran terhitung sejak tahun 1482-1579, jauh sebelum kawasan Empang menjadi salah satu kawasan pemukiman padat di Kota Bogor, wilayah yang berada di daerah sempit yang diapit oleh Sungai Cisadane dan Sungai Cipakancilan ini menjadi bagian dari pusat pemerintahan sekaligus ibukota Kerajaan Hindu yang cukup berkuasa pada masanya di Jawa Barat. Ibukota kerajaan Pajajaran itu dikenal dengan nama Pakuan.

a) Kondisi Fisik

Posisi Pakuan sebagai kota pusat Kerajaan Pajajaran ditandai dengan adanya benteng yang berfungsi sebagai pertahanan dan sekaligus batas kota. Pakuan dikelilingi benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya, sedangkan di bagian selatan batas kota Pakuan berlahan datar dan terdapat benteng kota yang paling besar.

Pintu gerbang Pakuan terletak di sisi sebelah Utara dan Selatan. Sebagai ibukota kerajaan, Pakuan dilengkapi oleh berbagai komponen fisik kota yang terletak di dalam dan di luar benteng Pakuan. Kelengkapan kota Pakuan yang berada di dalam benteng meliputi Keraton dan Alun-alun Dalam Kotaraja. Sedangkan kelengkapan di luar benteng kerajaan meliputi Bukit Badigul, Tajur Agung, dan Alun-alun Luar Kotaraja.

(39)

Berdasarkan berita Cerita Parahiyangan dalam Danasasmita (1983), pada masa pemerintahan Ratu Dewata (1535-1543) seorang pemimpin Pajajaran yang merupakan cucu Prabu Siliwang, dituturkan bahwa “Datang na bencana musuh ganal, tambuh sangkane. Prangrang di burwan ageung”. Hal ini diartikan bahwa “Datang bencana serangan laskar musuh yang tidak diketahui asalnya. Terjadilah perang di alun-alun”.

Cerita Parahiyangan diperkuat oleh laporan hasil ekspedisi Abraham van Riebeck, seorang orientalis Belanda pada tahun 1709. Dalam ekspedisinya, van Riebeck menemukan alun-alun setelah ia melewati Cipakancilan dari arah Panaragan. Ia pun mencatat bahwa terdapat tiga batang pohon beringin yang menjadi salah satu kelengkapan alun-alun tradisional. Alun-alun itu membentang dari tepi Cisadane sampai ke parit yang membentang dari Lolongok sampai ke Cipakancilan. Setelah melewati parit inilah terdapat jalan masuk yang mendaki menuju benteng Kota Pakuan. Denah benteng Kota Pakuan dapat dilihat pada Gambar 4.

Pada masa itu, alun-alun luar berfungsi sebagai medan latihan keprajuritan bagi para laskar Pajajaran. Segala jenis acara keramaian umum di luar protokol keraton juga dilaksanakan di alun-alun ini, sebelum akhirnya alun-alun tersebut menjadi palagan (medan pertempuran) saat melawan laskar Banten yang ingin menguasai wilayah Pajajaran di tahun 1579 (Danasasmita, 1983).

b) Kondisi Sosial Masyarakat

Tahun 1521, menurut sensus yang dilakukan oleh petugas Keraton Demak tercatat bahwa penduduk Kerajaan Pajajaran berjumlah 48.271 jiwa (Danasasmita, 1983). Pada masa itu, ibu kota Kerajaan Pajajaran merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Demak apabila dilihat dari jumlah penduduknya. Penduduk Kerajaan Pajajaran menganut agama Hindu. Hal tersebut mengikuti kepercayaan yang dianut oleh raja-raja Pajajaran. Pengaruh agama Hindu mempengaruhi pola tata letak dan pola kehidupan masyarakat Pajajaran pada masa itu.

Kerajaan Pajajaran hidup dari pertanian, terutama dari perladangan. Namun demikian, Pajajaran juga melakukan kegiatan perdagangan dengan daerah atau negara lain. Diketahui bahwa Pajajaran memiliki enam buah bandar yang

(40)

cukup ramai dan penting. Salah satu bandar Kerajaan Pajajaran yang terpenting dan terbaik adalah Kalapa yang dapat ditempuh kira-kira dua hari perjalanan dari pusat kota Pajajaran dengan menggunakan kapal atau perahu melalui Sungai Ciliwung.

Gambar 4. Denah Benteng Kerajaan Pajajaran (Sumber : Danasasmita, 1983)

4.1.2 Periode Kolonial Belanda (1754-1945)

Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, bekas ibu kota Kerajaan Pajajaran telah berkembang menjadi sebuah wilayah pusat pemerintahan Karesidenan Kampung Baru atau Regentscape Buitenzorg yang menjadi cikal bakal lahirnya Kabupaten Bogor terhitung sejak tahun 1754-1872. Karesidenan

(41)

tersebut merupakan gabungan dari sembilan buah kampung dan dikepalai oleh seorang bupati pribumi yang diberi gelar Demang. Setelah dihapuskannya Karesidenan Kampung Baruoleh pemerintah Kolonial Belanda, kawasan Empang mulai berkembang menjadi konsentrasi pemukiman bagi warga keturunan Arab (1835-1945).

a) Kondisi Fisik

Awal perkembangan kawasan Empang sebagai ibu kota kabupaten dimulai sejak bupati Kampung Baru, Demang Wiranata, mengajukan permohonan penyewaan Tanah Sukahati kepada Gubernur Jendral Mossel untuk dijadikan sebagai tempat kediamannya. Semula, pusat pemerintahan yang berada di Tanah Baru merupakan daerah tandus dengan ketersediaan air yang terbatas. Demang Wiranata menilai bahwa Tanah Sukahati merupakan lahan yang subur dengan ketersediaan air yang melimpah serta pemandangan Gunung Salak yang indah. Itulah alasan mengapa kawasan ini diberi nama Sukahati karena dapat membuat hati seseorang menjadi senang apabila berada di kawasan tersebut. Sejak tahun 1754, pusat pemerintahan Kampung Baru resmi berpindah dari Tanah Baru ke Sukahati.

Sebuah sketsa yang melukiskan kunjungan Gubernur Jenderal Van der Parra (1761-1775) kepada bupati Kampung Baru di Sukahati memberikan informasi bahwa bila seseorang berdiri di bawah jembatan kereta api sekarang akan tepat berhadapan dengan rumah bupati tersebut (Gambar 5).

Gambar 5. Alun-alun Empang Abad Ke-18 (Sumber : Danasasmita, 1983)

(42)

Dokumen tanggal 18 Januari 1776 memberitakan bahwa kediaman bupati di Sukahati terletak di sebelah timur Sungai Cisadane dekat dengan muara Sungai Cipakancilan. Rumah sang bupati berdiri pada lahan yang termasuk dalam kawasan rumah Buitenzorg. Hayatullah (dalam Balebat, 2007) menyebutkan bahwa bangunan pendopo yang menjadi kediaman Bupati Kampung Baru merupakan dua bangunan besar yang dihubungkan oleh sebuah galeri dari kayu dengan lantai yang terbuat dari anyaman bambu. Bangunan pendopo bupati dibatasi oleh :

 Sebelah Utara : berupa lapangan luas yang difungsikan sebagai alun-alun kabupaten. Disetiap sisi alun-alun ditanami pohon beringin (Ficus elastica). Diluar pagar alun-alun, terdapat kolam ikan besar (vijver). Masyarakat saat itu menyebut kolam ini dengan nama empang.

 Sebelah Timur : berupa parit besar dan tebing terjal sisa peninggalan benteng alam Kerajaan Pajajaran. Parit tersebut dikenal dengan nama Parit Cibalok. Sementara jalan sempit yang memisahkan tebing dengan parit dikenal dengan nama Lolongok.

 Sebelah Selatan : merupakan kolam yang dibuat disisi sebelah barat Parit Cibalok. Kolam tersebut kemudian dikenal dengan nama Kolam Jaya. Di seberangnya, terdapat rumah bagi penghulu dan para kerabat bupati. Tidak jauh dari sana, lebih ke arah selatan, terdapat Kampung Rawa Balong yang dijadikan tempat interniran (tahanan) yang melawan pemerintah Belanda. Diantara yang ditawan itu adalah Gusti Arsyad atau lebih dikenal dengan nama Ratu Saleh dari Banjarmasin beserta keluarganya. Sampai saat ini, bekas pemukiman para tawanan Belanda diabadikan menjadi nama sebuah gang, yaitu Gang Banjar.

 Sebelah Barat : berupa mushola tempat melakukan ibadah shalat secara bersama-sama. Di belakang mushola sebelah timur

(43)

Sungai Cisadane terdapat Kampung Kaum sebagai tempat tinggal para petugas masjid (marbot).

Tanggal 28 Oktober 1763 dikeluarkan akte resmi pembentukan Karesidenan Kampung Baru (Regentscape Buitenzorg) yang setingkat dengan kabupaten. Sejak tahun 1770, nama Empang sudah mulai muncul dan masyarakat lebih sering menyebut kawasan ini dengan nama Empang. Sebutan ini berangsur-angsur mendesak nama Sukahati. Dokumen tanggal 28 November 1815 secara resmi sudah menyebut kawasan ini dengan nama Empang (Soelaeman, 2004). Kegiatan pemerintahan Kampung Baru berpusat di alun-alun Empang. Konsep alun-alun berkembang sebagai identitas pusat pemerintahan bagi kota-kota di Jawa pada masa Kolonial Belanda (Mustapa, 2010).

Pada masa pemerintahan Demang Aria Natanegara (1761-1789) dibangun saluran air dari Empang menuju Kedungbadak yang sangat penting bagi perkembangan pertanian. Demang Aria Natanegara membangun bendungan pada muara Sungai Cipakancilan dan menyalurkan alirannya melalui kanal buatan. Sejak tahun 1775 aliran Sungai Cisadane dipecah menjadi dua dengan Sungai Cipakancilan. Pengalihan aliran air membentuk Empang Pulo. Aliran Sungai Cipakancilan dipecah kembali dengan kanal Cidepit dan selanjutnya aliran air tersebut disalurkan menuju Sungai Ciliwung. Saluran air dan bendungan yang diselesai dibuat tahun 1776 merupakan penerapan teknologi maju pengelolaan air karya bangsa pribumi yang dibangun tanpa campur tangan pemerintah kolonial Belanda (Danasasmita, 1983).

Pada awal abad ke-19, belum terdapat bangunan megah berupa masjid yang berada di sebelah barat alun-alun. Dari lukisan karya R. Toelar yang dibuat tanggal 18 April 1847 (Gambar 6), didapat informasi bahwa di wilayah Empang, yang dicirikan oleh Gunung Salak, saat itu baru terdapat bangunan kecil dengan atap berundak yang diidentifikasi sebagai sebuah surau (Iskandar, 2010). Surau tersebut merupakan cikal bakal Masjid Agung Empang yang ada sekarang.

Kepindahan pusat pemerintahan Kampung Baru membangkitkan kegiatan perekonomian, sampai terbentuk sebuah pasar di arah utara Empang yang saat ini dikenal dengan nama Pasar Bogor. Keberadaan pasar tersebut menarik minat para

(44)

pedagang asing untuk ikut berdagang di Buitenzorg. Oleh pemerintah Belanda para pedagang asing dimasukan ke dalam golongan timur asing (vreemde oosterlingen) yang kedudukannya lebih tinggi dari golongan pribumi (inlanders) (de Jonge, 2000).

Gambar 6. Lukisan R. Toelar Tahun 1843 (Sumber : Tropenmuseum, 2010)

Perbedaan penggolongan ini bertujuan untuk menjaga agar bangsa pribumi tidak mendapatkan pengaruh berbahaya dari keberadaan bangsa timur asing. Untuk itu, maka pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan yang mengatur pembagian zona pemukiman berdasarkan etnis. Kebijakan tersebut dikenal dengan wijkenstelsel yang mulai berlaku sejak ditetapkan oleh Gubernur Jendral Belanda J.J Rochussen tahun 1835. Mereka membagi tanah jajahan kedalam tiga zona, yaitu zona satu untuk bangsa Eropa, zona dua untuk bangsa Timur Asing, dan zona tiga untuk bangsa Pribumi (Gambar 7).

Kawasan Empang khususnya Pekojan, diperuntukkan bagi orang Arab yang bermukim di Buitenzorg. Para pedagang Arab diharuskan untuk bermukim di dalam Pekojan dan tidak diijinkan keluar kawasan pemukimannya tanpa adanya surat ijin (wijken-en passenstelsen) dari pemerintah Belanda. Sementara bangsa pribumi mendiami bagian selatan Empang dan wilayah lain di pinggiran Buitenzorg.

Gambar

Tabel 2. Aspek, Jenis, Bentuk, Sumber, dan Analisis Data  Aspek dan Jenis Data  Bentuk
Tabel 3. Kriteria Penilaian Keaslian (Originality)
Tabel 4. Kriteria Penilaian Keunikan (Uniqueness)
Gambar 3. Tahapan Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan Upaya untuk mewujudkan pengembangan kawasan agropolitan di wilayah Kota Batu sesuai dengan potensi yang dimiliki, diperlukan pengawasan

14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang Tahun 2011-2031, kawasan Simongan harus di tata dan dirubah menjadi daerah permukiman saja (bukan zona

Untuk menggambarkan dan menganalisis keterkaitan disposisi dengan implementasi Peraturan Daerah Nomor : 13 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Dalam Penetapan Kawasan Ruang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana implementasi peraturan daerah nomor 13 tahun 2011 tentang rencana tata ruang wilayah dalam penetapan kawasan ruang terbuka

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana implementasi peraturan daerah nomor 13 tahun 2011 tentang rencana tata ruang wilayah dalam penetapan kawasan ruang terbuka

Selain kawasan hutan, potensi masalah tata ruang di Kabupaten Bogor pada tahun 2025 adalah ketidakselarasan pada kawasan lahan pertanian basah yang dalam penggunaan lahannya